Islam, Budaya dan Teknologi
Oleh: Abdurrahman Wahid
Pada suatu pagi, penulis duduk di kursi depan kendaraan yang dinaikinya. Suara dari kaset terdengar memenuhi kabin kendaraan, mengalunkan bermacam shalawat yang didendangkan anak-anak dengan dipimpin seorang dewasa. Berbagai shalawat didendangkan, termasuk shalawat/pujian semasa menunggu datangyan Imam di Masjid/musholla. Dibawakan versi lengkap dari pujian “Illahi Lastu” yang biasanya hanya diperdengarkan dua baris/bait bahasa Arab saja. Kira-kira dua jam berkendara dari tempat tinggal penulis di jalan Paso ke Hotel Marriott guna melakukan do’a bersama dengan sejumlah kyai dan para agamawan lain. Dalam mendengarkan kaset shalawat dan pujian, penulis lagi-lagi dihadapkan kepada sebuah gambaran tentang masyarakat kita dewasa ini, yaitu antara dendang tradisional, namun menggunakan alat-alat sound system yang sangat canggih.
Yang penulis maksudkan penggunaan teknologi canggih berarti tekonologi modern oleh pagelaran tradisional. Ini adalah kenyataan di depan mata yang tidak dapat diingkari walaupun jarang dipikirkan. Ternyata tidak seperti yang para peneliti dan pemerhati sering kemukakan mengenai adanya pertentangan teknologi modern dengan budaya tradisional. Dalam kenyataan walaupun teknologi modern dalam banyak hal memaksakan sikap dengan meninggalkan hal-hal tradisional, dalam beberapa aspek kehidupan justru yang tradisional itu diperkuat oleh yang modern. Jadi dalam hal ini terdapat hubungan simetris, tidak seperti apa yang dikemukakan oleh Daniel Leaner dari Universitas Harvard dalam bukunya yang berjudul “The Passing of the Tradisional Society” (memudarnya masyarakat tradisional).
Bukankah yang terjadi di beberapa tempat justru sebaliknya? Justru proses bertemunya teknologi modern dan budaya tradisional menghasilkan “penyimpangan” berupa penggunaan teknologi modern itu sendiri guna kepentingan memperkuat tradisionalisme. Kaset yang penulis dengarkan dalam kendaraan tersebut adalah bukti kongkrit yang tidak dapat dibantah oleh siapun. Ini adalah sebuah wajah dari sekian banyak bentuk penguatan tradisi, seperti dicontohkan oleh pengeras suara di Masjid-Masjid dan Musholla kita, yang masih mengumandangkan Tarhim, ayat-ayat suci dan Adzan minimal lima kali sehari. Memang rumah-rumah disekitarnya lalu turun harganya, tetapi itu tidak menghalangi terjadinya penggunaan teknologi modern untuk penguatan tradisionalisme, disamping memang tradisionalisme dalam berbagai bidang mengalami modifikasi oleh teknologi modern.
*****
Hal ini sebenarnya terjadi juga dalam “masyarakat modern” yang berteknologi maju. Di Eropa Barat, misalnya beberapa negara mengalami kebangkitan kembali pihak Kristen Demokrat dalam politik. Apakah artinya ini? Jawabannya adalah bahwa nilai-nilai keKristenan yang sangat tradisional yang mengacu kepada moralitas bangsa, akhirnya menjadi pembeda dengan partai-partai Demokrat lain di berbagai negara. “Kebangkitan kembali” kaum Nasrani ini tentu saja diakibatkan oleh porak-porandanya tatanan yang dibangun baik oleh “keangkaramurkaan” ambisi politik pribadi seperti dibawakan oleh Adolf Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia serta Josef Stalin di Uni Soviet, serta sekularisme yang menjauhkan agama di beberapa negara. Di Amerika Serikat sendiri kehidupan politik sedikit banyak terpengaruh oleh semakin menguatnya kesadaran beragama, minimal dalam bentuk munculnya kelompok Baptisme Selatan (Southern Baptist Convention). Dan ini juga terlihat dalam terpilihnya beberapa orang Presiden Amerika Serikat dan sepertiga jumlah anggota Kongres (Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat), yang merupakan anggota Gereja Mormon.
Bertambahnya “peranan agama” atau kebangkitan moralitas konvensional dalam kehidupan politik negara Paman Sam itu, tentunya berhadapan dengan sikap yang meremehkan kesadaran beragama. Sikap menolak keabsahan aborsi/pengguguran kandungan (rights to live), adalah pencerminan moralitas konvensional ini. Ini tentu saja berkebalikan dengan kecenderungan lain, seperi keabsahan perkawinan antara kaum homo sex -lesbi dan gay- yang terjadi di beberapa negara lain. Dalam kasus seperti itu, lembaga-lembaga keagamaan seperti Gereja menampilkan pengunaan “alat-alat modern” untuk menampilkan sesuatu dari hal yang tradisional.
Jelas dari uraian di atas baik dalam masyarakat “Timur” maupun “Barat” telah terjadi sebuah proses dahsyat berupa pertarungan budaya, minimal dalam kehidupan moralitas, yang melibatkan penggunaan alat-alat komunikasi dan organisasi modern dan canggih, untuk menangkis ketakutan-ketakutan tradisional yang menilai jika hal itu dibiarkan saja tanpa pelawanan maka moralitas kehidupan bangsa akan merosot.
*****
Jadi tidak mengherankan jika teknologi modern itu digunakan dalam “pertempuran budaya” di sementara masyarakat. Tidak mengherankan juga jika tradisionalisme semacam itu juga muncul dalam “kesadaran beragama” yang menampilkan upaya untuk “kembali ke masa silam”, dan terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini Sebetulnya hal itu telah terjadi ketika ada imbauan dari orang-orang seperti Moch. Yamin ataupun Sanusi Pane untuk “ kembali kepada kejayaan bangsa di masa lampau.” Mereka bukannya “orang kolot” yang mengingkari teknologi modern, melainkan mereka justru menggunakannya untuk memperkuat tradisionalisme yang mereka miliki. Hakekat inilah yang harus ditangkap dari sikap mereka itu.
Inilah yang penulis tangkap dari keadaan lahiriah ketika mendengarkan melalui sound system lagu-lagu tradisional yang berupa shalawatan dan sebagainya. Dia dapat saja mengharukan seperti dalam sajak penyambutan Nabi Muhammad SAW di Madinah dengan “bulan naik di atas (Kepala) kita” (Thala’a Al-Badru’Alayina), dan dapat saja berupa tembang anak-anak Sunan Ampel, “Ilir-Ilir Tandure wis Sumiler” yang sangat terkenal di kalangan orang-orang berbahasa Jawa. Jadi penggunaan teknologi modern yang digunakan untuk menegaskan pemikiran-pemikiran tradisional bukanlah barang baru sama sekali, melainkan sudah lama berjalan. Gampang diucapkan tetapi sulit dilaksanakan, bukan?
Oleh: Abdurrahman Wahid
Pada suatu pagi, penulis duduk di kursi depan kendaraan yang dinaikinya. Suara dari kaset terdengar memenuhi kabin kendaraan, mengalunkan bermacam shalawat yang didendangkan anak-anak dengan dipimpin seorang dewasa. Berbagai shalawat didendangkan, termasuk shalawat/pujian semasa menunggu datangyan Imam di Masjid/musholla. Dibawakan versi lengkap dari pujian “Illahi Lastu” yang biasanya hanya diperdengarkan dua baris/bait bahasa Arab saja. Kira-kira dua jam berkendara dari tempat tinggal penulis di jalan Paso ke Hotel Marriott guna melakukan do’a bersama dengan sejumlah kyai dan para agamawan lain. Dalam mendengarkan kaset shalawat dan pujian, penulis lagi-lagi dihadapkan kepada sebuah gambaran tentang masyarakat kita dewasa ini, yaitu antara dendang tradisional, namun menggunakan alat-alat sound system yang sangat canggih.
Yang penulis maksudkan penggunaan teknologi canggih berarti tekonologi modern oleh pagelaran tradisional. Ini adalah kenyataan di depan mata yang tidak dapat diingkari walaupun jarang dipikirkan. Ternyata tidak seperti yang para peneliti dan pemerhati sering kemukakan mengenai adanya pertentangan teknologi modern dengan budaya tradisional. Dalam kenyataan walaupun teknologi modern dalam banyak hal memaksakan sikap dengan meninggalkan hal-hal tradisional, dalam beberapa aspek kehidupan justru yang tradisional itu diperkuat oleh yang modern. Jadi dalam hal ini terdapat hubungan simetris, tidak seperti apa yang dikemukakan oleh Daniel Leaner dari Universitas Harvard dalam bukunya yang berjudul “The Passing of the Tradisional Society” (memudarnya masyarakat tradisional).
Bukankah yang terjadi di beberapa tempat justru sebaliknya? Justru proses bertemunya teknologi modern dan budaya tradisional menghasilkan “penyimpangan” berupa penggunaan teknologi modern itu sendiri guna kepentingan memperkuat tradisionalisme. Kaset yang penulis dengarkan dalam kendaraan tersebut adalah bukti kongkrit yang tidak dapat dibantah oleh siapun. Ini adalah sebuah wajah dari sekian banyak bentuk penguatan tradisi, seperti dicontohkan oleh pengeras suara di Masjid-Masjid dan Musholla kita, yang masih mengumandangkan Tarhim, ayat-ayat suci dan Adzan minimal lima kali sehari. Memang rumah-rumah disekitarnya lalu turun harganya, tetapi itu tidak menghalangi terjadinya penggunaan teknologi modern untuk penguatan tradisionalisme, disamping memang tradisionalisme dalam berbagai bidang mengalami modifikasi oleh teknologi modern.
*****
Hal ini sebenarnya terjadi juga dalam “masyarakat modern” yang berteknologi maju. Di Eropa Barat, misalnya beberapa negara mengalami kebangkitan kembali pihak Kristen Demokrat dalam politik. Apakah artinya ini? Jawabannya adalah bahwa nilai-nilai keKristenan yang sangat tradisional yang mengacu kepada moralitas bangsa, akhirnya menjadi pembeda dengan partai-partai Demokrat lain di berbagai negara. “Kebangkitan kembali” kaum Nasrani ini tentu saja diakibatkan oleh porak-porandanya tatanan yang dibangun baik oleh “keangkaramurkaan” ambisi politik pribadi seperti dibawakan oleh Adolf Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia serta Josef Stalin di Uni Soviet, serta sekularisme yang menjauhkan agama di beberapa negara. Di Amerika Serikat sendiri kehidupan politik sedikit banyak terpengaruh oleh semakin menguatnya kesadaran beragama, minimal dalam bentuk munculnya kelompok Baptisme Selatan (Southern Baptist Convention). Dan ini juga terlihat dalam terpilihnya beberapa orang Presiden Amerika Serikat dan sepertiga jumlah anggota Kongres (Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat), yang merupakan anggota Gereja Mormon.
Bertambahnya “peranan agama” atau kebangkitan moralitas konvensional dalam kehidupan politik negara Paman Sam itu, tentunya berhadapan dengan sikap yang meremehkan kesadaran beragama. Sikap menolak keabsahan aborsi/pengguguran kandungan (rights to live), adalah pencerminan moralitas konvensional ini. Ini tentu saja berkebalikan dengan kecenderungan lain, seperi keabsahan perkawinan antara kaum homo sex -lesbi dan gay- yang terjadi di beberapa negara lain. Dalam kasus seperti itu, lembaga-lembaga keagamaan seperti Gereja menampilkan pengunaan “alat-alat modern” untuk menampilkan sesuatu dari hal yang tradisional.
Jelas dari uraian di atas baik dalam masyarakat “Timur” maupun “Barat” telah terjadi sebuah proses dahsyat berupa pertarungan budaya, minimal dalam kehidupan moralitas, yang melibatkan penggunaan alat-alat komunikasi dan organisasi modern dan canggih, untuk menangkis ketakutan-ketakutan tradisional yang menilai jika hal itu dibiarkan saja tanpa pelawanan maka moralitas kehidupan bangsa akan merosot.
*****
Jadi tidak mengherankan jika teknologi modern itu digunakan dalam “pertempuran budaya” di sementara masyarakat. Tidak mengherankan juga jika tradisionalisme semacam itu juga muncul dalam “kesadaran beragama” yang menampilkan upaya untuk “kembali ke masa silam”, dan terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini Sebetulnya hal itu telah terjadi ketika ada imbauan dari orang-orang seperti Moch. Yamin ataupun Sanusi Pane untuk “ kembali kepada kejayaan bangsa di masa lampau.” Mereka bukannya “orang kolot” yang mengingkari teknologi modern, melainkan mereka justru menggunakannya untuk memperkuat tradisionalisme yang mereka miliki. Hakekat inilah yang harus ditangkap dari sikap mereka itu.
Inilah yang penulis tangkap dari keadaan lahiriah ketika mendengarkan melalui sound system lagu-lagu tradisional yang berupa shalawatan dan sebagainya. Dia dapat saja mengharukan seperti dalam sajak penyambutan Nabi Muhammad SAW di Madinah dengan “bulan naik di atas (Kepala) kita” (Thala’a Al-Badru’Alayina), dan dapat saja berupa tembang anak-anak Sunan Ampel, “Ilir-Ilir Tandure wis Sumiler” yang sangat terkenal di kalangan orang-orang berbahasa Jawa. Jadi penggunaan teknologi modern yang digunakan untuk menegaskan pemikiran-pemikiran tradisional bukanlah barang baru sama sekali, melainkan sudah lama berjalan. Gampang diucapkan tetapi sulit dilaksanakan, bukan?
No comments:
Post a Comment