Sunday, June 17, 2007

Melacak Jejak Gerakan Islam Trans-Nasional
2-5-2007

Oleh : MUHAMMAD KODIM & FATHURI SR/SYIRAH

Gerakan-gerakan yang berideologi trans-nasional belakangan ini kembali menjadi perbincangan hangat, khususnya di kalangan Islam. Dua organisasi keagamaan besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tampaknya cukup keras dan hati-hati menyikapi semakin merebaknya ideologi tersebut.

Beberapa minggu yang lalu, Pengurus Pusat Muhammadiyah mengeluarkan surat edaran yang diperuntukkan bagi para anggotanya yang juga masuk dalam organisasi trans-nasional, seperti Hizbut Tahrir, Ihwanul Muslimin yang mewujud dalam Partai Keadilan sejahtera, dan lain-lain. Surat itu secara tegas berisi tentang pilihan: Muhammadiyah atau organisasi yang berideologi trans-nasional.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberi statemen cukup keras terhadap persoalan ini. Secara eksplisit dia mengajak masyarakat Indonesia untuk mewaspadai gerakan yang berideologi trans-nasional itu karena dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Istilah trans-nasional sendiri mungkin masih baru terdengar. Namun itu hanyalah nama lain dari istilah Globalized (globalisasi) Islam, Fundamentalisme, Islam Kanan, dan Islam Radikal.

Lalu siapa mereka itu? Dari mana asal usulnya? Bagaimana strateginya? Bentuknya seperti apa? Untuk itu, Syirah mengajak penulis buku Arus Baru Islam Radikal Imdadun Rahmat ngobrol santai seputar gerakan trans-nasional tersebut. Mengacu pada bukunya itu, Imdad mengurai panjang lebar asal usul gerakan Islam radikal di Indonesia, khususnya Hizbut Tahrir yang banyak dia bicarakan. Ia pun mengajak kita mundur sejenak untuk melihat sejarah.

Sekilah mengenai organisasi-organisasi itu

Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan al-Banna (1324—1368 H/ 1906—1949 M) di Mesir tahun 1928. di antara doktrin dalam Ikhwanul Muslimin adalah, pertama, gerakan ikhwan adalah gerakan Rabbaniyyah (ketuhanan). Sebab, asas yang menjadi poros sasarannya ialah mendekatkan manusia kepada Rabb-nya.

Kedua, gerakan ikhwan bersifat alamiyah (Internasional). Sebab, arah gerakan ditujukan kepada semua ummat manusia. Semua manusia pada dasarnya harus bersaudara. Asalnya satu, nenek moyangnya satu dan nasabnya satu. Hanya taqwa yang menentukan seseorang itu lebih dari yang lain. Dari ketaqwaannya akan terefleksi pada kebaikan dan keutamaannya yang utuh dan menyeluruh yang ia berikan kepada orang lain.

Ketiga, gerakan ikhwan bersifat Islami. Sebab, orientasi dan nisbatnya hanya kepada Islam.

Tahun 1948 organisasi ini dibubarkan pemerintah Mesir atas tuduhan telah melakukan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Mesir saat itu dan merencanakan konspirasi untuk menggulingkan Raja Faruq.

Meski sudah dibubarkan, tapi pemikirannya terus berjalan. Pola penyebaran pemikirannya itu lewat buku, kuliah, mahasiswa, dan lewat jaringan-jaringan politik.

Dalam prakteknya, pola yang diterapkan oleh Ihwanul Muslimin tidak tersentral dalam satu markas dan satu komando, tidak seperti pola Hizbut Tahrir. Kenapa tidak terpusat? Karena Ihwanul Muslimin itu tidak memimpikan khilafah islamyiah internasional.

Oleh sebab itu, masing-masing daerah punya kewenangan sendiri untuk mengembangkan Ihwanul Muslimin sesuai dengan kultur dan politik negara di mana ia berkembang. Dan bisa bernama apa pun. Kalau di Indonesia bisa bernama Partai Keadilan Sejahtera, di Turki bisa memakai Partai kesejahteraan dan Keadilan, di Malaysia bisa pakai PAS.

Meski namanya berbeda, tapi ideologi, manhaj dan pola-polanya itu memiliki kesamaan antara Ihwanul Muslimin di daerah satu dengan daerah yang lainnya.

Kemudian, dalam Ikhwanul Muslimin itu lahir Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia dan dilatih secara militer. Dalam Tandhimul Jihad ini terdapat seorang tokoh bernama Taqiuddin Nabhani. Namun antara Hasan Al-Banna dan Taqiuddin ini kemudian terjadi perbedaan.

Hasan Al-Banna berprinsip kita terus melakukan perjuangan dan memperbaiki sumber daya manusia. Sedang Taqiuddin bersikukuh agar terus melakukan perjuangan bersenjata, militer. Taqiuddin berpendapat kekalahan Arab atau Islam karena dijajah oleh sistem politik demokrasi dan nasionalisme.

Sedang Hasan Al-Banna berpendapat sebaliknya. Menurut dia, tidak masalah umat Islam menerima sistem demokrasi dan nasionalisme, yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara.

Pada 1949 Hasan Al-Banna meninggal karena ditembak agen pemerintah dan dianggap syahid. Sedang Taqiuddin terus berkampanye di kelompoknya di Syria, Libanon dan Yordania. Lalu berdirilah Hizbut Tahrir. Artinya, partai pembebasan. Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel. Konsep utamanya adalah khilafah Islamiyah.

Kesamaan Orientasi dan Perbedaan Strategi

Semenjak tahun 1979, pasca revolusi Iran, muncul ekspektasi dari dunia pinggir Islam untuk mencari inspirasi dari Timur Tengah. Kemudian lahirlah dengan apa yang disebut sebagai globalized islam; Islam yang terglobalisasi.

Islam yang terglobalisasi itu pada prakteknya berbeda-beda, tidak sama. Mulai dari manhaj atau metodenya, dasar pemikirannya, sampai akar dan silsilah pemikirannya pun berbeda. Meskipun lantai pijakannya berbeda, namun ada hal yang mempersatukan dari gerakan globalized Islam atau yang disebut dengan trans-nasional itu. Mereka mempunyai isu yang sama.

Pertama, purifikasi Islam. Adalah upaya pensucian dari unsur-unsur yang datang dari Barat maupun lokal. Lokal dalam konteks ini adalah tempat dimana gerakan tersebut ditanam. Dengan demikian, baik Barat maupun kultur lokal itu dinegasikan. Jadi Islam yang sudah melakukan persenyawaan dengan demokrasi, ide-ide tentang nation-state (negara bangsa), ekonomi kapital, ekonomi sosialis itu disucikan kembali. Singkatnya, mereka membuat jalan untuk kembali ke keaslian Islam.

Kedua, persamaan bahwa gerakan trans-nasional itu semuanya berorientasi pada munculnya model negara seperti yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw. Jadi mereka menginginkan ada sebuah sistem politik yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan ada dalam al-Quran dan hadis.

Dua isu di atas inilah yang menjadi pemersatu sekaligus penanda dari gerakan ini. Namun dalam praksis implementasinya, masing-masing organisasi ini baik Hizbut Tahrir, Ihwanul Muslimin, Gerakan Salafi, maupun Al Qaeda, mempunyai cara dan strategi berbeda-beda dalam perjuangan mereka untuk mencapai ultimate goal-nya itu.

Pola gerakan mereka pun diperagakan secara berbeda pula. Ada yang menggunakan cara-cara kekerasan, ada pula yang memilih jalan damai saja.

Seperti Ihwanul Muslimin --yang diperankan oleh PKS-- yang mencoba berdamai dengan situasi lokal. Dengan model demikian, Ihwanul Muslimin sebenarnya ingin mendirikan negara Islam yang berbasis nation-state, seperti konsepnya Abul A’la Al-Maududi (lahir 1903).

Al-Maududi adalah ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal, Al-Khilâfah wa al-Mulk (Khilafah dan Kekuasaan), yang terbit di Kuwait tahun 1978. Dari sini bisa dilihat jelas bahwa konsep Ihwanul Muslimin itu Teo-demokrasi.

Sementara itu, Hizbut Tahrir berbeda sama sekali dengan konsepnya al-Maudhudi. Dia menginginkan sebuah negara trans-nasional, sebuah negara Pan Islamisme internasional dalam bentuk khilafah, yang sistem politiknya mengacu pada al-Quran dan hadis. Bahkan lebih jauh lagi, mereka sudah mempunyai semacam struktur kenegaraan sendiri; jadi ada Khalifah, Ahlul Hali wal Aqdi (Dewan Petimbangan) panglima perang, dan lengkap juga dengan beberapa kementerian.

Model demikian tentu berbeda pula dengan apa yang diperagakan oleh gerakan Salafi. Karena gerakan Salafi pada dasarnya hanya gerakan dakwah kultural.

Saat ini, ada gerakan trans-nasional yang menonjol, trans-nasional dalam faksi paling radikal yang diinspirasi oleh Al Qaeda. Meskipun tidak ada hubungan organisasi secara langsung, tapi pengaruh Al Qaeda ini begitu luar biasa bagi kelompok-kelompok kecil yang menggunakan teror sebagai sarana perjuangan.

Gerakan Al Qaeda saat ini berkembang di Asia Tenggara, Afrika –khususnya sekarang yang bergolak di Somalia maupun di Nigeria--, Asia Tengah, kemudian negara-negara bekas jajahan Uni Soviet, dan sekarang yang ikut memperkeruh di Iran.[]

No comments: