Tuesday, June 19, 2007

Hentikan Kekerasan atas Nama Agama

Ayu Sulistyowati

Agama sumber kedamaian, membawa pesan kepada seluruh umat manusia tentang kasih sayang, keadilan, dan saling memahami. Sebagai berkah bagi semua makhluk, agama merupakan pengingat abadi pada seluruh umat manusia tentang adanya percikan ikahiyah pada setiap orang.

Namun, dewasa ini dunia bergejolak ketika tindakan-tindakan yang mengerikan dibenarkan atas nama agama. Amat sering, kebencian dan kekerasan justru mengenyahkan kedamaian saat agama dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik.

Demikian bait pertama komunike para pemuka agama dari beberapa negara yang disampaikan di akhir konferensi religi dengan tema "Toleransi Antaragama: Sebuah Rahmat bagi Semua Ciptaan" di Hotel Ritz Carlton, Jimbaran, Bali, 12 Juni 2007.

Para tokoh agama menyepakati tiada kata lain selain toleransi antarumat untuk hidup damai berdampingan di belahan bumi mana pun. Konferensi ini diprakarsai The Wahid Institute, Labforall, dan Museum of Tolerance.

Tokoh-tokoh agama yang hadir antara lain KH Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid, Syafi’i Ma’arif, Sri Ravishankar (tokoh Hindu India), Franz Magnis-Suseno, Tjahjadi Nugraha, Yoichi Kawada, KH Yusuf Chudlori, dan Rabi Daniel Landes (dari Israel).

Toleransi menjadi kata kunci pada pertemuan itu. Mereka secara terbuka membahas berbagai hal, seperti tentang kebebasan berpindah agama hingga urusan nuklir.

Seminar bertolak dari keprihatinan bersama ketika agama dianggap menjadi pemicu munculnya kebencian yang menimbulkan peperangan dan kekerasan. Karena itu, mereka bertemu dan bicara bahwa toleransi harus terus dikedepankan.

Banyak sudah peristiwa perang dan kekerasan dengan menyandang atribut agama, seperti perang di Timur Tengah yang tak kunjung berakhir, peristiwa Poso (Sulawesi Tengah), hingga peledakan bom bunuh diri di beberapa tempat di Indonesia, termasuk Bali.

Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid mengingatkan agar kita lebih waspada, berhati-hati, serta perlu ada kesadaran bersama. "Jika tidak, kita akan terperangkap dan masuk dalam bahaya," ujar Gus Dur—panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid—seraya menambahkan, beberapa kasus beratribut agama sering dicampuradukkan dengan kepentingan politik kelompok.

Para pemuka agama itu pun bersepakat untuk jangan pernah terkecoh, apalagi mencampuradukkan antara agama dan politik. Itu menjadi awal dari kehancuran dan peperangan umat.

Saling menghancurkan

Salah satu pemuka Yahudi dari Israel yang menjadi pembicara, Rabi Daniel Landes, merasa senang bisa berbagi pengalaman. Ia membenarkan, jika agama dijadikan atribut politik, hal itu bisa akan saling menghancurkan. Agama justru akan menjadi masalah.

Oleh karena itu, sangat penting untuk saling menghormati satu sama lain meski dengan keyakinan yang berbeda. "Sekarang ini kita sedang bertoleransi. Saya senang bisa duduk di sini bersama dengan tokoh-tokoh agama dalam konferensi ini," katanya dengan senyum.

Alangkah indah melepaskan segala atribut yang melekat dalam diri, terutama agama, ketika seorang pribadi bertemu pribadi lainnya, atau tengah berada di antara banyak pribadi, apalagi bila ada embel-embel politik. Seketika itu, pribadi tersebut telah membaur dalam publik.

Apa yang terjadi jika tidak ada seorang pun menyandang kepentingan pribadi? Jawabnya adalah damai. Dan kedamaian itu bisa terwujud salah satunya dengan hidup bertoleransi. "Toleransi beragama itu tidak ada batas," ungkap Gus Dur.

Ada kesan bahwa ada agama tertentu yang mengizinkan kekerasan dan penggunaan pedang. Banyak peperangan atau kekerasan terjadi dengan membawa simbol agama. Jika benar terjadi, penjelasan apa yang sanggup memberikan pemahaman bahwa sesungguhnya semua agama itu, termasuk Islam, adalah pembawa damai?

Tokoh agama Buddha dari Jepang, Dr Yoichi Kawada, yang juga Direktur Utama Pusat Studi Filsafat Oriental, mengungkapkan, jawabannya adalah dialog, pertukaran, keharmonisan, dan pendidikan. Perlu ada pertukaran informasi mengenai Islam kepada non-Islam dan sebaliknya. Ia pun mulai mendapatkan pemahaman karena sudah berdialog dengan tokoh Islam seperti Gus Dur, Prof Nur Yalman (Universitas Harvard), dan Dr Majid Tehranian (Universitas Hawaii).

Menurut pemahamannya, meski agama Buddha yang dianutnya dan Islam itu berbeda, tema bersama di antara keduanya adalah kebaikan. Sedangkan jihad itu memiliki kecenderungan berjuang melawan kejahatan jiwa dalam Buddha.

Agama Hindu India, melalui pemuka agamanya yang termasyhur di India, Sri Ravishankar, mengedepankan toleransi dengan baju kebersamaan.

"Ketika seorang pribadi berada dalam lingkungan publik, dia bukanlah lagi seorang pribadi, tetapi melebur menjadi publik. Pakaian yang melekat atas nama pribadi ditanggalkan, seperti agama. Karena itu, yang ada hanya kepentingan bersama dalam kebersamaan," paparnya.

Tidak mudah

Dalam pandangan Franz Magniz-Suseno, tidak mudah menjalankan toleransi, terutama di atas Bumi Pertiwi Indonesia yang sangat beragam suku, adat, budaya, agama, pendatang dan pribumi.

"Tidak mudah. Tetapi, yakinlah bahwa dengan sering berkomunikasi, perlahan permasalahan akan teratasi. Seperti peristiwa Poso memang masih rumit. Namun, saya menilai sekarang ini jauh lebih baik dari tahun ke tahun karena adanya komunikasi," papar Romo Franz.

Tak luput dari pembicaraan adalah soal terorisme, yang juga harus diperangi.

Syafi’i Ma’arif selaku mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah berpendapat, terorisme itu tidak sederhana. Apalagi terorisme dikenal dengan jihad melalui bom bunuh diri.

Menurut dia, ada tiga hal yang perlu dipisahkan saat membicarakan terorisme, yakni terorisme bersifat pribadi, terorisme grup, atau ada yang mensponsori. Islam sebenarnya moderat, terbuka, dan toleran.

"Itu yang kami perjuangkan bersama Muhammadiyah dan NU. Ke depan, kita harus serius melawan segala macam bentuk terorisme," ujar Syafi’i menegaskan.

No comments: