Tuesday, June 19, 2007

Balik Memberi
Melebihi dari yang Diterima

Oleh ALFATHRI ADLIN

SEORANG suami tidak mau mengurus KTP yang sudah habis masa berlakunya. Sang istri mengingatkan bahwa sang suami akan menemukan banyak kesulitan administratif apabila tidak mempunyai KTP baru. Alasan keengganan sang suami adalah "Negara tidak pernah memberi apa pun kepada saya, jadi untuk apa saya mengurus KTP?"

Sang istri beristigfar dan mengingatkan bahwa setelah mendengarkan pengajian tentang nasionalisme, sang istri merasa belum berbuat apa pun untuk negara. Namun, sang suami memang tidak mau berpikir panjang dan keras kepala. Terpaksalah sang istri yang tengah hamil tua, ditemani anaknya yang baru masuk SD, pergi ke kelurahan menguruskannya. Sayangnya, filosofi birokrasi di Indonesia adalah "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah".

Setelah sekian kali bolak-balik ke kelurahan yang jaraknya jauh, rupanya terjadi kesalahan penulisan nama. Sang istri diminta kembali ke kelurahan. Karena sudah kelelahan, sang istri menelefon kelurahan dan menangis meminta agar hal tersebut bisa dipermudah dan diurus oleh para petugas kelurahan saja, tanpa perlu dia bolak-balik lagi. Sang istri bahkan sampai terpaksa menceritakan betapa beratnya menikah dengan seorang lelaki yang sulit. Akhirnya, ada seorang petugas kelurahan yang tergerak dan mau membantu sang istri tersebut. Setelah KTP selesai, sang suami bukannya berterima kasih atas jerih payah sang istri. Dia malah meremehkan KTP tersebut dengan komentar picik yang tidak bermutu.

Memang sangat disayangkan bahwa sang suami sudah kadung apatis terhadap negara (bahkan, sebenarnya, terhadap banyak hal). Permasalahan ini bisa kita pahami penyebabnya. Sebagaimana banyak terungkap, seringkali sepak terjang para pelaksana pemerintahan negara, entah itu korupsi, kolusi, nepotisme, mudah membuat masyarakat marah dan putus asa terhadap masa depan Indonesia. Namun, seperti yang diperlihatkan Rasulullah saw, seorang mukmin sejati itu seharusnya memiliki kepribadian seperti lautan. Berbagai sampah, kotoran, bangkai, dan hal-hal buruk lainnya masuk ke dalam lautan. Namun apa yang lautan keluarkan sebagai balasannya? Mutiara, ikan untuk dimakan, minyak bumi, uap air pembentuk awan yang nantinya akan menurunkan hujan yang berguna bagi semua kehidupan, dan hal-hal berguna lainnya.

Seperti itu pulalah kepribadian Rasulullah saw. Beliau diingkari, dihina, dilempari batu sampai terluka, hingga Jibril pun menawarkan untuk menghukum para pengingkar tersebut dengan menimpakan gunung ke atas mereka. Namun tidak pernah sekalipun beliau memohon Allah SWT mengazab kaum pengingkar tersebut. Bahkan, ketika seorang perempuan yang selalu melemparkan kotoran ke arah beliau jatuh sakit, beliau malah menengoknya.

Sebaliknya, sikap sang suami yang apatis tersebut lebih menyerupai pabrik sampah. Ketika berbagai "sampah" berupa sepak terjang memuakkan sebagian pelaku pemerintahan negara ke dalam dadanya, sang suami malah balik mengeluarkan sampah lagi. Masuk sampah, keluar sampah.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh para mukmin menyikapi keadaan seperti ini? Tentu saja gagasan tentang membuat revolusi atau menjadi seorang pengerah massa bukanlah suatu pemikiran yang harus serta-merta diwujudkan oleh semua orang. Apalagi, perbuatan bidah seperti bom bunuh diri yang malah dilabeli jihad fi sabilillah. Namun sayangnya, tak jarang manusia dikuasai oleh hawa nafsunya untuk melakukan sesuatu secara terburu-buru (yang dalam hadis ditegaskan sebagai perbuatan setan). Atau terobsesi melakukan sesuatu yang besar dan secara sadar ataupun tidak, ingin mendapat sorotan atas perbuatannya tersebut. Atau, lebih buruk lagi, malahan menjadi apatis seperti sang suami di atas.

Seorang ulama pernah mengatakan bahwa untuk mengukur apakah suatu perbuatan itu lahir dari hawa nafsu, manusia bisa mengukur melalui dua hal, yaitu kemampuan dan kesempatan. Apabila ada kemauan, juga kemampuan, namun belum ada kesempatan, maka memaksakan diri mewujudkan kemauan tersebut berarti memperturutkan hawa nafsu. Begitu juga apabila kemauan dan kesempatan ada, namun tidak mempunyai kemampuan, maka memaksakan diri mewujudkan kemauan tersebut berarti memperturutkan hawa nafsu. Nah, terkait dengan kemauan untuk mengadakan perubahan, sebenarnya Allah SWT pun memberi kesempatan kepada setiap mukmin untuk bisa berbuat sesuatu yang sederhana dalam hidup kesehariannya. Namun dalam jangka panjang dan bertahap akan menunjukkan hasilnya.

Dalam teori chaos terdapat ungkapan terkenal, yaitu kepak sayap kupu-kupu di samping rumah kita telah mengakibatkan tornado di Amerika. Apa maksud ungkapan ini? Sebuah perbuatan yang mungkin kecil di mata kita, juga di mata orang lain, dalam suatu reaksi berantai terus-menerus ternyata telah turut andil menciptakan suatu dampak yang besar. Tak ubahnya seperti gelindingan bola salju yang awalnya hanya sebesar kelereng, namun lama-kelamaan membesar dan dapat melumat manusia. Begitu pulalah halnya perbuatan manusia.

Dalam kesempatan lain, ulama yang tadi pun pernah berkata bahwa apabila seorang pegawai mendapat gaji sebesar Rp 1.000.000,00, namun kualitas kerjanya hanya setara dengan Rp 500.000,00 pegawai tersebut telah melakukan korupsi sebesar Rp 500.000,00. Namun, apabila pegawai tersebut bekerja optimal sehingga kualitas kerjanya setara dengan Rp 1.000.000,00, pegawai tersebut tidak mendapatkan apa pun selain upah atas jerih payah kerjanya semata. Sementara itu, apabila pegawai tersebut bekerja lebih optimal lagi sehingga kualitas kerjanya setara dengan Rp 1.500.000,00 kelebihan Rp 500.000,00 dari jerih payah kerjanya tersebut akan menjadi amal salehnya.

Seorang ulama lainnya juga mengingatkan tentang berlakunya salah satu hukum Allah SWT, yaitu qishash. Namun, qishash bukan dalam pengertian nyawa dibalas dengan nyawa, tetapi lebih luas lagi, yaitu suatu perbuatan akan dibalas dengan perbuatan yang setimpal. Dia menekankan tentang ketertiban seorang mukmin sejati dalam menaati berbagai peraturan, termasuk peraturan negara yang telah ditetapkan untuk suatu kebaikan.

Sebuah contoh kecil: peraturan lalu lintas. Apabila seseorang sering melanggar lampu merah dan berbagai peraturan lalu lintas lainnya, tidaklah pantas baginya merasa sakit hati ketika orang lain pun kemudian melanggar peraturan yang dibuatnya, entah di kantor ataupun di rumah. Bukankah dia pun sering melanggar peraturan yang telah dibuat orang lain?

Kesemua paparan di atas mungkin terkesan remeh dan tidak memperlihatkan sesuatu yang besar, terlebih apabila dipandang melalui berbagai hasrat untuk melakukan perubahan secara revolusioner. Akan tetapi, bukankah manusia memang harus menimbang kemampuan dan kesempatan? Lagi pula, bukan tidak mungkin berbagai perbuatan kecil tersebut suatu ketika pun akan berdampak besar. Alquran pun menegaskan hal seperti ini dengan mengingatkan bahwa barangsiapa membunuh satu jiwa, maka itu sama dengan membunuh semua jiwa. Begitu pula apabila seseorang menghidupkan satu jiwa, itu sama dengan menghidupkan semua jiwa (lihat QS Al-Maidah [5]: 32). Ternyata kebaikan yang hendak manusia lakukan tidaklah harus berupa sesuatu yang bersifat kolosal dan menyentuh semua manusia. Begitu pula halnya dengan keburukan.

Bayangkan orang tua yang mendidik dan mencontohkan kepada anak-anaknya untuk senantiasa menaati berbagai peraturan, baik aturan agama maupun negara serta kemasyarakatan, juga mendidik dan mencontohkan untuk senantiasa balik memberi melebihi dari yang diterimanya. Oleh karena itu, setiap kali anak-anaknya menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan mereka masing-masing, bukankah sang orang tua pun akan mendapatkan aliran kebaikannya? Dan bayangkan ketika ajaran kebaikan tersebut berlanjut pula hingga cucu-cucunya?

Bayangkan pula apabila orang tua tersebut ternyata tengah mendidik seorang anak yang akan menjadi orang besar di kemudian hari, misalnya nabi (untuk masa lalu), atau ulama atau malah seorang pemimpin besar sebuah bangsa. Bayangkan ketika sebuah bangsa diubah dan dibawa menuju ke kemakmuran dan keadilan oleh seorang nabi atau pemimpin yang yang adil, bukankah segala kebaikan yang diajarkan oleh sang anak kepada sekian juta manusia yang dipimpinnya akan mengalir juga kepada orang tua yang telah mengajarkan semua kebaikan tersebut kepada sang anak? Tak salah apabila Rasulullah saw bersabda bahwa ketika anak Adam meninggal dunia, terputuslah semua perkara kecuali tiga hal: harta yang dibelanjakan di jalan Allah, ilmu yang diamalkan, dan doa anak yang saleh.

Sebaliknya, bayangkan seorang koruptor membawa uang hasil korupsi ke rumahnya. Kemudian uang tersebut dibelanjakan menjadi makanan yang masuk ke dalam tubuh anak-anaknya. Makanan tersebut kemudian berubah menjadi daging pembentuk tubuh anak-anaknya dan pada gilirannya nanti akan memcemari karakter anak-anaknya. Bayangkan pula, bagaimana jadinya ketika di masa depan salah seorang anaknya menjadi pembesar negara dan melakukan korupsi juga? Sebuah keburukan di tingkatan keluarga tersebut semakin teramplifikasi menjadi merugikan negara dan masyarakat banyak.

Allah SWT sendiri telah mencontohkan bahwa barangsiapa berinfak, Dia akan membalasnya 700 kali lipat (yaitu, seperti satu benih yang tumbuh menjadi 7 batang dan tiap batang berbuah seratus, lihat QS Al-Baqarah [2]: 261).

Demikianlah, Islam mengajari agar manusia senantiasa seperti lautan, yaitu membalas keburukan yang masuk dengan mengeluarkan berbagai kebaikan, dan juga balik memberi dengan melebihi daripada yang diterima seperti dalam bekerja. Sementara itu, korupsi adalah sebaliknya, mengambil lebih daripada yang seharusnya diterima.***

Penulis, editor pada penerbit Jalasutra.

No comments: