Sunday, June 17, 2007

Agama Sultan dan Agama Rakyat
2-4-2007
Oleh : BISRI EFFENDY/DESANTARA

Annas ala dinimulukihim (massa rakyat selalu mengikuti agama rajanya), begitulah pepatah Arab merumuskan. Entah apa yang mendasari ungkapan berbau klaim itu. Nabi Muhammad sendiri mengawali misinya dengan melayangkan surat ajakan (dakwah) kepada para raja seperti raja Habsi yang terkenal memiliki pasukan gajah. Demikian pula sejarah Islamisasi di nusantara yang selalu dimulai dari kota-kota sebagai pusat politik dan ekonomi.

Asimilasi para dai awal di nusantara dengan keturunan para elite ekonomi maupun politik seperti yang sering ditulis sejarawan memastikan Islamisasi selalu dimulai dengan “menaklukkan” penentu kekuasaan. Karena dengan takluknya seorang raja, dengan cara politik maupun kultural, Islam dapat dipastikan bisa merasuk ke kalangan massa rakyat. Bukankah sejarawan sering menulis: “karena sang raja telah memeluk Islam, maka seluruh rakyatnya mengikuti dengan patuh dan gembira.”

Beberapa ahli ilmu sosial mengartikan pepatah di atas sebagai barometer untuk melihat, mengamati, dan menjelaskan bahwa apa yang dianut dan diyakini oleh para raja dan sultan hampir pasti menjadi anutan dan keyakinan rakyat dalam wilayah rengkuhan kekuasaan politiknya.

Kenyataan itu, di satu sisi, membuktikan bahwa Islam telah lama berkelindan dengan kekuasaan politik (negara) dan ekonomi. Sesuatu yang di negeri kita ini selalu kontroversial dan menjadi perdebatan menarik. Islam, seperti dikemukakan sejumlah tokohnya, memang tidak mempunyai konsep negara yang baku, tetapi ia selalu menjadi bagian dari kekuasaan negara.

Pada sisi yang lain, dan ini celakanya, pepatah itu pula lalu membangunkan keharusan kesesuaian agama rakyat dan agama sang raja (negara). Bukankah para khalifah, sultan, dan para raja dalam sepanjang sejarah Islam hampir selalu berkecenderungan yang sama: memaksakan pilihan agama mereka kepada rakyat yang dikuasai.

Jika sang raja adalah penganut sunni, maka rakyatnya pun harus menganut paham itu. Rakyat haruslah memeluk agama yang dipeluk sang raja dan penyimpangan dari itu berarti keterpencilan, posisi marjinal dengan seluruh konsekuensi politis dan ekonomisnya.

Kita tentu masih ingat bagaimana nasib Abu Tayyib al Mutanabby, sang penyair yang karena berbeda paham keagamaan harus dilempari batu atas suruhan sang raja. Juga bagaimana al-Halaj yang harus mengakhiri nafasnya di tiang gantungan. Kita juga terkenang nasib Abu Ishaq an-Nasibi, Muhammad ibn Zakaria ar-Razi, Daud ibn Ali, Ya’qub ibn al-Fadl, dan ratusan yang lain yang hanya karena berbeda paham terkena tuduhan zindiq di masa khalifah al-Mahdi dan penggantinya, khalifah al-Hadi (Daulat Abasiyah). Mereka harus mengakhiri hidupnya di depan para hakim (qadli) seperti Abd Jabbar al-Muntasib, Umar al-Kaluzi dan Muhammad ibn Isa Hamdawaihi.

Pepatah memang bisa jadi petuah yang berimplikasi politis menyangkut nasib rakyat yang memilih “jalan” berbeda.[]


No comments: