Inti Agama Adalah Akhlak Mulia
Yusman Roy
Penggagas Sholat Bahasa Indonesia
Jawa Pos
Penggagas Sholat Bahasa Indonesia
Jawa Pos
Yusman Roy sudah satu setengah tahun dipenjara gara-gara mengajarkan salat dua bahasa. Tetapi, apa pandangan dia tentang akhlak dan keberagamaan? Berikut perbincangan Kajian Utan Kayu (KIUK) dengan Pengasuh Pondok Iktikaf Ngaji Lelaku, Malang itu, di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bagaimana awal mula Anda mengenal agama?
Sebenarnya ini berawal semata-mata dari faktor usia. Sejak remaja, sudah ada kesadaran pada diri saya tentang perlunya melakukan kebaikan. Terus terang, saya cemburu pada teman-teman yang bisa berkelakuan baik dan punya moralitas tinggi. Ini terjadi sekitar 1980-an.
Karena itu, saya turun dari ring tinju (Roy adalah mantan petinju profesional) setelah sempat memecahkan rekor tercepat KO tinju profesional di Indonesia.
Selanjutnya bagaimana?
Dari sana saya mulai iri melihat teman-teman yang berkelakuan lebih baik dari saya. Lalu saya mulai mempelajari agama dan membaca Alquran yang ada terjemahannya. Saya juga mulai belajar bahasa Arab.
Alhamdulillah, setelah itu saya jadi tahu persis bahwa segala sesuatunya akan kembali kepada kekuasaan Allah. Allah berfirman, "Allah akan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya." Hal ini tak bisa ditawar-tawar. Allah berkenan memberi petunjuk dan membimbing saya, sehingga pintu hati saya dibukakan untuk memahami Islam.
Sebelum memeluk Islam, seperti apa riwayat keberagamaan Anda?
Bapak saya Islam, tapi ibu saya keturunan Belanda memeluk Katolik. Karena itu, di masa kecil, saya Katolik. Tapi, pilihan beragama pada waktu itu bukan atas dasar kesadaran, tapi lebih karena ikut-ikutan.
Karena itu, saya belum bisa merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah. Secara otomatis kenakalan-kenakalan masa kecil tak bisa dihindari, sampai memasuki usia remaja dan menjalani profesi sebagai petinju.
Jujur saya katakan, saya pernah hidup di masa jahiliah. Artinya, terlalu bebas dan tidak memakai aturan-aturan. Tapi, itu bagian dari hidup saya yang tidak bisa dipisahkan. Itu juga hal yang patut saya syukuri.
Karena itu, memasuki usia ke-52 ini, saat melihat anak-anak nakal, saya tak terlalu pesimistis. Saya tetap punya harapan. Sebab, diri saya yang dulu nakal nggak ketulungan, toh bisa sadar dan berhenti juga. Dan, Alhamdulillah, tiba-tiba Allah membukakan pintu hati saya untuk berijtihad dengan gagasan salat dua bahasa yang diterima sebagian kalangan muslim.
Anda ingin menekankan bahwa dalam kehidupan itu ada fase-fase atau terminal-terminal yang harus dilalui orang?
Ya. Itu saya katakan sesuai dengan filsafat Jawa: aja dumeh. Maksudnya, kalau melihat sesuatu yang kurang pas, janganlah terlalu dikecam, tapi kita arahkan ke arah yang lebih baik. Istilahnya, selalu bil hikmah atau dengan kearifan.
Jangan bertindak diskriminatif karena itu tak akan memberi kesempatan kepada orang untuk berbuat baik. Berikan orang kesempatan berbuat baik. Caranya banyak.
Misalnya?
Dalam hidup, saya sudah terbiasa melihat anak-anak nakal. Kuncinya: bagaimana kita, sebagai orang tua, mengarahkan yang muda tanpa rasa sakit hati. Kebanyakan orang tua nelangsa ketika melihat anak muda yang nakal. Mungkin itu karena tidak ada pembekalan yang cukup pada orang tua tentang bagaimana mendidik anak yang tak cocok dengan keinginannya. Padahal, itu justru memukul hati sendiri. Biarlah sang anak berkembang sendiri.
Adakah guru yang ikut membimbing Anda masuk Islam dan menginspirasi untuk punya gagasan tertentu tentang Islam?
Awalnya saya mengaji syariat dasar kurang lebih lima belas tahun. Setelah itu saya tingkatkan lagi dengan mengambil jurusan bil hikmah. Itu lima tahun, dengan seorang kiai yang cukup ternama di Surabaya dan Malang. Jadi, 20 tahun saya menuntut ilmu. Setelah 20 tahun menuntut ilmu, saya lalu mengemas gagasan untuk memperbaiki kualitas salat, baik sendiri maupun berjamaah.
Mengapa secara spesifik memilih salat?
Dari sanalah saya berangkat memperbaiki akhlak saya pribadi. Salat itu tiangnya agama. Dan dalam agama dikatakan juga bahwa Inna as-shalâta tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar (sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan buruk dan kemunkaran)". Itu tercantum dalam Alquran surat 29: 45. Jadi, saya ingin ada pembentukan karakter melalui salat.
Tapi salat jenis apakah yang Anda maksud?
Memang tidak sembarang salat. Tiwas orang sudah kelihatan aktif salat, tapi karakternya tetap tak berubah; masih tetap ada kefasikan-kefasikan. Ini sungguh menusuk hati saya. Banyak orang yang aktif salat, tapi juga jadi penjahat besar. Setelah saya dekati, ternyata benar apa yang saya prediksi: mereka melafalkan bahasa Arabnya saja. Mereka tak tahu artinya. Inilah yang jadi masalah.
Padahal, dalam Alquran surat al-Ma’un (4-5), Allah berfirman: Fawailun lil mushallîn, alladzîna hum `an shalâtihim sâhun (celakalah pelaku salat yang melalaikan salatnya). Lalai di sini banyak aspeknya. Bisa juga karena tidak tahu konsekuensi dari apa yang dibaca dan apa yang didengarnya.
Maksudnya?
Bisa saja orang terbiasa mendengarkan imam dalam salat. Tetapi, bisa jadi sang makmum tidak paham maksud dan pesan dari ayat-ayat yang dibacakan imam. Karena itu, tidak ada yang bisa diingat. Dari sanalah saya menyimpulkan adanya orang yang gagal salat, dan itu celaka betul.
Dalam surat Maryam ayat 59, Allah berfirman: "Maka datanglah sesudah mereka golongan yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatannya."
Menurut saya, orang yang menyia-nyiakan salat itu jumlahnya cukup lumayan, termasuk saya sendiri dulu. Akibatnya, banyak orang yang salat, tapi masih melakukan kejahatan.
Bagi saya, hanya salat yang berkualitaslah yang bisa membuat orang berakhlak karimah. Saya membuktikan, dengan memperbaiki kualitas salat, kehidupan saya ternyata mulai stabil. Dari sana saya mulai menular-nularkan pengalaman kepada orang lain.
Kapan fase kesadaran itu tumbuh?
Sesudah dewasa, ketika saya sudah punya anak dan mulai mengasuh sebuah pondok di Malang. Pondok itu saya bangun untuk menampung teman-teman yang datang dengan membawa berbagai masalah. Ada yang sumpek, karirnya gagal, dan sebagainya.
Mereka saya arahkan untuk salat dengan memahami apa yang dia baca dalam salat yang menggunakan bahasa Arab.
Menurut Anda unsur apa dari agama yang paling penting?
Tentu saja budi pekerti. Kalau kita berangkat dari agama yang konsisten, akan ada buahnya, yaitu adanya akhlak yang karimah. Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa dia diutus untuk menyempurnakan budi pekerti. Jadi inti dari agama itu ada pada akhlak.
Nah, bagi kita yang beragama impor ini sudah barang tentu harus paham arti dan isi pesannya. Kalau bahasanya saja kita tidak tahu, bagaimana kita bisa menghayati isinya. (nvriantoni)
No comments:
Post a Comment