Saturday, June 30, 2007

Sains dan Agama Seiring
Ilmu dan Penelitian Haruslah Berlapiskan Nilai-nilai Spiritual

Jakarta, Kompas - Sains dan agama sesungguhnya tidak dalam posisi saling bertentangan, tetapi justru dapat saling mendukung. Hanya saja, sejauh mana adaptasi di antara keduanya memang tidak terlepas dari interpretasi dan kualitas penelitian serta akurasinya.

"Termasuk dalam berhadapan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang medis dan biologi yang pesat, dengan berbagai hasil penelitian kontroversial seperti stem sel dan kloning," kata cendikiawan Muslim, M Quraish Shihab, dalam seminar tentang teknologi kloning dan pandangan agama Islam di Universitas Al-Azhar, Jakarta, Jumat (29/6).

Hadir pula Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sekaligus Ketua Komisi Bioetika Nasional Umar Anggara Jenie.

"Menurut saya, kita tidak bisa berkata ada pertentangan antara sains dan agama. Agama merupakan tuntunan Tuhan dan sains digali dari ciptaan Tuhan," katanya. Jika terdapat pertentangan, hal itu tidak lepas dari kesalahan interpretasi agama atau hasil penelitian yang keliru.

Nilai-nilai spiritual

Ketika penelitian ilmiah telah mapan, tugas agamawan untuk menggali kembali interpretasinya. "Interpretasi itu merupakan hasil dari daya nalar manusia sesuai perkembangannya. Jadi, dapat berubah," ujarnya.

Dia berpendapat, dalam agama Islam ada yang dinamakan nilai- nilai yang sudah mapan dan tidak berubah. Namun, ada nilai yang dapat mengalami perubahan.

"Prinsip dasarnya ialah apa yang dipersembahkan oleh sains itu benar-benar bermanfaat dan akurat. Kebenaran ilmiah sendiri ialah kesepakatan ilmiah pada disiplin yang sama pada waktu yang sama. Dulu kebenaran ilmiah berkata Bumi itu datar, tetapi kemudian kebenaran ilmiah itu berubah," ujarnya.

Supaya sains dan agama dapat saling mendukung, dia berpendapat, ilmu dan penelitian sebaik tidak melepaskan diri dari nilai-nilai spiritual atau agama. Lepasnya ilmu pengetahuan dari nilai spiritual membuat ilmu pengetahuan dan teknologi rawan memberikan malapetaka bagi manusia. Terkait isu kloning manusia, misalnya, harus dikaji kembali dengan sangat hati-hati apakah mengandung bahaya bagi manusia. Tugas ilmuwan juga mendukung kehadiran Tuhan.

Umar Anggara Jenie mengungkapkan, teknologi kloning memang sempat menimbulkan kontroversi. Guna mengatasi "ketegangan" itu kemudian muncul istilah bioetik, yang memberikan solusi kepada konflik moral yang kian meningkat seiring semakin majunya ilmu pengetahuan di bidang medis dan biologi. Prinsip bioetik ialah respek kepada otonomi, keadilan, kebermanfaatan dan antikejahatan.

"Bioetik tidak bermaksud untuk menghalangi dan menghambat pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan sekadar memberikan rambu-rambu agar tidak terjadi manipulasi," ujarnya. (INE)

Friday, June 29, 2007

Kebangsaan
Muslim di Indonesia Ramah dan Menyenangkan

Jakarta, Kompas - Kalangan muda Muslim Australia menilai kehidupan Muslim Indonesia ramah dan menyenangkan. Kesan itu diperoleh setelah mereka datang ke Jakarta dan bertemu dengan sejumlah intelektual Muslim Indonesia. Sebelumnya, Muslim Australia mempunyai pemahaman bahwa Muslim Indonesia sama dengan Muslim di Timur Tengah.

Hal ini disampaikan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan di Jakarta, Kamis (28/6), usai bertemu enam pemimpin muda Muslim Australia.

Anies menjelaskan, hubungan antara Barat dan Islam harus dilihat dalam dua lokus penilaian. Pertama, hubungan antara dunia Barat dan masyarakat Muslim dari Maroko sampai Maluku. Hubungannya selalu jadi perhatian dunia. "Potret hubungannya masih belum menyenangkan karena ada unsur kepentingan politik luar negeri dari negara Barat terhadap negara berpenduduk mayoritas Muslim," ujarnya.

Namun, menurut Anies, dunia Barat sering melupakan lokus kedua, yaitu komunitas Muslim yang ada di dalam dunia Barat itu sendiri. "Potretnya secara umum mungkin lebih baik karena mereka bisa hidup dalam lingkungan yang menghargai hak asasi manusia, dan perhatian utama HAM pada kaum minoritas," ujarnya.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Saiful Mujani saat meluncurkan bukunya yang berjudul Muslim Demokrat mengatakan, Muslim Indonesia lebih mampu menerima demokrasi sebagai sistem berbangsa dan bernegara dibandingkan masyarakat Islam di negara lain. Sejarah kehadiran Islam di Nusantara yang akomodatif terhadap keragaman suku, budaya, membuat demokrasi dapat diterima Muslim Indonesia dengan segala kekurangan dan kelebihan. (mzw/mam)

Thursday, June 28, 2007

Dialog Antar-Agama
Ketidakadilan merupakan Akar Konflik

Diah Marsidi

Sulitkah melakukan dialog antar-agama? Kalau melihat lancarnya pembahasan, diskusi, dan percakapan yang berlangsung dalam pertemuan Dialog Antar-agama Regional Asia Pasifik II di Waitangi, Selandia Baru, 29-31 Mei, dialog semacam itu tidaklah sulit.

Mungkin juga karena acara itu sudah tiga kali digelar. Setelah dilakukan pertama kali di Yogyakarta akhir 2004 atas prakarsa Pemerintah Indonesia dan Australia, dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Cebu, Filipina, Maret 2006, yang pemrakarsanya bertambah, yaitu dari Pemerintah Filipina dan Selandia Baru. Dialog pun berlanjut di Waitangi.

Peserta pertemuan itu adalah para tokoh agama dari negara anggota ASEAN, Australia, Selandia Baru, Timor Leste, Papua Niugini, dan Fiji. "Dalam kesempatan semacam ini, orangnya sebagian besar itu-itu saja. Jadi memang sudah tak punya masalah dalam berdialog antarkami," kata Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang ikut dalam ketiga dialog itu.

Seringnya bertemu dan bertukar pikiran itu mungkin salah satu alasan mengapa dialog yang terjadi di Waitangi berlangsung mulus. Namun, apalah artinya dialog kalau tidak menghasilkan yang lebih dari sekadar bicara- bicara.

"Terlihat adanya kemajuan dari upaya dialog ini," kata Andri Hadi, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Deplu RI yang memimpin rombongan Indonesia yang terdiri atas para tokoh agama Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan Katolik. Dialog sudah membicarakan "Plan of Action" yang disebutkan dalam Deklarasi Waitangi, sebagai tindak lanjut dari upaya ini.

Tak semua karena agama

Pada sesi awal dalam pertemuan dialog ini, para peserta menyepakati apa yang dibicarakan oleh Dr Zainal Abidin Bagir dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM Yogyakarta. Ia berbicara mengenai tindakan antar-agama untuk perdamaian dan keamanan regional serta penyebab struktural konflik haruslah ditangani.

Tidaklah realistis untuk mengharapkan dialog antar-agama akan membereskan kekacauan yang disebabkan oleh struktur sosi-ekonomi-politis yang tidak adil. Agama sering dituding sebagai penyebab konflik yang mengancam keamanan.

Beberapa peserta mengajak agar melihat inti dari konflik di masyarakat. Bila tak ada marginalisasi terhadap bagian-bagian masyarakat, agama akan tidak ada gunanya dipakai sebagai penyulut konflik. Namun bila marginalisasi itu ada, agama bisa menjadi alat yang ampuh sebagai penyulut konflik. Hanya bila ada marginalisasi dan jurang perbedaan, maka agama akan efektif dimanfaatkan.

Peserta lain menyebutkan, di beberapa negara peserta, seperti Australia, Selandia Baru, dan Indonesia, tidak ada jenis masalah geopolitis yang bisa menimbulkan konflik. Yang ada, menurut dia, adalah masalah-masalah HAM, masalah-masalah penerimaan dan sikap menghormati kaum minoritas.

Sebagai contoh, Selandia Baru menjadi semakin multikultural karena perubahan struktur demografi setelah semakin banyak pendatang. Keragaman agama pun semakin kentara. Selandia Baru berpenduduk 4 juta jiwa berdasarkan sensus paling akhir, yakni tahun 2006.

Warga Selandia Baru terdiri atas 51 persen penduduk menganggap dirinya Kristen, 1,6 persen Hindu, 1,3 persen Buddha, dan 0,9 persen Muslim. Sebesar 32 persen warga menyebut dirinya tidak beragama. Keragaman agama itu diakui karena Selandia Baru tidak mempunyai agama resmi.

Mendorong sikap moderat

Walau penyebab struktural konflik harus ditangani dengan serius, apa yang disebutkan Bagir disepakati oleh para peserta bahwa dalam keterbatasannya dialog antar-agama bisa mempunyai peran untuk membantu tercapainya keamanan di kawasan.

Bila peserta dari beberapa negara menganjurkan pemberdayaan kaum minoritas atau pemberdayaan masyarakat madani, Indonesia lebih memilih pemberdayaan kaum moderat sehingga tidak lagi menjadi mayoritas yang diam, tetapi aktif berperan menentukan terciptanya keamanan dan perdamaian.

Namun, pada dasarnya setiap negara peserta dialog menginginkan agar seluruh lapisan masyarakat berperan menentukan situasi dan kondisi agar cita-cita bersama mengenai perdamaian itu tercapai. Seperti kata Menlu Selandia Baru Winston Peters, para wakil dari komunitas agama yang begitu beragam berkumpul di Waitangi untuk menciptakan saling pengertian dan sikap menghormati satu sama lain yang lebih besar.

Tema dari pertemuan ketiga dialog antar-agama regional itu adalah "Building Bridges". Pembangunan jembatan-jembatan itu diupayakan melalui rencana tindakan yang disepakati para peserta dalam Deklarasi Waitangi. Para peserta antara lain merekomendasikan agar para pemimpin agama dan pemerintah membuat serta memfasilitasi kontak antar-agama baik di tingkat lokal maupun nasional dan mendorong pertukaran pemuda, pemimpin agama, akademisi dari agama yang berbeda-beda di dalam maupun antarnegara.

Pendidikan dan media mendapat perhatian khusus, dengan pendidikan agama untuk meningkatkan pengertian akan agama dan kebudayaan yang berbeda pada tingkat sekolah menjadi salah satu topik kunci, baik dalam diskusi maupun dalam deklarasi. Salah satu rekomendasi adalah agar sekolah-sekolah meningkatkan pendidikan antar- agama, seperti layanan komunitas dan proyek bersama. Pertukaran wartawan juga disarankan sebagai salah satu cara meningkatkan pengertian antar-agama dan antarkebudayaan.

Dialog antar-agama ini dirasa perlu untuk lebih banyak dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam menentukan keamanan dan perdamaian kawasan menjadi kepedulian bersama.

Beberapa peserta mempertanyakan apakah kelompok ekstrem juga sebaiknya diikutsertakan dalam dialog. Sedangkan peserta lain mengusulkan agar mereka yang agnostik, kelompok yang tak beragama, untuk diikutsertakan.

Tahun mendatang dialog antar-agama berlanjut di Kamboja, negara dengan mayoritas agama Buddha. Diharapkan kala para pemuka agama berkumpul kembali di sana, sebagian rencana tindakan dari Deklarasi Waitangi telah terwujud sehingga dialog tidak berhenti hanya pada sekadar berbicara dan berbicara semata. Dialog memang memerlukan tindakan lanjutan.

Tuesday, June 26, 2007

Haji, Antara Ibadah dan Bisnis
Oleh H. USEP ROMLI


KASUS kelaparan 189.000 jemaah haji Indonesia di Arafah dan Mina (28 Desember 2006 - 2 Januari 2007), cukup menggemparkan. Ya... menimbulkan penderitaan bagi jemaah haji yang mengalaminya. Selain itu, juga mencoreng muka Indonesia di mata dunia internasional.

Buruk sangka mau tak mau merebak. Kasus memprihatinkan dan menyebalkan itu, tak mustahil merupakan dampak langsung korupsi. Sudah begitu parahkah penyakit KKN di negara berpenduduk umat Islam terbesar di dunia itu, sehingga ibadah haji yang khusyuk dan sakral pun, menjadi ladang pencarian keuntungan berbagai pihak?

Penyelenggaraan haji memang sangat menggiurkan ditinjau dari segi materiil. Hitung saja, jumlah uang yang ada di situ. Jika Biaya Perjalanan Haji (BPH) rata-rata Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta) per jemaah, maka dari 189.000 jemaah, akan terkumpul dana sebesar Rp 4.725.000.000.000,00 (empat triliun tujuh ratus dua puluh lima miliar rupiah). Jika dengan berbagai cara, dapat ”digerayangi” sekira 2% saja, maka dapat diraih uang sebesar Rp 94.500.000.000,00 (sembilan puluh empat miliar lima ratus juta rupiah). Uang itu tentunya cukup untuk bancakan orang-orang yang memanfaatkan momentum haji sebagai ajang memperkaya diri.

Jangan heran, jika jauh-jauh sebelum pelaksanaan ibadah haji, sudah muncul kasus percaloan pemondokan yang melibatkan seorang anggota DPR RI, yang kemudian di-recall akibat perbuatannya itu. Kemudian muncul pula kasus ”kontrak baru” penyediaan katering Arafah-Mina (Armina) yang mengorbankan jasmani dan rohani para jemaah. Jika bukan karena tergiur keuntungan, tragedi memilukan tersebut tak akan terjadi.

**

Dugaan pencarian keuntungan yang justru merugikan jemaah haji, dapat ditelusuri dari adanya tindakan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Indonesia (PPIHI) di Saudi Arabia. PPIHI menunjuk perusahaan katering Ana for Development and Est), sebagai perusahaan pemasok makanan jemaah haji selama di Arafah tanggal 8 Dzulhijjah (tarwiyah) dan 9 Dzulhijjah (wukuf), serta 10 - 12 atau 13 Dzulhijjah di Mina (mabit jumroh). Selama ini, penyediaan konsumsi jemaah di Arafah dan Mina (Armina) berada di bawah kendali maktab yang dikoordinasikan Muasasah Asia Tenggara.

Konon perusahaan katering ANA menawarkan harga 250 SR (saudi riyal) per jemaah untuk 15 kali makan di Armina. Harga itu lebih murah 50 SR (Rp 125.000,00) daripada yang telah dan selalu ditetapkan maktab/muasasah sebesar 300 SR.

Tapi tidak diketahui jelas, apakah dalam pengalihan penanganan konsumsi itu, PPIHI atau Ana sudah melakukan pendekatan kepada pihak maktab/muasasah? Atau ”jalan sendiri” seolah-olah ”jagoan” merebut lahan rezeki orang? Padahal, maktab/muasasah telah malang melintang dalam segala pengurusan jemaah haji, mulai dari transportasi, akomodasi, hingga konsumsi. Minimal sejak perubahan sistem dari syekh (perorangan) ke muasasah (lembaga koordinasi) diberlakukan tahun 1988. Dari tiga sektor pengurusan itulah, maktab/muasasah mendapat keuntungan tambahan berlipat ganda. Dan satu sektor inilah konsumsi--kiranya--yang ingin ”direbut” PPIHI melalui Ana.

Sayang, ”pertarungan” yang seharusnya hanya melibatkan PPIHI, Ana, dan maktab/muasasah, berakibat langsung kepada jemaah. Tragis dan ironis. Jemaah harus menderita lapar dan dahaga selama lima hari, hanya karena PPIHI, Ana, dan maktab/muasasah berebut uang 50 SR per jemaah, atau 9.450.000 SR untuk seluruh jemaah haji Indonesia (189.000 orang). Jika 1 SR Rp 2.500,00 berarti Rp 23,63 miliar. Itu di luar bancakan 2% tadi.

Dalam konteks ini, ada hal yang menarik untuk dipertanyakan yaitu mengapa kontrak baru konsumsi Armina antara PPIHI dengan Ana seolah-olah mengabaikan peran maktab/muasasah? Seolah-olah mem-bypass begitu saja? Seolah-olah maktab/muasasah akan tunduk patuh kepada PPIHI?

Padahal--sekali lagi--sudah diketahui jelas, betapa besar dan sentral peran maktab/muasasah dalam pengurusan jemaah haji Indonesia. Pemerintah Saudi Arabia--dalam hal ini Raja Abdullah-- yang bergelar Khadimul Haramain (Pelayan Dua Tanah Suci) hanya menyediakan fasilitas-fasilitas bersifat umum-umum saja. Tentang kewajiban-kewajiban khusus memuliakan tamu Allah diserahkan sepenuhnya kepada muasasah yang membawahi maktab-maktab.

Karena kepercayaan Raja Abdullah kepada muasasah tersebut, wajar saja jika muasasah merasa punya hak monopoli di segala bidang pengurusan haji, termasuk urusan perut jemaah selama di Armina. Mereka menguasai tenda dan lahan untuk mendirikannya, kelengkapan sarana dapur, alat-alat masak, dan tenaga juru masak andal yang sudah menjadi karyawan tetap maktab. Katakanlah jaringan ”mafia” yang sulit ditembus. Apalagi dalam waktu singkat dan terburu-buru semacam kontrak dadakan PPIHI dan Ana yang menelan korban para jemaah. Mereka kelaparan di Armina.

**

Selama muasasah/maktab menjadi ”penguasa” Armina, tidak mungkin pihak lain--termasuk Ana--mampu mengelola katering Armina. Sebab dapur dan segala peralatan masak-memasak di sana, ada di tangan maktab. Jika pun Ana memasak di luar Armina, distribusi makanan ke jemaah akan sulit masuk. Bukan karena diblokade aparat keamanan yang diisukan menjadi backing muasasah/maktab, melainkan akibat kemacetan luar biasa arus lalu lintas ke Armina selama wukuf dan mabit. Jarak sejauh 6 - 10 km memakan waktu tempuh 5 hingga 10 jam. Sedangkan batas kedaluwarsa makanan Armina hanya 2-3 jam.

Padahal, harga 300 SR untuk 15 kali makan tiap jemaah di Armina, sudah masuk komponen BPH. Sudah dihitung jauh sebelum kontrak PPIHI dengan Ana berlangsung. Bahkan sudah disahkan oleh DPR RI. Artinya, inisiatif penghematan 50 SR muncul belakangan. Dan penghematan tersebut untuk siapa?

Tim Investigasi Haji bentukan pemerintah, apakah akan berhasil menemukan pihak yang bersalah dan menuntutnya ke jalur hukum? Atau seperti yang sudah-sudah, cukup mengemukakan fakta-fakta untuk sekadar wacana, tanpa sanksi apa-apa? Artinya, derita 189.000 jemaah akan dianggap sebagai ”tumbal” belaka? Jika benar begitu, kita perlu ber-istighfar ribuan kali. Dosa apa lagi yang akan dibuat para elite negara dan bangsa ini terhadap rakyatnya terutama jemaah yang sedang beribadah kepada Allah SWT?

Bencana apalagi yang dibutuhkan untuk mengingatkan para elite negara dan bangsa ini dalam memperbaiki diri? Tidak cukupkah kiriman isyarat melalui aneka macam peristiwa memilukan di laut, udara, dan darat selama ini? Masya Allah. Tabarakallahu.***

Penulis, wartawan senior, pembimbing haji tahun 2007.

Pameran Buku Islam
Dari "La Tahzan" hingga "Khadijah"

Dalam dua tahun terakhir, perhelatan Pameran Buku Islam (Islamic Book Fair), publik dimanjakan dengan buku-buku yang spektakuler. Tahun lalu, buku La Tahzan, yang ditulis oleh Aidh al-Qarni, menjadi salah satu buku yang paling dicari publik. Bahkan, dalam perhelatan Pameran Buku Islam tahun lalu, buku ini mendatangkan penulisnya ke Tanah Air dan melakukan sejumlah dialog publik. Di Timur Tengah sendiri, buku ini terbilang laris manis di pasaran karena terjual dengan menembus angka lebih dari 1 juta eksemplar.

Tahun ini publik, khususnya kalangan perempuan, juga dimanja dengan terbitnya buku Khadijah: The True Love Story of Muhammad SAW. Buku ini ditulis oleh Abdul Mun’im Muhammad. Dalam kurun waktu empat bulan saja, buku ini sudah terjual sekitar 15.000 eksemplar. Fenomena apa di balik besarnya respons publik terhadap kedua buku tersebut?

Fenomena tersebut memang merupakan sebuah perkembangan yang patut dicermati. Pascareformasi, 1998, kecenderungan publik lebih pada buku-buku pemikiran Islam kontemporer. Pada saat ini, buku-buku yang ditulis oleh pemikir Muslim kontemporer, di antaranya oleh Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, Abdullah al-Na’im, Nashr Hamid Abu Zayd, dan lain-lain.

Pada tahun 2003, buku Fikih Lintas Agama sempat terjual laris manis di pasaran. Namun, belakangan, buku-buku yang ditulis oleh sederetan pemikir progresif tersebut agak sedikit lesu. Tidak banyak penerbit yang bergairah dan tertarik untuk menerbitkan buku-buku pemikiran. Sebaliknya, buku-buku yang terbilang ringan, yang termasuk dalam kategori "obat hati" dan buku-buku tentang perempuan laris manis di pasaran.

Dalam mencermati fenomena tersebut, realitas sosial-politik tidak bisa dipisahkan dari munculnya "spiritualitas baru" di tengah-tengah publik. Spiritualitas tersebut tidak mengacu kepada ritualitas tertentu, melainkan berbentuk pencarian terhadap jawaban atas kesulitan-kesulitan masalah dalam modernitas. Kenapa modernisasi tidak kunjung memberikan jawaban konkret atas kesulitan tersebut?

Maka dari itu, buku-buku yang masuk dalam kategori "obat hati" untuk sementara ini dapat mengisi kegagalan modernisasi dalam menjawab masalah-masalah sosial. Di samping, soal dunia politik nasional yang acak-adut telah menghilangkan kepercayaan publik terhadap tokoh panutan mereka.

Di tengah berbagai bencana, gempa bumi, kemiskinan dan kekerasan makin menggunung dan terlihat secara kasatmata, maka diperlukan jalan keluar agar tidak terperangkap dalam kesedihan. Oleh karena itu, publik memilih buku sebagai alternatifnya. Dengan membaca buku, dialog antara masalah dan solusi dapat dilakukan melalui internalisasi nilai.

Lihat misalnya buku La Tahzan, sejak awal penulis langsung mengajak pembaca untuk berbahagia dan membuang jauh-jauh kesedihan.

Ada sejumlah tips untuk meraih kebahagiaan, antara lain iman dan amal saleh, menambah ilmu melalui membaca, memperbarui taubat dan meninggalkan maksiat, membaca Al Quran secara sadar; berbuat baik kepada orang lain, berani, membersihkan hati dari dengki dan iri, tidak banyak tidur, tenggelam dalam perbuatan yang produktif, menyusun strategi harian, meninggalkan khayalan yang tidak penting, meninggalkan amarah, melihat masalah secara proporsional, memperbaiki cara berpikir, sering senam dan lari pagi dan yang terakhir memperbanyak doa kepada Tuhan untuk kesehatan, keselamatan dan kebaikan (hal 12-13 edisi cetakan bahasa Arab, Maktabah al-’Ubaykan).

Jalan kebahagiaan

Tentu saja, beberapa tips di atas menunjukkan bahwa selalu ada jalan untuk menuju kebahagiaan, dan karena itulah setiap insan tidak boleh bersedih. Di dalam pembahasan yang lain, ’Aidh mengutip ayat Al Quran surat Al-Syarh Ayat 5, Dalam kesulitan sesungguhnya ada kemudahan.

Ia ingin mengajak pembaca pada pencarian yang tiada henti untuk menuju kemudahan dan kebahagiaan, karena hidup hakikatnya adalah perputaran dan pergantian dari kalut menuju senyuman. Sebaliknya, dari senyuman menuju kekalutan (hal 25).

Sebenarnya, buku-buku yang berisi motivasi serupa juga sedang berkembang di Barat. Hanya saja, kelebihan buku ini dikemas dengan menggunakan bahasa yang ringan dan mengambil contoh kehidupan sehari-hari, yang mudah diingat dan dipraktikkan.

Di samping satu hal yang sangat penting, buku ini dapat menarik perhatian publik karena menggunakan sumber-sumber otoritatif di dalam khazanah Islam, seperti Al Quran, sunah, dan pesan-pesan kearifan para ulama. Apalagi membaca buku ini dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab, maka akan didapatkan keindahan bahasa yang luar biasa: ringan, menggugah, dan enak dibaca. Pesan-pesan kearifan mengalir di tengah penuturan bahasa yang indah.

Fenomena buku perempuan

Adapun fenomena besarnya minat pembaca pada buku-buku perempuan, seperti buku Khadijah: The True Love Story of Muhammad SAW merupakan fenomena lain yang tidak kalah menariknya dari kecenderungan buku "obat hati".

Satu hal yang patut diperhatikan bahwa kecenderungan membaca di kalangan perempuan lambat laun mengalami perkembangan yang signifikan. Perempuan yang selama ini dipandang sebelah mata, karena peran mereka yang identik dengan ruang privat, maka melalui buku-buku yang secara khusus mengupas tentang keteladanan seorang perempuan telah menjadi daya tarik tersendiri.

Sosok Khadijah dalam sejarah Islam memang patut dijadikan teladan bagi kalangan perempuan, sebab di antara istri-istri Nabi Muhammad SAW yang lain, Khadijah merupakan istri yang paling bersejarah dalam tonggak peradaban Islam. Menurut penulis buku tersebut, Khadijah adalah istri Nabi yang menjadi pendamping di saat-saat sulit, yang senantiasa menawarkan cinta dan kasih sayang dalam kondisi apa pun. Ia seorang pedagang sukses, yang membangun bisnis di atas dasar keadilan dan kedermawanan (hal 2).

Buku ini telah menjadi panduan penting dalam mengarungi mahligai rumah tangga. Dukungan dan motivasi dari seorang istri terhadap suami dalam pembangunan peradaban amatlah penting. Tanpa dukungan dan keterlibatan kalangan perempuan, maka peradaban kemanusiaan adalah sebuah mimpi buruk.

Karena itu, terbitnya buku- buku seperti La Tahzan dan Khadijah dapat menjadi rujukan penting untuk senantiasa mempunyai harapan dan ketahanan diri untuk mengarungi kehidupan yang acak-adut ini. Tentunya, tidak ada tempat bagi putus asa dan kesedihan. Selalu ada jalan, ada keteladanan dan pada akhirnya ada harapan untuk melakukan perubahan.

Dengan membaca buku-buku yang dapat membangkitkan gairah untuk berprestasi dan berbahagia, maka satu-dua masalah dapat terlampaui dan terpecahkan. Semoga ini menjadi angin segar dan kabar baik bagi tumbuhnya kesadaran baru dalam konteks keindonesiaan kita. (ZUHAIRI MISRAWI)

Keagamaan
Fenomena Fiqih Sunnah

ZUHAIRI MISRAWI


Muhammad Abid al-Jabiri dalam bukunya, Takwîn al-'Aql al-'Arabi, mengutarakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban fikih. Peradaban Yunani adalah peradaban akal. Sedangkan peradaban Barat adalah peradaban ilmu pengetahuan dan eksperimentasi.

Ungkapan tersebut mempunyai keistimewaan tersendiri karena fikih telah menjadi salah satu disiplin ilmu yang paling banyak ditulis dan diperbincangkan oleh umat Islam. Hampir ratusan ribu buku fikih ditulis oleh para ulama Muslim.

Salah satu buku fikih paling fenomenal, yang diterbitkan di Tanah Air dalam satu tahun terakhir, yaitu Fiqih Sunnah. Dalam perhelatan Pameran Buku Islam 2007, yang diselenggarakan pada 3-11 Maret 2007, buku ini mendapat penghargaan dari IKAPI sebagai buku terjemahan terbaik tahun 2007. Sedangkan di Timur Tengah, buku ini juga mendapatkan penghargaan King Faisal Prize dalam bidang kajian Islam.

Buku ini merupakan salah satu buku fikih terbaik, ditulis oleh Sayyid Sabiq, seorang ulama modern. Lahir di Mesir, pada tahun 1915, ia dikenal sebagai ulama yang mempunyai otoritas akademis dalam bidang fikih, karena lulus dari dua universitas terkemuka di Timur-Tengah, yaitu Universitas Al-Azhar dan Universitas Ummul Qura, Mekkah, Arab Saudi. Ia wafat pada Februari 2000.

Dalam pelbagai kitab klasik disebutkan bahwa fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum Islam yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci dengan jelas. Sebagai ilmu tentang hukum-hukum Islam, maka fikih menempati tempat yang sangat penting dan strategis. Fikih telah menjadi panduan umat Islam untuk hal-hal yang berkaitan dengan peribadatan dan sosial-kemanusiaan. Fikih membahas pelbagai persoalan, dari masalah shalat hingga jual-beli.

Nah, lalu apa yang menjadi keistimewaan buku ini? Setidaknya ada dua alasan penting yang perlu dikemukakan. Pertama, buku ini mengupas berbagai persoalan fikih secara komprehensif, lengkap dengan tradisi (sunah Nabi Muhammad SAW) sebagai rujukan utamanya. Banyak mengutip berbagai pendapat lintas mazhab tanpa terjebak dalam fanatisme mazhab tertentu. Sebuah hal menarik karena berarti mendewasakan masyarakat untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan nalar dan konteks masyarakat setempat.

Misalnya, dalam hal pembahasan masalah jihad, yang kerap kali disederhanakan oleh sebagian kelompok keagamaan. Sayyid Sabiq dalam buku ini menjelaskan secara komprehensif tentang makna dan aturan jihad. Ia juga membandingkan perintah jihad dalam Islam dengan pesan serupa yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Pada mulanya ajaran Islam adalah dakwah ke jalan Tuhan dengan kebijaksanaan, nasihat yang baik dan debat yang konstruktif. Namun, dalam situasi tertentu terdapat ancaman dari luar, yang memaksa umat Islam untuk mempertahankan diri.

Karena itu, ajaran jihad atau perang merupakan perintah untuk melakukan tindakan defensif, bukan ofensif. Setidaknya harus ada tiga alasan dalam melaksanakan jihad, yaitu karena diperangi, mempertahankan tempat ibadah, dan menjaga stabilitas (Jilid IV, hal 2-3).

Satu hal yang menjadi polemik di kalangan ulama fikih, yaitu soal hukum meminta bantuan non-Muslim untuk berperang melawan musuh-musuh umat Islam. Sayyid Sabiq mengetengahkan sejumlah pendapat yang amat menarik.

Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat, tidak dibenarkan meminta bantuan mereka, dan juga tidak dibolehkan sekiranya mereka membantu tanpa diminta. Imam Abu Hanifah berpandangan lain, mutlak dibenarkan meminta bantuan mereka. Sedangkan meminta bantuan orang musyrik adalah makruh. Adapun Imam Syafi’i berpendapat, diperbolehkan dengan dua syarat, yaitu jika umat Islam berjumlah sedikit dan orang musyrik mengetahui kebaikan dan simpati pada Islam (Jilid IV, hal 7-8).

Itulah salah satu bentuk keragaman pendapat dalam fikih, yang mana setiap Muslim diberikan kebebasan untuk berpendapat sesuai dengan pedoman kemaslahatan umat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan.

Kedua, meski komprehensif, penulis buku ini tidak terjebak dalam pembahasan yang bertele-tele, bahkan cenderung mempermudah pembaca awam dalam memahami materi buku.

Misalnya, dalam soal perbudakan. Sayyid Sabiq dalam buku ini berpendapat bahwa tidak ada satu ayat pun yang membolehkan perbudakan. Bahkan, Nabi Muhammad SAW justru membebaskan para budak yang dihadiahkan kepadanya (Jilid IV, hal 65). Bila cara pandang ini dijadikan sebagai acuan, maka anggapan buruh migran sebagai budak sama sekali tidak sejalan dengan fikih Islam.

Buku ini juga telah membawa angin segar dalam dunia penerbitan buku-buku terjemahan dari Timur Tengah. Tidak seperti kebanyakan buku lainnya, buku ini telah mengantongi hak cipta dari ahli waris penulis buku, yaitu Ahmad Sabiq.

Dengan demikian, buku ini menghadirkan khazanah keislaman yang komprehensif dan mudah dipahami. Dalam satu tahun ini, menurut Ahmad Budiyanto, Direktur Produksi, setidaknya sudah terjual sebanyak 15.000 eksemplar. Jumlah tersebut terbilang spektakuler untuk buku yang dicetak dalam empat jilid, sehingga total buku terjual sebanyak 60.000 eksemplar.

Besarnya minat publik untuk memahami fikih secara komprehensif, maka akan semakin meningkatkan wawasan keislaman sesuai dengan tradisi yang berkembang dalam sejarah Islam. Karena itu pula, tidak ada alasan untuk terjebak dalam radikalisme dan puritanisme.

Zuhairi Misrawi Intelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Relasi Agama dan Negara yang Terus Digugat

M Zaid Wahyudi

Hingga 62 tahun Indonesia merdeka, perdebatan untuk menentukan kedudukan agama dalam negara masih saja terus berlangsung. Di tengah pertentangan antara kelompok yang pro dan kontra di tingkat nasional, beberapa pemerintah daerah justru telah memberlakukan ajaran agama sebagai dasar regulasi, yang mengatur kehidupan publik di daerahnya. Ketidaktegasan pemerintah dan elite politik membuat nasib Pancasila sebagai dasar negara pun menggantung.

Pascapenghapusan kalimat kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam Piagam Jakarta yang disusun menjelang Proklamasi Kemerdekaan, sebagian kelompok Islam terus memperjuangkan diberlakukannya kembali kalimat itu dalam konstitusi negara. Sejak era Konstituante 1955 yang ingin membuat Undang-Undang Dasar (UUD) baru hingga era reformasi dalam Perubahan UUD 1945, semangat formalisasi agama dalam kehidupan bernegara tetap diusung.

Upaya ini sempat diredam pemerintahan Orde Baru, yang menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan, Pancasila dijadikan alat penguasa untuk bertindak represif terhadap kelompok penentang kebijakan pemerintah dengan tudingan tidak pancasilais. Pancasila dijadikan alat penyeragaman Indonesia yang majemuk.

Menurut Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir saat meluncurkan bukunya, yang berjudul Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia akhir Mei lalu, perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai sumber hukum negara hingga kini gigih dilakukan partai berasas Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Di luar parlemen, upaya menghidupkan syariat Islam dalam negara getol dilakukan beberapa organisasi massa Islam yang mengusung ideologi transnasional, seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahiddin Indonesia, maupun Front Pembela Islam. Berbagai problem kemasyarakatan dan kebangsaan diyakini mampu diatasi jika syariat Islam ditegakkan dalam semua aspek kehidupan.

Penerapan syariat Islam dalam kehidupan bernegara menemukan tempatnya pada pemerintahan daerah. Pascadesentralisasi, sejumlah daerah yang memiliki tradisi keagamaan Islam yang kuat gencar memberlakukan peraturan daerah (perda) yang bersumber pada ajaran Islam. Hal yang diatur dalam perda itu mulai dari pengaturan tata cara berpakaian, pemberantasan maksiat, hingga pelaksanaan sejumlah ibadah.

Jurnal Reform Review Volume I Nomor 1 Tahun 2007 menyebutkan, perda berbasis ajaran agama atau biasa disebut perda syariat dilaksanakan di enam provinsi, 38 kabupaten, dan 12 kota. Pola pemberlakuan perda itu pun berbeda-beda.

Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menegaskan pelaksanaan hukum Islam, perda syariat dibuat pemerintah provinsi yang mengacu kepada sebuah aturan induk, yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Penegakan Syariah Islam. Perda yang dibuat berlaku bagi seluruh kabupaten/kota di NAD.

Di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat, perda dibuat di tingkat provinsi secara umum dengan harapan akan dikembangkan dan dijadikan aturan induk bagi pelaksanaan perda serupa di kabupaten/kota. Beberapa kabupaten/kota di kedua provinsi itu sudah memberlakukan aturan serupa.

Di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Gorontalo, perda syariat dibuat di tingkat provinsi, tetapi tidak diikuti pemerintah kabupaten/kota. Aturan yang diatur umumnya terkait dengan pelarangan pelacuran dan peredaran minuman keras.

Bentuk lain dari pemberlakuan perda syariat adalah perda dibuat oleh pemerintah kabupaten/kota, tanpa ada aturan induk di tingkat provinsi. Kabupaten Cianjur (Jawa Barat), Tangerang (Banten), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), dan Pamekasan (Madura, Jawa Timur) adalah beberapa pemda yang melaksanakan perda syariat walau provinsi induknya tak mengaturnya.

Kemunculan perda berbasis ajaran Islam mendorong munculnya perda syariat berbasis ajaran Kristen, yaitu Rancangan Perda Kota Injil di Manokwari (Papua Barat), yang juga mengatur tata laku moral masyarakat. Kondisi ini bisa memicu lahirnya perda syariat berbasis agama lain di seluruh Indonesia.

Semula, pelaksanaan perda syariat dianggap mampu mengembalikan nilai moral masyarakat yang sudah rusak, terutama dengan merajalelanya kemaksiatan. Aturan umum yang mengacu kepada hukum konvensional itu dinilai tidak mampu mencegah dekadensi moral yang terjadi.

Namun kini muncul tudingan pelaksanaan perda syariat adalah usaha pemerintah setempat untuk menutupi kegagalan mereka dalam mengelola tata pemerintahan yang baik dan transparan. Implementasi penegakan syariat itu di berbagai daerah pun banyak yang bersifat manipulatif.

Peraturan yang dibuat cenderung mengatur moralitas individu dan mengabaikan moralitas publik. Akibatnya, korupsi, inefisiensi birokrasi, dan ekonomi biaya tinggi tetap terjadi.

Gagalnya upaya mempertahankan nilai moral masyarakat lebih disebabkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengimplementasikan dan menegakkan aturan yang ada. Kegagalan itu bukan karena acuan hukum yang bersumber kepada nilai umum masyarakat dan tidak bersumber pada ajaran agama.

Posisi dalam negara

Untuk memisahkan agama sepenuhnya dengan negara di Indonesia, seperti yang terjadi di negara Barat, sangat sulit. Pemisahan agama dan negara di Barat dilandasi kebencian atas "perselingkuhan" elite negara dengan pemimpin agama, yang menjadikan agama hanya sebagai alat penguasa. Sedangkan di Indonesia dan negara dunia ketiga, agama justru menjadi pemicu semangat heroisme untuk lepas dari penjajahan dan hegemoni bangsa Barat.

"Perselingkuhan" antarelite agama dan negara itu membuat agama kehilangan watak profetiknya, yang selalu membela kelompok lemah dan tertindas. Penggunaan agama sebagai alat politik dan ekonomi hanya menimbulkan diskriminasi yang justru jauh dari nilai agama itu sendiri.

Namun, dilepaskannya agama sepenuhnya atas negara membuat agama lepas tanggung jawab atas berbagai ketidakadilan dan tragedi kemanusiaan. Agama juga menjadi tidak bertanggung jawab atas kelaliman penguasa.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Masdar F Mas’udi dalam diskusi bertemakan Meluruskan Arah Reformasi di Jakarta, yang diselenggarakan Gerakan Jalan Lurus pada akhir Mei lalu, mengatakan, nilai agama yang dapat masuk dalam ranah publik hanyalah nilai universalnya.

Nilai ini merupakan peneguhan dari sifat-sifat ketuhanan, yang tercermin dalam nurani setiap manusia dan ada dalam setiap agama. Nilai universal itu di antaranya adalah keadilan dalam Islam, cinta kasih dalam Kristen dan Katolik, antikekerasan atau ahimsa dalam Hindu, serta kesederhanaan dalam Buddha. Juga aspek lain dari agama lainnya.

"Aspek privat dan komunal agama tidak boleh dibawa ke ruang publik," kata Masdar.

Aspek agama yang bersifat personal, seperti keimanan, merupakan hak setiap individu. Sedangkan aspek komunal agama, seperti simbol agama, merupakan urusan internal keumatan, yakni antara pemimpin agama dan umat.

Masuknya nilai agama yang bersifat personal dan komunal dalam kehidupan publik dengan aturan dari negara rentan menimbulkan benturan dan konflik antarumat beragama. Karena itu, penempatan agama dalam kehidupan bernegara harus dirumuskan secara tegas. Kegamangan memosisikan agama dalam negara akan memicu munculnya berbagai persoalan kebangsaan lainnya.

Menurut Masdar, tidak ada satu pun ajaran kitab suci yang memerintahkan pembentukan negara berdasarkan agama. Juga Tuhan tidak pernah secara langsung memerintahkan pengaturan negara. Karena itu, kitab suci tidak dapat dijadikan konstitusi sebuah negara.

"Tuhan mengatur (negara) lewat hambanya melalui kitab suci supaya tercipta tata kehidupan yang seimbang dan selaras dengan apa pun dan siapa pun," katanya.

Sejarah awal Islam sendiri menunjukkan pembentukan masyarakat yang harmonis, sejahtera, dan berkeadilan lebih dipentingkan daripada mengakomodasi pembentukan negara Islam. Dalam Piagam Madinah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam buku berjudul Sirah an-Nabi SAW juz II halaman 119-123, tidak ada satu pun pasal dari 47 pasal yang menyebutkan tentang negara Islam.

Piagam Madinah merupakan landasan pembentukan negara Madinah dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpinnya. Negara Madinah ini selanjutnya menjadi dasar perkembangan peradaban Islam.

Saat dibentuk, Madinah terdiri atas banyak suku dan agama, mulai dari Islam, Kristen, dan Yahudi. Piagam Madinah lebih banyak mengatur hak, tanggung jawab, dan hubungan antarsesama warga negara.

Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila hadir sebagai pemersatu atas perbedaan yang ada. Keragaman agama, budaya, dan adat istiadat diwadahi dalam Bhinneka Tunggal Ika. Upaya menyeragamkan bangsa Indonesia sesuai nilai kelompok tertentu jelas mengingkari perbedaan yang ada dan mengancam keutuhan bangsa.

Dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Said Aqiel Siradj dalam makalahnya di sebuah seminar memperingati Hari Lahir Pancasila, pertengahan Juni lalu, mengatakan, Pancasila merupakan titik temu pandangan ideologis antara kelompok Nasionalis dan Islam. Pancasila akan tetap efektif sebagai pemersatu bangsa jika kebhinnekaan yang ada tetap terjaga.

"Daripada Islam dijadikan dasar politik tetapi negaranya tidak keruan, lebih baik Islam diamalkan sebagai pendorong lahirnya masyarakat yang berbudaya dan berperadaban," ujar Said lagi.

Penilaian Islam Terhadap Politisi Penjilat

Seorang lelaki bernama Yunus bin Ya’qub mendatangi imam Ja’far Ash-Shadiq sambil berkata, “berikanlah tanganmu padaku karena aku hendak menciumnya”. Imam Ja’far memberikan tangannya dan lelaki itu pun dengan leluasa menciumnya. Kemudian laki-laki itu melanjutkan permintaannya, “dekatkanlah kepalamu”. Imam mendekatkan kepalanya dan lelaki itu menciumnya. Tak puas sampai disitu, lelaki itu berkata, “berikan kakimu karena aku ingin menciumnya juga”. Imam Shadiq dengan nada tidak senang berkata, “aku bersumpah bahwa setelah mencium tangan dan kepala maka anggota tubuh yang lain tak layak untuk dicium''.Kisah sederhana di atas mengandung hikmah yang sangat besar untuk dijadikan pelajaran. Setidaknya ada dua poin penting yang bisa dijadikan pelajaran. Pertama, Islam melarang segala bentuk penjilatan. Kedua, siapapun yang dijilat, hendaklah tidak merasa enak dan mawas diri.

Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah pemimpin keagamaan yg memiliki kewenangan setingkat gubernur. Sementara Yunus bin Ya’qub adalah jamaah sang Imam yang sekaligus bertugas mengurusi segala keperluan sang Imam (bahasa birokrasinya staf).

Sebenarnya Yunus mencium tangan dan kepala sang imam termotivasi oleh niat ingin mendapat pujian. Ia melakukannya agar dengan cara itu ia mendapatkan pengakuan ketaatan dan ketulusan dari pemimpinnya sehingga ia bisa tetap diberikan kepercayaan untuk tetap pada posisinya, jika perlu mendapat kenaikan derajat.

Sebelum menguraikan lebih jauh tentang penilaian Islam terhadap politisi penjilat, dirasa perlu untuk mengemukakan siapa sesungguhnya yang masuk dalam ketegori politisi.

Dalam buku Komunikasi Politik, Dan Nimmo menguraikan bahwa secara umum politisi adalah mereka yang aktivitasnya atau profesinya, atau pekerjaannya, memiliki keterikatan ataupun bersangkut paut dengan dunia kekuasaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa politisi bukan hanya mereka yang berada di gedung parlemen (seperti yang dipahami oleh masyarakat awam selama ini), tapi juga mereka yang ada di gedung pemerintahan. Bahkan termasuk didalamnya adalah orang non struktural, termasuklah didalamnya kontraktor yang mengharap proyek di lingkup pemerintah.

Sikap dan perilaku Yunus bin Ya’qub di atas, dalam dunia kemasyarakat dikenal dengan istilah (maaf) “penjilat”. Tabiat penjilat seperti ini sangat sering kita jumpai dalam dunia organisasi apa saja, terutama dunia birokrasi.

Akhir-akhir ini, saat menjelang pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) provinsi Sulawesi Selatan, ada kecenderungan manusia yang bertabiat penjilat semakin menjamur seiring dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan pilkada.
Manusia bertabiat penjilat banyak dijumpai dalam tim sukses maupun tim relawan dari setiap calon. Tujuannya tentu bukan semata-mata kerana ingin memenangkan calonnya tapi lebih kepada kepentingan pribadinya, yaitu agar posisinya tetap bertahan atau jika perlu dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi. Baik saat ini (sebelum pilkada) maupun setelah pilkada.

Karakteristik manusia penjilat ini antara lain: Pertama dan utama, bermental ABS alias asal bapak senang. Mental seperti ini biasanya dilakoni oleh bawahan saat dilakukan kontrol atau pemeriksaan oleh atasannya. Saat menyampaikan laporan, bawahan tersebut tidak mengemukakan fakta atau realitas yang sesungguhnya di lapangan. Penyebabnya tentu saja karena jika dia menyampaikan fakta yang sesungguhnya maka pimpinan akan kecewa, lalu berdampak pada evaluasi kinerja bawahan tersebut, dan pada akhirnya bawahan tersebut akan kehilangan posisi.
Karakter kedua, sangat berlebih-lebihan dalam memberikan penghormatan terhadap atasan. Karakter ini sangat mudah diketahui karena dapat dilihat dari tingkah laku atau perilaku bawahan saat berkomunikasi langsung dengan atasan. “Penjilatan” mereka sangat mudah diketahui karena terlihat melalui bahasa tubuh mereka. Bahasa tubuh mereka antara lain terlalu membungkuk (hampir ruku’) di depan atasan saat berkomunikasi, menciumi tangan atasan, padahal atasan lebih muda usianya, bahan pembicaraannya selalu berputar-putar sekitar memuji-muji atasan (dalam bahasa makassar disebut pakompa-kompai),

Mengapa hal ini bisa terjadi?, salah satu penyebabnya karena kesalahpahaman terhadap makna dan pengertian rendah hati (tawadhu’). Misalnya pujian bawahan yang sangat berlebih-lebihan terhadap atasnnya tadi. Ironisnya lagi karena sang atasan mengangguk-anggukan kepalanya, sementara hal yang dijadikan bahan pujian bahannya tersebut sebenarnya tidak terjadi.

Karakter ketiga, dan ini yang sangat dilarang agama, yaitu suka memfitnah. Fitnah tersebut diarahkan kepada orang yang dianggap ataupun yang dinilai dapat mengancam posisinya. Pada tahap ini, penjilat tidak akan segan-segan melakukan segala macam cara untuk mempertahankan posisinya, termasuk memfitnah pesaingnya.

Dalam bahasa komunikasi politik, fitnah ini dikenal dengan istilah “black campain”, yaitu kegiatan menyebarluaskan isu-isu tidak benar kepada masyarakat pemilih, dengan tujuan isu yang dilemparkan merusak citra seseorang sehingga pemilih tidak memilih orang yang diisukan tersebut pada hari "H" pilkada.

Black campain memberikan pendidikan politik yang sangat tidak baik kepada masyarakat, bahkan bisa melahirkan konflik horisontal di tengah-tengah masyarakat, dan jika itu terjadi maka benarlah pepatah yang mengatakan “Menang jadi arang, kalah jadi abu”. Inilah “Toddopuli” yang salah arah, inilah “Siri’ yang salah tafsir, inilah “Pacce” yang kehilangan makna.
Dalam pandangan Islam, fitnah sangat dilarang karena bukan saja merusak si pelaku (orang yang memfitnah), tapi juga merusak orang yang dijadikan sasaran fitnah. Fitnah pada akhirnya mengarah kepada pembunuhan karakter terhadap orang yang difitnah, bahkan berdampak pada hilangnya peluang orang-orang yang kompeten untuk menduduki jabatan. Karena besarnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh fitnah, sehingga Allah swt, menegaskan bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.

Seorang penjilat sejatinya sedang membohongi dirinya. Dia menipu dirinya sendiri, bahkan menginjak-injak hati nuraninya. Apa yang dilakukan berlawanan dengan lubuk hatinya. Dia rela melakukan apa saja secara berlebihan demi mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang yang dijilatinya.
Lalu bagaimana pandangan Islam tentang pribadi penjilat? Rasulullah saw, bersabda, “ Menjilat bulan termasuk karakteristik moral seorang muslim”.(Kanzul ‘ummal, hadis 29364). Bahkan moral penjilat bukan pribadi muslim sejati, bahkan sebenarnya mental penjilat lebih dekat dengan karakter seorang munafik, dan orang munafik dalam alquran dimasukkan dalam “Innal Munafikina firdalkil aspali minannar”, “sesungguhnya tempat bagi orang munafik adalah keraknya neraka, neraka paling bawah”.

Mengapa Islam melarang perilaku menjilat? karena menjilat adalah salah satu bentuk kehinaan, yaitu menghina dan merendahkan diri sendiri, padahal Islam datang untuk menjunjung tinggi kemuliaan dan kehormatan manusia. Sedangkan penjilat berusaha menghinakan dan merobohkan harkat dan martabat manusia yang dibangun Islam.

Bagaimana pula pandangan Islam tentang orang yang “dijilati”? Jika mencermati kisah di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya Islam juga memberikan peringatan bagi orang yang dijilati. Diingatkan bahwa menerima sanjungan atau pujian yang berlebih-lebihan dapat membuat seseorang kehilangan kendali dan kehilangan sikap mawas diri.
Islam mengajarkan bahwa salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kearifandan kehati-hatian dalam menyikapi pujian sanjungan yang berlebihan. Pemimpin yang ideal tidak serta merta mengangguk-anggukkan kepala, apalagi sampai mengiyakan pujian yang tidak sesuai dengan kenyataan, karena mengiyakan sesuatu yang tidak benar berarti membiarkan kebohongan.

Dalam pandangan Islam, “penjilat” dan yang “dijilati” sama-sama memiliki keburukan, sama-sama memiliki dampak negatif, baik terhadap pribadi pelakunya, maupun terhadap dunia kemasyarakatan, karena itu Islam mengajarkan untuk menjauhi sifat tersebut, serta menghindari segala macam kegiatan yang dapat mengarah kepadanya. “Wallahu A’lam”

Sumber : Das’ad Latif ; Ketua Ikatan Dai Muda profesional Makassar

Monday, June 25, 2007

Melacak Jejak Gerakan Islam Trans-Nasional

Oleh : MUHAMMAD KODIM & FATHURI SR/SYIRAH

Gerakan-gerakan yang berideologi trans-nasional belakangan ini kembali menjadi perbincangan hangat, khususnya di kalangan Islam. Dua organisasi keagamaan besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tampaknya cukup keras dan hati-hati menyikapi semakin merebaknya ideologi tersebut.

Beberapa minggu yang lalu, Pengurus Pusat Muhammadiyah mengeluarkan surat edaran yang diperuntukkan bagi para anggotanya yang juga masuk dalam organisasi trans-nasional, seperti Hizbut Tahrir, Ihwanul Muslimin yang mewujud dalam Partai Keadilan sejahtera, dan lain-lain. Surat itu secara tegas berisi tentang pilihan: Muhammadiyah atau organisasi yang berideologi trans-nasional.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberi statemen cukup keras terhadap persoalan ini. Secara eksplisit dia mengajak masyarakat Indonesia untuk mewaspadai gerakan yang berideologi trans-nasional itu karena dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Istilah trans-nasional sendiri mungkin masih baru terdengar. Namun itu hanyalah nama lain dari istilah Globalized (globalisasi) Islam, Fundamentalisme, Islam Kanan, dan Islam Radikal.

Lalu siapa mereka itu? Dari mana asal usulnya? Bagaimana strateginya? Bentuknya seperti apa? Untuk itu, Syirah mengajak penulis buku Arus Baru Islam Radikal Imdadun Rahmat ngobrol santai seputar gerakan trans-nasional tersebut. Mengacu pada bukunya itu, Imdad mengurai panjang lebar asal usul gerakan Islam radikal di Indonesia, khususnya Hizbut Tahrir yang banyak dia bicarakan. Ia pun mengajak kita mundur sejenak untuk melihat sejarah.

Sekilah mengenai organisasi-organisasi itu

Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan al-Banna (1324—1368 H/ 1906—1949 M) di Mesir tahun 1928. di antara doktrin dalam Ikhwanul Muslimin adalah, pertama, gerakan ikhwan adalah gerakan Rabbaniyyah (ketuhanan). Sebab, asas yang menjadi poros sasarannya ialah mendekatkan manusia kepada Rabb-nya.

Kedua, gerakan ikhwan bersifat alamiyah (Internasional). Sebab, arah gerakan ditujukan kepada semua ummat manusia. Semua manusia pada dasarnya harus bersaudara. Asalnya satu, nenek moyangnya satu dan nasabnya satu. Hanya taqwa yang menentukan seseorang itu lebih dari yang lain. Dari ketaqwaannya akan terefleksi pada kebaikan dan keutamaannya yang utuh dan menyeluruh yang ia berikan kepada orang lain.

Ketiga, gerakan ikhwan bersifat Islami. Sebab, orientasi dan nisbatnya hanya kepada Islam.

Tahun 1948 organisasi ini dibubarkan pemerintah Mesir atas tuduhan telah melakukan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Mesir saat itu dan merencanakan konspirasi untuk menggulingkan Raja Faruq.

Meski sudah dibubarkan, tapi pemikirannya terus berjalan. Pola penyebaran pemikirannya itu lewat buku, kuliah, mahasiswa, dan lewat jaringan-jaringan politik.

Dalam prakteknya, pola yang diterapkan oleh Ihwanul Muslimin tidak tersentral dalam satu markas dan satu komando, tidak seperti pola Hizbut Tahrir. Kenapa tidak terpusat? Karena Ihwanul Muslimin itu tidak memimpikan khilafah islamyiah internasional.

Oleh sebab itu, masing-masing daerah punya kewenangan sendiri untuk mengembangkan Ihwanul Muslimin sesuai dengan kultur dan politik negara di mana ia berkembang. Dan bisa bernama apa pun. Kalau di Indonesia bisa bernama Partai Keadilan Sejahtera, di Turki bisa memakai Partai kesejahteraan dan Keadilan, di Malaysia bisa pakai PAS.

Meski namanya berbeda, tapi ideologi, manhaj dan pola-polanya itu memiliki kesamaan antara Ihwanul Muslimin di daerah satu dengan daerah yang lainnya.

Kemudian, dalam Ikhwanul Muslimin itu lahir Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia dan dilatih secara militer. Dalam Tandhimul Jihad ini terdapat seorang tokoh bernama Taqiuddin Nabhani. Namun antara Hasan Al-Banna dan Taqiuddin ini kemudian terjadi perbedaan.

Hasan Al-Banna berprinsip kita terus melakukan perjuangan dan memperbaiki sumber daya manusia. Sedang Taqiuddin bersikukuh agar terus melakukan perjuangan bersenjata, militer. Taqiuddin berpendapat kekalahan Arab atau Islam karena dijajah oleh sistem politik demokrasi dan nasionalisme.

Sedang Hasan Al-Banna berpendapat sebaliknya. Menurut dia, tidak masalah umat Islam menerima sistem demokrasi dan nasionalisme, yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara.

Pada 1949 Hasan Al-Banna meninggal karena ditembak agen pemerintah dan dianggap syahid. Sedang Taqiuddin terus berkampanye di kelompoknya di Syria, Libanon dan Yordania. Lalu berdirilah Hizbut Tahrir. Artinya, partai pembebasan. Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel. Konsep utamanya adalah khilafah Islamiyah.

Kesamaan Orientasi dan Perbedaan Strategi

Semenjak tahun 1979, pasca revolusi Iran, muncul ekspektasi dari dunia pinggir Islam untuk mencari inspirasi dari Timur Tengah. Kemudian lahirlah dengan apa yang disebut sebagai globalized islam; Islam yang terglobalisasi.

Islam yang terglobalisasi itu pada prakteknya berbeda-beda, tidak sama. Mulai dari manhaj atau metodenya, dasar pemikirannya, sampai akar dan silsilah pemikirannya pun berbeda. Meskipun lantai pijakannya berbeda, namun ada hal yang mempersatukan dari gerakan globalized Islam atau yang disebut dengan trans-nasional itu. Mereka mempunyai isu yang sama.

Pertama, purifikasi Islam. Adalah upaya pensucian dari unsur-unsur yang datang dari Barat maupun lokal. Lokal dalam konteks ini adalah tempat dimana gerakan tersebut ditanam. Dengan demikian, baik Barat maupun kultur lokal itu dinegasikan. Jadi Islam yang sudah melakukan persenyawaan dengan demokrasi, ide-ide tentang nation-state (negara bangsa), ekonomi kapital, ekonomi sosialis itu disucikan kembali. Singkatnya, mereka membuat jalan untuk kembali ke keaslian Islam.

Kedua, persamaan bahwa gerakan trans-nasional itu semuanya berorientasi pada munculnya model negara seperti yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw. Jadi mereka menginginkan ada sebuah sistem politik yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan ada dalam al-Quran dan hadis.

Dua isu di atas inilah yang menjadi pemersatu sekaligus penanda dari gerakan ini. Namun dalam praksis implementasinya, masing-masing organisasi ini baik Hizbut Tahrir, Ihwanul Muslimin, Gerakan Salafi, maupun Al Qaeda, mempunyai cara dan strategi berbeda-beda dalam perjuangan mereka untuk mencapai ultimate goal-nya itu.

Pola gerakan mereka pun diperagakan secara berbeda pula. Ada yang menggunakan cara-cara kekerasan, ada pula yang memilih jalan damai saja.

Seperti Ihwanul Muslimin --yang diperankan oleh PKS-- yang mencoba berdamai dengan situasi lokal. Dengan model demikian, Ihwanul Muslimin sebenarnya ingin mendirikan negara Islam yang berbasis nation-state, seperti konsepnya Abul A’la Al-Maududi (lahir 1903).

Al-Maududi adalah ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal, Al-Khilâfah wa al-Mulk (Khilafah dan Kekuasaan), yang terbit di Kuwait tahun 1978. Dari sini bisa dilihat jelas bahwa konsep Ihwanul Muslimin itu Teo-demokrasi.

Sementara itu, Hizbut Tahrir berbeda sama sekali dengan konsepnya al-Maudhudi. Dia menginginkan sebuah negara trans-nasional, sebuah negara Pan Islamisme internasional dalam bentuk khilafah, yang sistem politiknya mengacu pada al-Quran dan hadis. Bahkan lebih jauh lagi, mereka sudah mempunyai semacam struktur kenegaraan sendiri; jadi ada Khalifah, Ahlul Hali wal Aqdi (Dewan Petimbangan) panglima perang, dan lengkap juga dengan beberapa kementerian.

Model demikian tentu berbeda pula dengan apa yang diperagakan oleh gerakan Salafi. Karena gerakan Salafi pada dasarnya hanya gerakan dakwah kultural.

Saat ini, ada gerakan trans-nasional yang menonjol, trans-nasional dalam faksi paling radikal yang diinspirasi oleh Al Qaeda. Meskipun tidak ada hubungan organisasi secara langsung, tapi pengaruh Al Qaeda ini begitu luar biasa bagi kelompok-kelompok kecil yang menggunakan teror sebagai sarana perjuangan.

Gerakan Al Qaeda saat ini berkembang di Asia Tenggara, Afrika –khususnya sekarang yang bergolak di Somalia maupun di Nigeria--, Asia Tengah, kemudian negara-negara bekas jajahan Uni Soviet, dan sekarang yang ikut memperkeruh di Iran.[]


Sunday, June 24, 2007

Merobohkan Teologi Langit Cetak E-mail

Oleh: MAKSUN

Dalam karya magnum opus-nya, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah, Hassan Hanafi, menginstruksikan agar kita segera mengubah teologi langit menjadi teologi bumi. ’’Bumi sebagai ruang hunian umat manusia harus selalu menjadi pijakan kita dalam beragama. Sebab, Allah bukan hanya Raja di langit, melainkan di bumi. Allah bukan hanya Tuhan para malaikat yang ada di sana, melainkan Tuhan umat manusia yang ada di sini, di bumi ini”, demikian ujar pemikir muslim kontemporer itu. Gagasan mengenai teologi bumi yang diintrodusir Hasan Hanafi itu, tampaknya, cukup relevan untuk dikedepankan.

Sebab, di tengah munculnya beragam problem kemanusiaan universal dewasa ini, yakni korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, keterbelakangan, dan semacamnya, ternyata agama mengalami semacam disfungsi dan mengidap krisis relevansi doktrinal. Artinya, agama tidak lagi mampu berperan aktif dan diskursif dalam merespons problem kemanusiaan, tetapi hanya menjadi atribut kesalehan individual yang melangit, dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan yang membumi untuk mendorong perubahan dan peningkatan kualitas empiris objektif umat manusia.

Bahkan, agama acap kali dipolitisasi sekadar menjadi corong terselubung bagi penguasa untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Tidaklah berlebihan jika kemudian Malachi Martin, dalam penelitiannya selama bertahun-tahun terhadap tiga agama besar (Yahudi, Kristen, Islam), sebagaimana bisa dibaca dalam bukunya The Encounter, menyimpulkan bahwa agama kini telah memasuki daerah yang sangat kering baik sebagai personal concern maupun sebagai communal community.

’’Agama mengalami krisis dan era keberhasilan agama sudah berakhir,” demikian ujar Guru Besar Pontifical Biblical Institute, Roma, itu. Dalam konteks ini, saya mengandaikan sebuah kerangka teologis baru, yakni merobohkan dan mengonversikan teologi langit menjadi teologi bumi. Sejenis teologi yang memberikan perhatian lebih besar terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan.

Sebuah teologi yang emansipatoris yang memerdekakan rakyat banyak dari belenggu-belenggu struktural. Sebuah teologi yang diharapkan bisa menjelaskan sekaligus mengadili kondisi-kondisi aktual bumi yang telah melahirkan struktur-struktur dehumanisasi, disorientasi, alienasi, dan persoalan HAM lainnya.

Teologi Bumi
Teologi bumi, tentu saja, tidak sebagaimana teologi yang berkembang dewasa ini yang cenderung ahistoris dan asosiologis, dalam arti terputus dari pengalaman historis masyarakat kebanyakan. Karena itu, subjek teologi bumi bukan lagi isu-isu yang sangat formalistik dan melangit, yang bertumpu pada seputar pertanyaan: apa dan siapakah Tuhan itu, bagaimana bentuk-bentuk artikulasi Tuhan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia, dan bagaimana pula manusia harus berperilaku di hadapan-Nya?

Isu-isu di atas merupakan pemikiran teologis tradisional yang terlalu teosentris dan melangit sehingga melupakan kondisi aktual bumi dan aspek-aspek antropologis dalam penjelasannya. Dalam teologi Islam, misalnya, teologi Wahabisme yang fundamentalistik tanpa disadari telah melegitimasi, membiarkan, bahkan melupakan formasi sosial dan struktur-struktur konkret yang eksploitatif.

Inilah yang menyebabkan mengapa Islam terkesan antisosial dan eksklusif. Berbeda dengan jenis dan rumusan teologi tradisional yang cenderung ngawang-ngawang alias melangit itu, teologi bumi sebagai teologi alternatif terhadap mainstream pemikiran teologis dewasa ini adalah sebuah upaya untuk membumikan (down to earth) persepsi ketuhanan dan memasukkannya ke dalam struktur-struktur kelembagaan masyarakat serta berbagai pranata social politik-ekonomis yang dialami masyarakat.

Dengan meminjam istilah ’’praksis’’ ala Juergen Habermas, teologi bumi bisa dimaknai sebagai teologi praksis, yakni aktualisasi nilai-nilai inti teologi ke dalam kenyataan konkret di masyarakat. Dengan demikian, teologi bumi mengajak kita untuk membangun model berteologi dan pemahaman atas teologi yang sudah semestinya digeser ke arah yang lebih praksis. Pemahaman dimaksud adalah pemahaman yang berbasiskan pembebasan dengan kelompok tertindas sebagai fokus perhatiannya.

Paradigma ini meniscayakan agar kitab suci tidak diberlakukan sebagai kisi-kisi yang memadati sejumlah kurikulum sekolah dan proposal sebuah penelitian saja, tapi harus disikapi sebagai teks yang akan memberikan sinaran etik-moral bagi kerja-kerja perubahan di masyarakat. Dengan demikian, teologi bukan saja berisi ajaran suci mengenai matra ketuhanan dan bernuansa akhirat, juga berperan untuk menafsirkan realitas sosial secara kritis dan transformatif.

Dalam perspektif Islam, misalnya, jelas kiranya bahwa Alquran datang tidak dengan semangat mengabsahkan realitas, tetapi untuk merombaknya. Ali Engineer, pemikir muslim dari India, menyatakan bahwa Islam yang berlandaskan Alquran adalah sejenis Islam yang memiliki concern pada upaya-upaya penegakan keadilan sosial dengan aksentuasi utama untuk membebaskan kelompok-kelompok yang tertindas dan marjinal, baik di ranah politik, sosial, maupun ekonomi.

Farid Esack, aktivis muslim asal Afrika Selatan, dalam bukunya Qur`an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Againts Oppression, menyatakan bahwa Islam datang untuk mereformasi struktur masyarakat Arab yang timpang, hegemonik, dan menindas. Walhasil, kini bukan saatnya lagi mempertahankan performance teologi yang melangit, serba-Tuhan, dan enggan meluangkan waktunya untuk sekadar menengok dan menyapa manusia yang tertindas, miskin, dan tak berdaya.

Sudah saatnya teologi langit itu dirobohkan dan digantikan dengan teologi bumi yang menghampiri seluruh umat manusia dengan belaian kasih sayang sekaligus mampu melahirkan term-term teologis yang bisa menjelaskan kondisi aktual bumi dan aneka problem yang dihadapi manusia.

Patut dicatat, merobohkan teologi langit tidak berarti menghilangkan sisi sakralitas, mitos, dan aspek transendensi agama karena semua itu merupakan entitas yang tak terpisahkan dari agama, melainkan mencoba mengikis nalar teologis yang selama ini cenderung melangit, teosentris, dan ahistoris, menuju nalar teologis yang benar-benar membumi, antroposentris, dan historis. Berteologi semacam inilah yang kiranya amat relevan dan signifikan untuk perjuangan merambatkan iman dan menegakkan keadilan sebagai syarat yang tak bisa ditunda-tunda lagi. Wallahu A’lam… (*)

MAKSUN
Dosen Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo, Semarang

Islam, (Kartu Atau Moral) Politik?

WASPADA Online

Oleh M. Lukman Hakim Hasibuan, MA

Adalah satu fakta, hampir setiap kali adanya pemilihan untuk memperebutkan kekuasaan atau jabatan politik di negara ini, issue agama ikut dilibatkan guna memenuhi 'syahwat politik'. Fenomena biasa yang kita lihat, perang ayat selalu terjadi dalam ajang kampanye. Bahkan, jauh sebelum pemilihan umum diadakan, baik pada tingkat pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau pemilihan presiden (Pilpres), genderang perang ayat sudah terasa.

Tak heran kita sering menemukan simbol dan atribut agama dikedepankan guna merebut hati dan simpati menjelang pemilihan umum, ditambah lagi sering mendadak bermunculan selebaran-selebaran yang terkadang menghantam kualitas beragama dari masing-masing calon. Tidak penting benar atau salah, yang jelas ambisi politik terwujud. Rentannya politik yang tidak sehat ini dikarenakan politik dapat dijadikan sebagai 'surga' untuk memiliki kekayaan, kekuasaan dan kehormatan secara cepat di tengah-tengah masyarakat. Banyaknya fasilitas yang mapan diberikan kepada elite politik yang berkuasa banyak menggelapkan mata elemen bangsa kita. Untuk itulah banyak orang berlomba-lomba untuk terjun di dunia politik.

Umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini justru yang paling sering dimanfaatkan. Tampaknya para elite lingkaran politik menyadari simpati umat Islam mutlak dibutuhkan sebagai kantung suara politik. Tidak aneh, menjelang pemilihan umum biasanya pejabat yang jauh dari umat spontan merapat dengan mengikutsertakan simbol dan atribut agama. Namun sayangnya -bukan tidak sedikit- setelah ambisi politik tercapai, umat Islam dengan segala kepentingannya sering diterlantarkan atau justru dikorbankan. Ibarat pendorong mobil mogok, setelah mobilnya jalan melaju yang mendorong malah ditinggalkan.

Tipikal manusia yang menjual agama demi ambisi, berangkali bisa dianalogikan kepada cara politik dengan berjubah agama guna mencari kepentingan sesaat banyak disindir Tuhan dalam Al-Qur'an sebagai orang yang membeli ayat Tuhan dengan harga yang sangat murah (tsaman qaliila). Dalam kitab fathurrahman terdapat 10 ayat Al-Qur'an yang menyinggung masalah ini. yaitu QS:2: 41,79,174, QS:5: 47,109, QS:3: 77,187,199, QS:9:10 dan QS: 16:95. Sudah mentradisi tampaknya, dunia politik melihat pembentukan budaya politik bangsa kita masih berkutat pada politik primordial. Umat gampang sensitif dengan simbol-simbol agama. Sebagai contoh, penyanyi Iwan Fals pernah mengungkapkan rasa keheranannya, ketika ia turun dari panggung sehabis tampil menyanyikan lagu-lagu rohani Islam, umat berebutan menyalami sambil mencium tangannya, persis seperti santri 'sungkeman' terhadap kyai dalam tradisi pesantren. Padahal katanya, dalam show-show biasanya fenomena ini tidak pernah terjadi, malah justru sebaliknya rentan dengan tindakan anarkis jika fans berada pada histeria yang tinggi. Mengapa ini terjadi? pasalnya pada saat tampil Iwan Fals menggunakan jubah ala sang kyai. Kondisi ini sering membawa Islam terjebak permainan 'kartu politik' ketimbang sebagai referensi moral politik yang obyektif. Artinya, ketika dalam keadaan yang dibutuhkan, umat Islam ibarat 'kartu AS' yang digunakan sebagai aji pamungkas menghadapi lawan.

Islam, Moral Politik
Dalam ibadah Islam dikenal dua sistem hubungan yaitu hablun min Allah (hubungan baik kepada Allah) dan hablun min annas (hubungan baik sesama manusia). Kendatipun demikian bukan berarti keduanya terpisah sebagaimana konsep dunia sekuler sekarang. Sebagai ilustrasi, ketika perintah Allah mengerjakan zakat dilakukan seorang Muslim dalam rangka hubungan baiknya kepada Tuhan, pada saat itulah keseimbangan dan pemerataan ekonomi dirasakan dalam konteks sosial kemanusiaan, sehingga secara tidak langsung kewajiban syariat tadi telah menciptakan kedamaian dan kebaikan di muka bumi.

Politik juga merupakan bagian yang diatur dalam Islam. Walaupun ia terkesan hanya sebatas hubungan pada sesama manusia tetapi Islam telah menggariskan bahwa politik harus pada komitmen moral yang bervisi pada kebaikan dan keadilan yang bertujuan menegakkan nilai-nilai ketuhanan di muka bumi. Dalam rangka menciptakan moral politik yang spiritualis tidak terlepas dari beberapa hal:

Pertama, politik pada hakikatnya merupakan naluri manusia (dalam istilah Aristoteles zoon politicon) yang bersumber dari fitrahnya, hakikatnya dalam berpolitik, hati nurani tidak boleh diabaikan. Politik yang dilandasi hati nurani lebih tepatnya mampu menghilangkan 'syahwat politik' yang ambisius dalam mencapai tujuan. Sebab banyak saat ini para politikus yang melakukan 'syirik politik' yang pada mulanya berkomitmen pada kepentingan rakyat akhirnya menduakan hak-hak rakyat untuk kepentingan sendiri.
Kedua, berpolitik seharusnya dipayungi nilai-nilai spritualitas (keimanan dan kesalehan). Di sinilah perbedaan politik sekuler yang berasumsi tidak ada lawan atau kawan yang abadi melainkan yang ada adalah kepentingan abadi. Kepentingan di sini sudah tentu bisa sifatnya pribadi dan kelompok sehingga politik sekuler cenderung buas dan rakus tanpa segan menghantam lawan-lawan politik. Target yang ingin diraih adalah asal tujuan dapat dicapai apapun dapat dilakukan walaupun harus mengorbankan kepentingan orang banyak (rakyat). Beda halnya dengan politik Islam sebagai moral politik dasarnya adalah kemashlahatan umat manusia dalam bingkai amar ma'ruf nahi munkar.
Ketiga, politik didasari akhlak mulia yang bertujuan memanusiakan manusia dalam rangka menciptakan peradaban yang baik. Akhlak dalam konsep Al-Ghazali sebagaimana tertuang dalam karyanya Ihya' ulumuddin, adalah yang timbul secara spontanitas dari dalam diri tanpa dibuat-buat. Jika berpolitik yang terkesan dipaksakan dan dibuat-buat pada akhirnya nanti akan memperlihatkan hakikat sebenarnya. Ia akan menjadi aib dalam sepanjang hidup kita. Contoh seperti ini banyak diperlihatkan sejarah sebagai ibrah bagi kita. Lihatlah Hitler dengan konsep nazinya, Mussolini dengan konsep fasisnya yang diingat generasi berikutnya sebagai bagian dari potret kelam sejarah manusia pada masanya hingga kini. Islam sebagai moral politik menjadikan perilaku politik bersumber dari nilai-nilai universal Islam untuk kemanusiaan dan bukan sekadar kepentingan umat Islam ansich. Nilai-nilai universalisme Islam tanpa terbatas ruang dan waktu yang mampu mencakup dan memayungi semua golongan bangsa ini. Kendatipun jika kemenangan politik dilahirkan dari kelompok Islam, bukanlah itu berarti 'kemenangan Islam'. Sebab kalau ini yang dirasakan, akan melahirkan sentimen agama dengan mengabaikan kepentingan kelompok di luar Islam.

Penutup
Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini haruslah lebih berperan sebagai motivator moral politik bangsa kita. Idealisme ini sudah tentu terpulang kepada kita selaku umat Islam, sejauh mana umat Islam mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam hidupnya. Sebab kita perlu menyadari bahwa Islam bukan sebatas pada simbolis saja tetapi juga perlu melibatkan aspek substansi. Kelemahan kita selaku umat mayoritas di negeri ini dikarenakan kita lebih cenderung melihat pada nilai-nilai simbolis dan atribut Islam sebagai ukuran entitas kemenangan politik, sehingga pola pemikiran kita seperti ini sering menjebak umat dalam permainan kartu politik dan bukan moral politik. Wallahu 'alam bi Asshawab.

(Penulis adalah KA. KUA Haranggaol Horisan Kab. Simalungun). (wns)