Oleh : Abd Moqsith Ghazali*
Telah diakui bahwa setiap agama selalu menawarkan keselamatan dan menjanjikan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Namun, pengakuan yang bersifat normatif itu sering kali tidak didukung oleh kebenaran faktual dan bukti-bukti empiris. Sejarah agama-agama mutakhir justru menyuguhkan suatu realitas yang berbeda. Agama dengan tujuan adiluhung yang diusungnya kerap di tangan para penganutnya telah terperangkap pada sejumlah kegamangan di dalam menyelesaikan pelbagai masalah kemanusiaan.
Tengoklah, problem kemanusian yang terus merajam umat manusia dari tepi ke tepi kadang terbiarkan tanpa kehadiran tawaran solutif dari kaum agamawan. Problem-problem kemanusiaan yang bersifat lintas batas itu sering alpa dari cita keberagamaan kita. Sementara perbincangan dan orientasi keberagamaan yang berlangsung masih bertendensi pada model keberagamaan yang melangit. Agama telah dimaknakan sebagai institusi pelayanan terhadap Tuhan (teosentris) yang dijauhkan dari orientasi pelayanan terhadap manusia (antropo-sentris). Agenda utama dari pemaknaan dan pigmen keberagamaan seperti itu adalah memperbanyak jumlah rumah ibadah sembari merayakan ritualisme sebagai persembahan buat Tuhan semata.
Betapa gemuruh pengajian dan pengkajian lebih banyak berisi pembelaan terhadap Tuhan sebagai bukti kesetiaan hanya kepada-Nya dengan pengabaian yang nyaris sempurna terhadap pembelaan bagi kaum tertindas. Ruang perdebatan gaduh dengan upaya pembuktian kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Inilah yang menjadi pertanyaan dan kegusaran sejumlah pemikir muslim progresif dalam membaca tren sejarah pemikiran keagamaan. Mengapa persoalan kemanusiaan cenderung sepi dari haru biru perbincangan teologis? Energi dikerahkan sedemikian rupa untuk membentengi singgasana Tuhan agar tidak terkotori oleh tangan-tangan manusia yang berdosa. Padahal, kebesaran Tuhan tidak akan surut sedikit pun dengan dosa-dosa yang diperbuat manusia.
Sikap menjunjung tinggi agama ke atas langit hanya akan menjauhkan agama dari realitas kemanusiaan dengan segala problematikanya. Sekarang, tiba saatnya bagi kita untuk mengonversikan teologi ketuhanan menjadi teologi kemanusiaan, sejenis teologi yang memberikan perhatian lebih besar terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Dengan bahasa yang berbeda, Hassan Hanafi dalam karya monumentalnya Min al-Aqidah ila al-Tsawrah menginstruksikan agar kita segera mengubah teologi langit menjadi teologi bumi. Bumi sebagai ruang hunian umat manusia harus selalu menjadi pijakan kita dalam beragama. Sebab, Allah bukan hanya raja di langit melainkan juga di bumi. Allah bukan hanya Tuhan para malaikat yang ada di sana, melainkan juga Tuhan umat manusia yang ada di sini, di bumi ini. Orientasi praksis
Gagasan mengenai teologi bumi di atas akan lebih mengena sekiranya ditemalikan dengan --meminjam bahasa yang lazim dipakai seorang filsuf Jerman, Juergen Habermas-- 'praksis'. Beragama secara praksis berarti aktualisasi nilai-nilai inti agama ke dalam kenyataan konkret di masyarakat. Prinsip pembebasan, keadilan, dan persamaan derajat, merupakan deretan nilai-nilai etis-moral yang mendasari kelahiran agama-agama besar dunia.
Orientasi keberagamaan dan model pemahaman atas agama sudah semestinya digeser ke arah yang lebih praksis itu. Pemahaman dimaksud adalah pemahaman yang berbasiskan pembebasan dengan kelompok tertindas sebagai fokus perhatiannya. Paradigma ini meniscayakan agar kitab suci tidak diberlakukan sebagai kisi-kisi yang memadati sejumlah kurikulum sekolah dan proposal sebuah penelitian. Melainkan, disikapi sebagai teks yang akan memberikan sinaran etik-moral bagi kerja perubahan di masyarakat. Dengan demikian, agama bukan saja berisi ajaran suci mengenai matra ketuhanan dan pelbagai dimensi ukhrawiyah, melainkan juga berperan untuk menafsirkan realitas sosial secara kritis dan transformatif.
Secara perspektif Islam, terang kiranya bahwa Alquran datang tidak dengan semangat mengabsahkan realitas, tetapi untuk mengubahnya. Asghar Ali Engineer, pemikir muslim dari India, mengatakan bahwa Islam yang berlandaskan Alquran adalah sejenis Islam yang memiliki concern pada upaya-upaya penegakan keadilan sosial dengan aksentuasi utama untuk membebaskan kelompok-kelompok yang tertindas, baik di ranah politik, sosial, maupun ekonomi. Di mata Asghar Ali, Islam tidak hanya berupa karnaval ibadah personal yang mahdhah, namun juga berupa ekspresi ibadah sosial yang ghair mahdhah. Dalam tarikan napas yang sama, Farid Esack, aktivis muslim dari Afrika Selatan, dalam bukunya Qur`an, Liberation, and Pluralism menyatakan bahwa Islam datang untuk mereformasi struktur masyarakat Arab yang timpang, hegemonik, dan menindas. Begitu juga dalam perspektif gerejawi. Setelah berefleksi dan menjelajah dalam kurun waktu amat panjang, sejumlah teolog Kristen progresif dari Amerika Latin tiba pada suatu keyakinan baru bahwa beragama atau berteologi bukan sekadar upaya perumusan iman belaka, melainkan merupakan praksis iman yang direfleksikan secara kritis dalam terang sabda Allah. Gustavo Gutierrez dalam A Theology of Liberation menyatakan, teologi adalah refleksi kritis atas praksis untuk transformasi dunia. Secara lebih konkret, teolog Katolik Indonesia, JB Banawiratma, telah menyusun sebuah buku yang bertitel 10 Agenda Pastoral Transformatif. Karya ini memuat agenda dan arah pastoral dalam konteks menjalani hidup menggereja yang berorientasi praksis.
Demikianlah. Maka, tentu saja beragama secara lebih praksis menuntut kesungguhan dan keseriusan, sehingga ideal-ideal agama yang bungkam dapat menjadi kenyataan yang hidup dan bersuara. Di sini agama bukan hanya bermuatan gugusan simbol-simbol ritus yang beku, melainkan konstruksi perihal kerja perubahan dan pembebasan masyarakat. Terutama mereka yang tertindas secara politik, sosial, budaya, apalagi ekonomi. Agama tidak boleh lagi berfungsi sebagai alat pemberi legitimasi pada struktur masyarakat yang tidak adil. Akhirnya, beragama secara praksis bukanlah pekerjaan remeh-temeh. Ia memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dengan melipatgandakan kerja perubahan dalam terang sinar agama. Beragama secara praksis berarti pendaratan ruh agama pada 'pangkalan-pangkalan' masyarakat hingga level bawah. Pendaratan itu bukan saja mewujud dalam bentuknya yang trivial dan banal, melainkan juga terejawantah dalam bentuk yang lebih substantif berupa terlepasnya umat dari belenggu represi, hegemoni, serta derita ketertindasan. Agama seharusnya ditampilkan dalam sosoknya yang humanis, pluralis, progresif, dan transformatif. Dalam kisahnya yang awal, agama selalu hadir dengan makna-makna praksis tersebut.**
*Penulis adalah peserta Program Doktor Univeritas Islam Negeri Jakarta
(Media Indonesia, 6 Juni 2003)
No comments:
Post a Comment