Oleh: Abd A’la
Kecemasan semacam itu dalam konteks Indonesia tidak dapat diartikan sebagai penolakan atas kehadiran agama di ruang publik. Pada umumnya, mereka yang cemas dan mengkritisi persoalan itu lebih mendasarkan pada penolakan agama formalistik yang mengejawantah dalam bentuk otoritarianisme, yang membelenggu sebagian (besar) tokoh agama dengan karakteristik kentalnya klaim kebenaran sepihak.
Agama formalistik semacam itu cenderung sangat kaku, menolak komunikasi dialogis bukan hanya terhadap penganut agama lain, tapi juga terhadap penganut seagama yang berbeda aliran.
Kenyataan yang sering terjadi, jika agama semacam itu diusung ke wilayah publik, ujung-ujungnya adalah pemaksaan atas nama Tuhan -dari yang halus hingga kasar- terhadap publik untuk menaati segala aturan-Nya. Setiap orang atau kelompok yang menolak dianggap melawan agama sehingga "atas nama agama" sah untuk didiskreditkan dalam beragam bentuknya.
Pada sisi itu, beragam persoalan muncul ke ruang publik, dari konflik yang tidak terselesaikan hingga pertentangan yang bernuansa kekerasan. Dalam kondisi ini, bukan mustahil bangsa ini akan menuju kehancuran akibat berkembangnya keberagamaan yang tidak kondusif.
Pelajaran bagi Indonesia
Hubungan agama formal dengan negara memang sering menyulut persoalan krusial. Dalam suatu bangsa yang masyarakatnya relatif homogen dalam sisi agama pun, persoalan rumit seputar itu tetap saja mengedepan. Untuk ini, Pakistan dalam perspektif sejarah menjadi salah satu contoh konkret yang sama sekali tidak dapat diabaikan.
Kendati hampir seluruh elemen bangsa negara itu pada saat berdirinya sepakat menjadikan Islam sebagai dasar negara, tapi masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tentang Islam dengan aspirasi masing-masing yang berbeda pula. Pandangan mereka tentang negara Islam Pakistan dipengaruhi latar belakang budaya dan etnis mereka yang sangat beragam dan berbeda antara satu dan yang lain.
Selama dua dekade sejak kelahirannya, Pakistan disarati dengan pertentangan antar berbagai kelompok yang tak kunjung padam. Pengesahan konstitusinya memakan waktu sekitar sembilan tahun.
Bahkan, pemisahan Pakistan menjadi dua tetap tidak dapat menyelesaikan persoalan secara tuntas. Selama itu pula, kekerasan terus mengiringi pertentangan yang terjadi.
Indonesia perlu belajar dari kasus semacam Pakistan. Sejatinya, pada awal berdirinya republik ini, para pendiri telah melakukan terobosan kreatif, enlightenment, yang berjangkauan jauh ke depan. Ruang dialog yang terbuka lebar saat itu mengantarkan mereka untuk meletakkan negara di atas dasar yang sangat kondusif bagi pluralitas kehidupan dan sekaligus pengembangan nilai-nilai asasi agama.
Ironisnya, kita termasuk bangsa yang pelupa (atau berpura-pura lupa) nyaris dalam segala hal. Kita lupa apa yang telah kita janjikan. Kita secara retorik berjanji akan memperjuangkan kepentingan bangsa dan masyarakat, tapi tak lama kemudian kita hanya sibuk dengan urusan kita yang sempit, kepentingan kelompok dan sejenisnya.
Tiap tahun memperingati hari kemerdekaan, tapi kita melupakan jasa-jasa para pendahulu serta melupakan tujuan mereka berjuang mengorbankan jiwa raga. Kita juga berpura-pura lupa tentang kemajemukan bangsa ini.
Akibatnya, dari kelompok agama yang mayoritas ada yang memaksakan kehendaknya, dan dari yang minoritas ada yang licik, maunya menggunting dalam lipatan. Mereka lupa signifikansi solidaritas sosial untuk membangun Indonesia sejahtera.
Civil Religion
Kekhawatiran terkoyak-koyaknya bangsa sama sekali bukan hal mengada-ada. Fenomena yang berkembang memperlihatkan secara telanjang kemungkinan hal itu. Jika kita mau jujur, sangat mungkin bahwa salah satu faktor utamanya adalah keberagamaan (sekali lagi bukan agama) formalistik kaku yang mengabaikan nilai-nilai moral agama.
Jika kita masih punya nurani, memiliki komitmen untuk kelangsungan hidup bangsa, serta tanggung jawab teologis atas kehidupan, tidak ada jalan lain kecuali kita mengembangkan keberagamaan menjadi civil religion.
Memodifikasi secara kritis konsep Bellah (Beyond Belief, 1970), civil religion itu merupakan pola keberagamaan yang harus mampu menanamkan keimanan kukuh bagi para penganutnya sesuai dengan agama yang dianut, namun pada saat yang sama dapat mengantarkan mereka kepada sense of crisis terhadap kehidupan konkret.
Dengan sikap itu, mereka mengaktualisasikannya dalam bentuk pengembangan moral universal yang disapih dari simbol-simbol agama tanpa makna serta dapat diterima di ranah publik melalui komunikasi kritis dan suasana dialogis, penuh kejujuran dan keterbukaan.
Pengembangan civil religion meniscayakan eliminasi, minimal pengurangan semaksimal mungkin -meminjam tawaran El Fadl (Speaking in God’s Name, 2003)- terhadap otoritarianisme, dan pada saat yang sama pengembangan keotoritatifan pemahaman agama.
Yang pertama cenderung menyamakan kehendak Yang Mutlak dengan kehendak sendiri serta meminggirkan makna dan otonomi teks-teks suci (ajaran agama), yang terakhir lebih mengedepankan upaya pemahaman dan eksplorasi ide-ide Tuhan Yang Mutlak tanpa bermaksud menyamakan diri sendiri dengan Tuhan. Pengembangan pemahaman agama yang otoritatif ini menuntut penganut agama bersikap honesty, diligence, comprehensiveness, reasonableness, dan self-restraint.
Melalui sikap itu, penganut agama dituntut tanpa henti memperluas wawasan dan berusaha memahami persoalan, realitas, dan fenomena secara utuh dari berbagai dimensinya. Mereka juga mengakui secara jujur keterbatasan diri sehingga memunculkan keberagamaan yang rendah hati dan mengabdi kepada kepentingan manusia.
Dengan demikian, kontestasi simbol-simbol agama diminimalisasi dan politisasi nama Tuhan dapat dihindari. Justru yang berkembang adalah kerja sama di antara para penganut agama untuk penegakan keadilan, solidaritas, dan kesejahteraan, serta perjuangan melawan degradasi moral sosial, dari korupsi hingga kepemilikan kekuasaan.
Dr Abd A’la, staf pengajar dan asisten direktur bidang akademik Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
No comments:
Post a Comment