Oleh Nur Syam*
Dalam novel 49 Hari karya Amrita Pritam, sebagaimana diungkap Hairus Salim (2004), digambarkan berikut: “Pagi masih tampak begitu gelap. Kadir duduk tercenung di depan sahabatnya, Sanjay, yang terbaring lemas. Sudah beberapa hari ini tubuh Sanjay demam. Wajahnya pucat dan mulutnya terus meracau dan mengigau. Tak ada jalan lain, pikir Kadir, Sanjay harus dibawa ke rumah sakit. Tapi, apa lacur, dokter di rumah sakit itu tidak bisa menerima Sanjay. Jangan kaget, masalahnya adalah Karim Kadir seorang muslim dan Sanjay pemeluk Hindu. “Hukum” mengharuskan orang yang menandatangani izin masuk seorang pasien ke rumah sakit adalah kerabatnya yang seagama. Jantung Karim berdegup. Garis di keningnya menggali alur pikiran yang lebih dalam. “Hukum macam apa itu yang tidak membangun hubungan dua sahabat?”
Narasi itu mungkin terkesan klise. Tetapi sesungguhnya, ada relasi antara agama dan humanitas, yang dapat digambarkan sebagai hubungan yang lebih mengedepankan urusan teologis ketimbang hubungan kemanusiaan. Cerita tersebut bisa saja terjadi di Indonesia jika tidak terdapat harmoni di dalam kehidupan masyarakatnya. Di wilayah-wilayah yang sedang terjadi konflik sosial bernuansa agama, cerita itu bisa jadi memperoleh pembenaran.
Beragama dalam Keragaman
Di dalam teks-teks agama Semitis, manusia yang sekarang menghuni dunia ini adalah keturunan Adam. Dalam rangkaian sejarah yang panjang, terbentuklah beretnis-etnis. Menurut George Cuvier, ada tiga ras, yaitu Ras Kaukasoid menghuni daratan Eropa dan kemudian berimigrasi ke daratan Australia dan Amerika Utara, Ras Mongoloid menghuni daratan Asia, serta Ras Negroid menghuni daratan Afrika.
Agama Semitis memang berawal di Timur Tengah. Karena faktor kesejarahan, agama-agama itu lalu berkembang ke wilayah lain. Secara geografis, agama Yahudi tetap berada di wilayah semula. Agama Kristiani terdorong ke arah utara, ke Amerika, juga Australia dan Afrika, sedangkan Islam ke arah Asia Selatan, Tenggara, Tengah, dan Afrika Utara.
Tentu saja ada perkembangan lanjutan yang tidak hanya bercorak kawasan, tetapi lebih ke arah lokalitas. Pertemuan antara agama imigran dan masyarakat kawasan lainnya tentu tidak dapat dihindarkan. Maka, pertemuan antara agama Islam dan kawasan lain memunculkan konsep Euro-Islam, Afro-Islam, dan Amerika-Islam.
Relasi antara agama dan kawasan sosial-budaya-politis tentu hal yang lumrah mengingat bahwa di dalam realitas sosial selalu terjadi pluralitas-multikulturalitas. Keduanya merupakan realitas historis yang di dalam Islam disebut sebagai sunnatullah. Perbedaan fisik yang bercorak given dan perbedaan yang dihasilkan konstruksi sosial hakikatnya adalah bagian dari sunnatullah yang memang harus terjadi.
Masyarakat Indonesia juga masyarakat yang plural-multikultural. Masing-masing suku juga dapat dikaitkan dengan kepemelukan agamanya. Sebagai negara-bangsa kepulauan dengan pluralitas dan multikulturalitasnya, tidak salah jika para pendiri bangsa ini melambangkannya dengan ungkapan bhinneka tunggal ika, meski berbeda-beda tetapi hakikatnya adalah satu. Satu dalam keragaman atau unity in diversity.
Namun, sepanjang 1990-an dan 2000-an, terdapat konflik sosial bernuansa agama. Jika ditelusuri, ada dua tipologi penjelasan. Pertama, penjelasan radikalisme. Jika ditilik dari para pelaku pengeboman, mereka adalah kaum radikalis Islam. Dinyatakan ada motif agama di dalam pengeboman tersebut.
Peristiwa Bali Blast pada 12 Oktober 2002 adalah contoh nyata bagaimana beroperasinya sistem tindakan keagamaan yang menjadi variabel penjelasnya. Islam garis keras mengindentikkan tindakannya itu relevan dengan jihad agama. Merusak dan menghancurkan kepentingan Barat adalah perintah agama.
Kedua, persoalan sosial-ekonomi-politik. Dalam kerusuhan agama di berbagai tempat, yang sesungguhnya menjadi cikal bakalnya adalah persoalan sosial-ekonomi-politik. Kecemburuan secara ekonomi kemudian dipadukan dengan masalah politik, yang juga dimuati masalah keagamaan dapat menjadi penjelas kerusuhan sosial bernuansa agama dimaksud.
Boutique Multiculturalism
Negara perlu menjamin kerukunan sosial masyarakatnya. Untuk kepentingan itu, muncullah Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Untuk menjamin adanya kerukunan itu, dibuatlah institusi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Institusi tersebut menjadi pengemban regulasi tentang kerukunan agama dan pendirian sarana peribadahan
Setiap aturan dibuat sebagai pola bagi tindakan masyarakat. Maka, melalui peraturan itu, berbagai kasus yang masih mengedepan terkait dengan konflik antarumat beragama, seperti di Poso dan Ambon, dapat dieliminasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak konflik agama yang sebenarnya berasal dari masalah kriminal biasa. Tetapi, begitu dibumbui the problem of ultimate concern dan politik, persoalan kriminal biasa itu akan menjadi konflik agama.
Kasus Poso dan Ambon yang hingga sekarang masih belum sepenuhnya tuntas, antara lain, disebabkan kesadaran multikulturalisme yang masih bercorak luar atau dalam konsepsi Stanley Fish (1996) disebut sebagai Boutique Multiculturalism. Yaitu, gejala yang ditandai relasi superfisial dan kosmetis dengan objek afektifnya. Perbedaan dirayakan dalam tema fashion, festival akhir pekan, dan upacara-upacara kebersamaan (B. Hari Yulianto, 2004).
*Prof. Dr. Nur Syam MSi, guru besar Sosiologi dan PR II IAIN Sunan Ampel Surabaya.
No comments:
Post a Comment