Monday, May 21, 2007

Firaun


Siapa tak kenal Firaun? Raja dari Mesir kuno itu sungguh adidaya, hingga namanya diabadikan Tuhan dalam Alquran sebagai sosok pengauasa yang perkasa, lalim, dan nista. Nabi yang diturunkan Tuhan untuk menghadapinya pun tak kalah gagah dan pemberani, Musa alahihissalam. Guna menghadapi penguasa yang adidaya diperlukan sosok Nabi yang pemberani. Namun Firaun tetap Firaun, tak pernah jera untuk pongah.

Firaun adalah sosok penguasa adidaya yang selain dhalim dan simbol kebathilan, juga dikenal sangat pongah. Arogansinya sungguh luar biasa, hingga dia menyetarakan dirinya sebagai tuhan: ana rabbukum al-'ala (akulah tuhanmu yang tinggi). Tak ada yang lebih pongah ketimbang Firaun seperti itu. Tuhan saja dia lawan dan dia personifikasikan secara terang-terangan. Dia dilahirkan sebagai sosok paling menakutkan. Ahli makar dan penyebar teror luar biasa. Kendati, pada akhirnya makar sang penguasa Mesir itu dikalahkan makar Tuhan yang lebih Mahaperkasa.

Kita duga tak ada Firaun lagi yang akan lahir di muka bumi ini, setelah pengauasa Mesir Kuno itu ditenggelamkan Tuhan di laut merah. Alam pun seolah tak sudi dan beroposisi kepadanya. Tapi, setelah itu bumi ini ternyata melahirkan Firaun-Firaun baru, dengan watak kepongahan yang sama. Lahirlah sosok-sosok penguasa adidaya yang ambisius, haus darah, lapar kuasa, dan lagi-lagi pongah alias takabur menyamai sifat Tuhan. Firaun baru tak kalah pongahnya dengan Firaun kuno.

Sejarah akhirnya selalu melahirkan Firaun. Ada Firaun klasik, lahir pula Firaun kontemporer. Jengis Khan, lahir menyerupai Firaun. Dia datang, menang, menindas, dan buas membunuh. Dari tangan besinya umat Islam menjadi korban keganasannya. Sang digdaya dari Mongol itu bahkan bukan hanya mengobarkan pedang tajam, bahkan mengalirkan darah jutaan anak manusia. Dengan keganasannya yang biadab, peradaban Islam diluluh-luntahkan secara fisik dan budaya. Itulah Firaun di masa peralihan zaman tengah ke modern.

Bagaimana dengan Firaun kontemporer? Sebagaimana watak rezim kontemporer, Firaun di abad supermodern ini muncul dalam fenomena sistem, bukan sekadar personifikasi figur. Yakni, rezim penguasa yang menjelmakan diri dalam sistem penjajahan. Sistem global yang menangan, eksploitasi, menjajah, dan super-arogan. Tangan-tangan besinya menjalar ke semua penjuru dunia melalui hegemoni politik, ekonomi, budaya, dan tentu saja militer. Di rentang abad ke-16 hingga abad ke-20 menjelma dalam sistem imperialisme dan kolonialisme yang sangat jahat. Menjajah seluruh anak negeri yang lemah dan kaya sumber alam. Memeras dan membelenggu penduduknya. Mematikan setiap bentuk perlawanan. Itulah Firaun imperialisme dan kolonialisme sang penjajah, sang penakluk dunia.

Di awal abad ke-20 sempat muncul Firaun lagi: Mussolini, Hitler, dan para diktator dunia yang mengobarkan api perang dunia. Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang membakar hampir seluruh penjuru negara, merupakan bentuk perilaku politik dan militer ala Firaun yang nista. Jutaan nyawa manusia tak ada harganya. Api permusuhan berkobar di mana-mana. Padahal kala itu modernisme tengah mencapai tangganya yang menakjubkan di belahan bumi Eropa. Nafsu para Firanun telah meluluh-luntahkan peradaban manusia sendiri.

Firaun sistemik yang muncul di abad ke-21 ialah para rezim pemerintahan yang bersenyawa dengan kapitalisme global. Itulah Firanuisme. Inilah sang raksasa dunia yang paling berkuasa di muka bumi saat ini. Jadi penguasa tunggal, lebih-lebih setelah rezim sosialisme-komunisme runtuh tahun 1989 bersamaan dengan jebolnya Benteng Berlin. Firaun jenis terbaru ini sungguh merupakan sistem penghisap paling perkasa dan berkuasa di jagad raya ini. Dia miskinkan orang-orang yang sudah miskin, sehingga melahirkan kemiskinan kultural sekaligus struktural. Dia marjinalkan komunitas yang sudah marjinal, sehingga lahirlah kelompok dhuafa baru yang kian meluas di setiap sudut anak negeri.

Firaun kapitalisme itu bahkan memproduksi berhala-berhala baru, yang memanjakan segenap nafsu inderawi manusia. Dari rahimnya lahir manusia modern saat ini yang kian terlibat dalam praktik-praktik ta'lih (penuhanan, pendewaan) yang sangat masif (terselubung dan sistemik), atau dalam bahasa lain membudakkan diri (ta'bid) pada sesuatu yang bersifat serba-inderawi.

Yakni memperbudak diri atau menghambakan diri pada hawa nafsu (ta'bid 'an nafs) atau pada syahwat biologis (ta'bid 'an syahawat), menghambakan diri pada harta atau materi (ta'bid al-mawwad), bahkan membudakkan diri pada kekuasaan (ta'bid 'an siyasiyah). Penghambaan diri pada kekuasaan bahkan tidak kenal partai apakah partai sekuler atau agama, sama saja ketika terjangkiti penyakit atau virus yang satu ini lalu menjadi ketagihan dan menjadi-jadi. Sedang sang Firaun baru memperoleh laba sebesar-besarnya dari orang-orang atau komunitas-komunitas yang terjangkiti wabah duniawi yang meninabobokan itu.

Firaun kapitalisme menjelma dalam bentuk rezim-rezim pemerintahan, yang selain kapitalistik, juga hegemonik dan berwatak menjajah serta menindas. Jelmaan paling raksasa ialah rezim negara adikuasa. Rezim ini sangat ekspansif, eksploitatif, menjadi neo-imperialisme dan neo-kapitalisme dengan daya jelajah yang lebih cangggih, sekaligus serba menghancurkan. Rezim adidaya ini bisa tampil sendiri, tidak jarang juga saling bersekutu dengan sesamanya. Dia sebarkan berbagai lembaga ekonomi internasional untuk jadi sayap penaklukan baru melalui pinjaman, bantuan, dan gaya lintah darat baru, sehingga setiap negara jajahan menjadi kian tak berdaya dan semakin tergantung kepadanya.

Firaun baru sang adikuasa itu bahkan ganas secara politik. Politik global dikuasainya melalui berbagai cara dan saluran yang ganas. Lembaga dunia seperti PBB (Perseritakan Bangsa-Bangsa) pun dikangkanginya sehingga menjadi alat paling efektif untuk menghegemoni negara atau bangsa lain secara absah. Dicaploknya, bahkan diinvasi atau diserbunya negara lain yang berdaulat dengan seribu satu dalih yang seolah benar dari hukum internasional. Digulingkannya setiap rezim negara lain yang membangkangnya. Bukan hanya digulingkan, setelah negaranya dihancurkan, para pimpinannya pun bila perlu dihinakan bak penjahat hingga dihukum mati. Siapapun yang menunjukkan gelagat pembangkangan, harus siap-siap dihancurkan.

Umat Islam paling merasakan politik global Firaunisme yang jahat dan serba perkasa itu. Ditanamkan dan disebarkan virus terorisme, yang melahirkan konstruksi dan stigma bahwa umat Islam adalah teroris dan negara Islam atau negara mayoritas berpenduduk Islam sebagai sarang teroris. Dengan cap terorisme itu maka menjadi mudah untuk mengendalikan, sekaligus melumpuhkan setiap geliat negara atau komunitas Islam dari kebangkitan.

Celakanya, kadang keganasan Firaunisme baru itu bertemu dengan kedunguan sebagian komunitas Muslim, sehingga dengan mudahnya masuk perangkap untuk dilumpuhkan dan ditaklukkan. Terorisme bahkan menjadi proyek baru, yang melahirkan kucuran bantuan-bantuan asing dengan mudah ke negara berpenduduk mayoritas Muslim, yang dengan mudah disantap oleh kalangan Muslim yang gemar proyek, sekaligus jadi mainan baru yang kian memudahkan rezim Firaunisme menancapkan kuku hegemoninya. Memang mereka sangat ramah dan sangat dermawan, tetapi semuanya ada hitung-dagangnya, juga hitungan politik. Tak ada yang gratis.

Sebaliknya, dimanjakannya setiap rezim penguasa lain yang kelihatan jinak dan mau menghamba kepadanya melalui berbagai cara dan saluran yang kelihatan manis-manis namun penuh jeratan. Diberinya berbagai bantuan dan proyek. Dimudahkan urusan-urusannya. Diringankan bebannya. Diberinya puja-puji, bila perlu dinominasikan untuk dapat hadiah Nobel. Bahkan, dengan ramah dan seolah baik hati, secara rutin dikunjunginya sebagaimana layaknya sahabat, kendati harga yang harus dibayar juga cukup tinggi. Lagi-lagi, sebenarnya tak ada makan siang gratis, tapi sang koloni baru maupun sang buruan sama-sama menikmatinya. Itulah ninabobo Firaun baru, Firaunisme.

Firaun baru yang lebih nyata tampil dalam sosok sang penguasa. Dialah penguasa sang adidaya. Penyebar virus ideologi penakluk dunia. Pengobar invasi dan perang atasnama demokrasi dan perdamaian dunia. Memburu teroris amatiran dengan terorisme negara, behkan penyemai benih terorisme yang seungguhnya. Disebarkannya konservatisme chauvinisme bangsanya untuk memusuhi bangsa lain yang tak berdosa. Digelorakan semangat crusades, perang salib baru yang penuh bara sentimen keagamaan yang mengandung api permusuhan. Dibangunnya retorika serba indah untuk politik ekspansinya yang memperdaya, yang membuat mata dunia nan rabun silau melihat muslihat yang sesungguhnya. Kritik dan cemoohan dunia tak digubrisnya. Dia tetap pongah dan merasa paling perkasa, sebagaimana Firaun di masa jaya. Lalu, dia datang (lagi) ke setiap negeri koloni, dan disambut bak pahlawan penyelamat dunia.

(Haedar Nashir )

No comments: