Monday, May 28, 2007

Wacana Nabi Perempuan dalam Kitab Kuning

Oleh: Nasaruddin Umar
ADA atau tidak adanya nabi perempuan sudah lama menjadi perdebatan dalam kitab-kitab kuning. Pada paruh kedua abad ke-4 H/ke-10 M, Abu Bakar Muhammad bin Mawhab al-Tujibi al-Qabri (wafat 406 H/1015 M), ulama besar di Andalusia, Spanyol, memberi pernyataan kontroversial yang menganggap perempuan boleh menjadi nabi dan bisa mendapat wahyu kenabian dari Allah SWT. Ia menunjuk Maryam, ibu Nabi Isa, sebagai seorang di antara nabi-nabi perempuan itu.

ALASAN yang dikemukakan merujuk pada dalil 'aqly (filosofis) dan dalil naqly (nash Al Quran dan hadis). Secara 'aqly, laki-laki dan perempuan sama-sama hamba dan khalifah sehingga keduanya sama-sama berhak menjadi nabi. Yang paling mulia di sisi-Nya ialah orang paling bertakwa, entah laki-laki atau perempuan (QS Al-Hujurat/49:13).

Secara naqly merujuk sejumlah ayat yang menunjukkan adanya wahyu-prasyarat seseorang dianggap sebagai nabi-diturunkan kepada perempuan salihah, misalnya secara tekstual ibu Nabi Musa mendapat wahyu (wa auhaina ila ummi musa/QS Al-Qashash: 7). Di samping itu, para perempuan tersebut didukung mukjizat yang juga menjadi syarat lain bagi seseorang disebut nabi.

Pendapat tersebut tentu saja menghebohkan kalangan ulama. Ulama besar Abu Muhammad Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far al-Ashili (wafat 392 H/1001 M) termasuk yang tegas membantah pendapat Abu Bakar al-Qabri itu. Menurut Al-Ashili, kata wahyu dalam QS Al-Qashash: 7 berarti ilham, suatu inspirasi yang Allah berikan kepada manusia utama yang bukan nabi. Agak mirip dengan Tafsir Jalalain yang menyatakan makna wa auhaina dengan wahyu bersifat ilham atau penyampaian dalam bentuk mimpi.

Tafsir Al-Kasysyaf oleh Al-Zamakhsyary juga menyatakan kata auha pada diri Ummi Musa adalah wahyu melalui perantaraan malaikat, tetapi tidak dalam kapasitasnya sebagai nabiyyah; kata auha dalam ayat tersebut lebih tepat disebut penyampaian melalui ilham.

Hal senada juga dinyatakan Fakhr al-Din al-Razi (wafat 606 H/1209 M), yang menganggap perempuan tidak akan pernah menjadi nabi meskipun ada teks yang secara tegas menyatakan adanya pewahyuan terhadap perempuan. Kata auha yang diperuntukkan kepada istri Nabi Musa juga pernah dinyatakan Allah kepada lebah (wa auhaina ila al-nahl/QS Al-Nahl: 68). Dalam hal ini lebah tentu tidak mungkin mengatakannya sebagai nabi.

Dalam hal Maryam yang dianggap nabi karena adanya semacam mukjizat yang dia peroleh, menurut Ibn Katsir dalam tafsirnya, juga bukan nabi, tetapi hanya sebagai shiddiqah sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Maidah: 75, wa ummuhu shiddiqah (dan ibunya seorang yang amat benar).

Ulama yang menolak adanya nabi perempuan juga menjadikan QS Yusuf: 109 dan dengan redaksi mirip di dalam QS Al-Nahl: 43, yang menyatakan, "Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki (rijalan) yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri."

Kata rijalan di sini diartikan laki-laki meskipun kata rajul juga bisa berarti simbolik sebagai seseorang yang memiliki keutamaan, entah itu laki-laki atau perempuan. Laki-laki secara genetik disebut al-dzakar. Kata al-rajul sepadan dengan kata men dan al-dzakar dengan male dalam bahasa Inggris.

Kontroversi
Kontroversi ada atau tidaknya nabi perempuan ketika itu diredam Al-Mansur bin Abi Amir, yang secara de facto menjadi penguasa di bawah kontrol Bani Umayyah, dengan tetap membiarkan adanya pendukung kenabian perempuan. Beberapa saat kemudian persoalan kembali hangat dengan munculnya ulama sekaliber Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm al-Andalusy (wafat 456 H/1064 M), yang juga mengakui adanya nabi perempuan, sebagaimana bisa dilihat di dalam karya besarnya, al-Fishash fi al-Milal wa al-Ahwai wa al-Nihal Juz V dalam topik khusus, Kenabian Perempuan (Nubuwwah al-Mar’ah).

Menurut Ibn Hazm, nubuwwah atau nabi perempuan tidak ada yang salah. Ia memulai analisisnya dengan berangkat dari pendekatan semantik kata nabiy yang berasal dari kata inba’, berarti "berita" atau "informasi". Menurut dia, nabi adalah orang yang memperoleh informasi dari Allah. Informasi ini dibedakan dalam beberapa tingkatan, antara lain informasi berupa wahyu kepada para nabi, ilham kepada para wali, ta’lim kepada para awwam, dan thabi’ah berupa informasi kepada segenap makhluk, termasuk binatang, sebagaimana halnya lebah (QS Al-Nahl: 68). Menurut dia, yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut (QS Yusuf: 109 dan QS Al-Nahl: 43) ialah kerasulan laki-laki, tidak bisa dihubungkan dengan kenabian perempuan. Bagi Ibn Hazam, nabi tidak identik dengan rasul. Ibn Hazm mengakui tidak ada rasul perempuan, tetapi ia juga mengakui adanya nabi perempuan (Al-Fishal, juz V, h. 119).

Wahyu yang turun kepada perempuan, menurut Ibn Hazm, antara lain:

1. Istri Nabi Ibrahim diberi tahu melalui Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak (QS Hud: 71-73).

2. Ibu Nabi Musa yang diperintah Allah agar meletakkan anaknya di sungai dan diberi tahu anaknya nantinya akan menjadi nabi (QS Al-Qashash: 7 dan QS Thaha: 38).

3. Maryam diberi tahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QS Maryam: 17-19, Al-Maidah: 75, dan Yusuf: 46).

4. Maryam, putra Imran dan ibunda Isa, serta Asia, putra Muzahim yang juga menjadi istri Firaun, diindikasikan pula sebagai nabi mengingat intensifnya pemberitaan Al Quran tentang figur ideal perempuan tersebut (Al-Fishal, Juz V, hal 120-121).

Alasan yang digunakan Ibn Hazm dan kalangan ulama yang mendukung adanya nabi perempuan antara lain:

1. Segala jenis makhluk yang melata di Bumi masing-masing mempunyai nabi, termasuk binatang dan serangga, karena mereka juga adalah ummah, sama dengan manusia. Ia mendasarkan pandangannya pada QS Al-An’am/6: 38 {Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu}. Demikian pula dalam QS Fathir/35: 24 {Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan (nadzir)}. Al-Nadzir, menurut Ibn Hazm, sama dengan nabi. Dicontohkan binatang yang mempunyai nabi di dalam Al Quran ialah lebah (QS Al-Nahl: 68) dan semut (S Al-Naml: 18) (Al-Fishal, Juz V, hal 149-150).

2. Ciri utama nabi ialah mendapat wahyu dari Allah, sementara beberapa perempuan mendapat wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril, misalnya ibu Nabi Musa (QS Thaha: 38 dan Al-Qashash: 7), Maryam (QS Maryam: 19-21), dan istri Nabi Ibrahim (QS Hud: 71). Ciri lain nabi ialah mendapat mukjizat. Jika yang disebut mukjizat perbuatan luar biasa muncul pada seorang nabi (yang telah mendapatkan wahyu), maka tak dapat disangkal sejumlah perempuan utama dalam Al Quran juga mendapat mukjizat. Antara lain ibu Nabi Musa yang secara luar biasa menyelamatkan anaknya dari tentara Firaun, misalnya menjatuhkan anaknya ke Sungai Nil dalam keadaan selamat (QS Hud: 71-73). Demikian halnya dengan Maryam, sang perawan yang hamil tanpa suami (QS Al-Anbiya’: 91) dan selalu mendapat keajaiban dengan hadirnya berbagai menu makanan di mihrabnya tanpa diketahui asal-usulnya (QS Ali ’Imran: 37). Istri Nabi Ibrahim atau ibu Nabi Ishaq hamil dalam usia menopause (QS Hud: 71-73) (Al-Fishal, Juz V, hal 119-121 dan Tafsir Al-Qurthubi, Juz I, hal 82-83).

3. Pengakuan akan keutamaan beberapa perempuan tadi juga diakui Rasulullah SAW dengan mengemukakan hadis dengan tiga jalur sanad berbeda, yaitu: "Ahli surga paling utama dari perempuan ialah Maryam binti Imran, Asia binti Muzahim, Khadijah binti Hubailid, dan Fathimah binti Muhammad." Atas dasar ayat-ayat yang menyatakan adanya wahyu terhadap perempuan didukung oleh hadis ini, maka dalam kitab tafsir Al-Qurthubi dinyatakan dengan tegas Maryam adalah seorang nabi (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I, hal 83).

4. Kata shiddiqah yang dialamatkan kepada Maryam merupakan kata lain dari nabi, seperti kata itu pernah diperuntukkan kepada Nabi Yusuf: Yusuf ayyuha al-shiddiq… (QS Yusuf: 46) dan Nabi Idris. Menurut Al-Qurthubi, bisa saja di satu sisi sebagai shadiqah, tetapi pada sisi lain juga sebagai nabi seperti Nabi Idris.

Kenabian perempuan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, terdapat tiga persepsi ulama tentang kenabian perempuan. Pertama, golongan yang tidak mengakui adanya nabi dan rasul dari kalangan perempuan. Pendapat ini dianut jumhur ulama. Kedua, golongan yang mengakui adanya nabi dan rasul dari kalangan perempuan, seperti dikemukakan Abu Bakr Muhammad bin Mawhab al-Tujibi al-Qabri. Ketiga, golongan yang mengakui adanya nabi perempuan dan tidak mengakui adanya rasul perempuan, seperti pendapat Ibn Hazm.

Jika di kemudian hari ada pendapat yang mengakui adanya nabi dan atau rasul dari kalangan perempuan, sesungguhnya bukan pendapat baru. Seperti halnya boleh atau tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin atau imam shalat, wacana kenabian atau kerasulan perempuan sudah lama ditemukan di dalam kitab-kitab tafsir klasik.

*Penulis adalah Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Jakarta dan Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ), Jakarta.

(Kompas, 6/6/2005)

No comments: