Haedar Nashir
Lapar itu biasa jika Anda sedang berpuasa. Bahkan dapat pahala. Tapi, lapar bagi jamaah haji sewaktu di Arafah dan Mina (Armina), sungguh luar biasa. Laparnya bikin ibadah haji ternoda karena menimbulkan jidal (bertengkar) dan amarah. Malahan bikin aib, karena hanya jamaah haji Indonesia yang menderita kelaparan dadakan itu. Bukan lapar alamiah, tetapi ada yang membikin jadi kelaparan. Inilah lapar sebagai produk sistem yang salah urus. Kelaparan hasil kebijakan yang keliru tetapi berdampak luas yang buruk. Jenis kelaparan struktural.
Jika memakai logika Jabariyah, apa yang diderita jamaah haji yang tak memperoleh hak makan di Arafah --juga tidak stabilnya makan di Mina-- dua hari itu bisa dianggap musibah. Dan setiap musibah disikapi dengan sabar dan dikembalikan sebagai takdir yang harus diterima. Logika keagamaan yang demikian jika harus ada biarlah menjadi milik dan pilihan para jamaah haji Indonesia secara rela hati. Tak perlu dimamahkan oleh pihak lain.
Penderitaan yang sangat berat lebih daripada lapar pun dapat disikapi dengan sabar dan pasrah yang tulus jika masalahnya murni, bila perlu secara total. Biarlah kesabaran dan kepasrahan semacam itu menjadi hak religiusitas para hujjaj. Namun manakala logika sabar dan musibah itu dikonstruksi oleh para pejabat penyelenggara haji untuk meredam jamaah haji, sekaligus menghindar dari tanggung jawab atas kesalahan kebijakan, sungguh tidaklah tepat dan tidak boleh masuk ke ruang publik.
Negara tidak boleh diurus dengan logika Jabariah. Negeri ini harus sudah mulai diurus dengan lugas dan benar sesuai logika standar kebijakan publik. Standar bagaimana para pejabat negara menjalankan tugas dan bertanggung jawab atas kebijakan yang diambilnya secara terbuka dan memperoleh hisab publik dengan transparan. Standar bagaimana negara ini diurus dengan benar sesuai logika ketatanegaraan yang lazim.
Nah, soal bagaimana negara ini diurus dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan di mahkamah publik secara terbuka, di situlah letak masalahnya. Soal yang satu ini masih menjadi masalah klasik di negeri ini. Bukan hanya soal penyelenggaraan haji, tetapi juga dalam banyak aspek kehidupan. Mengangkat pegawai atau pejabat hanya karena dari golongannya, bukan karena sistem merit atau kecakapan yang standar. Akibatnya, pejabat yang bersangkutan tidak cakap menjalankan tugasnya, lalu lahirlah salah urus seperti dalam penanganan haji yang menghebohkan itu. Kalaupun biasa menangani urusan publik secara rutin, pola pengelolaannya memakai gaya birokrasi tradisional pedesaan alias tidak berprinsip pada manajemen yang akuntabel.
Soal lain pun banyak menyelimuti cara pengelolaan negara yang salah urus di negeri ini. Menjerat koruptor dengan sistem tebang pilih. Para wakil rakyat yang tampak sibuk memikirkan diri dan partainya ketimbang sepenuh hati memperjuangkan nasib rakyat. Bahkan, gugatan soal cabut mandat yang menjadi kontroversi belakangan ini, salah satunya mengandung isyarat tentang negara yang tak diurus sebagaimana mestinya. Negara yang tidak optimal dikelola sebagaimana negara-negara jiran melakukannya dengan sukses dan membawa kemajuan yang pesat. Negara yang seolah kehilangan sukma, yang mengisyaratkan badai krisis masih belum berlalu di negeri tercinta ini. Negara yang diatur dan dipimpin dengan alam pikiran patrimonial di masa silam.
Apa soal? Banyak penyebabnya. Kepemimpinan nasional kita dari puncak hingga bawah masih mengembangkan pola kharisma, bukan kepemimpinan rasional sistemik. Pesona pemimpin jauh lebih menonjol ketimbang langkah dan tindakan nyata. Hal demikian juga berkembang di lingkungan kepemimpinan sosial di luar negara, termasuk di kalangan ormas keagamaan. Karena itu, pemimpin di negeri ini tak kalah salah dan gagal, kecuali jika berlangsung lama sebagaimana kasus tumbangnya rezim Orde Lama dan Orde Baru, setelah keadaan negara carut-marut dan hancur-lebur. Pemimpin pola kharisma dan gaya pesona, hanya melahirkan kesuksesan semu dan cantik di panggung, tidak untuk dinikmati karya-karyanya yang konkret dan melembaga dalam sistem.
Penyebab lain? Penyakit birokratisme. Ini jenis virus eksekutif warisan Orde Baru yang belum hilang, bahkan kini menjalar ke legislatif dan yudikatif. Yakni penyakit para pejabat negara yang merasa kuasa, yang selalu menggunakan jaring-jaring birokrasi baik untuk bertindak sewenang-wenang dan menyimpang termasuk korupsi, hingga melecehkan atau menindas rakyat. Jika salah, selalu bersembunyi di balik keangkuhan birokrasi.
Dalam sangkar-besi birokratisme tak ada kamus pejabat negara mundur jika salah mengambil kebijakan, paling yang dipaksa mundur pejabat rendahan. Pejabat puncak selalu bebas dari jeratan publik, kecuali sudah benar-benar tak ada lubang birokrasi untuk berlindung atau helah. Maka, salah sebesar gunug Uhud pun tak akan berbuah jatuhnya pejabat negara di hadapan rakyatnya, karena selalu ada jaring pengaman birokrasi. Bila pejabat negara dikritik, bukan menjadi masukan untuk perbaikan, tetapi ditanggapi dengan apologi dan sikap merasa benar, bila perlu balik mengeritik.
Dalam rezim birokratisme, rakyat ditempatkan sebagai objek belaka. Jamaah haji pun tidak lebih sekadar "maf'ul bih" (objek penderita), yang selalu diberi obat sabar sebagai pemblok rasa sakit jika ada kesalahan penyelenggara, atau diberi konpensasi materi seperlunya agar tak jadi urusan publik yang berkepanjangan. Rakyat diposisikan sebagai beban negara, bahkan seolah numpang di Republik ini. Padahal rakyatlah pemegang saham yang sah dari negara ini, bukan pemerintah apalagi pejabat pemerintah. Tapi itulah nasib rakyat di negeri Nusantara ini, kendati sudah merdeka 62 tahun dan kini hidup di alam reformasi, tetap saja seperti kawula.
Maka tak ada yang merasa perlu malu di hadapan rakyat, apalagi merasa bersalah. Tengoklah para wakil rakyat, yang secara formal mewakili rakyat, tetapi jauh dari denyut nadi rakyat. Ketika rakyat susah, masih juga banyak yang bermain-main dengan amanat. Melancong ke luar negeri jadi hobi. Menaikkan gaji dan tunjangan sendiri pun jadi profesi. Maka kendati PP nomor 37/2006 kini kian menuai badai kritik publik, kelihatannya para wakil rakyat dan pihak eksekutif merasa tak ada yang terganggu. Padahal betapa parodi rakyat sampai ekstrem. Mereka terus demo dan mengumpulkan penggalangan uang recehan di jalananan untuk disumbangkan kepada para anggota DPR/DPRD yang dianggap tidak henti-hentinya dahaga gaji dan tunjangan. Nurani dan akal sehat telah menjadi barang mahal di negeri ini. Juga rasa malu dan empati, yang ada hanya benih-benih kerakusan dan lapar kuasa. Padahal kita tidak ingin para elite politik di negeri ini jadi pemulung.
Salah urus juga merembet ke soal lain. Simak bagaimana konflik Poso ditangani. Penyelasian konflik yang begitu rumit diserahkan kepada pihak kepolisian, seakan Poso itu urusan polisi, urusan keamanan secara fisik. Lebih-lebih tanpa kontrol. Tak heran bila kepolisian bertindak demikian berlebihan. Konflik Poso ditangani dan dipecahkan dengan bedil, yang menyebkan nyawa bergelimpangan dengan murah. Di negeri yang tengah meniti era baru reformasi, masihkah boleh polisi atau siapa pun alat negara bertindak demikian berkuasa dan sewenang-wenang? Poso berubah menjadi area baru bukan saja dalam memperparah luka konflik, sekaligus menjadi contoh bagaimana pemerintahan baru di Republik ini kehilangan kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Para anggota DPR pun terkesan bungkam dan tak menunjukkan perhatian serius, seolah Poso bukan urusan mereka.
Mestinya DPR sungguh-sungguh minta pertanggungjawaban kepolisian atau pemerintah soal yang satu ini, selain untuk soal haji dan hal-hal lainnya. Adakah jalan keluar? Mestinya ada, jika semua pihak mau dan bertekad sepenuh hati untuk mengurus negara ini dengan sebaik-baiknya. Tengoklah bangsa serumpun yang merdekanya lebih telat ketimbang kita, mereka kini jadi bangsa dan negara yang lebih maju dan terhormat di hadapan publik dunia. Malaysia, Singapura, Thailand, bahkan kini Vietnam dan Kamboja, mampu menyeruak ke panggung internasional sebagai pembawa harapan baru. Penyelenggaraan haji di Malayisa pun sudah lama dikenal mapan.
Berbagai produk negara-negara jiran tersebut bahkan membanjiri banyak negara, termasuk di negeri kita. Sementara bangsa dan negara tercinta ini dari tahun ke tahun memproduksi angka korupsi dan bencana nasional. Padahal, betapa kaya raya Tanah Air Nusantara ini, juga banyak otak-otak cerdas yang potensial. Tapi semuanya tenggelam oleh penyakit sistem dan pejabat negara yang karatan, sehingga menjadi beban sejarah untuk bisa bangkit.
Kini saatnya kita melakukan hijrah bernegara. Yakni melakukan perubahan-perubahan sistem dan sikap dalam mengurus negara secara radikal. Di antaranya, mengganti orientasi kepemimpinan kharismatik dan gaya pemimpin pesona ke kepemimpinan rasional. Mengakhiri birokratisme dalam segala macam bentuknya, termasuk membiasakan pejabat puncak mundur dari jabatan manakala salah dalam mengambil kebijakan atau menyebabkan kerugian publik.
Memangkas gaji dan tunjangan wakil rakyat atau menghentikan segala ikhtiar yang mengarah pada makin meningkatnya para wakil rakyat tersebut memperoleh hak-hak berlebih, padahal kewajibannya tidak memperoleh akuntabilitas publik. Pendek kata, mengurus negara dengan sebesar-besarnya mengutamakan kepentingan rakyat dan tidak ada kata maaf jika amanat tak tertunaikan dengan benar. Apalagi manakala melakukan kesalahan-kesalahan publik yang fatal. Jangan menunggu habis masa jabatan lantas tidak dipilih lagi, nanti setiap jabatan publik akan mengikuti pola hisab ala Jabariah semacam itu.
No comments:
Post a Comment