menyambut puasa
Tidak ada ibadah yang lengkap bagi kaum Muslimin sekomplet di bulan Ramadhan. Ibadah puasa (shaum) sebagai inti. Lalu qiyam al-lail (tarawih), i'tikaf, dan amalan-amalan ibadah lainnya yang memiliki nilai istimewa. Bahkan ada lailat al-qadar yang sangat istimewa. Semuanya berlangsung intensif selama sebulan penuh. Tidak cukup di situ. Masih pula ditambah dengan zakat al-fitrah, kemudian dilanjutkan shalat Idul Fitri di hari kemenangan 1 Syawal usai Ramadhan.
Bagi masyarakat Indonesia, bahkan Ramadhan dan Idul Fitri diikuti dengan tradisi mudik dan silaturahim di bulan Syawal, yang memiliki makna sosio-kultural sekaligus spiritual yang sarat makna. Kegiatan ibadah sosial seperti itu bahkan nyaris berlangsung sebulan penuh, hingga ketemu dengan bulan Dzulqa'dah dan akhirnya bersambung dengan ibadah qurban dan haji di bulan Dzulhijjah, hingga bertemu dengan Muharram sebagai awal tahun baru umat Islam. Siklus ibadah berdimensi luas menjadi titik-titik momumental bagi umat Islam untuk melakukan rekonstruksi diri secara individual dan kolektif.
Maka, kurang apa lagi tempaan ibadah bagi setiap Muslim? Lahir dan batin, intelektual dan spiritual, akidah dan syariah, akhlak dan muamalah, bahkan aspek individual dan sosial disenyawakan menjadi satu kesatuan dalam pembinaan diri umat Nabi akhir zaman itu. Jika semuanya diakumulasikan, maka sesungguhnya ibadah-ibadah tersebut dapat melahirkan transformasi, bahkan revolusi hidup kaum Muslimin. Momentum-momentum ibadah penuh makna itulah yang dapat dijadikan energi dahsyat bagi setiap orang Islam untuk sadar dan bangkit dalam kehidupan. Itulah sarana (washilah) untuk "mi'raj" bagi umat Islam secara keseluruhan.
Mi'raj bagi umat Islam? Boleh dikatakan begitu. Kenapa tidak! Sejarah mencatat, bahwa Rasulullah di-"isra"-kan (diperjalankan) dari Masjid al-Haram di Makkah ke Bait al-Maqdis di Palestina, kemudian puncaknya di-"mi'raj"-kan (dinaikkan) Allah ke Sidrat al-Muntaha hingga bertemu dengan-Nya. Itulah simbol perjalanan kenabian dan kerasulan yang momumental sekaligus paling puncak dari Nabi kita Muhammad SAW, setelah melewati gunpalan-gumpalan suka-duka dalam mengemban risalah Tuhan yang memperoleh klimaks dengan tahun kesedihan ('am al-hazm) kala itu. Lalu, Nabi diperjalankan dan dinaikkan Tuhan melalui peristiwa "isra dan mi'raj".
Jika Rasul seorang penganut sufisme "radikal", mungkin tidak akan pernah turun lagi ke bumi (dunia nyata) kehidupan di tengah-tengah umatnya pada waktu itu. Lebih baik "asyik-maksyuk" dengan Tuhan, sebagai puncak perjalanan spiritual tertinggi setelah melewati fase dunia syariat, hakikat, dan makrifat. Tapi, Muhammad SAW justru kembali ke tengah-tengah umat manusia, untuk berhadapan lagi dengan kenyataan hidup yang penuh perjuangan dan pergumulan guna mengemban risalah "rahmatan lil-'alamin". Menjadi pembawa misi Islam sebagai rahmat bagi semesta kehidupan. Bergumul dengan dunia nyata, bukan mengasingkan diri. Itulah mi'raj Nabi yang menyejarah.
Kini umat Islam sepeninggal Nabiyullah akhir zaman itu pun terbuka untuk bermi'raj dalam kehidupan nyata. Setelah "isra" melalui ibadah-ibadah "long-march" dengan titik start dari bulan Ramadhan, semestinya dilanjutkan dengan "mi'raj" dalam kehidupan nyata kaum Muslimin. Harus terjadi kenaikan tingkat dalam seluruh aspek kehidupan umat Islam ke "langit" yang lebih tinggi secara fundamental. Itulah "mi'raj" yang semestinya dialami atau dilakukan kaum Muslimin saat ini.
"Mi'raj" bagi umat Islam memerlukan proses "takhrij", perubahan radikal atau fundamental. Perubahan dari bodoh menjadi terdidik. Dari miskin menjadi lebih makmur. Dari cerai-berai menjadi satu kesatuan ukhuwah. Dari kalah secara politik menjadi kuat. Dari dhuafa dan mustadh'afin menjadi umat yang terbebeskan dan unggul. Dari posisi objek penderita (maf'ul-bih) menjadi pelaku sejarah yang menentukan. Pendek kata menjadi umat yang sungguh-sungguh terbaik, khaira ummah.
Mampukah melakukan mi'raj dalam kehidupan seperti diidealisasikan itu? Melakukan lompatan perubahan menjadi umat terbaik? Semestinya mampu, kendati bertahap. Bukankah potensi normatif ke arah itu telah tersedia? Coba saksikan dalam kehidupan di atas permukaan. Kesemarakan beribadah kian tinggi dan meluas. Para elite Muslim yang berpendidikan dan bermobilitas tinggi kian banyak dan hebat-hebat di hampir seluruh arena publik. Para da'i atau juru dakwah kian bermunculan dengan tingkat popularitas luar biasa, bahkan melampaui kaum selebriti atau dunia artis. Bahkan anak-anak usia dini dan remaja pun ditampilkan (diproduksi) secara instan untuk menjadi da'i dan juru dakwah populer di aras publik, mengikuti para seniornya melalui keajaiban produksi layar kaca. Sementara mereka yang mengikuti program-program olah-batin seperti ESQ dan MQ kian semarak dan penuh antusiasme tinggi yang luar biasa. Tak terbilang frekuensi dan jumlah mereka yang naik haji dan umrah ke tanah suci.
Kurang apa lagi? Sungguh lebih dari cukup untuk "takhrij", lahirnya revolusi kesadaran. Revolusi rohaniah. Revolusi mentalitas. Revolusi pemikiran. Revolusi sosio-religius. Sebutlah mi'raj kehidupan yang semakin lebih baik dan maju di seluruh dimensi dan lini kehidupan.
Dari mana harus mulai? Mengikuti jejak Rasulullah, maka mulailah dari kaum elite Muslim sendiri. Bagaimana mengubah atau melakukan mi'raj kesadaran dan pemikiran, disertai perubahan rohani dan tindakan, untuk mengubah paradigma dan arah pergerakan secara signifikan. Dari serbasimbolisme ke aktualisasi nyata. Dari serbateori ke praktis. Dari teologi teosentrisme ke dunia kemanusiaan yang transformatif, yakni meminjam istilah Kuntowijoyo ke dunia transendensi, emansipasi, liberasi, dan humanisasi yang mendunia. Pendek kata, dari elitisme Islam ke populisme.
Kita perlu belajar dari derita orang-orang miskin di Amerika Selatan sebagai korban kapitalisme global dan pemiskinan struktural, yang memicu lahirnya "teologi pembebasan". Juga belajar pada "pemberontakan sosial" penduduk desa Keralla di India, yang merasakan tidak bermaknanya agama, ideologi, dan sistem politik apa pun bagi kaum proletar dan korban diskriminasi kasta di akar-rumput. Belajar pula pada derita anak-anak Palestina yang setiap hari harus mati dan tak pernah tahu nasibnya, di tengah politik kebiadaban Israel plus sekutunya, serta pola hidup berjuasi pemimpin-pemimpin Arab yang seolah tidak begitu peduli dengan derita rakyat Palestina. Jangan sampai Islam sekadar menjadi simbol belaka, tetapi tidak mengubah keadaan umatnya secara fundamental.
Keadaan masih paradoks. Islam dalam sejumlah konteks kasus di atas, nyaris tidak dihadirkan sebagai agama pembebasan. Agama kaum mayoritas yang dhuafa dan mustadh'afin, yang dimiskinkan, dibodohkan, dan dimarjinalkan secara sosial dan struktural. Agama yang bersahabat dengan dunia wong-cilik, kaum lemah dan marjinal yang mayoritas. Menjadi agama masyarakat di akar-rumput. Memang dihadirkan ke bawah, tetapi tidak untuk benar-benar membebaskan kehidupan umat dan masyarakat. Umat tidak mengalami "mi'raj" dalam kehidupan mereka. Selain, masih terhegemoni dalam relasi-relasi elite dan kekuatan sosial yang melestarikan hubungan-hubungan parokhial melalui simbol-simbol keagamaan yang tampak nyaman dan syahdu, tetapi menyembunyikan kesenjangan dan tak membebaskan.
Karena itu, para pemimpin Islam kiranya dapat duduk bersama, bagaimana memperbincangkan dan membangun komitmen baru guna mewujudkan Islam yang semakin peduli pada pemecahan-pemecahan masalah aktual umat di akar rumput. Aksi-aksi sejuta umat mulai digeser dari terlalu peduli politik dan formalisme Islam ke gerakan populisme umat. Sedangkan aksi ke umat akar-rumput pun tidak sekadar simbolisme, lebih-lebih jadi ajang mobilisasi politik untuk kepentingan Pemilu atau ambisi-ambisi partai politik yang serbasesaat dan berorientasi pada kekuasaan, dengan bekal bendera, spanduk, dan papan nama belaka. Sementara pembentukan lembaga-lembaga ekonomi berbasis syariah pun semoga tidak menjadi model kapitalisme baru. Itulah mi'raj umat Islam yang semestinya menjadi komitmen baru seluruh elite, para dai, dan aktivis gerakan Islam pasca Ramadhan dan Idul Fitri.
No comments:
Post a Comment