KETIKA wacana post tradisionalisme Islam (selanjutnya disebut postra) dimunculkan dalam belantika pemikiran Islam di Indonesia, dapat diduga akan memunculkan berbagai tanggapan, mulai dari yang apresiatif, biasa-biasa saja, sampai yang sinis. Apresiatif karena wacana itu dianggap dapat menggairahkan kembali dinamika pemikiran Islam di Indonesia yang diakui atau tidak, seolah "berjalan di tempat", tanpa perkembangan berarti. Biasa-biasa saja karena postra dianggap belum mapan basis epistimologisnya, bahkan tidak ada bedanya dengan arus pemikiran yang lain; dan sinis karena wacana ini dianggap sebagai kelatahan anak-anak muda NU untuk mempertegas identitasnya, bahkan dilihat sebagai "primordialisme baru" yang dibungkus dengan teori-teori yang canggih.
Munculnya berbagai reaksi itu merupakan hal wajar dan tidak perlu diperdebatkan. Meski demikian-ini yang agak memprihatinkan-bila wacana postra semata-mata dianggap untuk mempertegas identitas kelompok, apalagi sebagai kelatahan, hal ini sebenarnya agak keterlaluan, meski anggapan demikian juga tidak dapat dianggap salah sama sekali.
Ada beberapa alasan yang mungkin dapat dijadikan argumen untuk membenarkan hal ini. Pertama, wacana postra lebih banyak disuarakan oleh komunitas yang sebagian besar afiliasi kulturalnya adalah Nahdlatul Ulama (NU). lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan pemikiran dan menyuarakan tema postra, sebagian besar juga LSM yang afiliasi kulturalnya ke NU, meski juga harus diakui, banyak aktivis Islam liberal yang afiliasi kulturalnya juga NU.
Kedua, kata "tradisionalisme" telah menjadi cap yang menghunjam kuat sebagai identitas "orang NU". Karena itu, ketika muncul kata "postra" maka orang akan dengan mudah mengatakan bahwa "itu milik NU". Ketiga, munculnya wacana postra beriringan dengan semangat "Islam liberal" yang sedang menjadi gairah intelektualisme Islam belakangan ini dengan berbagai aktivitas pendukungnya. Dalam suasana demikian, postra mengesankan seolah ingin membedakan dengan Islam liberal, baik pada tingkat epistemologis maupun basis gerakannya.
Meski prihatin, tetapi itulah realitas kita. Kata "tradisional-modern" dan segala turunannya bukan saja telah menjadi kategori akademik, tetapi lebih dari itu, telah menjadi identitas kelompok yang di dalamnya diberi muatan "ideologi" tertentu. Arus demikian juga begitu kuat terasa ketika muncul arus neomodernisme dan Islam liberal di satu pihak dan postra di pihak lain. Jika yang pertama dianggap sebagai milik kalangan "modernis", yang kedua dianggap milik kalangan "tradisionalis" NU. Harus diakui, ini sebenarnya hal yang tidak sehat dalam konteks perkembangan pemikiran, karena pemikiran akan menjadi identitas kelompok.
Terlepas dari kenyataan itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah ada perbedaan mendasar, terutama pada tingkat epistimologis antara neomodernisme dan Islam liberal di satu pihak dan post tradisionalisme Islam di pihak yang lain?
Problem epistimologis
Harus diakui, sejauh ini belum ada penjelasan memadai mengenai basis epistimologis apa yang disebut Islam liberal. Paling tidak, ada dua buku yang secara agak panjang lebar menjelaskan hal ini, yaitu apa yang ditulis Leonard Binder, Islamic Liberalisme: A Critique of Development Ideologies, (Chicago: The University of Chicago Press, 1988); dan tulisan Charles Kurzman dalam pengantar buku, Liberal Islam, A Sourcebook, (Oxford: Oxford University Press, 1998).
Pengertian Islamic Liberalism-nya Leonard Binder dan Liberal Islam-nya Charles Kurzman sebenarnya mempunyai pengertian dan sudut pandang berbeda. Sebagaimana diakui sendiri oleh Kurzman, Binder menggunakan sudut pandang "Islam bagian dari liberalisme" (a subset of liberalism), sedangkan Kurzman menggunakan pendekatan bahwa "liberalisme sebagai bagian dari Islam" (a subset of Islam). Konsekuensi lebih jauh dari perbedaan cara pandang ini, jika Binder berupaya melihat secara terbuka dialog Islam dengan Barat dan membiarkannya berdialektika dalam serangkaian proses take and give, termasuk dengan tradisi lokal (dalam konteks ini tradisi Arab).
Sedangkan Kurzman mengambil posisi sebaliknya dengan lebih menekankan pada konteks Islaminya, dengan menguji pemikiran kaum muslim liberal di pandang dari sudut tradisi Islam. Karena itu, jika Binder melihat seberapa liberalkah kaum liberal Islam? Apakah varian-varian liberal sesuai standar Barat? Maka, Kurzman mempertanyakan, apakah pikiran-pikiran liberal itu masih berada dalam konteks Islami atau tidak?
Akibat dari paradigma yang demikian, maka Islam liberal menjadi kurang bisa menghargai tradisi lokal, kepercayaan lokal, adat istiadat dan seterusnya, karena dianggap bid'ah, inkretik, "tidak asli", kurang "Islami", bahkan penyimpangan dari Islam itu sendiri. Konsep ini jelas sekali tergambar dalam pikiran liberalis Islam (via Kurzman) ketika menguraikan rentetan kelahiran Islam liberal. Menurut pandangan Kurzman, sejarah panjang dalam Islam diwarnai tiga tradisi.
Tradisi pertama disebut "Islam adat" (customary Islam) yang ditandai pencampuradukan antara "tradisi lokal" (little tradition) dengan tradisi besar (great tradition) yang diandaikan sebagai "Islam yang asli" dan "Islam yang murni". Islam yang sudah bercampur dengan berbagai tradisi lokal dianggap sebagai Islam yang penuh bid'ah dan khurafat.
Atas dasar itu muncul arus tradisi kedua yang disebut "Islam revivalis" (revivalist Islam) yang bisa mengambil bentuk pada fundamentalisme dan wahabisme. Tradisi ini berupaya melakukan purifikasi (pemurnian) terhadap Islam yang bercampur tradisi lokal yang dianggap tidak Islami dan sebagai penyimpangan terhadap doktrin Islam "yang murni" dengan jargon "kembali kepada Al Quran dan hadis".
Arus tradisi ketiga disebut sebagai "Islam liberal". Dalam pandangan Kurzman, sebagaimana pendukung revivalis, Islam liberal mendefinisikan dirinya berbeda secara kontras dengan Islam adat dan berseru keutamaan Islam pada periode awal untuk menegaskan ketidakabsahan praktik-praktik keagamaan masa kini. Islam liberal menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas, sedangkan Islam revivalis menegaskan modernitas atas nama masa lalu. Meski diakui ada banyak versi tentang liberalisme Islam, namun, menurut Kurzman, ada benang merah yang dapat mempertemukan semuanya, yaitu kritiknya terhadap tradisi "Islam adat" maupun "Islam revivalis". Dengan demikian, Islam liberal dibayangkan sebagai counter atas dua arus sekaligus, Islam adat dan Islam revivalis sekaligus.
Paradigma Islam liberal yang tidak ramah terhadap tradisi lokal inilah yang kemudian mendapat reaksi dari "post tradisionalisme Islam". Pada tingkat ini ada titik temu sekaligus perbedaan antara "Islam liberal" dan "postra". Titik temuannya terletak pada semangat untuk mengusung pemikiran-pemikiran liberal, tidak terjebak pada ortodoksi, membebaskan diri dari keterkungkungan teks keagamaan, sekularisasi, dan seterusnya, meski di dalamnya ada pernik-pernik pemikiran berbeda. Sedangkan yang membedakan adalah cara pandang masing-masing terhadap lokalitas, kepercayaan pinggiran, pengetahuan pinggiran, dan seterusnya.
Perbedaan cara pandang terhadap "lokalitas" itu sebenarnya berawal dari perbedaan dalam memandang modernitas. Jika "Islam liberal" melihat modernitas sebagai rahmat yang harus disyukuri karena dengannya manusia dapat hidup lebih mudah dan efisien; sedangkan postra melihat modernitas lebih sebagai "laknat" meski aspek positifnya tidak dapat diingkari. Modernitas yang pada awalnya merupakan gagasan emansipatoris, namun di Indonesia ia justru mengambil bentuk sebaliknya seperti kolonialisme, imperialisme, dan juga otoritarianisme. Karena itu, di satu pihak kalangan postra lebih kritis terhadap modernitas, terutama pandangannya terhadap tradisionalitas yang dipandang sebagai penghambat kemajuan sehingga perlu disingkirkan. Namun, di pihak lain aspek-aspek emansipatorisnya harus tetap diapresiasi.
Atas dasar itu, jika dalam paradigma Islam liberal masih menekankan "otentisitas", "orisinalitas", dan "keaslian" Islam, maka postra sudah melampaui itu semua. Dari sinilah postra bertemu dengan pemikiran Arab modern seperti Nasr Hamid, Abu Zayd, Shahrur, al-Jabiri dan seterusnya, yang pemikirannya sering dijadikan sebagai rujukan epistimologis. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan, post tradisionalisme Islam adalah "Islam liberal plus", yaitu plus penghargaan atas hal-hal yang lokal dan pinggiran. Saya pribadi berharap agar Islam liberal menjadikan "lokalitas" dan hal-hal yang bersifat pinggiran menjadi agenda liberalismenya, sehingga agenda Islam liberal dan postra bisa bertemu.
Lantas bagaimana prospek kedua arus pemikiran yang sama-sama menjunjung tinggi liberalisme itu? Terlepas dari aspek-aspek yang membedakannya, saya berkeyakinan, paham keagamaan yang dapat membedakan manusia dari segala bentuk keterkungkungan sambil menghargai aspek-aspek yang berbau lokal dan pinggiran akan lebih dekat dengan perasaan kemanusiaan. Dengan demikian, tidak ada lagi hegemoni dan dominasi satu kelompok atas kelompok lain atas nama otentisitas. Islam yang turun di Arab adalah agama yang tidak terlepas dari problem lokal. Karena itu, tidak perlu ada hegemoni lokalitas atas lokalitas lain atas nama "Islam murni", karena kemurnian Islam tidak dapat diukur dengan lokalitas tertentu.
Dalam kaitan ini kita bisa berkaca pada sejarah panjang Islam di Indonesia, yaitu pertemuan antara "teologi Islam Arab" dengan "teologi lokal nusantara" yang memungkinkan terjadi dialektika secara terbuka, sehingga Islam benar-benar menjadi agama sejarah yang dihayati, dipikirkan, dan dipraktikkan masyarakat. Atas dasar itu, klaim bahwa Islam di Jawa misalnya, kurang asli dan kurang otentik dibanding Islam di Timur Tengah, menjadi tidak relevan. Jika tauhid diyakini sebagai esensi ajaran Islam, maka hal itu tidak menutup kemungkinan untuk dipahami dalam berbagai perspektif sesuai kesadaran lokal tradisional masyarakat setempat. Munculnya berbagai aliran teologi seperti jabariyah, Qodariyah dan Mu'tazilah merupakan bukti, tauhid Islam begitu terbuka untuk ditafsirkan. Bila demikian, tidak ada alasan untuk menolak tradisi dan budaya lokal.
Atas dasar itu, kemajuan luar biasa kalau Muhammadiyah yang selama ini memusuhi tradisi dan budaya lokal karena dianggap sebagai bid'ah dan khurafat, mampu merumuskan cara pandang baru yang lebih apresiatif terhadap lokalitas seperti dikemukakan Mutohhirun Jinan dalam tulisannya di harian ini. (Kompas,16/11)
* Rumadi, Redaktur Jurnal Taswirul Afkar Lakpesdam NU, Mahasiswa S3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berita opini lainnya :
No comments:
Post a Comment