Gus Dur dan Kiai Kampung |
Pada paruh 1990-an, dalam salah satu tulisannya di media massa, budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) memberi predikat Gus Dur sebagai orang �?gila�?.
Disebut �?gila�? karena dalam kacamata Cak Nun, Gus Dur kerap memikirkan apa yang tidak dipikirkan orang lain dan membela apa yang tidak dibela orang lain. Konteks saat itu adalah memikirkan dan membela kelompok minoritas dan kelompok marginal lainnya.
Pembelaan Gus Dur terhadap umat beragama minoritas dan kelompok sosial dan politik minoritas lainnya yang teraniaya secara politik, misalnya. Bila kita mengamati pemikiran dan sepak terjang Gus Dur hingga saat ini, tampaknya predikat �?gila�? ini akan tetap relevan dan pantas disandang Gus Dur. �?Kegilaan�? Gus Dur seakan tidak pernah sirna ditelan berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.
�?Kiai Kampung�?
Seakan ingin mempertegas predikat �?gilanya�?, Ahad 18 Februari 2007, Gus Dur berhasil menggelar �?konsolidasi politik�? yang dikemas dalam bentuk �?Majelis Silaturahmi Ulama Rakyat (Masura)�? dengan menghadirkan lebih dari 3.000 �?kiai kampung�? se-Jabodetabek. Melalui kegiatan ini, seakan Gus Dur ingin menegaskan bahwa dirinya tak akan pernah kehabisan manuver politik sebagai bagian dari strategi untuk tetap eksis dalam konstelasi politik nasional.
Kegiatan ini juga bisa dikatakan sebagai jawaban atas mbalelo-nya �?Kiai Langitan�? atau sering juga disebut �?kiai khos�? terhadap Gus Dur. Gus Dur bahkan menilai �?Kiai Langitan�? sebagai tidak strategis lagi keberadaannya. Sebagai ganti atas pembangkangan �?Kiai Langitan�?, Gus Dur pun menggandeng �?kiai kampung�? sebagai mitra politik barunya. Sebagaimana dikatakan Gus Dur bahwa yang dimaksud �?kiai kampung�? adalah kiai yang secara institusi peripheral, tetapi secara kultural langsung bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Hal ini untuk membedakan dengan pengertian �?kiai khos�? yang dimengerti sebagai kiai yang telah menjadi pengasuh pesantren-pesantren besar, seperti Langitan, Tebuireng, Tambakberas, dan Lirboyo serta eksistensinya lekat secara institusional dengan pesantren tersebut. Namun, keberadaannya cenderung elitis dan tidak dekat dan mengakar di masyarakat. Pemunculan idiom �?kiai kampung�? dalam konteks politik kekinian tentu cukup menarik.
Letak menariknya setidaknya pada tiga hal. Pertama, idiom �?kiai kampung�? datang dari Gus Dur yang memang cukup piawai dalam membuat manuver politik. Sebelum memunculkan idiom �?kiai kampung�?, jauh hari Gus Dur telah memunculkan idiom �?Kiai Langitan�?, yaitu sebutan untuk beberapa kiai sepuh yang mempunyai kekhususan. Melalui pemunculan idiom ini, sepertinya Gus Dur ingin mengangkat �?derajat politik�? Kiai Langitan. Namun di sisi lain,Gus Dur juga ingin mendapatkan �?dukungan politik�? dari �?Kiai Langitan�?.
Apalagi, pemunculan idiom ini seiring dengan mencuatnya nama Gus Dur sebagai salah satu calon presiden 1999–2004. Dengan pemunculan idiom �?Kiai Langitan�?, derajat �?kiai khos�? langsung meroket. Sebelumnya, tentu sedikit sekali yang mengenal kiai seperti KH Abdullah Faqih, KH Mas Subadar, KH Idris Marzuki, dan KH Anwar Iskandar. Hanya mereka yang familier dengan kehidupan pesantrenlah yang mengenal kiai-kiai tersebut. Bahkan, penyebutan kata �?Langitan�? pun awalnya banyak diartikan sebagai kiai yang berasal dari �?langit�?.
Padahal, Langitan adalah nama pesantren tua yang terletak di Kecamatan Widangan,Tuban, Jawa Timur. Di pesantren ini pula, KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) pernah nyantri. Namun selepas Gus Dur mengidentikkan kiai-kiai tersebut dengan sebutan �?Kiai Langitan�?, barulah masyarakat nonpesantren dan bahkan para pemerhati politik mulai familier dengan nama-nama kiai tersebut.
Bagi Gus Dur sendiri, idiom �?Kiai Langitan�? yang dimunculkannya seakan menjadi amunisi tambahan menyongsong pemilihan presiden 1999. Bukan hanya itu––selepas terpilih menjadi presiden––keberadaan �?Kiai Langitan�? juga menjadi penasihat spiritual, bahkan ketika kekuasaan Gus Dur mulai digerogoti untuk kemudian dimakzul- kan oleh MPR, �?Kiai Langitan�? pun menjadi �?pembela�? Gus Dur yang begitu setia.
Kedua , idiom �?kiai kampung�? muncul ketika dalam tubuh PKB partai yang berbasiskan nahdliyin dan menempatkan kiai pada posisi sentral terjadi perpecahan, yaitu antara kubu Muhaimin Iskandar yang disokong Gus Dur dan kubu Choirul Anam yang konon disokong �?Kiai Langitan�?, yang sekarang lebih memilih mendirikan partai baru: PKNU. Melihat konteks kemunculannya, siapa pun akan menilai bahwa direkrutnya �?kiai kampung�? sebagai mitra politik baru Gus Dur, tidak lain bertujuan untuk mendongkrak perolehan suara PKB pada pemilu mendatang.
Elite PKB setidaknya mulai menyadari bahwa politik itu perlu adanya dukungan. Dan, dukungan tidak mungkin diperoleh dengan berpangku tangan. Tapi sebaliknya, mesti turun ke masyarakat dengan menyapa konstituen. Nah, �?kiai kampung�? inilah yang dinilai paling dekat dan bahkan langsung berhubungan dengan masyarakat. Di sinilah letak kepiawaian Gus Dur sebagai seorang politikus. Ketiga, peran kiai dalam banyak hal sedang mendapat sorotan banyak pihak, terlebih dalam keterlibatannya di ranah politik.
Disorientasi Kiai
Terlepas bahwa kemunculan idiom �?kiai kampung�? bersamaan dengan perpecahan yang sedang terjadi di tubuh PKB, pernyataan Gus Dur bahwa kiai yang ada saat ini cenderung elitis dan tidak membumi di masyarakat rasanya sulit untuk dibantah. Ada kecenderungan kuat di lingkup elite kiai telah terjadi pendangkalan moral. Disorientasi telah terjadi dan menimpa kebanyakan kiai.
Kiai tidak jarang menjadi broker politik. Kiai juga tidak jarang terlibat pada politik dukung mendukung. Ironisnya, terkadang dukungan yang diberikan tidak didasari pertimbangan moral, tapi karena pertimbangan dan kepentingan pragmatis belaka. Saat ini setidaknya ada empat gugatan terhadap perilaku kiai. Pertama, kiai lebih tertarik pada hal-hal yang menyangkut kelompoknya sendiri daripada kepentingan nyata yang menyangkut orang banyak (berdimensi keumatan).
Kedua, kiai cenderung lebih tertarik menjalin kolusi dengan penguasa dan birokrasi ketimbang menyantuni kelompok lemah (dhu’afa) atau kelompok yang dilemahkan (mustadh’afin). Ketiga, kiai kurang memiliki keberanian untuk merespons masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, keadilan, dan ketimpangan. Keempat, kiai tidak mempunyai kemauan untuk beranjak dari orientasi simbol menuju orientasi substansi dalam menyikapi ajaran agamanya.
Empat gugatan di atas semakin memperkuat pandangan bahwa kebanyakan kiai saat ini telah mengalami disorientasi kejuangan. Perilaku dan sikap politik kiai cenderung akomodatif. Namun disayangkan, sikap akomodatif yang dimunculkan cenderung mengarah pada sikap oportunis. Perilaku dan sikap seperti inilah yang tidak dikehendaki masyarakat.
Masyarakat tidak menghendaki kedekatannya dengan penguasa atau kelompok kepentingan tertentu misalnya menjadikan kiai lantas bersikap oportunis dan hipokrit. Sementara tugas mulia yang seharusnya mereka emban: berdakwah dengan mengajarkan nilai-nilai moral kepada masyarakat dan keharusan untuk berani menyampaikan sesuatu yang benar menjadi luntur. (SINDO/mbs)
MA’MUN MUROD AL-BARBASYDirektur Laboratorium Ilmu Politik FISIP
Universitas Muhammadiyah Jakarta dan
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah
No comments:
Post a Comment