“Perlu Dilahirkan Ismail-Ismail Baru”
HARI raya Idul Adha, atau lebih dikenal dengan hari raya kurban, bagi sebagian rakyat Indonesia berpenghidupan pas-pasan, sangatlah dinanti kehadirannya. Maklum, pada saat itulah mereka dapat ‘mencicipi’ hidangan daging sembelihan kurban yang jarang dinikmati di hari-hari biasa. Mereka tidak terjangkau harga daging yang demikian mahal. Untuk sekadar makan sehari-hari saja, mungkin kalangan papa ini kesulitan, apalagi memikirkan makan daging yang bagi kalangan ini adalah hidangan istimewa.
Di balik itu, sesungguhnya idul kurban tak semata menyembelih kambing, sapi, atau kerbau, sebagaimana disyariatkan dalam Islam. Menurut intelektual dan pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Sholahuddin Wahid, idul kurban menyuguhkan semangat berkorban, baik dari sisi harta, jabatan, maupun secara material lainnya, untuk kebaikan dan kesejahteraan sesama manusia. “Kesediaan Berkorban itu harus ditumbuhkan dalam setiap tindak laku keseharian umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan,” ujar tokoh NU.
Berikut wawancara At-Tanwir dengan mantan anggota Komnas HAM tersebut. Petikannya:
Menurut Anda, apa yang dapat dipetik dari perayaan Idul Adha?
Banyak. Yang paling monumental dan berharga adalah adanya kesediaan untuk berkorban. Bayangkan pada saat itu, Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk mengurbankan anak tercintanya, Ismail. Bagi kita semua orang, anak adalah harta paling berharga yang mungkin tak tergantikan oleh apapun. Kesediaan Ibrahim dan Ismail adalah sebuah pengorbanan luar biasa. Tentu tidak bisa kita tarik makna fisik dari perintah tersebut, sebab pada faktanya kemudian Ismail diganti Allah dengan kambing.
Lantas, makna kontekstualnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Ismail-nya itu yang harus ditumbuhkan di masa sekarang. Tentu akan berbeda-beda kalau ditanya makna Ismail itu. Bisa kesediaan berkorban dalam bentuk harta, jabatan, dan materi lainnya. Bagi politisi, mungkin kesediaan berkorban terhadap nafsu kuasanya. Bagi seorang pengusaha, dia harus rela dan bersedia mengurangi keuntungannya bagi kebaikan orang tak punya. Beragamlah, sesuai yang dianjurkan Islam. Tapi, selalu harus ada skala prioritas, bahwa kita harus mampu dan bersedia berkorban untuk kepentingan perjuangan umat, bangsa, dan perbaikan bagi seluruh umat manusia.
Kalau dalam konteks pemahaman selama ini, apakah kesadaran semacam itu sudah tertanam dalam benak dan sikap umat Islam?
Saya kira masih harus ditanamkan nilai-nilai kesadaran itu. Kita harus jujur, bahwa pemahaman umat Islam sejauh ini masih dominan pada aspek spiritual-ibadah, ketimbang aspek kemanusiaan-sosial. Kurban lebih dimaknai sebagai rutinitas menyembelih hewan yang disyariatkan. Justru makna sosialnya kurang kena. Padahal kalau semangat social-kemanusiaannya tumbuh dan dominan dalam perintah idul adha, maka perbaikan akan tercapai secara maksimal. Di sini semangat filantropi (kedermawanan) akan lahir dan tumbuh sebagai sikap dan sifat yang patut dilestarikan. Kalau di tingkat perusahaan ada istilah corporate social responsibility (tanggungjawab sosial perusahaan). Di luar negeri juga ada isitlah kapitalisme yang berhati nurani.
Orang macam Bill Gates, George Sorros, dan lainnya, banyak duit, bikin yayasan untuk member donasi kepada merka yang membutuhkan, termasuk member beasiswa pada para mahasiswa berprestasi tanpa melihat agama dan asal muasalnya. Kalau dalam Islam, ada piranti zakat. Kalau piranti ini dimaksimalkan, saya kira akan dahsyat dampaknya. Setahun di kita, yang saya dengar, terkumpul 250 miliar dari zakat. Saya kira bisa lebih kalau benar-benar dikelola secara professional dan bertanggungjawab, sebab kabarnya banyak dana zakat yang tak terkendali pengelolaannya.
Nah, filantropi itu sudah melebihi zakat. Kalau zakat hanya 2.5 persen, filantropi tak terbatas, sesuka yang member donasi.
Mengapa kesadaran sosial ini sulit muncul?
Saya tidak tahu persis. Memang aspek beribadah kepada Allah sangat menonjol. Haji misalnya, sebenarnya tak perlu berkali-kali, cukup sekali, toh itu kan yang wajibnya. Dulu, zaman Rasul, ada seorang sahabat, bertahun-tahun nabung untuk berhaji. Tapi di tengah jalan, ada orang miskin tak mampu makan. Bekal sahabat tadi, termasuk hartanya, diberikan kepada orang tak mampu tadi. Niat berhaji pun gagal. Rasul berkata, “Kamu telah melaksanakan ibadah haji.” Artinya, berhaji tak mesti berangkat ke Mekah, yang penting niatnya dan kepekaan sosialnya paling utama. Ibadah sosial tak kalah mulianya dengan ibadah spiritual.
Apa pesan Anda untuk menumbuhkan semangat idul adha ini?
Yang terpenting adalah mari kita tumbuhkan dan tingkatkan semangat filantropi islam dan spirit sosial agama. Kita kerap melupakan semangat ibadah social dan lebih mementingkan ibadah simbolik, yang wajib-wajib saja. Toh ibadah sosial sama pentingnya dengan ibadah mahdhah (yang wajib). Perlu dicatat pula, bahwa piranti filantropi dan zakat dapat menyejahterakan rakyat dan menjadi solusi pemberantasan kemiskinan.
Di balik itu, sesungguhnya idul kurban tak semata menyembelih kambing, sapi, atau kerbau, sebagaimana disyariatkan dalam Islam. Menurut intelektual dan pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Sholahuddin Wahid, idul kurban menyuguhkan semangat berkorban, baik dari sisi harta, jabatan, maupun secara material lainnya, untuk kebaikan dan kesejahteraan sesama manusia. “Kesediaan Berkorban itu harus ditumbuhkan dalam setiap tindak laku keseharian umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan,” ujar tokoh NU.
Berikut wawancara At-Tanwir dengan mantan anggota Komnas HAM tersebut. Petikannya:
Menurut Anda, apa yang dapat dipetik dari perayaan Idul Adha?
Banyak. Yang paling monumental dan berharga adalah adanya kesediaan untuk berkorban. Bayangkan pada saat itu, Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk mengurbankan anak tercintanya, Ismail. Bagi kita semua orang, anak adalah harta paling berharga yang mungkin tak tergantikan oleh apapun. Kesediaan Ibrahim dan Ismail adalah sebuah pengorbanan luar biasa. Tentu tidak bisa kita tarik makna fisik dari perintah tersebut, sebab pada faktanya kemudian Ismail diganti Allah dengan kambing.
Lantas, makna kontekstualnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Ismail-nya itu yang harus ditumbuhkan di masa sekarang. Tentu akan berbeda-beda kalau ditanya makna Ismail itu. Bisa kesediaan berkorban dalam bentuk harta, jabatan, dan materi lainnya. Bagi politisi, mungkin kesediaan berkorban terhadap nafsu kuasanya. Bagi seorang pengusaha, dia harus rela dan bersedia mengurangi keuntungannya bagi kebaikan orang tak punya. Beragamlah, sesuai yang dianjurkan Islam. Tapi, selalu harus ada skala prioritas, bahwa kita harus mampu dan bersedia berkorban untuk kepentingan perjuangan umat, bangsa, dan perbaikan bagi seluruh umat manusia.
Kalau dalam konteks pemahaman selama ini, apakah kesadaran semacam itu sudah tertanam dalam benak dan sikap umat Islam?
Saya kira masih harus ditanamkan nilai-nilai kesadaran itu. Kita harus jujur, bahwa pemahaman umat Islam sejauh ini masih dominan pada aspek spiritual-ibadah, ketimbang aspek kemanusiaan-sosial. Kurban lebih dimaknai sebagai rutinitas menyembelih hewan yang disyariatkan. Justru makna sosialnya kurang kena. Padahal kalau semangat social-kemanusiaannya tumbuh dan dominan dalam perintah idul adha, maka perbaikan akan tercapai secara maksimal. Di sini semangat filantropi (kedermawanan) akan lahir dan tumbuh sebagai sikap dan sifat yang patut dilestarikan. Kalau di tingkat perusahaan ada istilah corporate social responsibility (tanggungjawab sosial perusahaan). Di luar negeri juga ada isitlah kapitalisme yang berhati nurani.
Orang macam Bill Gates, George Sorros, dan lainnya, banyak duit, bikin yayasan untuk member donasi kepada merka yang membutuhkan, termasuk member beasiswa pada para mahasiswa berprestasi tanpa melihat agama dan asal muasalnya. Kalau dalam Islam, ada piranti zakat. Kalau piranti ini dimaksimalkan, saya kira akan dahsyat dampaknya. Setahun di kita, yang saya dengar, terkumpul 250 miliar dari zakat. Saya kira bisa lebih kalau benar-benar dikelola secara professional dan bertanggungjawab, sebab kabarnya banyak dana zakat yang tak terkendali pengelolaannya.
Nah, filantropi itu sudah melebihi zakat. Kalau zakat hanya 2.5 persen, filantropi tak terbatas, sesuka yang member donasi.
Mengapa kesadaran sosial ini sulit muncul?
Saya tidak tahu persis. Memang aspek beribadah kepada Allah sangat menonjol. Haji misalnya, sebenarnya tak perlu berkali-kali, cukup sekali, toh itu kan yang wajibnya. Dulu, zaman Rasul, ada seorang sahabat, bertahun-tahun nabung untuk berhaji. Tapi di tengah jalan, ada orang miskin tak mampu makan. Bekal sahabat tadi, termasuk hartanya, diberikan kepada orang tak mampu tadi. Niat berhaji pun gagal. Rasul berkata, “Kamu telah melaksanakan ibadah haji.” Artinya, berhaji tak mesti berangkat ke Mekah, yang penting niatnya dan kepekaan sosialnya paling utama. Ibadah sosial tak kalah mulianya dengan ibadah spiritual.
Apa pesan Anda untuk menumbuhkan semangat idul adha ini?
Yang terpenting adalah mari kita tumbuhkan dan tingkatkan semangat filantropi islam dan spirit sosial agama. Kita kerap melupakan semangat ibadah social dan lebih mementingkan ibadah simbolik, yang wajib-wajib saja. Toh ibadah sosial sama pentingnya dengan ibadah mahdhah (yang wajib). Perlu dicatat pula, bahwa piranti filantropi dan zakat dapat menyejahterakan rakyat dan menjadi solusi pemberantasan kemiskinan.
No comments:
Post a Comment