Monday, May 28, 2007

Makalah Bedah Buku Gus Dur
LAKUM DINUKUM WA LIYA DINI

Nuansa Dasariah Buku Islamku Islam Anda Islam Kita:
Sebuah Tinjauan Teologis, Sosiologis dan Antropologis1

Oleh P. Dr. Philipus Tule, SVD

Philipus TulePendahuluan
Pengalaman konflik antaragama yang sering dialami di persada nusantara ini, telah mendorong pemerintah, tokoh agama, cendekiawan dan aneka LSM di Indonesia untuk mencarikan solusi, baik secara preventif maupun kuratif. Acara bedah buku karya KH Abdurrahman Wahid, yang diprakarsai oleh PADMA Indonesia dan The Wahid Institute ini merupakan inisiatif positif untuk mensosialisasikan karya monumental seorang Kiyai Intelektual dan Negarawan berwawasan kosmopolitan itu, menghimpun para alim ulama dan cendekiawan, untuk bersama-sama mendiagnosis situasi nasional dan umat masa kini yang ditandai oleh aneka bentuk konflik bernuansa SARA. Selanjutnya, bersama-sama memprognosis masa depan kehidupan bermasyarakat dan beragama yang lebih kondusif serta memungkinkan kita membuat pilihan tepat dalam menata kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera (dkl maslahah ’ammah atau bonum commune).

Demi memperkaya telaah sosial, politik dan agama yang telah dirajut oleh Bapak KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya, serta menambah secercah sinar pada makalah Pembahas Pertama (bpk Dr. M. Syafi’i Anwar), saya coba menyoroti eksistensi agama dalam masyarakat dari perspektif teologis, sosiologis.dan antropologis. Saya menawarkan sebuah judul sebagaimana tertera diatas, karena kebanggaan akan profesi saya sebagai seorang pastor Katolik yang sambil menekuni studi Islamologi dan Antropologi Agama-Agama, saya pun tetap setia pada iman dan keyakinanku pada aspek teologis dari agama wahyu (Agama Revelasi seperti Kristen dan Islam).

Pergumulan akademis seperti itu, tentu saja tidak menggiring aku kepada posisi merelativisir ataupun mengabsolutir dimensi tertentu, tapi justeru membimbing aku kepada sikap yang lebih seimbang dalam memahami dan menghayati kehidupan keagamaan sebagai yang berdimensi wahyu (revelasi) dan yang berdimensi sosial (masyarakat) dan budaya (kultural) sebagaimana juga dilakukan oleh Gus Dur.

Makalah ini dikemas dalam kerangka pikir sebagai berikut: pendahuluan, data sosiologis agama-agama di dunia (internasional dan nasional). Lalu disusul dengan pembahasan mengenai arti agama dan masyarakat, teori-teori sosiologi agama, mosaik pemikiran toleran - inklusif dari KH Abdurrahman Wahid, dan beberapa kesimpulan praktis untuk konteks kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia.

Data Sosiologis Agama-Agama
Indonesia adalah negara dengan konsentrasi penduduk Islam terbesar di dunia yakni 88,22 % dari total 210 jiwa (BPS, 2004). Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah provinsi paling tinggi persentase orang Kristen di Indonesia. Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2000, yang dianalisis dalam buku “ Indonesia’s Population” oleh Leo Surjadinata, Evi N. Arifin dan Aris Ananta, jumlah penduduk beragama Katolik dan Protestan sebesar 89.7 persen dari populasi 3,8 Juta (BPS 2000). NTT, sbagaimana di beberapa kawasan Indonesia lainnya, Muslim justru minoritas hanya 9.07 %. Di Bali misalnya, jumlah pemeluk Hindu sekitar 87,4 persen dari total penduduk 3.1 juta sedangkan Muslim hanya 10,3 persen. Jumlah orang Kristen juga besar di Sulawesi Utara, Papua, Maluku, Kalimantan Barat dan Sumatra Utara.

Masalah perbedaan agama, baik secara kwantitatif (minoritas ataupun mayoritas) maupun kwalitatif (toleran ataupun fanatik/radikal, konservatif ataupun modern), telah menimbulkan dampak samping dalam kehidupan bermasyarakat dalam bentuk konflik dan mencemarkan nama baik bangsa Indonesia yang secara historis berkarakter toleran dan damai. Lebih dari 10,000 orang mati dalam sengketa sektarian di Maluku sejak 1999. Ini juga terjadi di Poso. Jikalau di pulau Jawa dan Sumatra, orang sering dicemaskan oleh isue “Kristenisasi”, maka di Minahasa, Bali, Timor, Flores, Papua, Sumba dan kawasan Indonesia Timur lainnya, isu yang mencemaskan adalah “Islamisasi.”

Isue agama yang sering dipolitisasi seperti itu, sering berdampak pada munculnya sikap-sikap emosional dan primordial. Di Bali, ribut-ribut RUU Pornografi, mendorong tokoh dan organisasi di pulau Dewata itu melontarkan ide “merdeka dari Indonesia.” Harian Komentar, sebuah suratkabar di Manado, menulis dalam lembaran editorialnya bahwa kalau “daerah lain” bisa menjalankan syariat Islam maka Minahasa seharusnya juga boleh “merdeka.”

Data Statistik Agama di Dunia
Kristen : 33,00 %; Islam: 21,00 %; Hindu: 13,42 %; Buddha : 06,00 %; Tao : 06,00 %; Agama Asli: 06,00 %; Tak Beragama: 14,00 %; Yudaisme : 00,22 %; Sikh: 00,36 %.

[ Total Penduduk dunia: 6.185.000.000].

Data Statistik Agama di Indonesia (Nasional)
Islam : 88.22 %; Protestan: 5.87 %; Katolik: 3.05 %; Hindu: 1.81 %; Budha: 0.84 %; Lain-lain: 0.2 % [ Total Penduduk Indonesia: 210 juta pada 2004]

Data Statistik Agama di NTT
Catholic 55.49%; Protestant 34.46%; Muslim 9.07%; Other 0.88%

[Total penduduk NTT: 3,8 juta (Sumber BPS, 2000)]

Masyarakat Beragama: Tinjauan Teologis dan Sosiologis
Sebelum kita menggumuli makna sosiologisnya, baiklah kita menyimak refleksi teologis tentang konsep atau nuansa kata masyarakat itu. Disiplin ilmu yang secara khusus ditata untuk menafsir apakah agama itu rasional atau irasional dan apakah agama itu mengatasi pelbagai ujian inkoherensi dan sesuai dengan Realitas Tertinggi, Terluas dan Terdalam (yang disebut ALLAH, God, Ngga’e Ndewa) dinamakan Teologi. 2 Teologi itu menafsir agama-agama dan keseluruhan peradaban ataupun kultur yang dipengaruhinya dalam standar etis. Pelbagai orientasi keagamaan yang cenderung melahirkan perang suci dalam artian harafiah (mis. Jihad dan kemartiran dalam abad pertengahan) ataupun genocide sebagai usaha pemusnahan secara sistematis dan teratur terhadap suatu kelompok masyarakat atas nama agama dengan penindasan serta korban-korban dehumanisasi ataupun aktivitas yang menuntut kita berbohong kepada diri sendiri ataupun sesama demi agama, haruslah ditinggalkan demi Yang Suci itu sendiri. 3 Dewasa ini, teologi menjadi mitra perbincangan utama bagi sosiologi agama karena keduanya dibutuhkan dalam pengembangan civil society (masyarakat berkebudayaan) di masa depan.

Selanjutnya arti kata masyarakat baik secara etimologis maupun terminologis kiranya membantu kita memahami secara lebih baik karakter teologisnya dalam aktivitas pembangunan. Kata masyarakat (bhs Indonesia) merupakan terjemahan dari kata society (bhs Inggeris), yang berkaitan erat dengan kata socius (bhs Latin) yang berarti kawan, sahabat, sekutu dan teman. Kata masyarakat itu berkaitan erat dengan kata bahasa Arab MUSYAARAKAT yang berarti kemitraan, kooperasi, kolaborasi, komunitas. 4 Dalam artian sosiologis, term bahasa Arab MUSYAARAKAT itu berkaitan erat dengan kata MA (yang berarti YANG) dan SYARIKA (yang berarti BERSEKUTU). Oleh karena itu term MUSYARAKAT (SOCIETY) diartikan sebagai suatu persekutuan sosial; persekutuan dari insan-insan yang bersahabat (Socius) dan yang berakal budi (LOGICUS). Tetapi suatu perkembangan baru dalam filsafat manusia menggaris-bawahi bahwa manusia itu bukan saja merupakan ens rationale (atau ens logicus), tapi juga ens sociale dan ens teologicus. Manusia adalah insan-insan sosial yang menyadari keterbatasan dirinya sendiri serta membutuhkan sesama dan kekuatan supranatural yaitu ALLAH. Oleh sebab itu, sedari kodratnya isi konsep MASYARAKAT (persekutuan sosiologis) senantiasa berimplikasi teologis.

Malahan implikasi teologis itu lebih jelas bila dipahami kata MA sebagai sinonim dengan LA yang berarti TIDAK, dan yang ditautkan dengan SYARIKA (mempersekutukan, membagi, berpartisipasi). Dalam Islam, term SYARIKA senantiasa dihubungkan dengan ide teologis tidak mempersekutukan Allah Esa (TAWHID) dengan dewa/i lainnya. Dalam arti itulah masyarakat mengandung konsep persekutuan insan-insan rasional yang percaya akan Allah Esa. Masyarakat adalah persekutuan insan-insan beragama. Karena itu, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai iman harus dihayati dan diamalkan dalam kebersamaan. Agama dan nilai-nilainya harus menjadi sumbangan bagi pembangunan masyarakat bangsa umumnya dan pelestarian alam dan lingkungan hidup khususnya. Dengan kata lain, agama itu berdampak sosial. 5

Aneka Definisi Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yang ternyata mempunyai beberapa arti. Kelompok pertama mengatakan bahwa agama berasal dari a (tidak) dan gam (kacau). Agama berarti tidak kacau. Pandangan kedua mengatakan bahwa a (tidak) dan gam (pergi). Agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Yang lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, karena agama biasanya mempunyai Kitab Suci.

Secara terminologis agama juga didefinisikan sbb: Agama sebagai ad-Din: Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata din mengandung arti menguasai, mendudukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Bila kata din dihubungkan dengan kata Allah jadi din Allah (agama dari Allah), din Nabi (agama dari Nabi), dinul-ummah (agama yang diwajibkan agar umat manusia memeluknya). Ad-Din juga berarti syariah, yakni nama bagi perarturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah selengkapnya (ataupun prinsip-prinsip saja) dan diwajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakannya, yang mengikat hubungan mereka dengan Allah dan sesamanya. Ad-Din juga berarti millah, atau mengikat yakni mengikat dan memepersatukan segenap pemeluknya dalam satu ikatan yang erat (ummat) dan juga dengan Allah mereka.

Agama juga didefinisi sebagai Religi: dari bahasa Latin (religio). Namun para pakar masih berbeda pendapat tentang asal dan akar katanya yang asali serta artinya. Diantara para penulis Romawi, Cicero yang berpendapat bahwa religion (religio) berasal dari kata legare yang berarti mengambil (menjemput), mengumpulkan, menghitung atau memperhatikan sebagai contoh, memperhatikan tanda-tanda tentang suatu hubungandengan ketuhanan atau membaca alamat.6

Bertolak dari konsep literer itu, Emile Durkheim dari Perancis memberikan definisi sbb: Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites (faith and practices) related to sacred things, unites adherents in a single community known as a church. 7 Dari definisi tersebut terungkaplah empat komponen berikut: (1). Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. (2). Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta wujud dari alam gaib (supranatural). (3). Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewi atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. (4). Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dan yang melakukan sistem upacara-upacara.

Glock dan Stark 8 mengemukakan bahwa betapa sulit mengukur religiositas seseorang ataupun komunitas (umat) karena setiap agama bisa mengukurnya dengan rujukan pada hal-hal seperti: keanggotaan, kepercayaan pada doktrin agama, etika dan moralitas, pandangan dan cara hidup, dll. Namun hampir semua pakar agama mengemukakan bahwa ada lima dimensi dasar yang paling menonjol dalam setiap agama dan dapat dipakai untuk mengukur atau menguji kadar/mutu keagamaan (religiositas) seseorang. Kelima dimensi komitmen keagamaan (dimensions of religious commitment) itu adalah sbb:

  1. Dimensi iman (belief dimension), yang mencakup ekspektasi (harapan) bahwa seorang penganut agama menganut dan memahami suatu pandangan teologis yang menyebabkan dia mengakui dan menerima kebenaran agama tertentu.
  2. Dimensi praktis keagamaan (religious practice), yang mencakup ibadat (rituals) dan devosi, yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap penganut agama. (bdk. Dalam Islam dan Katolik…… contoh konkrit)
  3. Dimensi pengalaman keagamaan (the experience dimension or religious experience), yang mencakup kenyataan bahwa semua agama punya harapan yang standard (umum) namun setiap pribadi penganutnya bisa memperoleh suatu pengalaman langsung dan pribadi (subyektif) dalam berkomunikasi dengan realitas ultimate (supranatural) itu.
  4. Dimensi pengetahuan (the knowledge dimension), yang merujuk pada ekspektasi bahwa penganut agama tertentu hendaknya memiliki pengatahuan minimum mengenai hal-hal pokok dalam agama: iman, ritus, Kitab Suci dan tradisi. Dimensi iman dan pengetahuan memiliki hubungan timbal balik, yang mempengaruhi sikap hidup dalam penghayatan agamanya setiap hari.
  5. Dimensi konsekwensi sosial (the consequences dimension). Dimensi ini mengidentifikasi efek dari keempat dimensi diatas dalam praktek, pengalaman serta kehidupan sehari-hari.

Aneka Teori Sosiologi Agama 9
Salah satu aliran sosiologi yang berbicara mengenai prospek agama-agama adalah sosiologi fungsional. Aliran ini memandang agama sebagai realitas sosial, yaitu suatu unsur penting yang menciptakan stabilitas serta perubahan sosial. Sebagai “realitas intra-sosial”, agama itu terpengaruh oleh proses sosial itu sendiri. 10

Aliran sosiologi modern sebagaimana dipelopori oleh E. Durkheim dan Max Weber, menjadikan agama sebagai suatu yang sentral dalam teori sosial. Durkheim memusatkan telaahnya pada pertanyaan dasar: bagaimana masyarakat dapat menghasilkan dan mempertahankan kohesi sosialnya? Bagi Durkheim, agama menjadi faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. Agama merupakan suatu sistem interpretasi-diri kolektif; agama adalah cara khas berpikir tentang eksistensi kolektif.” 11 Dengan kata lain, agama adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusiawi para anggotanya. Sejauh masyarakat masih ada dan berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Setiap masyarakat dalam proses menghayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan ”kebaktian” pada representasi-diri simboliknya, menegaskan dan meneguhkan perasaan dan gagasan kolektifnya yang menciptakan kesatuan dan kepribadiannya.” 12

Pandangan Durkheim tersebut tercermin pula dalam teori R. Bellah mengenai agama sipil (civil religion). 13 Menurut pengamatan Bellah, di Amerika ada gejala yang disebutnya civilreligion, suatu konsep yang berasal dari Rousseau, yang tampak dalam dokumen-dokumen berdirinya Negara Amerika Serikat, seperti upacara-upacara dalam pengukuhan jabatan-jabatan kenegaraan dan hari-hari pesta yang memperingati peristiwa-peristiwa penting yang memupuk America’s national self understanding. Bagi Bellah, civil religion adalah subordinasi bangsa pada prinsip-prinsip etis yang mengatasi bangsa itu sendiri dan atas dasar prinsip itu martabat bangsa dinilai. 14

Max Weber memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana masyarakat berubah dan mengalami kemajuan. Ia justeru menemukan bahwa agama merupakan faktor penggerak perubahan sosial. Menurut T. Parsons, ”Perhatian utama Weber adalah agama sebagai sumber dinamika perubahan social dan bukan sebagai instrumen peneguhan struktur masyarakat.” 15 Kendatipun Weber tidak memberikan definisi eksplisit mengenai agama, tetapi dari tulisannya dapat dibaca bahwa baginya agama memberikan ”kerangka makna” pada dunia dan perilaku manusia, suatu perspektif dengan mana manusia memahami dunia, kegiatannya, ruang di mana ia ada, waktu yang mengatur hidupnya dan masa depannya, termasuk kematiannya. Ia menelaah agama dari segi dampaknya terhadap masyarakat. Agama juga berpautan dengan penciptaan budaya. Bukunya The Protestan Ethics and the Spirit of Capitalism 16 merupakan rintisan penelitian dan pendekatan baru dalam abad XX mengenai peranan kreatif agama dalam pembentukan kebudayaan.

Selanjutnya bagi Peter Berger, agama merupakan langit-langit sakral (the Sacred Canopy) yang terbentang di atas kerapuhan (vulnerabilitas) eksistensi manusia, yang berpuncak pada kematian. Seperti Heidegger, Berger melihat kecemasan manusia ketika menghadapi maut yang merupakan ciri ”eksistensialis”-nya. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. 17

Agama tidak hanya penting dalam proses konstruksi dunia manusiawi, tetapi juga dalam proses melestarikannya. Agama secara historis merupakan alat legitimasi institusí sosial paling efektif dengan memberikan status ontologis padanya, dengan menempatkannya dalam suatu kerangka sacral dan kosmis. Ritus keagamaan pun berfungsi meningkatkan terus menerus, lewat pengingatan kembali (perayaan) dan legitimasi religius sehingga dapat berinteraksi dengan perbuatan manusia sehari-hari. Untuk tujuan itu, setiap tradisi religius membutuhkan komunitas religius untuk dapat mempertahankan kredibilitasnya: jemaah, ummat, sangha dan lain-lain. Pada kesimpulannya Berger mengingatkan pengertian agama dalam uraiannya sebagai: “the establishment through human activity, of an all embracing sacred order, that is, of a sacred that will be capable of maintaining itself in the ever present face of chaos”. 18

Kritik terhadap Agama
Pembicaraan mengenai sosiologi agama serta prospek agama-agama tidak akan lengkap bila kita mengabaikan kritik atas agama oleh Marxisme. Marx menekankan peranan institusi (ekonomi dan sosial) dalam membentuk kesadaran. Kesadaran tidak dapat lain daripada eksistensi yang sadar dan eksistensi manusia adalah proses hidup yang aktual ...... kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan....... kesadaran dari awal adalah produk sosial dan akan tetap begitu selama manusia masih ada. 19 Marx memandang agama sebagai proyeksi diri masyarakat dalam kesadaran, sebagai kesadaran palsu yang mencerminkan dan melindungi ketidakadilan tatanan sosial. Manakala manusia dibebaskan dari penindasan ekonomis dan dari konsekwensi dehumanisasinya, agama akan digantikan oleh pemahaman yang realistik tentang kehidupan sosial.

Toynbee dalam dialog dengan Ikeda sampai pada kesimpulan bahwa ”bangsa manusia telah disatukan, secara sosial, untuk pertama kalinya dalam sejarah oleh penyebaran secara mondial peradaban modern. Masalah masa depan agama muncul, karena semua agama yang ada sekarang terbukti tidak memuaskan. Agama di masa depan tidak harus merupakan agama yang sama sekali baru. Hal ini dapat merupakan versi baru dari agama lama. Tetapi bila agama lama harus dihidupkan dalam suatu bentuk yang mampu menjawab kebutuhan baru bangsa manusia, kiranya mungkin bahwa agama itu ditransformasikan sedemikian radikal sehingga hampir tak dikenal lagi. 20 Toynbee mengharapkan bahwa agama yang baru itu adalah agama yang memungkinkan bangsa manusia mengatasi kejahatan yang paling mengerikan dan mengancam kelestarian bangsa manusia seperti keserakahan, perang dan ketidakadilan sosial, lingkungan artifisial yang diciptakan bangsa manusia lewat penerapan ilmu pada teknologi untuk memuaskan keserakahan.

Mosaik Pemikiran Agama yang toleran – inklusif dari KH Abdurrahman Wahid:

Lakum Dinukum wa Liya Dini
Melengkapi aneka pandangan para pakar sosiologi dan sejarahwan tersebut, Kiyai dan Cendekiawan (c.q. KH Abdurrahman Wahid), tampil dengan wawasan religius yang ”Kosmopolitan yang menyejarah (historis), kontekstual, plural dan inklusif serta menawarkan kesejukan, kenyamanan dan kedamaian”. Mosaik pemikiran religius yang kontekstual, toleran, plural dan inklusif itu terungkap baik secara eksplisit maupun implisit dalam artikelnya berjudul ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA yang dimuat dalam koran Kedaulatan Rakyat 29 April 2003), yang sekaligus menjadi judul bukunya ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi (Wahid, 2006: 66-ss). 21

Dalam gaya bahasanya yang plastis, terkadang sarkastis dan heroik (pemberani) mosaik ide brilian seputar ISLAM dalam tautannya dengan masyarakat, agama, politik dan kebudayaan dikemasnya menjadi 7 (tujuh) bab sebagai berikut: Islam dalam Diskursus Ideologi, Kultural dan Gerakan (Bab I), Islam Negara dan Kepemimpinan Umat (Bab II), Islam Keadilan dan Hak Asasi Manusia (Bab III), Islam dan Ekonomi Kerakyatan (Bab IV), Islam Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya (Bab V), Islam Tentang Kekerasan dan Terorisme (Bab VI), dan Islam Perdamaian dan Masalah Internasional (Bab VII).

Tanpa mengelaborasi semua pemikiran positif dan universal sebagaimana terkandung dalam karya monumental itu, ataupun yang telah dipaparkan oleh Pemakalah Pertama (Bpk Dr. M. Syafi’i Anwar, baik dalam Kata Pengantar Buku maupun dalam paparan lisan hari ini), saya ingin menggaris-bawahi beberapa pokok pikiran berikut ini.

Penguatan ISLAMKU Mengantisipasi Pendangkalan Agama
Pada penghujung pengembaraan intelektual dan imannya, Gus Dur sampai pada suatu titik kesadaran akan watak kosmopolitannya, dengan pemikirannya yang khas dan berbeda dari orang-orang lain. Itulah yang dinamakannya ISLAMKU. Pengembaraan individualnya ini, baik secara geografis spasial sejak dari tahun 1950-an di Jombang, hingga tahun 1960-an di Mesir dan Baghdad, maupun secara intelektual telah membuktikan kepiwaiannya untuk belajar tanpa kenal batas waktu, 22 batas wilayah dan agama 23 serta ideologi, termasuk saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama serta agama-agama lain (Wahid, 2006: 66).

Sikap demikian mengisyaratkan apa yang telah dicanangkan filsuf kondang Al-Kindi (800 – 870M) dari Kufa (Arab) bahwa

”kita patut bersyukur kepada usaha atau jasa para filsuf yang telah berhasil mengembangkan pengetahuan yang benar...... Sepantasnyalah kita tidak malu-malu lagi untuk menerapkan suatu kebenaran (al-haqq) dalam kebijaksanaan legal (istihsan), dan meyakini kebenaran itu darimana pun asalnya, sekalipun dari bangsa-bangsa lain yang menjadi saingan kita”. 24

Dengan wawasan demikian, dapatlah diyakini kemampuan untuk mengatasi pendangkalan pemahaman keagamaan, yang sering berdampak pada pembentukan sikap fanatisme atau radikalisme yang terwujud dalam aneka bentuk tindak kekerasan di pelbagai tempat seperti di Maluku, Poso, Aceh dan Sampit, Bali dan Jakarta (Wahid, 2006: 299).

Penghargaan akan ISLAM ANDA Menjadi Buaian Toleransi dan Pengakuan Akan Pluralitas
Gus Dur menyadari bahwa Islam sebagai agama Wahyu itu dihayati dalam konteks pribadi, baik religius maupun sosial dan budaya yang unik. Fenomena Islam yang demikianlah yang dinamakannya ISLAM ANDA, sebagai kebenaran religius yang diperoleh atas dasar keyakinan, dan bukan pengalaman. Kadar penghormatan terhadap Islam seperti ini ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran (Wahid, 2006: 67-68). Sebagai tokoh agama dan negararawan, Gus Dur sangat menghargai penghayatan Islam sesamanya yang lain, yang berbeda dari penghayatan Islam pribadinya. Sikap inilah yang bakal menjadi buaian bagi toleransi dan pengakuan akan pluralitas Islam itu sendiri dan pluralitas agama serta kepercayaan lainnya didalam masyarakat dunia dewasa ini.

Menurut pengamatanku, apresiasi Gus Dur terhadap pluralitas pemahaman dan penghayatan Islam itu telah menjadi sumber inspirasinya juga untuk mengapresiasi pluralitas agama-agama dunia serta respeknya terhadap kebebasan beragama, sebagaimana diamanatkan dalam beberapa ayat Quran: Lakum dinukum wa liya dini // bagimu agamamu, bagiku agamaku (bdk. Q.2, 256; 8, 29; 14, 4; 28,56). Baginya, toleransi dan respek terhadap kebebasan beragama itu merupakan salah satu amanat dasar dalam Quran, sebagaimana ditegaskan pula dalam Q.21, 107: ”Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia // wa maa arsalnaaka illaa rahmatan li al-’aalamiin” (Wahid, 2006: 78). 25

Penolakan terhadap Negara Agama dan Terorisme Agama
Secara tegas dan explisit Gus Dur menyatakan bahwa dia menolak ’ide pembentukan sebuah negara agama’ dan ’aneka bentuk terorisme atas nama agama’. Menurut Gus Dur, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya suatu sistem Islam. Hal itu berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam, baik karena tidak adanya pengaturan yang jelas dalam Quran tentang sistem Islam itu (Wahid, 2006: 99), maupun karena Mukhtamar NU 1935 di Banjarmasin menegaskan hal itu; tambahan pula karena ketika NU mendeklarasikan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak disebutkan bahwa partai itu adalah Partai Islam, karena NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah atau politisasi terhadap teks keagamaan (Wahid, 2006: 5-7; 84; 100-102; 106 – 110; 307-308). 26

Di hadapan konsep pembentukan Negara Islam dan penolakannya baik oleh sekelompok Muslim sendiri maupun oleh Pemerintah dan warga minoritas, terjadilah aneka bentuk terorisme yang mengatas-namai agama Islam. Sebagaimana terungkap dalam artikelnya berjudul ”NU dan Terorisme Berkedok Islam” (Duta Masyarakat, 12 April 2003), Gus Dur menulis bahwa dalam jenis-jenis tindakan teroristik itu, para pemuda muslim jelas-jelas terlibat dalam terorisme yang dipersiapkan........... Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap diri mereka bertindak atas nama Islam (Wahid, 2006: 304). Sebagaimana halnya Gus Dur menolak tindakan kekerasan di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, perusakan Mesjid Babri oleh warga Hindu di India, maka dia dengan tegas membela kaum minoritas dan menolak semua tindakan terorisme yang mengatas-namai Islam mayoritas, karena mayoritas Muslim di berbagai negeri tidak terlibat dalam pertikaian dengan tindakan kekerasan seperti itu (Wahid, 2006: 304).

Mengupayakan AGAMA KITA sebagai Sarana Kemasyarakatan, Penegakan HAM, Keadilan dan Perdamaian Dunia
Bagi Gus Dur, agama Islam sebagai AGAMA KITA bukanlah sebuah agama politik semata-mata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam itu sangatlah kecil, yang terkait langsung dengan kepentingan orang banyak. Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan. Dengan kata lain, Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, masyarakat sejahtera. Islam menjadi sarana kemasyarakatan, yang lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita (Wahid, 2006: 32 - 33). Oleh karena itu, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), keadilan dan Perdamaian Dunia menjadi opsinya yang fundamental dari agama Islam.

Kesadaran akan fungsi agama Islam dan semua agama lainnya dalam penegakan HAM, Keadilan dan Perdamaian Dunia juga ditegaskan oleh Gus Dur pada kesempatan menjadi Keynote Speaker dalam sebuah konferensi mengenai Good Governance and Global Ethics, di Paris pada Mei 2003. Perjuangan penegakan hukum dan keadilan harus menjadi agenda utama dari semua agama dan pemerintahan, teristimewa dalam zaman dimana korupsi, pelanggaran hukum, peremehan nilai-nilai religius merajalela di dunia. Oleh karena itu, dialog terus menerus tentang penegakan hukum dan keadilan, serta sharing spiritualitas baru antara para tokoh dan pemeluk berbagai agama sangatlah bermanfaat (Wahid, 2006: 280 – 283; 355-359).

Memperkaya Wawasan Keagamaan dengan Pendekatan Akademis dan Kultural
Tak dapat disangkal bahwa para kerabat yang ber­iman Muslim senantiasa memandang agama Islam sebagai norma dan ideal. Sedangkan sebagai cendekiawan, baik Muslim maupun non-Muslim bisa memandang Islam sebagai suatu objek studi dan sasaran penelitian. Dalam kaitan dengan ‘norma’, suatu distingsi jelas hendaknya di­buat antara Islam normatif dan Islam aktual. Islam normatif adalah Islam ideal atau Islam yang dicita-citakan sebagaimana tersurat dan tersirat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah yang autentik, tetapi yang belum tentu terwujud dalam tingkah laku sosial politik umat Islam sehari-hari. Dalam Islam normatif itu termuat segala ketentuan, norma-norma dan nilai-nilai yang diterima umat Islam sebagai perwujudan wahyu ilahi. Sedangkan Islam aktual adalah Islam historis atau sejarah sebagaimana yang telah dipahami dan diterjemahkan kedalam konteks sejarah oleh umat Islam dalam menjawabi aneka tantangan yang kompleks dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budayanya. Di dalam Islam aktual itulah tercakup aneka gerakan, praktik dan cita-cita yang ada dalam masyarakat Islam di pelbagai zaman dan tempat, termasuk Indonesia.

Dari sudut pandangan ilmiah (akademis) dengan pendekatan kultural ini, kita tak beralasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat Islam tertentu dapat mewakili Islam normatif ataupun Islam ideal lebih baik daripada masyarakat Islam lainnya. Oleh karena itu, studi tentang ajaran (doktrin) Islam yang universal hendak­nya senantiasa dibarengi dengan usaha memahami aneka pola peng­hayatan iman di pelbagai komunitas muslim lokal yang diharapkan mampu menjelaskan pelbagai cita-cita dan praktik ke-Islaman yang beraneka ragam (pluralitas). 27

Gus Dur menyadari hal itu sehingga dia menandaskan bahwa kendati pun Islam diterima sebagai kebenaran abadi yang bersifat universal dan berlaku di segala tempat dan zaman, namun cita-cita dan praktiknya harus dipelajari sebagaimana ‘adanya’ pada tempat dan zaman yang berbeda-beda sesuai komunikasi kultural timbal balik yang terjadi antara budaya Islam dengan budaya lokal dalam nuansa akomodatif. Dengan demikian, studi kawasan Islam atau Islamic Area Studies sangat dibutuhkan dan mendesak (Wahid, 2006: 22-23; 391). Sealur dengan pandangan Gus Dur itulah, maka studi antropologi Islam sebagaimana dirintis oleh Evans-Pritchard (1949), 28 Geertz (1960), 29 Siegel (1969), 30 Bowen (1993), 31 Heffner (1985), 32 Barnes (1995, 1996), 33 Tule (2004) 34 dan lain-lain merupakan sumbangan besar demi memperkaya pemahaman agama Islam yang lebih kontekstual dan kultural.

Kesimpulan
Dari khasanah pemikiran Gus Dur sebagaimana terungkap dalam karya monumentalnya itu serta berdasarkan analisis yang dikedepankan dari perspektif teologi, sosiologi dan antropologi agama, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

  1. Masa depan agama-agama di dunia ini tidak lagi ditentukan hanya oleh wahyu (revelasi) dan instrumen legitimasi (seperti institusionalisasi teologis) serta fenomena sosial kwantitatif (minoritas-mayoritas) sebagaimana diwacanakan para sosiolog dan teolog. Faktor lain yang perlu diperhitungkan juga ialah persepsi insan beragama itu sendiri mengenai dirinya dalam proses sosio-kulturalnya: bagaimana ia mendefenisikan dirinya, tugasnya dan sikap imannya terhadap perkembangan situasi sosial-budaya, politik dan ekonomi itu. Berbagai macam usaha pembaharuan, reformulasi visi keagamaan dan berbagai gerakan reformasi agama-agama termasuk apa yang dilakukan oleh para pakar Indonesia (semisal bapak KH Abdurrahman Wahid) mempunyai pengaruh terhadap masa depan agama, baik dalam tataran nasional maupun mondial.
  2. Tendensi agama masa depan hendaknya lebih memberi tekanan pada orthopraksis daripada orthodoksi. Praksis dalam arti perlunya selalu memuat refleksi atau kajian yang memungkinkan perkembangan dan kreativitas. Dalam rangka ini pula menjadi penting peranan para pemikir agama, terutama para teolog (alim ulama) dan para mahasiswa/i dari aneka agama di Indonesia. Budaya reflektif ini lebih mendesak lagi dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan pesat dan mendalam dalam agama, yang sedang menghadapi tantangan ateisme, jahiliyah modern, radikalisme atau fanatisme sempit. Maka dapat dikatakan bahwa masa depan agama dan masyarakatnya dalam arti tertentu tergantung pada pengembangan wawasan falsafah dan teologinya yang kontekstual. 35
  3. Dalam konteks global setiap agama memiliki dimensi yang normatif-ideal, yang sama dan konstan, namun selalu ada dimensi yang dinamis dan berubah. Penilaian mengenai agama-agama harus ditempatkan dalam konteksnya yang spesifik, yang riil dan partikular. Meskipun demikian, dari pengamatan sosiologis makro atau mikro dapat ditunjuk faktor-faktor utama perubahan struktur dan perilaku agama manusia zaman sekarang, antara lain :
    • Penghargaan akan nilai-nilai duniawi serta otonomi manusia dan nilai-nilai yang berkaitan dengannya, seperti kemandirian, kebebasan, hak-hak asasi dan lain sebagainya.
    • Pandangan yang ”pluralistik”. Ini berkaitan dengan semakin berkembangnya sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi, munculnya aneka stratifikasi sosial sebagai akibat proses modernisasi.
    • Migrasi dan urbanisasi manusia serta konsentrasi penduduk pada pusat-pusat produksi serta kota-kota besar telah melahirkan perubahan struktur sosial, perilaku serta orientasi pada nilai baru dari kebanyakan insan beragama.
    • Dibutuhkan spiritualitas baru. Perjumpaan antaragama dan antarpenganut agama dengan latar kebudayaan beraneka seperti di Indonesia merupakan kesempatan akulturasi yang luas dan membuka kemungkinan pembaruan. Manusia merupakan makhluk yang terus menerus menafsirkan situasinya. Perjumpaan antarbudaya dan antaragama selalu memuat proses hermeneutik, yang membawa kepada pemahaman baru baik mengenai agamanya sendiri maupun agama serta budaya yang lain dan yang ikut menentukan corak penghayatan keagamaan yang terbuka dan inklusif di masa depan. Untuk itu, dibutuhkan suatu ’spiritualitas baru’ (religiositas universal atau perennial) yang harus dihayati oleh semua umat beriman, khususnya para pemimpin agama (Wahid, 2006: 280). Hanya dengan modal ’spiritualitas baru’ itu, pelbagai pendekatan interdisipliner (politis, teologis, antropologis-kultural) terhadap dialog antaragama dapat berjalan dengan spirit atau jiwa yang menghidupkan.

Akhirnya kemampuan agama untuk memberikan makna pada hidup manusia dan kemampuan untuk bersama-sama memecahkan masalah-masalah kemanusiaan zaman sekarang dalam semangat CINTA SEJATI dan dengan SPIRITUALITAS BARU akan merubah masa depan Indonesia. Setiap warganya yang beragama akan dapat berkata: Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Tapi lebih lanjut setiap warga pun akan dapat berkata dan lebih memahami apa artinya LAKUM DINUKUM WA LIYA DINI (Bagimu Agamamu dan Bagiku Agamaku).[]

Catatan:

  1. Makalah ini dipresentasikan pada Acara Bedah Buku KH Abdurrahman Wahid berjudul ISLAMKU ISLAM ANDA ISLAM KITA, di Jakarta pada tgl 26 Maret 2007 yang diselenggarakan atas kerjasama PADMA Indonesia dan The Wahid Institute..
  2. Stackhouse Max L., “the Sociology of Religion and the Theology of Society”, dalam Social Compass, vol. 37, no. 3 September, 1990. Louvain – La-Neuve., hal. 326
  3. Philipus Tule, “Pelestarian Alam dan Lingkungan Hidup yang Berwawasan Teologis”, dalam Philipus Tule dan W Djulei (eds), Agama-Agama Kerabat Dalam Semesta, Penerbit Nusa Indah: 1994, hal. 87.
  4. Wehr, Hans, the Arabic English Dictionary, Wiesbaden, 1979; hal. 548 – 549.
  5. Tule & Djulei, ibid., hal. 88-89.
  6. A.C.Bouquet, 1973, Comparative Religion, Penguin Book, Inc: Harmondsworth, Middlesex, England, hal. 3.
  7. Bdk. H.M.Rasyidi, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 49; mengutip Les Formes elementaires de la vie religouse, 1912.
  8. J. Glock dan R. Stark, American Piety: The Nature of Religious Commitment, 1968, University of California Press, hal. 11 – 19; diringkas menjadi “Dimensions of Religious Commitment” dan dimuat dalam buku Roland Robertson, 1969, The Sociology of Religion, hal. 253 – 261).
  9. Baca juga M. Sastrapratedja “ Prospek Agama-Agama, Suatu Tinjauan Sosiologis”, dalam Endang Basri Ananda (penyunting), 70 Tahun Prof.Dr. H. M. Rasjidi, Penerbit Harian Umum Pelita: Jakarta, hal. 309 – 319.
  10. Johann N. Schasching, “Il Futuro della religione”, dalam P. Calderan Beltrao (ed), Pensare il Futuro. Questioni sistematiche di futurologia, Roma, 1977, hal. 216.
  11. E. Durkheim, Suicide, (New York, Free Press: 1950) hal. 315
  12. E. Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (New York, Free Press; 1965), hal.474 – 475.
  13. R. Bellah, “Civil Religion in America”, dalam R. Bellah, Beyond Belief. Essays on Religion in a Post-Traditional World. (New York, Harper and Row: 1970), hal. 168 – 189.
  14. R. Bellah, op. cit., hal. 168.
  15. T. Parsons dalam Kata Pengantar untuk The Sociology of Religion, (Boston : Beacon Press, 1964).
  16. London, Unwin University, 1974.
  17. G. Baum, Definitions of Religions in Sociology”, dalam Concilium, no. 136, 1980, hal. 229.
  18. P. Berger, The Reality of Religion, (Penguin Books, 1973), hal. 59.
  19. K. Marx dan F. Engels, The German Ideology, (New York: International Publisher, 1947) hal. 14, 15. 19.
  20. A.J. Toynbee and Daisaku Ikeda, The Toynbee – Ikeda Dialogue. Man Himself Must Choose, (Tokyo, Kondansha Internasional: 1976), hal. 295-296.
  21. Bunga rampai yang terdiri dari 7 Bab dengan 412 halaman ini merupakan kumpulan dari 96 artikel yang pernah dimuat dalam 8 (delapan) Koran yakni Kedaulatan Rakyat (22), Duta Masyarakat (18), Suara Pembaruan (7), Kompas (5), Sinar Harapan (4), Media Indonesia (2), dan Majalah TEMPO dan The Jakarta Post (masing-masing 1); ditambah dengan sebuah Pengantar Buku dan sebuah Pidato Nyepi (1), serta Memorandum (19). Pelbagai artikel itu dimuat dalam Koran antara kurun waktu tgl 22 Pebruari 2002 hingga tgl 14 Pebruari 2004. Mosaik pemikiran pluralis dan inklusif ini hampir luput dari cacat, kecuali di beberapa tempat terdapat pengulangan dan Kabupaten Ngada (kampong asalku) ditempatkan di Flores Timur (Wahid, 2006: 257).
  22. Wahid mengutip sebuah adagium sbb “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur / uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi”, (Wahid, 2006: 27).
  23. Wahid juga merujuk pada Dokumen Konsili Vatikan II yang berbicara tentang penghormatan Gereja terhadap setiap upaya mencapai kebenaran di luar Gereja, walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama Katolik (Wahid, 2006: 134). Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Prof. Komaruddin Hidayat dalam bukunya Ketika Agama Menyejarah ( Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001), hal. 26 – 27 yang mengutip Lumen Gentium no. 16.
  24. A.J. Arberry, Reason and Revelation in Islam ( London, 1957). Hal. 34-35; bdk Tule, 2003, Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat (Penerbit Ledalero), hal. 187. Amanat yang sama itu juga telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri ketika ia berkata: ”Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke Tiongkok”/ uthlub al-ilma walau bi al-shin (bdk. Wahid, 2006: 28).
  25. Beberapa ayat lain dari al-Quran yang sering dijadikan rujukan dasar toleransi adalah Q. 49,13 ”kerja sama dengan umat beragama lain dalam hal duniawi”; Q. 5, 82-83 ”sikap bersahabat dengan orang Nasrani”; Q. 109, 6 ”respek terhadap kebebasan beragama’.
  26. Diskusi lebih komprehensif tentang penolakan atas ‘Ide Negara Islam’ telah dilontarkan juga oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1960-an, yang nampaknya memiliki kesamaan ide dengan Prof Ali Abd al-Raziq dari Universitas Al-Azhar, yang pada 1925 menulis sebuah buku berjudul ”Islam wa Usul al-Hukm” (Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan). Salah satu argumen utamanya adalah bahwa Islam itu adalah agama dan bukan pemerintahan (bdk. Satu bab bukunya berjudul Islam Din La Dawla). Ali Abd al-Raziq juga menulis sbb: ”Kita tidak membutuhkan kekhalifatan, baik dalam urusan agama maupun urusan duniawi; kekhalifatan selalu, telah dan senantiasa menghasilkan kemalangan bagi Islam dan Muslim, serta sumber kejahatan dan korupsi....” (1925: 36; bdk Philipus Tule, 1988, Nurcholish Madjid’s Concept of Secularization and Ali Abd al-Raziq’s tendency to Secularization, MA Thesis di PISAI, ROMA; bdk Tule, 2003: 92).
  27. Philipus Tule, Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat (Ledalero: Penerbit Ledalero, 2003), hal. 22 – 23.
  28. Evans-Pritchard, E.E., The Sanusi of Cyrenaica (Oxford: Oxford University Press, 1949).
  29. Cliford Geertz, The Religion of Ja va (Chicago: University of Chicago Press, 1960).
  30. James Siegel adalah Profesor Antropologi dan Kajian Asia di Universtas Cornell Amerika Serikat. Bukunya berjudul The Rope of God (1969) mengulas tentang sejarah Aceh (bdk. Wahid, 2006: 23).
  31. Bowen, John, R., Muslims Through Discourse: Religion and Ritual in Gayo Society (Princeton: Princeton University Press, 1993).
  32. Hefner, Robert, W., The Political Economy of Mountains Java dan Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam (Princeton: Princeton University Press, 1985).
  33. Barnes Robert, H., “Lamakera, Solor: Ethnohistory of a Muslim Village of Eastern Indonesia”, dalam Anthropos, no.90, tahun 1995, hal. 497 – 509. Dan “Lamakera, Solor: Ethnographic Notes on a Muslim Whaling Village of Eastern Indonesia”, dalam Anthropos, no. 91 tahun 1996, hal. 75 – 88.
  34. Philipus Tule, SVD, Longing for the house of God, Dwelling in the house of the Ancestors: Local Belief, Christianity and Islam Among the Keo of Central Flores ( Fribourg, Switzerland: Academic Press, 2004). Tule mensinyalir bahwa semua warga suku Keo yang telah menganut agama monoteis (Islam dan Katolik) mendambakan rumah Allah, baik itu berupa bayt Allah di Mekkah dan dalam Gereja (Ecclessia) maupun di Sorga. Namun dalam kenyataan mereka itu mendiami rumah leluhur (atau rumah kebudayaan) atau rumah asal mereka. Di seputar rumah leluhur inilah mereka (Muslim dan Katolik) merayakan pelbagai ritus adat berkaitan dengan rumah adat dan tanah adat dalam suasana lintas agama dan kepercayaan.
  35. Johann N. Schasching, op. cit. hal. 221-225.

No comments: