Merawat Kecambah Pluralisme
Mengenang Th Sumartana
TRISNO S SUTANTO
Sumartana adalah satu dari sangat sedikit orang di Indonesia yang berani menjelajahi ufuk-ufuk terjauh pemikiran teologis dan meletakkan persoalan pluralisme pada tempat yang layak, yakni sebagai kecambah baru masyarakat sipil yang demokratis dan beradab.
Warisan visioner yang ditinggalkan Mas Ton masih sangat gayut justru ketika pluralisme cenderung disalahpahami, khususnya oleh MUI, sehingga menimbulkan perdebatan yang sama sekali tak produktif, sementara transisi demokratisasi seperti kehilangan momentum, gereget, dan visi. Padahal, kedua aspek itu—perjuangan pluralisme dan upaya demokratisasi—berkelindan erat dan menjadi pertaruhan ultim di masa depan. Mas Ton adalah salah satu dari sedikit orang yang telah melihat cakrawala persoalan itu dan berusaha menjelajahinya sampai ufuk terakhir, sebelum mendadak dipanggil menghadap Sang Pencipta akhir Januari 2003.
Esai ini dimaksudkan membuka ruang diskursus sehingga warisan Mas Ton dapat berbicara lagi. Karena diskursus itu masih tercecer dan melingkupi ranah sangat luas, saya mau memusatkan perhatian pada gagasan pluralisme Mas Ton dan menyampingkan, paling tidak untuk sementara, refleksi misiologisnya. Ini memang pilihan yang problematis karena ia seorang misiolog dalam arti sebenarnya: seseorang yang berusaha memberi pertanggungjawaban teologis terhadap persoalan misi gereja. Apa boleh buat, saya harus membatasi diri.
Yang ingin saya lakukan adalah penjelajahan tiga tahap: memeriksa perkara pluralisme, mengaitkannya dengan perjuangan demokratisasi, dan merumuskan politik kesetaraan sebagai proyek di masa depan. Di dalam ketiga tahapan ini pergulatan Mas Ton sungguh sangat inspiratif dan mencerahkan bagi siapa pun yang mau menjelajahi cakrawala pemikirannya.
Imperatif dialog
Pluralisme sesungguhnya berangkat dari pengakuan sederhana bahwa manusia, sebagai makhluk spasio-temporal, makhluk yang selalu dibatasi oleh ruang-waktu, tidak mampu meraih Kebenaran (dengan "K") mutlak dan final. Soalnya, Kebenaran seperti itu pada dirinya sendiri melangkaui batasan-batasan ruang-waktu dan, karenanya bagi mereka yang beriman, menjadi milik Allah semata.
Pengakuan sederhana ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang sangat jauh. Pada satu sisi, karena pengakuan sederhana itu, mereka yang memperjuangkan pluralisme selalu mencurigai dan berusaha memblejeti setiap upaya pendakuan absolut atas nama agama maupun, sebagai konsekuensi dari itu, setiap usaha penunggalan tafsir keagamaan. Pada sisi lain, pengakuan sederhana itu melahirkan imperatif dialog di dalam ziarah bersama kemanusiaan. Ada baiknya kedua sisi ini dijelaskan lebih jauh karena sering kali menimbulkan kesalahpahaman, atau sengaja disalahpahamkan, dalam debat kusir yang dipicu oleh fatwa MUI.
Sisi pertama jelas langsung menohok ke(ny)amanan para birokrat keagamaan, yakni mereka yang berusaha mati-matian menjaga ortodoksi dan kemurnian "ajaran agama"—maksudnya sudah tentu ajaran agama yang sesuai dengan gagasan maupun kepentingan mereka sendiri. Soalnya, ketika pendakuan absolut dicurigai, dipertanyakan dan diblejeti ramai-ramai, maka praktik-praktik pemisahan (meminjam istilah Foucault) yang menempatkan sang liyan sebagai "pesaing" atau bahkan "musuh" tidak dapat dilakukan dan, dengan itu pula, kekuasaan (ingat adagium lama: divide et impera) sulit dijaga dan ditegakkan. Begitu juga proyek penunggalan dan penyeragaman tafsir jadi tidak mungkin dilakukan tanpa adanya pendakuan serba absolut. Alih-alih dari itu, kesadaran bahwa setiap tafsir tidak dapat lepas dari perspektif si penafsir membuka ranah bagi berkembangnya lalu lintas tafsir yang aneka ragam, termasuk suara-suara yang selama ini dianggap, oleh tafsir dominan, sebagai suara-suara "nakal" dan/atau "marjinal".
Menurut saya, kegelisahan ini merupakan salah satu alasan pokok mengapa soal pluralisme jadi mambang yang begitu menakutkan dan mengkhawatirkan banyak birokrat keagamaan, padahal sudah menjadi praktik kehidupan sehari-hari berbagai komunitas yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara sejak berabad-abad silam. Karena itu, tidaklah terlalu mengherankan jika reaksi keras terhadap pluralisme justru terbit dari para birokrat keagamaan maupun lembaga-lembaga keagamaan "resmi". Pluralisme lalu didakwa dengan tuduhan macam-macam yang serba salah kaprah, entah sebagai relativisme atau—sisi lain dari mata uang yang sama— pencampuradukkan akidah.
Saya tidak ingin masuk ke dalam perdebatan tersebut. Seperti pernah saya tulis dalam esai lain (Bentara, 1 April 2006), kentalnya kosakata keagamaan dan tidak adanya perspektif sosiologis hanya akan menjebak debat pluralisme ke dalam labirin perdebatan yang menguras energi belaka dan sama sekali tidak produktif. Dalam esai yang sama saya mengusulkan untuk membaca pluralisme dengan cara lain, yang berangkat dari perjumpaan dalam kehidupan sehari-hari lewat kesepakatan-kesepakatan kecil di atas landasan yang serba goyah. Perjumpaan seperti itu—sebagian besar pada tataran personal lewat persahabatan, tetapi bisa menjadi "struktur-struktur rahmat di dalam masyarakat", memakai ungkapan bagus Jonathan Sacks, rabi dan pemikir Yahudi ternama dari Inggris—dapat memberi sumbangan penting bagi bahasa moral pasca-agama yang sangat dibutuhkan.
Mas Ton menyadari ini. Baginya zaman yang menjadi konteks berteologi sekarang adalah "zaman emansipasi agama" ketika tak ada satu hegemoni agama yang diakui. Semua agama dan kepercayaan memiliki hak hidup yang sama. Eksperimentasi yang digerakkan olehnya lewat lembaga DIAN Interfidei pada awal dekade 1990-an merupakan retasan baru—tetapi sekaligus menyambung persemaian awal oleh Mukti Ali tiga dekade sebelumnya—yang kentara untuk menggeser titik berat diskursus pluralisme pertama-tama keluar dari hegemoni negara, lalu keluar dari hegemoni lembaga-lembaga keagamaan resmi agar pada akhirnya dapat menjadi ranah bagi berkembangnya kecambah masyarakat sipil. Di situ politik perukunan—atau rezim kerukunan yang dipaksakan dari atas—yang dengan intensif dan masif dilancarkan Depag beserta segala aparatusnya kehilangan legitimasinya. Alih-alih menjadi ajang seremonial serba teratur dan kesibukan mencari bingkai "teologi kerukunan", pluralisme justru ditarik menjadi eksperimen hidup bersama yang dilandasi semangat dialogis. Pengalaman ini pada gilirannya membentuk habitus baru untuk perkembangan kecambah pluralisme.
Jelas di sini jalan dialog masih merupakan pilihan terbaik satu-satunya sebagai cara saling memahami, menghargai, dan mengelola perbedaan, baik dalam lingkup intra-agama maupun antar-agama. Soalnya, sisi lain dari pengakuan bahwa tradisi keagamaan yang saya dan kelompok saya warisi tidaklah memadai untuk mengelola lalu lintas kehidupan bersama yang centang perenang adalah imperatif bagi semangat dialog itu. Ia berangkat dari kesadaran religius bahwa agama(-agama) hanyalah jalan(-jalan) menuju Sang Kebenaran, dan bukan Kebenaran itu sendiri.
Dengan itu menjadi jelas bahwa pluralisme bukan relativisme akidah maupun usaha untuk mencampuradukkan akidah walau kedua posisi itu merupakan bahaya yang selalu mengiringinya. Relativisme menolak sama sekali adanya Kebenaran yang bersifat mutlak. Pluralisme mengakui adanya Kebenaran, tetapi menempatkannya sebagai privilese Allah semata. Pencampuradukan akidah berangkat dari premis bahwa semua agama sama, padahal pluralisme justru mau merayakan perbedaan sembari menyadari keterbatasan tradisi sendiri dan, karena itu, menghormati serta mau belajar dari tradisi keagamaan yang lain.
Dalam rumusan lain, perjuangan pluralisme adalah perjuangan bagi kesetaraan, dan bukan kesamaan. Di sini perjuangan itu bertemu dengan upaya demokratisasi, sebuah tema yang semakin mendapat perhatian Mas Ton di akhir hidupnya. Saya mau mengelaborasi soal ini sebelum kembali pada politik kesetaraan yang, menurut saya, sudah menjadi kebutuhan urgen sekarang.
Kecambah masyarakat sipil
Setahun sebelum ajal menjemputnya, dalam pertemuan jejaring kelompok-kelompok antar-iman di Malino (Januari 2002), Mas Ton menyuguhkan kertas kerja panjang yang meringkaskan seluruh horizon keprihatinannya. Di situ pada satu pihak Mas Ton menegaskan kegagalan agama-agama secara kelembagaan untuk berperan aktif di dalam merawat kehidupan bersama yang sedang dicabik-cabik oleh konflik setelah Mei 1998. Katanya, lembaga-lembaga itu "cenderung hanya ingin membela kelompok agamanya sendiri, dan tidak bisa mengendalikan diri untuk memihak". Pada pihak lain Mas Ton mempertaruhkan seluruh pengharapannya pada "gerakan antar-iman" atau "gerakan lintas-SARA" (kedua istilah ini dapat dipakai bergantian) yang "bisa dikatakan sebagai semacam ’loncatan sejarah’ untuk mengatasi kebekuan yang dialami institusi yang ada".
Membaca ulang kertas kerja itu sekarang, orang menjadi sadar betapa tajam dan visioner tilikan Mas Ton. Bagi Mas Ton, kegagalan agama-agama sebagai institusi berakar pada keseluruhan "cara beragama kita yang belum terbuka, cenderung tertutup, penuh rasa benar sendiri, dan belum bisa menghargai keyakinan orang lain". Paradigma eksklusivisme ini, suatu "kekeliruan awal dan mendasar dari setiap umat beragama", jelas memperkuat praktik-praktik politik yang menyuburkan semangat komunalisme. Di situ, tulis Mas Ton, "politik menjadi kepanjangan dari perkara agama, dan agama diperlakukan sebagai alat politik guna mencari kekuasaan belaka." Ketika kekuasaan rezim otoriter Orde Baru runtuh, lembaga-lembaga resmi agama gagal memainkan peranan transformatifnya dan bahkan menjadi bagian dari mesin dan syahwat politik yang mengarah pada upaya memperbesar porsi kekuasaan kelompok sendiri.
Persis pada titik itulah gerakan-gerakan antar-iman atau lintas-SARA menjamur. Yang telah disemai pada dekade 1960-an seperti menemukan momentum historisnya. Sekalipun data yang pasti belum tersedia, sejak pertemuan Malino itu menjadi jelas bahwa hampir di setiap kota besar di Jawa maupun di luar Jawa, pelbagai kelompok, forum, komunitas, maupun lembaga lintas-SARA bermunculan, mengolah dan menjawab tantangan kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Persebaran yang fenomenal inilah yang memberi horizon pengharapan pada Mas Ton karena bisa jadi "menandai pergeseran paradigma dalam pergaulan antar-umat beragama di masyarakat" atau bahkan cara keberagamaan yang sama sekali baru di mana pluralisme, toleransi, dan keterbukaan diterima, diakui, malah dirayakan sebagai way of life.
Yang sedang berlangsung sesungguhnya suatu eksperimentasi untuk mengolah kehidupan bersama yang melintasi sekat-sekat dan batasan-batasan etnisitas, ras, agama, kepercayaan, ideologi, adat, suatu eksperimentasi demi pemerkayaan silang yang lahir dari rasa saling percaya dan saling mengakui. Perlu dicatat, sebagian terbesar dari para penggerak pluralisme ini justru terdiri dari kaum muda yang tidak lagi terbebani oleh trauma-trauma di masa lampau.
Karena itulah, Mas Ton melihat institusi-institusi lintas-SARA ini, dengan segala eksperimentasinya, merupakan "genus baru, embrio atau kecambah bagi munculnya civil society di Indonesia" yang sangat penting bagi keberhasilan transisi demokratisasi. Sayang sekali, Mas Ton hanya mampu melukiskan visi itu sebagai sketsa yang masih terlampau kasar, suatu kerangka yang rinciannya masih harus diisi. Ajal terlalu cepat menjemputnya. Akan tetapi, warisannya sungguh sangat berharga.
Ke arah politik kesetaraan
Kerangka visioner di atas menunjukkan—walau masih samar-samar—ke arah mana politik pluralisme seyogianya diusung. Pada satu sisi, upaya-upaya untuk memperluas horizon dialog dan mendorong persebaran kecambah masyarakat sipil masih merupakan kebutuhan fundamental. Melalui proses belajar toleransi, terbuka, dan saling menghargai ini, demokratisasi diperluas, diperkuat, dan diperdalam, menjadi habitus bagi tatanan yang lebih beradab.
Namun, gejolak akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa sekadar toleransi dan dialog tidaklah memadai. Transisi demokratisasi, jika hanya terpusat pada utak-atik prosedural, menyimpan potensi menjadi tirani mayoritas, di mana pemilik suara terbanyak mengambil seluruhnya dan menafikan hak-hak minoritas. Minoritas di sini bukan dalam arti yang lazim, yakni di dalam relasi antar-kelompok, tetapi juga minoritas di dalam kelompok mayoritas, atau bahkan minoritas di dalam kelompok minoritas yang memberi potret dinamika berbeda. Karena itu, pada sisi lain, politik pluralisme harus dijahitkan pada perjuangan demokrasi yang lebih substansial, yakni demokrasi berbasiskan HAM.
Adalah David Beetham (1999) yang memperlihatkan dengan terang benderang bahwa perjuangan demokratisasi punya kaitan yang sangat dalam dengan perjuangan HAM. Beetham membabarkan bahwa pengertian demokrasi selalu mengandung dua nilai pokok: kontrol warga atas kebijakan kolektif dan kesetaraan antar-warga. Sisi yang pertama menghendaki pengaturan lembaga-lembaga demokratis (representasi, akuntabilitas, transparansi, dst), sedang sisi kedua bersumber dari dua premis: kesetaraan martabat manusia dan otonomi yang merupakan nilai-nilai dasar HAM, khususnya hak-hak sipil dan politik.
Politik pluralisme ke depan, karena itu, adalah politik kesetaraan. Pengalaman akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa persis pada ranah inilah nasib pluralisme di Tanah Air sedang dipertaruhkan, apalagi bila diperhitungkan betapa rapuh mekanisme dan jaminan legal yang ada sekarang. Tilikan sekilas memperlihatkan betapa jaminan atas hak-hak asasi individu dalam berkeyakinan—yakni hak-hak asasi yang paling dasar, yang tidak dapat dinafikan sama sekali di dalam pengaturan negara modern—hanya ada secara normatif-preskriptif di dalam konstitusi, tetapi sama sekali tidak menjadi legally binding products yang dapat diterapkan secara konkret.
Menurut saya, kekosongan legal itu merupakan lubang berbahaya bagi transisi demokratisasi dewasa ini. Politik pluralisme ke depan seharusnya diupayakan untuk menutup lubang itu. Tentu, jika Anda mau.
No comments:
Post a Comment