Friday, May 25, 2007

“Kembangkan Budaya Toleransi”

PLURALISME atau faham yang menghargai keberagaman, baik dari segi suku, agama, gender, dan asal-muasal, sesungguhnya merupakan ajaran ataukonsep yang sangat positif bagi peneguhan kembali pilar-pilar persatuan dan kebangkitan suatu bangsa. Namun, sayangnya ajaran tersebut dalam faktanya kerapkali mengalami distorsi penafsiran yang mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan antar pemeluk agama.

Menurut intelektual dan mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, pluralisme dalam kaitannya ajaran agama bukan berarti mengakui kebenaran agama lain.

“Sikap seperti ini tidak dibenarkan. Pengakuan kebanaran adalah mutlak bagi setiap pemeluk agama itu sendiri, tidak untuk pengakuan agama di luar yang dianutnya. Kepada At-Tanwir, penulis buku Tuhan Menyapa Kita, dan Menerobos Kemelut itu membeberkan konsep pluralisme dalam Islam dan kaitannya dengan nila-nila kebangsaan:

Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan paham pluralisme?
Pluralisme itu kan semacam pemahaman yang meniscayakan bentuk keragaman baik itu terkait dengan agama, suku, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Pluralisme itu sesuatu yang pasti terjadi, karena fakta sejarah membuktikan demikian. Dalam Islam disebutkan, bahwa manusia diciptakan dengan beragam suku dan lainnya, tujuannya untuk saling mengenal. Manusia tidak diciptakan dalam satu ras atau suku, tapi beragam, dan itu meniscayakan saling menghormati dan menghargai.

Tapi yang kerap disalahpahami adalah kalau konsep pluralisme dikaitkan dengan agama. Bagaimana?
Kalau pluralisme dipahami sebagai bentuk pengakuan kebenaran terhadap ajaran agama lain, jelas itu salah besar. Maksudnya bukan seperti itu. Tapi, bahwa Tuhan menciptakan beragam agama adalah agar penganutnya saling menghargai antar pemeluk itu dan saling kerjasama. Pengakuan kebenaran itu mutlak dari penganut agama masing-masing. Jadi saya tegaskan, yang pasti benar dan mesti diakui adalah agamanya masing-masing yang dianut itu, bukan agama orang lain.

Apa penyebabnya kerap salah faham terhadap ajaran pluralisme?
Banyak hal. Bisa karena model pemahaman, salah menafsirkan doktrin tentang pluralisme. Bisa juga dipicu faktor lain, seperti pemahaman yang hanya mengekor dari luar tanpa dasar yang jelas. Sebenarnya fatwa MUI tentang pluralisme itu ada baiknya dikaji ulang, perlu dipertegas, mana yang haram, dan mana yang tidak. Itu biar umat tidak salah mengerti tentang fatwa tersebut.

Seringnya terjadi benturan atau kekerasan antar pemeluk agama dan aliran, apaah itu antara lain bentuk dari kegagalan umat memahami doktrin pluralisme?
Bisa saja demikian. Pluralisme kan menjadi modal sosial untuk memperkokoh kerjasama, persatuan, dan saling belajar antar pemeluk agama dan umat manusia. Kekerasan itu menunjukkan pola pikir kita yang sempit, tidak siap menerima perbedaan. Padahal perbedaan itu hal yang niscaya dan merupakan sunnatullah. Ahmadiyah misalnya, saya tidak setuju dengan ajaran mereka. Tapi apa hak kita menghakimi mereka? Tidak bisa main hukum sendiri.

Harusnya bagaimana agar pluralisme menjadi rahmat, bukan laknat?
Harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan. Kalau kembali kepada Al-Quran, ada dua pilar utama tegaknya peradaban: pertama ajaran tawashi (saling menasihati), dan kedua ta’awun (saling kerjasama). Dua pilar itu pada akhirnya dapat menjadi modal bagi mengembangkan kehidupan sosial yang beradab, meletakkan nilai-nilai kemanusiaan di atas segalanya. AT

No comments: