Thursday, May 24, 2007


Makna Peringatan Menag

Oleh :

Adian Husaini
Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

Jumat (18/5/2007), Menteri Agama (Menag) RI, Maftuh Basyuni, mengeluarkan pernyataan penting seputar keberadaan ulama dalam dunia politik. Menag mengimbau agar para ulama lebih mengutamakan dunia pesantren ketimbang dunia politik. Imbauan itu didasarkan pada pengamatannya, bahwa para ulama yang terjun ke politik, cenderung melupakan pengelolaan pesantrennya. Dengan itu, menurut Menag, fungsi pesantren sebagai penjaga kekuatan moral bangsa dan pusat keilmuan dapat dikembalikan.

Imbauan itu disampaikan Menag saat membuka acara Silaturrahmi Pengasuh Pondok Pesantren se-Indonesia dan Rapat Kerja Nasional Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) di Jakarta. Imbauan Menag soal posisi ulama itu perlu direnungkan dengan serius. Menag tidak menyatakan bahwa para ulama sama sekali tidak boleh terjun dalam dunia politik. Tapi, sudah sepatutnya, lembaga pendidikan Islam dan lembaga keilmuan lebih diprioritaskan.

Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Rasul SAW bersabda, "Ulama adalah pewaris para nabi," (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibn Majah). Nabi juga memosisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Maka, betapa risaunya Rasulullah SAW terhadap ulama-ulama yang jahat .

Banyak hadits Nabi SAW yang menjelaskan bahwa pada hari kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya. Jika orang-orang yang berposisi atau memposisikan diri sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan.

Ulama dan umara
Adalah menarik kita belajar dari sejarah Perang Salib. Ketika itu umat Islam sedang mengalami berbagai krisis. Dalam politik, umat Islam terpecah. Khilafah Abbasiyah masih eksis, tetapi lemah. Pada era itulah, Imam Al Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, dengan makna menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan aspek niat dalam mencari ilmu, keutamaan ilmu, keutamaan ulama yang baik, dan bahaya ulama yang jahat bagi umat.

Problema politik umat ketika itu merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi, problematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga solusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al Ghazali dan para ulama ketika itu berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya.

Nabi Muhammad SAW memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah SAW mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah SAW, "Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan" (HR Muslim).

Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah.

Kekuasaan politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam. Sebab, ad daulah adalah penyokong penting perkembangan agama. Bukan hanya Islam, tetapi, juga agama-agama lain. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa atas jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan Dekrit Edict of Milan (tahun 313) dan Kaisar Theodosius yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi (Edict of Theodosius, tahun 392).

Begitu juga eksistensi dan perkembangan agama-agama lain, sulit dipisahkan dari kekuatan politik. Sama halnya, dengan ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini. Eksistensi dan perkembangan mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik. Komunisme menjadi kehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan kapitalisme akan diminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat mengalami kebangkrutan sebagaimana Uni Soviet.

Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah asas atas segala-galanya. Banyak peristiwa membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan penguasa. Di masa Khalifah Al Makmun, yang muktazily, umat Islam lebih mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Umat Islam di Indonesia, selama ratusan tahun dijajah Belanda, tetapi umat Islam lebih taat kepada para ulama dan kiai-kiai di pesantren, ketimbang mengikuti agama penguasa. Banyak lagi contoh lain.

Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua aspek itu harus mendapatkan perhatian yang penting dan harus ditempatkan dengan adil. Jika untuk biaya kampanye seorang wali kota satu partai Islam sanggup menghimpun dana sampai puluhan miliar rupiah, harusnya umat Islam harus menyediakan dana yang lebih besar lagi untuk pengembangan keilmuan Islam.

Karena itu, yang perlu diperhatikan sungguh-sungguh oleh umat Islam saat ini, bukan hanya masalah politik, tetapi yang lebih mendasar adalah soal kerusakan ilmu dan ulama. Para tokoh dan ulama perlu bersikap adil dalam menangani soal umara dan ulama. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam.

Lebih parah lagi, jika dari institusi pendidikan Islam justru lahir ulama-ulama jahat yang ilmunya merusak, seperti sejumlah akademisi di perguruan tinggi Islam yang aktif menghujat Alquran, menghalalkan homoseksual, menjadi penghulu perkawinan antaragama, dan sebagainya. Kita melihat, masih banyak yang kurang peduli terhadap soal kerusakan ilmu dan ulama ini.

Masuknya selera Barat
Posisi strategis ulama dan lembaga-lembaga pendidikan Islam itu justru sangat dipahami oleh negara-negara Barat, sehingga mereka tak segan-segan mengucurkan dana yang sangat besar untuk 'menggarap' pesantren dan para pimpinannya. Tengoklah website http://www.usembassyjakarta.org dan berbagai LSM Barat yang kini aktif 'menggarap' pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya, agar menyebarkan pemahaman Islam yang sesuai selera Barat.

Secara aktif mereka menyebarkan paham pluralisme agama. Bahkan, disebutkan, bahwa Kedutaan AS di Jakarta telah mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga pekan tentang pluralisme agama. Meskipun MUI telah mengharamkan paham pluralisme agama, tetapi AS dan kaki tangannya di Indonesia sangat aktif dalam membiayai penyebaran paham syirik modern ini.

Karena itu, seyogianya, para pimpinan pesantren serius merenungkan imbauan Menag untuk lebih sungguh-sungguh dalam mengasuh dan mengembangkan pesantrennya. Para kiai/ulama perlu berbagi tugas sesama mereka. Tugas utama mereka memang bergelut di bidang ilmu dan pendidikan. Jika sangat diperlukan dan posisinya sebagai ulama bisa digantikan yang lain, maka tidak ada salahnya ia terjun ke politik praktis.

Yang jelas, kita berharap, ke depan, pesantren di Indonesia akan benar-benar menjadi pusat pengembangan keilmuan Islam dan pusat kaderisasi ulama yang tangguh yang benar-benar 'alim dan shalih. Dengan itu, suatu ketika nanti, kita bisa mengatakan, kaum Muslim tidak perlu belajar Islam ke Chicago, Leiden, Monash, Melbourne, Harvard, dan sebagainya, tapi, cukup belajar ke Langitan, Lirboyo, Gontor, dan sebagainya.

Ikhtisar
- Peringatan Menteri Agama Maftuh Basyuni agar ulama lebih fokus mengembangkan pesantren, patut direnungkan.
- Saat ini, banyak orang yang menempatkan diri sebagai ulama, tapi justru menyebarkan ilmu yang mengotori Islam.
- Kenyataan seperti itu menjadi peluang tersendiri bagi dunia Barat untuk mengubah dunia Islam sesuai keinginan mereka.

No comments: