Oleh: Abd moqsith Ghazali
Gerakan untuk mewahabikan umat Islam Indonesia tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Para aktivis wahabisme cukup agresif dalam mengkampanyekan pikiran-pikiran dan ideologi para imamnya. Mereka bukan hanya memekikkan khotbah wahabisme dari dalam mesjid-mesjid mewah di kota-kota besar seperti Jakarta, melainkan juga blusukan ke pedalaman dan dusun-dusun di Indonesia. Ada tengara bahwa orang-orang yang berhimpun dalam ormas keagamaan Islam moderat pelan tapi pasti kini mulai terpengaruh dan terpesona dengan gagasan-gagasan wahabisme yang sebagian besar berjangkar pada pemikiran tokoh-tokohnya seperti Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Tamimi al-Najdi (1115-1206 H), Ibnu Taymiyah (661-728 H), Ibnul Qayim al-Jauziyah (691-751H), terus sampai pada Ahmad ibn Hanbal (164-241 H).
Memang, pada awalnya wahabisme berdiri untuk merampingkan Islam yang sarat beban kesejarahan. Ia ingin membersihkan Islam dari beban historisnya yang kelam, yaitu dengan cara mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya, Alquran dan Alsunnah. Seruan ini mestinya sangat positif bagi kerja perampingan dan pembersihan (purifikasi) itu. Tapi, ternyata wahabisme tidaklah seindah yang dibayangkan. Di tangan para pengikut Muhammad ibn Abdul Wahab yang fanatik dan militan, implementasi ideologi wahabisme kemudian terjatuh pada tindakan kontra produktif. Di mana-mana mereka menyebarkan tuduhan bid'ah kepada umat Islam yang tidak seideologi dengan mereka. Bahkan, tidak jarang mereka mengkafirkan dan memusyrikkan umat Islam lain.
Kini mereka mulai merambah kawasan Indonesia, melakukan wahabisasi di pelbagai daerah. Mereka mencicil ajaran-ajarannya untuk disampaikan kepada umat Islam Indonesia. Ada beberapa ciri cukup menonjol yang penting diketahui dari gerakan wahabisasi itu. Pertama, mereka mempersoalkan dasar negara Indonesia dan UUD 1945. Mereka tidak setuju, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini dipandu oleh sebuah pakem sekular, hasil reka cipta manusia yang relatif, bernama Pancasila. Menurut mereka, Pancasila adalah ijtihad manusia dan bukan ijtihad Tuhan. Semboyan mereka cukup gamblang bahwa hanya dengan mengubah dasar negara, dari Pancasila ke Islam, Indonesia akan terbebas dari murka Allah. Mereka lupa bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai yang sangat islami. Tak tampak di dalamnya hal-hal yang bertentangan dengan Islam.
Kedua, mereka menolak demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai sistem kafir. Ini misalnya dapat kita ketahui dari buah karya Abdul Qadir Zallum, tokoh yang sangat berpengaruh di lingkungan gerakan fundamentalis Islam, yang berjudul al-Dimuqrathiyah Nizham Kufr. Bukan hanya itu, mereka pun menolak dasar-dasar hak asasi manusia (HAM) yang sesungguhnya berpondasikan ajaran Islam yang kukuh. Mereka mengajukan keberatan terhadap konsep kebebasan beragama (hifdz al-din), kebebasan berpikir (hifdz al-'aql), dan sebagainya. Menurut mereka tidak ada hak asasi manusia (HAM), karena yang ada adalah hak asasi Allah (HAA).
Ketiga, mereka berusaha bagi tegaknnya partikular-partikular syari'at dan biasanya agak abai terhadap syari'at universal, seperti pemberantakan korupsi-kolusi-nepotisme, dan sebagainya. Ini misalnya tampak dari sikap tidak kritis kelompok wahabi terhadap ketidakberesan yang telah lama berlangsung di lingkungan kerajaan Saudi sendiri--sistem pemerintahan yang disokong demikian kuat oleh kelompok Wahabi. Kelompok Wahabi cukup puas ketika salat berjemaah diformalisasikan. Sementara, bersamaan dengan itu, kejahatan terhadap kemanusiaan terus berlangsung, tanpa interupsi dari mereka. Keempat, mereka juga intensif menggelorakan semangat penyangkalan atas segala sesuatu yang berbau tradisi. Kreasi-kreasi kebudayaan lokal dipandang bid'ah, takhayul, dan khurafat yang mesti diberantas. Pakaian yang lazim dikenakan oleh perempuan Islam-Jawa hendak diarabkan. Dahulu orang-orang NU mendapat serangan bertubi-tubi dari para pengikut wahabisme itu.
Empat hal itu adalah refrain yang kini rajin diulang-ulang oleh kelompok Wahabi Indonesia. Pokok-pokok tersebut adalah sebagian dari juklak wahabisme yang telah lama disusun di Saudi, dan kemudian dipaketkan secara berangsur dan satu arah ke Indonesia. Ke depan jika semuanya sudah berhasil diwahabikan, maka sangat boleh jadi Indonesia akan menjadi repetisi Saudi Arabia; di mana kreasi-kreasi lokal dibid'ahkan. Betapa keringnya cara berislam yang demikian itu; berislam tanpa inovasi dan improvisasi.
*Penulis adalah peneliti the WAHID Institute
No comments:
Post a Comment