Thursday, May 31, 2007

Cermin

Bhikkhu Dhammsubho Mahathera

Menurut ahli sejarah, cermin kepribadian seseorang, baik atau buruk, nanti jika ia sudah mati. Hari kematiannya akan menjadi cermin apakah seseorang dapat dikatakan baik atau tidak sepanjang hidupnya.

Penghormatan yang diberikan keluarga, kerabat, masyarakat, bangsa dan negara terhadap seseorang pada hari kematiannya menjadi ukuran kebaikan yang dilakukan almarhum. Semakin besar kebajikannya, semakin besar perhatian, penghormatan, pengakuan, dan penghargaan ditujukan kepadanya. Sepanjang waktu nasihatnya didengar, petunjuk diikuti, perilaku ditiru, namanya diabadikan untuk tempat penting, wajahnya dipatungkan.

Lalu, bagaimana menilai seseorang itu baik atau buruk saat masih hidup?

Ada tiga hal yang bisa membantu mengukur seseorang baik atau tidak. Pertama, miraga, hal-hal bersifat fisik, jasmaniah, dapat dilihat dengan mata. Kedua, mirama, hal-hal yang mengandung unsur gerak. Gerak tubuh menggambarkan watak kepribadiannya. Ketiga, mirasa, cita rasa jalan pikiran, termasuk cara bicara dan yang dibicarakan.

Pesan ahli kemanusiaan menyimpulkan, baik-buruknya seseorang hendaknya dilihat teliti dari semua sisi. Banyak kebaikan ternyata hanya untuk menutupi kejahatannya. Sebaliknya, dari satu sisi seseorang tampak jelek dan jahat, tetapi dari sisi lain menunjukkan kebaikan.

Pesan Dhamma, lihat segala sesuatu dari sisi berbeda, secara jelas dan apa adanya. Jangan melihat seseorang hanya dari tapaknya. Kata Buddha, segala sesuatu yang dilihat dari semua sisi berbeda akan menghasilkan kesimpulan utuh, tidak sepihak.

Dan, bagi manusia yang beragama, ternyata banyak yang belum paham apa yang dimaksud sebagai pemeluk dan pengikut agama. Pengikut agama adalah mereka yang mengikuti petunjuk, mendengar nasihat, dan meniru perilaku para pendiri agama yang dianutnya. Namun, ada pemeluk agama yang merasa tidak perlu mengikuti petunjuk, mendengar nasihat, meniru perilaku pendiri agamanya. Maka, pemeluk agama belum tentu sebagai pengikut agama yang baik.

Cermin kebajikan dan iman

Selain miraga, mirama, dan mirasa, ada tiga hal lagi yang menjadi tolok ukur tinggi-rendah kadar keimanan seseorang dalam beragama secara individu maupun sosial, yaitu menjadi umat beragama di tempat ibadah, menjadi umat beragama di rumah, dan menjadi umat beragama di masyarakat. Adalah umat beragama paling ideal dan berkualitas tinggi jika bisa menerapkan ketiga cara beragama itu secara simultan dalam hidup sehari-hari. Kenyataannya belum semua umat bisa mewujudkan tiga aspek hidup beragama itu dengan penuh tanggung jawab secara pribadi atau terhadap keluarga.

Tidak sedikit pemuka agama begitu menonjol di masyarakat, tetapi keluarganya tidak terurus dengan baik secara agama. Anak pertama pemabuk, anak kedua penyabung ayam, anak ketiga penjudi, dan lainnya.

Atau ada yang amat tekun beribadah di rumah, tetapi bertahun-tahun tidak saling bicara, tidak saling tegur sapa dengan ayah, ibu, saudara lain, dengan mertua yang memberi istri atau suami, tak pernah akur dengan tetangga. Semua bisa terjadi karena rendahnya kadar keimanan.

Dalam bahasa Dhamma ada empat dasar pendidikan moral yang berpengaruh pada pembentukan watak, jiwa, dan kepribadian seseorang dalam menumbuhkan "kebajikan dan iman".

Pertama, estetika, meliputi aspek-aspek keindahan. Kedua, etika, meliputi budi pekerti, sopan santun, tata krama dalam pergaulan. Ketiga, dogma, yang dimaksud adalah cara menumbuhkan hakikat disiplin keyakinan yang hidup melalui tahu, mengerti, dan mengalami sendiri. Keempat, doktrin, adalah hal-hal yang serba terkait logika.

Empat hal lain

Selain empat hal itu, masih ada empat hal lain secara sosial, yaitu dana, sila, samadhi, dan pannya (kerelaan, moral, pengendalian diri, dan kecerdasan intelek religius). Keempat hal ini merupakan wujud nyata kepedulian sosial terhadap lingkungannya secara seimbang. Jika keempat hal itu dapat ditanamkan kepada anak- anak sejak dini, terhadap semua umat beragama, dan kepada masyarakat luas, dapat diharapkan kelak akan muncul anak-anak yang tahu sopan santun, memiliki budi pekerti, dan memahami tata krama.

Dengan demikian, umat beragama tidak mudah goyah, meyakini agama sendiri tanpa menjelek-jelekkan agama lain. Di masyarakat pun akan tercermin watak kepedulian sosial, serta bisa menjaga kelestarian lingkungannya. Para pejabat tinggi dan tertinggi negara pun akan jauh dari sifat adigang, adigung, adiguna. Kepada mereka pun tidak hanya karena kekuasaan menghamba kepada penguasa, menghina kaum sengsara dan papa nestapa.

Selamat Tri Suci Waisak 2551/2007.

Bhikkhu Dhammsubho Mahathera Ketua Dewan Sangha Theravada

No comments: