Friday, May 25, 2007

“Kita Gagal Berjihad Melawan Nafsu”

TANPA disadari, sebagian kalangan umat Islam memaknai jihad secara sembarangan, sempit, dan karena itu kehilangan konteks dan hikmah yang sesungguhnya. Ajaran jihad sejatinya adalah untuk kemaslahatan orang banyak, bukan hanya umat Islam saja. Tapi fakta berbicara lain. Segelintir orang melakukan aksi bom bunuh diri, memerangi non-Muslim tanpa sebab yang jelas, dan menghalalkan cara-cara tercela dengan alasan untuk jihad di jalan Allah.

Meluruskan hal tersebut, At-Tanwir berbincang dengan mantan Ketua PP Muhammadiyah dan penulis buku Tuhan Menyapa Kita (2006), Prof Dr Ahmad Syafii Maarif. Petikannya:

Sebagian kaum Muslim memaknai kata ‘Jihad’ secara sempit. Apa pendapat Anda?

Jihad itu kan luas maknanya. Yang paling utama adalah bagaimana kita mampu melakukan jihad melawan diri sendiri, melawan nafsu kita. Nafsu adalah sumber kehendak apa saja, baik itu kehendak positif maupun negatif. Korupsi, kezaliman, kebodohan, ekstremisme, dan lain sebagainya dapat terjadi di mana-mana karena orang itu gagal berjihad melawan dirinya sendiri. Kita tidak akan menang menghadapi musuh atau lawan sebelum kita mampu berjihad menaklukkan diri kita sendiri. Karena itu, sumbernya dulu yang harus kita taklukkan, baru yang lainnya.

Kalau memusuhi kaum kafir dengan alasan berjihad di jalan Allah, menurut Anda?

Tidak dibenarkan yang demikian. Islam mengajarkan, menghilangkan satu nyawa sama artinya melenyapkan banyak nyawa manusia. Tanpa alasan yang pasti dan jelas, membunuh orang adalah perbuatan yang terkutuk dan diharamkam oleh Islam. Karena itu, mereka yang menganut dan mempraktekkan jihad dalam arti sempit, adalah kalangan yang hanya mementingkan diri mereka sendiri, hanya berani mati, tapi tidak berani hidup.

Menurut Anda, mengapa hal ini dapat terjadi?

Banyak faktor. Seperti pemahaman ajaran Islam yang sempit, kurangnya penerangan atau pendidikan, dan kemiskinan yang terus menggerus bangsa kita. Kemiskinan membuat orang kalap berbuat apa saja, termasuk membom atas nama jihad. Ini jelas salah. Kalau mau melaksanakan jihad dengan benar, ya ikuti tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Kita amat sangat jarang berdialog dengan Al-Quran. Saya yakin, kalau kita intensif berdialog dengan Al-Quran, niscaya kezaliman dan kekerasan atas nama agama tidak akan terjadi. Apalagi, Tuhan menurunkan ajaran jihad sejatinya untuk perdamaian dan kesejahteraan umat manusia.

Tapi fakta lain menunjukkan, kebanyakan kelompok radikal berasal dari kalangan pesantren, dan itu berarti paham betul tentang Islam, tokh tetap saja terjadi ekstremisme. Menurut Anda?

Harusnya mereka dewasa dalam beragama, dan tidak ceroboh dalam memahami dan mengamalkan Islam. Tapi, radikal itu kan juga ada faktornya. Utamanya, ekonomi. Kemiskinan menjadikan mereka frustasi dan mau berbuat fatalistis, seperti melakukan aksi bom bunuh diri dan kekerasan lainnya. Faktor luar juga ada, karena pengaruh ideologi kan banyak datang dari luar, seperti pengaruh para alumni Afghanistan, dengan semangat jihadnya yang membara.

Apa yang harus dilakukan umat Islam?

Berkali-kali saya katakan, dekati dan ajaklah sesering mungkin Al-Quran itu berdialog. Itu bukan kitab mati, tapi kitab hidup sepanjang masa. Karena itu, menjauhkan Al-Quran dari kehidupan kita, maka perlahan namun pasti petaka akan mengiringi kehidupan kita. AT

No comments: