Oleh Acep Zamzam Noor*
Sekali waktu saya diundang untuk menjadi salah seorang penanggap pada sarasehan "Mengungkap Kearifan Lokal Kampung Adat Sunda" yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh Panji Nusantara, Aliansi Bhineka Tunggal Ika, dan Pancasila Rumah Kita di Bandung. Sarasehan berlangsung sehari penuh, terdiri atas beberapa sesi dan setiap sesinya diselingi dengan pertunjukan kesenian dari berbagai daerah.
Pada sesi pertama tampil budayawan, akademisi, dan pengamat politik yang berbicara mengenai keberagaman suku, budaya, agama dan kepercayaan dengan segala permasalahannya. Sesi kedua kurang lebih sama, seniman, anggota DPRD, tokoh pemuda, dan artis berbicara mengenai krisis multidimensi yang melanda negeri ini.
Asyik juga menyaksikan para pembicara yang berbatik, bersafari, berjas dan berdasi itu. Mereka berbicara dengan artikulasi yang enak didengar, mengutip teori-teori dengan fasih, menganalisis persoalan dengan canggih, mengapungkan wacana demi wacana, dan terkadang dengan gaya seorang orator mengkritik banyak pihak, termasuk pemerintah.
Para pembicara umumnya menggambarkan kondisi negara kita saat ini dalam situasi yang kacau, tidak menentu dan berada di ambang perpecahan. Mereka juga menyertakan daftar keluhan yang tak kalah panjangnya. Mengikuti dua sesi ini kepala saya seperti berdenyut, urat-urat saraf saya menegang dan repotnya lagi tidak boleh merokok di dalam ruangan.
Sementara para penanggap maupun penanya yang umumnya intelektual juga hanya menambah daftar persoalan, keluhan dan keruwetan menjadi semakin panjang. Pikiran mereka membubung seperti asap di udara.
Sesi berikutnya tampil narasumber dari beberapa komunitas adat, yang sebagian diwakili oleh kuncennya masing-masing. Atmosfer ruangan berubah dengan kehadiran mereka, bahkan sangat kontras dengan dua sesi sebelumnya yang panas. Pada sesi ini para narasumbernya berbaju kampret hitam dan memakai ikat kepala barangbang semplak.
Ada juga yang mengenakan baju koko putih dan bendo, tapi tidak seorang pun yang memakai sepatu. Mereka umumnya sudah berusia dan penampilannya sangat sederhana, bertubuh kurus, agak bungkuk, kulit mulai keriput, pakaian terkesan lusuh namun sangat santun dan tampak tidak suka banyak bicara.
Para narasumber itu adalah Ki Encu dari Bantarkalong (Sumedang), Mang Karman dan Abah Maryono dari Kampung Kuta (Ciamis), Abah Sahari dari Cikadu dan Mang Kasmin dari Kanekes (Banten), Abah Karlan dari Banceuy (Subang), dan Pak Agus Radiman dari Cigugur (Kuningan). Setelah diperkenalkan oleh moderator mereka diberi kesempatan bicara masing-masing selama sepuluh menit.
Namun waktu yang mereka gunakan tidak sampai lima menit, itu pun termasuk beberapa pancingan dari moderator. Yang mereka sampaikan sangat sedikit, namun terasa begitu penuh. Yang mereka ucapkan apa adanya, terbata-bata dan jauh dari keinginan beretorika. Namun, yang apa adanya dan terbata-bata itu bagi saya seperti cahaya meteor yang melesat dan menggetarkan bulu kuduk. Saya tiba-tiba merasa tercerahkan.
Ketika moderator menanyakan perihal kiat memimpin Kampung Kuta yang konon hutannya dikenal sangat terpelihara, Abah Maryono menjawab, "Abdi mah teu nyepeng elmu, tapi mung nyepeng amanah". Jawaban yang pendek dan sederhana ini sangat mengagetkan. Tidak memegang ilmu namun memegang amanah. Artinya, bagi seorang pemimpin adat memegang amanah jauh lebih penting dari penguasaan ilmu pengetahuan.
Apalah artinya ilmu kalau disalahgunakan? Apalah artinya kecerdasan kalau hanya untuk memintari orang? Dua sesi perdebatan yang penuh busa dan retorika dari para budayawan dan intelektual, sepertinya terjawab dengan hanya beberapa patah kata dari seorang kuncen yang pekerjaan sehari-harinya bertani.
Cara berpikir masyarakat modern sungguh kebalikannya. Bagi mereka yang rasional memegang amanah tentu sangat merugikan. Kenapa? Karena dengan memegang amanah tidak akan bisa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan memegang amanah tidak akan bisa melakukan mark-up atau memanipulasi projek.
Pendek kata, dengan memegang amanah siapa pun tidak akan bisa kaya mandadak. Dari sikap mental masyarakat seperti inilah sebenarnya krisis demi krisis dimulai.
Ketika seorang penanggap menanyakan bagaimana mengatasi krisis-krisis ini, Abah Sahari dari Cikadu menjawab seperti acuh tak acuh. "Amanah ka urang Sunda, ka urang Islam, ka urang Indonesia, kudu sauyunan. Ka cai kudu saleuwi, ka darat kudu salogak". Artinya, kita semua harus bekerja bahu-membahu, gotong royong dan mempunyai tujuan yang sama.
Di kampung-kampung adat selalu ada pamali (semacam undang-undang atau aturan main) yang berupa anjuran dan larangan yang harus ditaati seluruh warga. Umumnya dimaksudkan untuk menjaga kerukunan atau harmoni, baik harmoni antarsesama warga maupun dengan alam sekitar. Pamali atau undang-undang mereka ini tampak sangat sederhana, tidak ruwet atau penuh muatan kepentingan seperti yang biasa dibuat DPR, namun justru karena kesederhanaannya, bisa dilaksanakan dan diamalkan.
Untuk menjawab pertanyaan yang sama, Mang Kasmin dari Kanekes berkata, "Hirup mah ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagede-gede gawe". Jangan berlomba-lomba mengejar kedudukan, jangan berebut dalam pekerjaan. Kembali bulu kuduk saya merinding dibuatnya. Sebuah kalimat yang diucapkan dengan pelan namun maknanya sangat dalam, yang tanpa tedeng aling-aling seakan menampar wajah para pejabat, wakil rakyat, pengurus partai, aktivis LSM, pengusaha, broker, dan juga kita semua.
Bukankah mencapai sebuah kedudukan dengan mengorbankan orang lain adalah hal yang lumrah sekarang ini? Saya kembali merasa terkecerahkan.
Dalam kehidupan masyarakat tradisonal atau adat, pola kepemimpinan di antara mereka tidak berdasarkan pada keinginan, cita-cita atau ambisi seseorang, apalagi jika ambisi tersebut diperjuangkan dengan cara-cara yang tidak sepantasnya.
Pemimpin yang tampil pasti orang yang secara alamiah sudah teruji dalam banyak hal, baik dedikasi, kemampuan, ketulusan dan juga kesiapan memegang amanah. Sedangkan kedudukan atau jabatan apa pun, baik di birokrasi, partai, ormas atau perusahaan, selalu akan menjadi rebutan.
Pak Agus Radiman dari Cigugur memaparkan beberapa hal mendasar yang harus dipunyai seorang calon pemimpin. "Cinta kasih, budi pekerti, undak usuk, tata krama, budi daya jeung budi basa". Sangat sederhana kelihatannya, tapi mungkin akan sulit sekali melaksanakannya sekarang.
Menurut penelitian Robert Wessing, seperti yang pernah dikutip Jakob Sumardjo, pola kepemimpinan dalam masyarakat Sunda tradisional sangat unik, di mana hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya seperti hubungan guru dengan murid. Jika sang pemimpin diibaratkan isi, pengikutnya adalah wadah yang siap menampung limpahan isi. Kualitas dari kepemimpinan semacam ini sangat bergantung pada pribadi pemimpinnya. Seorang pemimpin yang berisi atau berkualitas akan terus mengalirkan isi atau kebaikan kepada para pengikutnya.
Pola seperti ini sejalan dengan kepemimpinan dalam tradisi pesantren, di mana kiai adalah pemimpin sekaligus guru. Kalau kiainya alim atau berisi, tentu santrinya juga akan turut menjadi alim dan berisi pula. Sebaliknya, kalau kiainya malah sibuk berpolitik praktis, jangan heran kalau para santrinya akan menjadi broker-broker politik.
Kearifan-kearifan semacam ini, yang sebenarnya merupakan kekayaan rohani kita meskipun sudah terlupakan atau sengaja dilupakan, menjadi sangat penting untuk direnungkan kembali. Reformasi yang seakan-akan membawa kita pada banyak perubahan, ternyata hanya sebatas permukaan. Diberlakukannya sistem multipartai, dilaksanakannya pemilihan langsung untuk pemilu presiden dan kepala daerah terasa masih setengah hati.
Faktanya rakyat masih belum bisa benar-benar memilih secara langsung, karena calon-calon yang disodorkan partai selalu bukan yang dibutuhkan atau dipercaya oleh rakyat. Selalu hanya berdasarkan kepentingan partai atau orang-orang partai. Di sinilah praktik-praktik politik uang atau jual beli dukungan kerap terjadi, dan para calon yang sudah kebelet ingin berkuasa dengan senang hati mengikuti semua permainan absurd ini.
Dari proses kepemimpinan yang penuh permainan dan manipulasi tentunya kita tidak bisa berharap banyak akan munculnya tokoh yang mampu memegang amanah. Kita bisa memprediksi siapa pun yang terpilih menjadi presiden, gubernur, bupati, atau wali kota pasti akan berpikir ekonomis terlebih dahulu, misalnya menghitung berapa uang yang sudah dikeluarkan selama proses pencalonan dan kampanye.
Maka, pada tahun pertama masa jabatannya mereka akan berusaha keras bagaimana mengembalikan modal awal tadi. Lalu tahun-tahun berikutnya adalah periode bagaimana mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya sebagai persiapan untuk maju lagi pada periode berikutnya. Di sisi lain ia pun masih harus membayar banyak utang kepada para pendukungnya dengan memberikan jabatan, projek atau uang kadeudeuh.
Lingkaran setan ini akan terus bergulir sampai akhir masa jabatan, dan amanah yang menjadi inti atau roh dari kepemimpinan menjadi terlupakan dengan sendirinya. Begitu juga halnya dengan kewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat menjadi "emangnya gue pikirin?"
Merenungkan kearifan lokal bukan berarti kembali ke masa lalu atau menjadi masyarakat tradisional lagi, namun mencari mutiara-mutiara para leluhur dan menjadikannya sebagai pegangan setiap langkah ke depan. Seperti halnya kampung-kampung adat, bukankah negara atau pemerintahan kita juga mempunyai pamali, mempunyai undang-undang atau aturan main? Seluruh permasalahan yang melanda negeri kita, seluruh krisis dan bencana yang tak habis-habisnya ini, saya kira semuanya berawal ketika yang namanya pamali, undang-undang atau aturan main sudah tidak diindahkan keberadaannya. Ketika yang namanya amanah sudah tidak dianggap penting lagi.***
*Penulis, penyair tinggal di Singaparna, Tasikmalaya.
No comments:
Post a Comment