Hengkang dari Ideologis Fasis
Banting setir ideologi dapat saja terjadi pada kelompok radikal agama bila orangnya giat melakukan refleksi kritis atas kiprah mereka. Itulah pengalaman Mariana Amiruddin, redaktur Jurnal Perempuan, yang dituturkan kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68H, 5 April lalu.
----------
Bagaimana agama dikenalkan kepada Anda sejak kecil?
Tidak ketat. Bahkan, untuk salat pun, saya tidak pernah dipaksa orang tua. Pendidikan agama pun diserahkan ke sekolah. Orang tua hanya mengajarkan tentang kebaikan dan memberi tahu bahwa saya beragama Islam. Saya juga tidak disekolakan ke madrasah. Guru ngaji memang didatangkan. Tapi, itu jadi bagus karena saya bisa mengerti huruf Arab.
Pengaruh lingkungan dalam membentuk corak keberagamaan, bagaimana?
Saya cenderung antisosial dan tak peduli. Yang menentukan lingkungan waktu itu kebetulan memang agama. Dan, agama yang saya pilih adalah Islam dan karena itu saya lebih mengerti tentang apa yang harus dilakukan dalam bidang itu. Tapi, waktu kelas III SMA, saya mulai memilih kelompok tarbiyah dan mulai mengenakan jilbab.
Itu terjadi sekitar 1990-an. Waktu itu mengenakan jilbab memang tidak dibolehkan di sekolah umum. Semua diseragamkan sekolah. Tapi, dengan begitu, saya justru ingin tampil beda dari anak-anak di sekolah. Saya pikir, jilbab waktu itu adalah sebuah simbol pernyataan diri atau identitas.
Bagaimana nuansa keagamaan di sekolah-sekolah umum saat itu?
Unik. Saya bergairah mengikuti rohis (rohani Islam) karena ada ruang kontemplasi yang saya tidak temukan di televisi dan teman-teman yang suka dugem atau jalan-jalan. Saya justru menemukan kepuasan spiritual di sana.
Saya dulu kan tidak peduli dengan orang lain dan egois. Beranjak dari rohis itu, saya bertemu dengan kelompok-kelompok tarbiyah. Ada halaqah dan segala macam kegiatan.
Tapi, saya tidak cepat puas. Karena ketidakpuasan, saya mulai mencari perbincangan tentang isu-isu perempuan.
Adakah titik balik cara pandang Anda terhadap agama di kemudian hari?
Ya dan itu karena kekecewaan. Saya kan orang sangat idealis. Ketika tak menemukan yang ideal di sana (gerakan tarbiyah), saya mencari yang lain, tapi masih dalam aspek yang sama, yaitu Islam. Waktu juara lomba karya tulis itu, saya didatangi seseorang yang mengajak aktif di halaqah dia.
Dulu saya juga sempat ikut ICMI Orwil Jakarta. Nah, orang itu mengajak saya untuk membuat kajian teoretis-analitis tentang Islam dan kenegaraan.
Ternyata, setelah datang beberapa kali, tiba-tiba saya dibaiat dan diminta berganti nama menjadi Fatimah Azzahra. Di situ saya kemudian menemukan agama bisa menggunakan logika lebih banyak.
Saya diajak berpikir tentang bagaimana Islam di Makkah dan mengapa Nabi hijrah ke Madinah; bagaimana Tuhan dan lain-lain. Analogi-analogi itu, menurut saya, bisa masuk akal.
Seperti apa ikrar baiat ketika itu?
Aduh, saya lupa. Tapi, sifatnya agak militeristis. Loyalitas ditujukan hanya kepada Rabb. Tapi, Rabb yang mereka pikirkan bukan hanya sesuatu yang imajiner, tapi nyata: berupa negara. Kita diajak hijrah dari Makkah ke Madinah, dari jahiliah ke Islam.
Saya merasa menjadi orang yang disucikan, atau dalam istilah mereka, sudah tazkiah. Di situ banyak masalah unik yang saya temukan. Menarik juga sih untuk ukuran waktu itu.
Tapi, lama-lama kok ada tugas macam-macam seperti tugas kenegaraan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Mereka menyebut tugas itu untuk memperjuangkan tegaknya Negara Islam Indonesia (NII). Bagi mereka, di Indonesia itu sebenarnya ada dua negara: RI dan NII.
Ada yang aktual dan ada yang sedang diimpikan. Mereka mengklaim, ketika sudah berganti nama menjadi Fatimah Azzahra, saya sudah hidup di negara yang diimpikan itu (NII).
Adakah hak-hak Anda yang diakui di negara impian itu?
Kalau dihitung-hitung, yang ada kewajiban semua. Jadi, harus membayar infak lah, merekrut orang lah. Setiap bulan saya harus merekrut orang dan selama seminggu diusahakan mendapatkan sebelas orang. Saya sampai turun ke Terminal Pulo Gadung untuk mencari orang yang bisa ditarik ke NII.
Untuk beberapa orang, saya berhasil. Ada sopir Metromini, beberapa mahasiswa, dan sebagian pelajar yang sampai dicari-cari kepala sekolahnya yang berhasil saya rekrut. Pokoknya, militansi saya luar biasa.
Saya berpikir, kalau ingin bikin revolusi, memang harus begitulah caranya. Saya bekerja hampir tanpa pamrih. Tidak ada hak sama sekali, kecuali kepuasan hati. Itu justru dianggap kepahlawanan dan pengabdian kita terhadap negara yang kita impikan.
Apakah juga ada iming-imingnya?
Ya, banyak sekali. Misalnya, kalau NII sudah futuh atau menang dan RI kalah, kamu akan mendapatkan surga sebagaimana yang digambarkan Alquran. Waktu itu, saya berpikir "boleh juga, ini!" Makanya, saya bisa bertahan sampai lima tahun.
Kapan Anda berpikir itu hanya ilusi, lalu banting setir ke persoalan lain?
Ketika mulai melihat ada ideologi yang fasistik di situ. Manusia benar-benar tidak dilihat keberadaannya. Jadi, apa pun yang dikatakan pimpinan kita, kita harus sepenuhnya nurut. Disuruh membunuh orang, kalau perlu, ya bunuh orang. Mencuri, kalau perlu, ya mencuri.
Saya akhirnya sempat mencuri untuk membayar infak. Itu fakta, bukan omong kosong. Yang tidak fair dari gerakan ini: kita selalu dikasih mimpi terus, sama dengan sinetron Hidayah.
Sejak kapan Anda merasa ada yang tidak beres dalam utopia Anda itu?
Pada tahun keempat dalam gerakan. Tahun kelima saya keluar. Itu terjadi saat masih kuliah dan menjelang skripsi. Skripsi saya betul-betul belang-blentong. Tapi, setelah pelan-pelan keluar, akhirnya beres juga skripsi itu.
Sejak itu saya langsung melakukan titik balik. Saya pergi dan tak peduli lagi dengan banyak orang yang mencari. Saya mulai masuk teater Taman Ismail Marzuki. Dan, justru di situlah saya merasakan diri saya sebenarnya.
Apa yang berbeda dari yang Anda rasakan setelah hengkang itu?
Saya merasakan dunia lebih ramah. Saya sudah masuk di fase sebelumnya yang terisolasi. Makanya, saat masuk fase keterbukaan, keragaman, kok saya justru diterima dan merasa jadi diri sendiri.
Akhirnya saya mengekspresikan perasaan itu lewat seni dan teater. Saya sempat ngamen di jalan, nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya. Di situ saya merasakan kehidupan yang sebenarnya.
Ketika memutuskan keluar dari NII, Anda tak takut akan disanksi?
Nggak sama sekali. Semua adalah ilusi. Saya tak pernah mendapat teror. Sampai sekarang saya kira gerakan ini masih ada, tapi under ground. Karena sebagai perempuan, keanggotaan saya hanya sampai level umat. Hanya laki-laki yang bisa menjadi pemimpin.
Karena itu, informasi tentang sistem NII sangat tertutup bagi saya. Saya agak kaget dengan temuan-temuan intelijen tentang kasus terorisme saat ini karena mereka juga memakai sistem sel seperti NII.
Jadi, Anda di pinggiran saat itu?
Ya. Saya tak bisa masuk ke dalam. Dan, begitu keluar, saya tidak lagi bisa menemui mereka dan mereka pun seperti raib entah ke mana. Memang, sempat juga kami digerebek polisi ketika bikin rekrutmen di base camp Bekasi. Polisi sebenarnya tahu itu, tapi kucing-kucingan saja.
Apakah orang tua ikut mengamati perubahan-perubahan Anda?
Jelas. Waktu saya masuk rohis, saya sudah diamati, terutama soal pakaian. Pernah juga saya ditegur teman, "Kok jilbabnya makin panjang?!" Saya mengamuk, "Emang-nya apa urusan Anda?!"
Banyak sekali waktu itu kejadian yang membuat saya cepat marah. Disenggol sedikit langsung marah. Waktu itu, saya memang sangat emosional. Tapi, pelan-pelan, ketika masuk ke fase baru, perkembang emosi dan pikiran saya langsung melejit. Kreativitas makin tumbuh.
Ending dari proses "hijrah" Anda itu apa?
Sampailah ketika saya masuk Program Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia. Di situ saya makin menemukan jati diri saya sebenarnya.
Saya tak lagi menyandarkan diri pada sistem, perintah, atau pimpinan. Saya lebih bersandar pada diri sendiri. Saya kemudian menemukan teori yang cocok untuk diri saya sendiri.
Akhirnya, saya masuk Jurnal Perempuan dan di situ bisa melihat banyak orang dari atas. Rupanya, banyak juga orang yang punya sejarah hidup seperti saya. Banyak ilusinya; banyak utopia yang sama sekali tidak riil. Tapi, saya tidak menyesali pengalaman itu karena itu merupakan bagian dari perjalanan hidup saya. Saya menjadi tahu banyak. (novriantoni)
Mariana Amirudin
----------
Bagaimana agama dikenalkan kepada Anda sejak kecil?
Tidak ketat. Bahkan, untuk salat pun, saya tidak pernah dipaksa orang tua. Pendidikan agama pun diserahkan ke sekolah. Orang tua hanya mengajarkan tentang kebaikan dan memberi tahu bahwa saya beragama Islam. Saya juga tidak disekolakan ke madrasah. Guru ngaji memang didatangkan. Tapi, itu jadi bagus karena saya bisa mengerti huruf Arab.
Pengaruh lingkungan dalam membentuk corak keberagamaan, bagaimana?
Saya cenderung antisosial dan tak peduli. Yang menentukan lingkungan waktu itu kebetulan memang agama. Dan, agama yang saya pilih adalah Islam dan karena itu saya lebih mengerti tentang apa yang harus dilakukan dalam bidang itu. Tapi, waktu kelas III SMA, saya mulai memilih kelompok tarbiyah dan mulai mengenakan jilbab.
Itu terjadi sekitar 1990-an. Waktu itu mengenakan jilbab memang tidak dibolehkan di sekolah umum. Semua diseragamkan sekolah. Tapi, dengan begitu, saya justru ingin tampil beda dari anak-anak di sekolah. Saya pikir, jilbab waktu itu adalah sebuah simbol pernyataan diri atau identitas.
Bagaimana nuansa keagamaan di sekolah-sekolah umum saat itu?
Unik. Saya bergairah mengikuti rohis (rohani Islam) karena ada ruang kontemplasi yang saya tidak temukan di televisi dan teman-teman yang suka dugem atau jalan-jalan. Saya justru menemukan kepuasan spiritual di sana.
Saya dulu kan tidak peduli dengan orang lain dan egois. Beranjak dari rohis itu, saya bertemu dengan kelompok-kelompok tarbiyah. Ada halaqah dan segala macam kegiatan.
Tapi, saya tidak cepat puas. Karena ketidakpuasan, saya mulai mencari perbincangan tentang isu-isu perempuan.
Adakah titik balik cara pandang Anda terhadap agama di kemudian hari?
Ya dan itu karena kekecewaan. Saya kan orang sangat idealis. Ketika tak menemukan yang ideal di sana (gerakan tarbiyah), saya mencari yang lain, tapi masih dalam aspek yang sama, yaitu Islam. Waktu juara lomba karya tulis itu, saya didatangi seseorang yang mengajak aktif di halaqah dia.
Dulu saya juga sempat ikut ICMI Orwil Jakarta. Nah, orang itu mengajak saya untuk membuat kajian teoretis-analitis tentang Islam dan kenegaraan.
Ternyata, setelah datang beberapa kali, tiba-tiba saya dibaiat dan diminta berganti nama menjadi Fatimah Azzahra. Di situ saya kemudian menemukan agama bisa menggunakan logika lebih banyak.
Saya diajak berpikir tentang bagaimana Islam di Makkah dan mengapa Nabi hijrah ke Madinah; bagaimana Tuhan dan lain-lain. Analogi-analogi itu, menurut saya, bisa masuk akal.
Seperti apa ikrar baiat ketika itu?
Aduh, saya lupa. Tapi, sifatnya agak militeristis. Loyalitas ditujukan hanya kepada Rabb. Tapi, Rabb yang mereka pikirkan bukan hanya sesuatu yang imajiner, tapi nyata: berupa negara. Kita diajak hijrah dari Makkah ke Madinah, dari jahiliah ke Islam.
Saya merasa menjadi orang yang disucikan, atau dalam istilah mereka, sudah tazkiah. Di situ banyak masalah unik yang saya temukan. Menarik juga sih untuk ukuran waktu itu.
Tapi, lama-lama kok ada tugas macam-macam seperti tugas kenegaraan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Mereka menyebut tugas itu untuk memperjuangkan tegaknya Negara Islam Indonesia (NII). Bagi mereka, di Indonesia itu sebenarnya ada dua negara: RI dan NII.
Ada yang aktual dan ada yang sedang diimpikan. Mereka mengklaim, ketika sudah berganti nama menjadi Fatimah Azzahra, saya sudah hidup di negara yang diimpikan itu (NII).
Adakah hak-hak Anda yang diakui di negara impian itu?
Kalau dihitung-hitung, yang ada kewajiban semua. Jadi, harus membayar infak lah, merekrut orang lah. Setiap bulan saya harus merekrut orang dan selama seminggu diusahakan mendapatkan sebelas orang. Saya sampai turun ke Terminal Pulo Gadung untuk mencari orang yang bisa ditarik ke NII.
Untuk beberapa orang, saya berhasil. Ada sopir Metromini, beberapa mahasiswa, dan sebagian pelajar yang sampai dicari-cari kepala sekolahnya yang berhasil saya rekrut. Pokoknya, militansi saya luar biasa.
Saya berpikir, kalau ingin bikin revolusi, memang harus begitulah caranya. Saya bekerja hampir tanpa pamrih. Tidak ada hak sama sekali, kecuali kepuasan hati. Itu justru dianggap kepahlawanan dan pengabdian kita terhadap negara yang kita impikan.
Apakah juga ada iming-imingnya?
Ya, banyak sekali. Misalnya, kalau NII sudah futuh atau menang dan RI kalah, kamu akan mendapatkan surga sebagaimana yang digambarkan Alquran. Waktu itu, saya berpikir "boleh juga, ini!" Makanya, saya bisa bertahan sampai lima tahun.
Kapan Anda berpikir itu hanya ilusi, lalu banting setir ke persoalan lain?
Ketika mulai melihat ada ideologi yang fasistik di situ. Manusia benar-benar tidak dilihat keberadaannya. Jadi, apa pun yang dikatakan pimpinan kita, kita harus sepenuhnya nurut. Disuruh membunuh orang, kalau perlu, ya bunuh orang. Mencuri, kalau perlu, ya mencuri.
Saya akhirnya sempat mencuri untuk membayar infak. Itu fakta, bukan omong kosong. Yang tidak fair dari gerakan ini: kita selalu dikasih mimpi terus, sama dengan sinetron Hidayah.
Sejak kapan Anda merasa ada yang tidak beres dalam utopia Anda itu?
Pada tahun keempat dalam gerakan. Tahun kelima saya keluar. Itu terjadi saat masih kuliah dan menjelang skripsi. Skripsi saya betul-betul belang-blentong. Tapi, setelah pelan-pelan keluar, akhirnya beres juga skripsi itu.
Sejak itu saya langsung melakukan titik balik. Saya pergi dan tak peduli lagi dengan banyak orang yang mencari. Saya mulai masuk teater Taman Ismail Marzuki. Dan, justru di situlah saya merasakan diri saya sebenarnya.
Apa yang berbeda dari yang Anda rasakan setelah hengkang itu?
Saya merasakan dunia lebih ramah. Saya sudah masuk di fase sebelumnya yang terisolasi. Makanya, saat masuk fase keterbukaan, keragaman, kok saya justru diterima dan merasa jadi diri sendiri.
Akhirnya saya mengekspresikan perasaan itu lewat seni dan teater. Saya sempat ngamen di jalan, nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya. Di situ saya merasakan kehidupan yang sebenarnya.
Ketika memutuskan keluar dari NII, Anda tak takut akan disanksi?
Nggak sama sekali. Semua adalah ilusi. Saya tak pernah mendapat teror. Sampai sekarang saya kira gerakan ini masih ada, tapi under ground. Karena sebagai perempuan, keanggotaan saya hanya sampai level umat. Hanya laki-laki yang bisa menjadi pemimpin.
Karena itu, informasi tentang sistem NII sangat tertutup bagi saya. Saya agak kaget dengan temuan-temuan intelijen tentang kasus terorisme saat ini karena mereka juga memakai sistem sel seperti NII.
Jadi, Anda di pinggiran saat itu?
Ya. Saya tak bisa masuk ke dalam. Dan, begitu keluar, saya tidak lagi bisa menemui mereka dan mereka pun seperti raib entah ke mana. Memang, sempat juga kami digerebek polisi ketika bikin rekrutmen di base camp Bekasi. Polisi sebenarnya tahu itu, tapi kucing-kucingan saja.
Apakah orang tua ikut mengamati perubahan-perubahan Anda?
Jelas. Waktu saya masuk rohis, saya sudah diamati, terutama soal pakaian. Pernah juga saya ditegur teman, "Kok jilbabnya makin panjang?!" Saya mengamuk, "Emang-nya apa urusan Anda?!"
Banyak sekali waktu itu kejadian yang membuat saya cepat marah. Disenggol sedikit langsung marah. Waktu itu, saya memang sangat emosional. Tapi, pelan-pelan, ketika masuk ke fase baru, perkembang emosi dan pikiran saya langsung melejit. Kreativitas makin tumbuh.
Ending dari proses "hijrah" Anda itu apa?
Sampailah ketika saya masuk Program Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia. Di situ saya makin menemukan jati diri saya sebenarnya.
Saya tak lagi menyandarkan diri pada sistem, perintah, atau pimpinan. Saya lebih bersandar pada diri sendiri. Saya kemudian menemukan teori yang cocok untuk diri saya sendiri.
Akhirnya, saya masuk Jurnal Perempuan dan di situ bisa melihat banyak orang dari atas. Rupanya, banyak juga orang yang punya sejarah hidup seperti saya. Banyak ilusinya; banyak utopia yang sama sekali tidak riil. Tapi, saya tidak menyesali pengalaman itu karena itu merupakan bagian dari perjalanan hidup saya. Saya menjadi tahu banyak. (novriantoni)
Mariana Amirudin
No comments:
Post a Comment