SUFI
Sistem kalam yang terurai itu sama sekali tidak menjelmakan kepercayaan agama praktis dari rakyat, dan nyatanya sebagian besar para alim ulama memiliki anggapan kuat, bahwa sistem tadi tidak harus dihidangkan kepada rakyat. Sistem juga tidak menguasai pertalian sejumlah besar kaum cerdik pandai buat beberapa abad setelah pertikaian dengan kaum Muktazilah. Jiwa Yunani, meskipun telah dibuang dari kalangan ortodoks, masih lama mempengaruhi pikiran orang --yang lantas dinamakan zindik-- hingga bencana politik dan ekonomi menghentikan semua kegiatan pikiran kecerdasan mereka. Pengaruh pelajaran filsafat merupakan suatu faktor yang mengurangi perkembangan Islam pada waktu yang akan datang. Seyogyanya kita menelaah agama diantara khalayak ramai untuk memahami jalannya.
Pergerakan agama populer dalam Islam erat hubungannya dengan sejarah pertapaan dan mistik Islam. Profesor Massignon dalam pembahasannya tentang seluruh sudut alam mistik Islam yang terdahulu1 telah mencoba membuktikan bahwa pergerakan mistik ialah warisan langsung penetapan Islam yang diambil dari Quran dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Meskipun itu benar juga, harus diingat bahwa dasar-dasar pertapaan dalam Quran sesuai dengan pertapaan kekristenan di Timur, dan karena itu dalam perkembangan Islam di luar tanah
Dari semua agama Asia Barat yang besar, Islamlah yang umumnya dipandang sebagai yang paling bersifat keduniawian dan paling kurang bersifat pertapaan. Banyaklah alasan yang boleh dikemukakan untuk pertimbangan tadi, misalnya, pengutukan pembujangan, ketiadaan para pendeta dengan tugas kerohanian, dan paling penting kompromi permulaan dengan kebutuhan yang besar berkenaan dengan kehidupan politik --yang oleh kekristenan baru dicapai setelah berdiri tiga abad-- sedang oleh Islam dapat dicapai seumur hidup pembangunannya Nabi Muhammad saw. Diantara generasi-generasi muslimin yang paling terdahulu di bagian mana pun dunia Islam terdapat banyak orang yang membawa semangat kebaktian dalam kegiatannya sehari-hari, dan bagi mereka Islam merupakan ketertiban jiwa dan bukannya semata-mata sekumpulan upacara lahir. Imannya adalah iman pertapaan yang keras, yang menganjurkan tiap-tiap orang bergiat selalu dengan ketakutan akan ancaman hukuman Ilahi, yang mengingatkan bahwa dunia sekarang ini adalah tempat kediaman sementara dan segala hadiah yang diterima berupa kekuasaan, kekayaan, kesenangan, pengetahuan, kebahagiaan mempunyai anak adalah kehampaan dan godaan --yang memang tidak perlu ditolak atau dihindarkan-- akan tetapi digunakan dengan rasa mendalam tentang tanggung jawab yang mahaberat. Tipe contoh tertinggi pertapaan yang terdahulu ialah Hasan dari Basrah (647-728 M.) yang kenang-kenangannya tetap harum hingga kini.
Dalam abad kedua hijrah, dari barisan para pertapa telah muncul penyiar-penyiar agama populer, seakan-akan penjelmaan baru dari semangat misi kaum Nestorius yang lama dan merupakan penyiar agama sejati diantara rakyat. Nama penyiar-penyiar agama ini qussas 'pendongeng' menunjukkan cara bekerjanya. Dalam bentuk khotbah atau tafsir ayat-ayat Quran mereka isikan hati nurani pendengar-pendengarnya dengan bahan-bahan yang diambil dari aneka warna sumber dongeng Arab kuno, hikayat-hikayat Kristen, Majusi, dan Budha, bahan-bahan dari Injil dan Haggadah Yahudi, dan semua pelajaran lama dari Siria dan Babilonia. Diantara bahan-bahan tersebut, paling utama adalah kekristenan dan kebatinan. Sumbangan itu telah dicetak dalam tuangan Islam, walaupun bertentangan dengan angan-angan primitif. Diantara cangkokan-cangkokan yang ditambahkan pada pohon Islam yang paling menarik perhatian ialah perubahan penjelmaan kedua dari Isa as. dalam satu doktrin tentang kedatangan al-Mahdi yang terpimpin benar akan melaksanakan kemenangan Islam terakhir dengan jalan bencana Ilahi. Lain cangkokan yang sama pentingnya bagi hari kemudian pikiran keagamaan Islam ialah kemajuan tentang doktrin kepribadian Muhammad saw. Kita telah melihat bahwa pengaruh-pengaruh Syi'ah telah membantu kemajuan itu. Disamping penghormatan para mukminin terhadap pribadi Nabi Muhammad saw. diletakkan beberapa angan-angan Kristen tentang pribadi Isa as.
Banyak mukjizat dan kata-kata dalam Injil dan dongengan Gereja Timur yang didatangkan dari pembangun agamanya, telah dipindahkan kepada Muhammad saw. Didalam mistik Islam yang terdahulu di luar tanah Arabia Isa as. masih menempati kedudukan disamping Muhammad saw. dan kalau kurang, hanya kurang sedikit saja. Lambat laun tokoh Muhammad saw. melampaui yang lain, hingga pada akhir abad ketiga kami menemukan dalam karya mistik besar al-Hallaj suatu mazmur dipersembahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang menyatupadukan dengan megah gambaran Kristen dan Makrifat.
"Semua cahaya nabi-nabi terbit dari cahaya-Nya; la adalah yang terdahulu, Nama-Nya yang pertama dalam Kitab Nasib; la telah dikenal sebelum semua barang, semua wujud, dan akan berlangsung setelah semua berakhir. Dengan Pimpinan-Nya, maka semua mata dapat melihat … Semua pengetahuan merupakan satu tetes dari samudera-Nya. Semua kebijaksanaan seteguk dari sungai-Nya, semua masa satu jam dari hidup-Nya."
Bukannya dalam ajaran-ajaran mujarad para ahli kalam terdapat jiwa Islam yang sungguh-sungguh, dan
Di sini dengan ringkas dapat diterakan permulaan pergerakan mistik dalam Islam yang dikenal dengan nama Sufi. Asal istilah Sufi adalah majemuk, tetapi umumnya bertalian dengan pemakaian pakaian dari bulu domba (suf) yang belum dicat. Asal mula pakaian ini bukannya pakaian seragam, akan tetapi suatu tanda penebusan dosa perseorangan, dan sejumlah kaum pertapa mengutuk pakaian tadi. Ibn Sirin (m. 729 M.) mengeluarkan kecaman terhadap sejumlah pertapa yang berpakaian suf seakan-akan meniru Isa as. (berkatalah ia): "Aku lebih suka meniru contoh Nabi Muhammad saw. yang mengenakan pakaian kain kapas." Sejumlah pertapa istimewa dari Kufah dalam abad kedua, umumnya dinamakan al-Sufiyah. Dalam abad keempat, pakaian dari bulu domba telah menjadi lencana biasa dari para Sufi di Irak dan nama Sufi dipakai bagi semua ahli mistik. Dugaan bahwa nama Sufi telah dinukilkan dari kata Yunani Sophos atau Sophia sangat khayali.
Dalam abad kedua, jejak pertama untuk membentuk organisasi bersama dijalankan dalam kelompok-kelompok kecil untuk membicarakan tentang kesalehan. Biara-biara pertama, sekumpulan bilik kecil meniru pertapaan kaum Melki, atau gua-gua meniru kaum Nestorius. Kelompok-kelompok pertama bertemu untuk membaca Quran dan lain-lain bacaan, keagamaan dan pembacaan ini lambat laun bersifat dhikir, berkembang ke jurusan sama (konser kebatinan) dengan bahaya kegairahan yang mengikutinya. Perkembangan kemudian dari dikir akan diberikan keterangan lebih lanjut, tetapi al-Hallaj menganggap perlu mengutuk unsur kebangkitan yang dimuat di dalamnya.
"Engkaulah yang melemparkan daku ke dalam kegairahan, bukannya dhikr.
Jauh dari hatikulah pikiran bersatu padu pada dhikrku,
Dhikr, mutiara penggalan kerongkongan yang menyembunyikan Dikau dari mataku".
Dalam waktu yang sama terjadilah perubahan pada sifat umum pertapaan ini. Mula-mula dasarnya ialah ketakutan terhadap Tuhan dan balasan yang akan datang; ketakutan yang sama yang mengilhami Muhammad saw. Apabila unsur mistik cinta tidak ada sama sekali, hanya merupakan barang yang tergolong kedua dan tidak ditekankan. Dalam kata-kata seorang wali wanita, Rabi'ah al-Adawiyah (m. 801 M.) dinyatakan bahwa sumber utama mistik adalah cinta kasih: "Cinta kasih terhadap Tuhan telah menyerap ke dalam diriku demikian hingga tidak ada tempat dalam hatiku bagi cinta kasih maupun dendam kepada orang lain atau barang." Dalam sajak-sajaknya yang tersohor, ia membedakan hidup yang bersinar daripada hidup yang termenung; dan ia memilih yang pertama:
"Aku cinta akan Dikau dengan dua
mengesampingkan semua lain yang ada;
tetapi
apabila kudung yang menyembunyikan Dikau tanggal dan kudapat memandang-Mu;
bukan pujian bagiku, karena ini atau itu;
bukan, bagi-Mulah pujian bagi kedua,
Akhirnya cinta kasih mistik itulah yang demikian rapat pikiran dan bahasanya pada mistik Kristen primitif, yang telah mendorong alasan ketakutan pertapa ke tempat kedua, dan meletakkan dasar bagi Sufi.
Perubahan dalam sifat mistik Islam itu bertalian juga dengan perubahan dalam pimpinannya. Pada mula-mulanya, pemimpinnya dari golongan alim ulama atau guru-guru agama ortodoks. Dalam abad ketiga tempatnya diduduki oleh tokoh-tokoh yang tidak terdidik dalam ketertiban agama yang menjadi kebiasaan, tetapi termasuk sebagian besar pada golongan pertengahan yang rendah dan golongan pertukangan di kota-kota, khusus pendidik Baghdad yang campuran setengah Persia, setengah Arab Aram. Pada waktu yang sama, beberapa kesulitan tertentu bersifat sosial mulai masuk dalam pergerakan yang hingga waktu itu adalah khusus --dan terutama-- bersifat keagamaan. Pergerakan tadi seraya menjauhi tujuan-tujuan politik revolusioner propagandis-propagandis Syi'ah meliputi suatu protes terhadap keburukan-keburukan sosial dan politik yang dibiarkan oleh alim ulama sunah resmi. Program perubahan pergerakan bertalian dengan kebangunan suara hati keagamaan dari oknum-oknum dan reaksi yang menjadi akibatnya dari kebangkitan semangat atas organisasi sosial masyarakat. Keruwetan sosial ini rupanya diteguhkan anggota golongannya sendiri, dan juga usaha-usaha mereka sebagai penyiar agama dalam bidang lain. Sebarang waktu dan di mana-mana negeri, para pertapa dan Sufi merupakan propagandis yang paling giat untuk Islam.
Dua hal tersebut di atas yaitu --dengan setapak demi setapak-- melepaskan diri dari pengawasan kaum ortodoks dan kesulitan-kesulitan sosial baru, menyebabkan pergerakan,Sufi mulai dicurigai oleh alim ulama ortodoks dan pembesar-pembesar, lebih-lebih oleh kaum Syi'ah. Kecurigaan ini bertambah besar, setelah pemimpin-pemimpin Sufi lebih "maju" dalam pandangannya dan lebih berani menyatakan pendapatnya. Celah antara kaum Sufi dan kaum ortodoks menjadi lebih lebar. Beberapa usaha telah dijalankan untuk mendamaikan mereka. Setelah usaha-usaha itu gagal, maka diberikan contoh pada tokoh mereka yang paling ternama yaitu seorang penggaru bulu domba, Mansur al-Hallaj, yang telah didakwa menyeleweng dari paham resmi karena telah mempersamakan dirinya dengan Tuhan. Ia dihukum mati dengan kejam pada permulaan abad keempat. Harus diterangkan dengan tegas di sini bahwa hukuman tadi telah dijatuhkan bukan oleh para fanatik yang berkeras, tetapi oleh penegak-penegak agama yang lama bertakwa sebagai Ali ibn Isa, "wazir yang baik."
Penindasan itu tidak berguna. Pergerakan Sufi telah didasarkan dengan teguh atas Quran dan ajaran-ajaran akhlak Islam, dan tidak mudah diruntuhkan. Biarpun pandangan sejumlah tokoh yang telah maju condong mengabaikan peraturan ibadat Islam, pengaruh luar yang berlawanan dengan pandangan Islam yang lazim, kekuatannya terletak dalam kepuasan yang diberikan kepada naluri keagamaan rakyat. Naluri hingga batas tertentu telah beku dan mati karena ajaran-ajaran ortodoks yang mujarad dan tidak langsung mengenai perseorangan dan sekarang menemukan kelegaan dalam ajaran para Sufi secara langsung mengenai kepribadian dan dapat merangsangkan perasaan keagamaan. Sangat penting mencamkan dalam pikiran kita sifat dan panggilan Sufi yang populer ini tumbuh dari golongan rakyat dan menarik perhatian rakyat, yang bacaan utamanya dahulu dan sekarang hanya berupa hikayat-hikayat pendek dari wali-wali, sering kali berisikan pekerjaan mukjizat. "Usaha para mistik dan qussas yang diedarkan adalah yang memberikan Islam cirinya yang kekal seperti kita kenal sekarang. Pergerakan mereka secara serentak ... merupakan apologetik dan kategetik yang pertama dalam Islam."3
Oleh karena itu, pergerakan Suli selama abad keempat dan kelima bertambah kuat, meskipun masih tidak disukai oleh para alim ulama, dan selaras mengembangkan bentuk jamaah yang lebih nyata. Kira-kira pada waktu itulah dhikr dan sama' dan pembacaan dan renungan Quran jamaah sederhana mulai menunjukkan kecenderungan doa umum (liturgi) yang lebih pasti, istimewa karena melagukan nyanyian dan doa. Bukan hal ini saja yang membedakan pergerakan Sufi dari ibadat ortodoks, karena pada waktu itu pun di dalam mesjid-mesjid dilakukan upacara pendoaan bersama-sama oleh umat Islam. Rasa permusuhan para alim ulama sebagian disebabkan karena ketakutan bahwa dhikr Sufi mungkin akan menyaingi atau lebih lagi menggantikan mesjid sebagai pusat hidup keagamaan. Pada dasarnya terdapat sebab yang lebih dalam dari pertentangan tersebut.
Tuntutan para alim ulama akan pimpinan keagamaan didasarkan atas fakta, bahwa mereka memiliki pengetahuan ilmu usul fiqih, dan kedudukan mereka sebagai tokoh tunggal dari doktrin-doktrin Islam. Sebagaimana telah kita maklumi, ilmu-ilmu tadi telah didirikan dengan susah payah tidak terhingga, dan untuk memperolehnya dibutuhkan pelajaran yang lama dan berat. Merekalah yang dapat menyelamatkan pokok iman penyelewengan "bid'ah-bid'ah" dalam doktrin dan usaha-usaha pembesar keduniawian yang menolak hak dan kewajibannya.
Pembahasannya akan berkepanjangan mengenai semua pengaruh luaran dan doktrin-doktrin yang telah memasuki Sufi selama abad-abad pembentukan. Berikut ini akan diuraikan dua contoh. Pertapaan Quran yang sebenarnya mengutuk kewadatan, kebujangan: "bahwa yang belum kawin harus kawin" adalah perintah yang terang dalam Quran (S. XXIV, a. 32). Pertapaan Kristen sebaliknya mengutuk perkawinan, tetapi menghadapi seluruh jiwa Islam tidak dapat memutarbalikkan doktrin Islam tadi. Walaupun demikian, senantiasa menyebabkan peredarannya hadis-hadis Nabi saw. yang menguraikan penolakan wanita sebagai sifat pertapaan kuno. Lambat laun paham ini mempengaruhi praktek Sufi. Dalam abad ketiga semua para Sufi kawin, itu dalam abad kelima salah seorang tokoh Sufi telah menulis: "adalah pendapat sepakat dari pemimpin-pemimpin doktrin ini bahwa Sufi yang paling baik dan paling ternama adalah mereka yang tidak kawin, apabila hatinya belum ternoda dan pikirannya bebas dari dosa dan hawa nafsu."4
Doktrin lain yang hampir sedikit saja dari pemuliaan Muhammad saw. menentukan nasib hari kemudian Islam ialah penghormatan yang diberikan oleh murid-murid kepada syekhnya Sufi selama hidupnya dan pengangkatan syekh yang terdahulu hingga martabat "wali". Angan-angan itu paling asing bagi cita-cita Islam yang bersahaja. Bertentangan dengan Quran, sunah, rasionalisme, dan kalam ortodoks (yang memandang seruan doa kepada "wali-wali" sebagai pelanggaran "syirk"' karena menyeleweng pemujaan Allah yang Tunggal), pemujaan wali-wali lambat laun masuk ke dalam Islam dan akhirnya menyapu barang yang ada di muka " Ketahuilah", kata pengarang yang sama, "bahwa patokan dan dasar Sufi, serta pengetahuan tentang Allah terletak pada kewalian"5 Tetapi, pemuliaan wali-wali itu tibalah doktrin makrifat Kristen lain yang tidak kurang hebatnya menentang paham ortodoks yakni kepercayaan kepada susunan bertingkat dari para wali yang memuncak hingga Quth, ujung pangkal dari jagat, dengan wakil-wakil dan tentaranya wali-wali menguasai dan mengawasi bumi, merupakan Demiourgos dalam pandangan Islam. Hingga hari ini tetamu pada bab Zuwela di Kairo akan melihat pintu tersebut ditutupi dengan potongan-potongan kain yang ditempelkan pada paku pada pintunya oleh orang-orang yang meIengkapi Quth tersebut.
Dengan demikian, maka sepanjang masa unsur-unsur tidak Islam yang populer tadi merebut kedudukan yang bertambah kuat dalam lapisan Islam, bukannya berkurang ataupun lenyap dibawah pengaruh perlawanan alim ulama. Karena kesombongan mazhab-mazhab ortodoks, maka orang-orang yang berjiwa keagamaan lebih terdorong kepada golongan mistik; orang tidak mencari ilmu metafisik tentang agama, tetapi makrifat yang hidup dari Allah. Selama abad kelima, terdapat celah terang antara para Sufi dan sejumlah ahli pikir yang paling pandai; dicarinya suatu prinsip buat suatu kompromi, yang menyiapkan jalan untuk revolusi yang akan datang mendadak dan mengejutkan pada kira-kira penghabisan abad yang sama. Gejala yang menarik perhatian dari perubahan sikap tadi diberikan oleh ulama yang masyhur al-Qusyairi (m. 1072 M.) dalam sebuah risalahnya. Ia mendesakkan kepentingan Sufi yang atasan dan menyarankan penerimaan doktrin Sufi tentang berjamaah bergairah dengan Ilahi.
Nama yang bertalian dengan revolusi tadi ialah nama al-Ghazali, (m. 1111 M.), seorang tokoh yang bermartabat setingkat dengan Augustinus dan Luther dalam paham keagamaan dan kegiatan kecerdasan. Hikayat tentang ibadat hajinya adalah suatu hikayat yang mempersona dan penuh dengan pelajaran; bagaimana ia menemukan dirinya sendiri, memberontak terhadap cara pikirnya ahli kalam. Ia berusaha menemukan kenyataan yang akhir dengan jalan semua sistem agama dan filsafat Islam dari zamannya. Diriwayatkan bagaimana ia akhirnya setelah perjuangan lama badaniah, rohaniah, dan akaliah, jatuh kedalam keingkaran filsafat murni berdasarkan makrifat pribadi tentang Allah, dan menemukan dalam jalan Sufi. Karya al-Ghazali dan pengaruhnya telah diuraikan oleh Profesor Mac Donald dalam kata-kata yang indah sekali
"Pertama, ia telah memimpin kembali orang dari usaha mutakallimun tentang doktrin usul pada hubungan yang hidup dengan pembahasan dan penafsiran Kalam Allah dan sunah. Apa yang terjadi di Eropa waktu belenggu skolastisisme abad pertengahan telah diputuskan, terjadi dalam Islam di bawah pimpinannya.
Kedua, dalam ajarannya dan anjurannya dalam bidang akhlak, ia memperkenalkan kembali unsur ketakutan. Menurut pendapatnya bukanlah waktunya penyiaran agama yang manis mulut beserta penuh pengharapan. Kengerian neraka harus selalu.diterangkan dengan nyata kepada orang; ia sendiri telah mengalaminya.
Ketiga, karena pengaruhnyalah Sufi memperoleh kedudukan.yang kokoh dan terjamin dalam Jamaah Islam.
Keempat, ia telah membawa filsafat dan usul filsafat dalam lingkaran pikiran orang biasa.
Dari empat tingkat karya al-Ghazali tadi, maka yang pertama dan yang ketiga, tanpa keragu-raguan. adalah yang terpenting. Ia telah memasyhurkan namanya karena memimpin kembali Islam ke fakta-fakta azasi dan sejarah, serta memberikan tempat:dalam sistem Islam buat kehidupan keagamaan yang penuh dengan perasaan hati.
Ia bukan seorang sarjana yang merintiskan suatu jalan baru, tetapi merupakan seorang tokoh dengan kepribadian yang berguna dan bersemangat memasuki rintisan yang telah dibuka, dan membuat rintisan tadi suatu jalan raya."6
Karya hidup al-Ghazali menunjukkan banyak persamaan menyolok dengan karya hidup al-Asy'ari. Keduanya pada suatu zaman tatkala keortodokan bertengkar dengan aliran pikiran lain yang dengan kuat menarik pikiran dan kehendak ahli pikir agama, telah menempa persatupaduan yang memberikan kesempatan prinsip-prinsip pokok dari gerakan lain itu ditempatkan dalam sistem ortodoks. Al-Asj'ari sendiri seorang Muktazilah telah dapat mengukuhkan Islam ortodoks dengan menempatkan ilmu kalamnya atas asas-asas yang dapat masuk akal. Al-Ghazali, seorang murid al-Asj'ari dapat membina kembali ilmu usul atas dasar pengalaman mistik pribadi. Janganlah dikira bahwa ia dengan menggunakan "jalan" Sufi telah menolak ilmu usulnya yang lama; karena keyakinan-keyakinan pengalaman pribadi yang memungkinkan al-Ghazali menghubungkan dengan keberanian dan keyakinan sistem cita-cita usul filsafat dan mistik yang hingga pada waktu itu terpecah-pecah dan berlawanan.
Tambahan pula, seperti dalam pelajaran al-Asj'ari kumpulan cita-cita baru tadi setelah diresapkan, berkembang dalam lapisan ortodoks sebagai suatu unsur pokok dari pikiran Islam, bahkan mengubah sifat dasarnya. Sekarang jalan mistik yang telah mendapat cap pengesahan dari ijmak dan diterima sebagai ortodoks membuka tahap baru dalam sejarah perkembangan agama Islam. Beberapa tujuan (sebagaimana juga terjadi dengan pelajaran Asj'ari) yang diambil dalam masa perkembangan tersebut adalah di luar harapan dan menggelisahkan.
Bukan karena semata-mata tidak adanya persesuaian mantiki antara paham Sufi dan ilmu kalam al-Asj'ari. Pemikir Timur walaupun suka memaksakan suatu dalil menjadi kesimpulan dengan --yang menurut pendapat kami kepercayaan yang berlebih-lebihan cara menarik kesimpulan-- menggunakan akal, tidak merasa terganggu oleh pertentangan diantara kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya dan dari dalil-dalil yang diterima. Dengan kecurigaannya yang biasa terhadap kecerdasannya manusia, ia telah puas menerima kesimpulan-kesimpulan tadi satu persatu sebagai keputusan suatu segi kebenaran yang terakhir, yang hanya dapat disatupadukan dalam pikiran Ilahi. Lebih penting adalah gejala bahwa paham ortodoks dan mistik condong mengikuti jalan yang berpencar: sekarang, walaupun mereka telah saling terikat, jalannya tetap berlainan. Dengan demikian mendatangkan akibat yang membahayakan. Paham ortodoks biarpun keras dan skolastik, senantiasa mempertahankan akhlak dan ukuran kecerdasan yang tinggi dan menolak membiarkan (dalam masalah iman dan ibadat) bid'ah-bid'ah dan kebiasaan yang menyeleweng kemurnian doktrin yang dahulu. Walaupun paham ortodoks telah meminjam senjata mantik Yunani, keortodokan telah menggunakan senjata tadi seluruhnya untuk mempertahankan kedudukannya terhadap cita-cita Yunani. Hal ini memperlihatkan segi lemah karena memberikan sifat aristokrat atau sifat khas sampai batas tertentu menjauhkan diri dari pengertian dan hati rakyat.
Sebaliknya Sufi, walaupun idaman keagamaannya luhur, hampir dari permulaannya kurang berpilih-pilih dan lebih bersedia untuk memasukkan kebiasaan dan cita-cita asing, apabila itu dapat memperoleh hasil baginya. Dalam barisan para mistik terdapat susunan derajat yang luas bedanya, meliputi tokoh-tokoh dengan kepandaian kecerdasan dan watak, yang memperoleh pengalaman kerohanian yang kaya dari mistik tadi yang memperkokoh pegangan mereka akan kebenaran agamanya kebawah, sehingga orang-orang yang menemukan dalam ilmu mistik suatu kepuasan emosi dan moril, dan yang tidak mempedulikan apakah amalnya dan dalil-dalilnya selaras atau tidak dengan doktrin Islam. Dalam beberapa kalangan, kegiatan untuk mencapai keadaan kegairahan telah mempengaruhi dikir yang bersahaja dan telah dimasukkan dalam ibadat upacara tambahan, misalnya tari-tarian dan mengoyak pakaian. Pemimpin-pemimpin Sufi telah memandang acuh tidak acuh pemasukan unsur-unsur agama yang populer ini, meskipun mereka barangkali mengharap bahwa hubungan lebih erat dengan paham ortodoks, praktek Sufi dengan sendirinya akan dibersihkan dari tambahan-tambahan yang disangsikan.
Hasil pertama memberikan pengharapan. Jamaah ortodoks disegarkan dan dikukuhkan, serta memperoleh sifat yang lebih populer dan suatu kekuatan baru untuk menarik perhatian. Selama satu abad sesudah al-Ghazali, Sufi telah dapat menarik sebagian besar penduduk Asia Barat dan Afrika Utara yang hingga pada waktu itu menunggu-nunggu saja. Syiah sedang menderita suatu kekelaman, dan telah banyak kehilangan pengaruhnya, kecuali beberapa perbentengan di pegunungan dan di jumbai-jumbai Teluk Persia. Hasil tadi hanya tampak di negara-negara Islam yang lama; di daerah baru (Asia Kecil, Asia Tengah, India, Indonesia, Afrika Tengah) yang pada waktu itu sedang digabungkan kepada dunia Islam. Sejumlah besar penduduknya telah diislamkan biarpun adanya perbedaan yang lebar dan lama tentang anggapan keagamaan.
Dalam gerakan massa ini terdapat gejala-gejala yang hanya diterima dengan perasaan prasangka oleh alim ulama yang lebih cermat. Apa yang tidak dapat diramalkan oleh al-Ghazali (dan ia tidak boleh mempertanggungjawabkan) bahwa lantaran rekah pecahan yang dibuatnya masuk dengan deras bagaikan air pasang amal agama yang populer, dan tanggapan-tanggapan intelektual yang menyeleweng, menghina idamannya, dan dapat mengganggu doktrin ortodoks. Penerimaan Sufi itu tidak dapat dibatasi hingga suatu kompromi yang sederhana. Sekarang, setelah Sufi mendapat cap ortodoks, tidak mungkin memegang garis-garis tua yang kuat dan kaku, yang dahulu telah dipasangkan antara apa yang boleh dan apa yang tidak diperbolehkan, serta merupakan rintangan terhadap pemasukan amal yang populer. Kompromi telah menjadi penyerahan diri! Sufi bergerak dengan cepat di seluruh dunia Islam dan dengan paku kaki kudanya menonjol melompati, walaupun tidak dapat mencekik perlawanan para mutakallimun seluruhnya. Hasil baik penyiaran Sufi itu barangkali merupakan salah satu sebab utama gengsi mereka yang demikian tinggi, dan juga demikian banyaknya sokongan yang didapat dari pembesar-pembesar keduniawian, hingga hampir tidak ada pengharapan bagi alim ulama untuk membendung air pasang yang populer ini. Jelas sekali dalam. pendirian pemegang pemerintah Turki (sebagai Timur misalnya), yang lahirnya menghormati alim ulama, tetapi dengan pasti merendahkan diri pada syekh-syekh Sufi.
Sebelum keadaan mencapai tingkat tadi, kaum ortodoks telah berusaha untuk melayani tantangan tersebut. Perjuangan yang dahulu terhadap pengaruh-pengaruh Yunani dan aliran-aliran yang menyeleweng telah menunjukkan nilai susunan dan pengawasan perguruan tinggi kepada kaum ulama. Hingga pertengahan abad kelima, pendidikan telah diberikan dalam cara tanpa tertib dan kepada seluruh swasta. Mesjid merupakan pusat pendidikan dan tiap-tiap sarjana yang telah menyempurnakan pelajaran, dalam sesuatu cabang ilmu keagamaan menjadi pusat sekelompok murid. Dalam waktu tertentu, murid-murid tadi diberikan ijazah; untuk mengajarkan kepada orang lain apa yang telah diajarkan kepada mereka. Permulaan pendidikan secara sistematik bertalian dengan perjuangan menghadapi kaum Syi'ah, yang telah mengeluarkan hasrat pertama mendirikan madrasah-madrasah yang teratur (misalnya, al-Azhar, didirikan oleh gubernur Kerajaan Bani Fatimijah di kota baru Kairo dalam tahun 969 M.). Pada akhir abad kelima, timbul- pergerakan di Persia yang menjalar ke Barat untuk membentuk dan membiayai madrasah-madrasah dengan kedudukan resmi serta guru-guru yang dibayar. Dalam beberapa madrasah diadakan aturan guna perbelanjaan para murid sehari-hari. Dalam dua atau tiga abad kemudian, ratusan madrasah telah didirikan di seluruh wilayah Islam Timur dan di Mesir, dan pengawasan perguruan tinggi itu bertambah-tambah ditempatkan dalam tangan alim- ulama.
Dalam madrasah-madrasah tadi, golongan-golongan tingkat tinggi dan semua cendekiawan menerima pelajaran yang sungguh-sungguh dalam tertib sunah dan doktrin, serta patokan-patokan dasar Islami --yang merintangi meskipun hanya terbatas pada kalangan tertentu-- kecenderungan melanggar hukum dan kelalaian yang timbul dalam beberapa kalangan kaum Sufi. Dengan jalan demikian, maka diciptakan dalam tiap-tiap negara sekumpulan orang yang berpengaruh --yang ditugaskan untuk memimpin
Meskipun didapati juga sedikit kebenaran dalam tuduhan tadi, terhadap alim ulama dilakukan barang yang tidak adil. Ilmu usul yang telah berkembang dengan sepenuhnya tidaklah mudah diubah atau dikesampingkan, selama ia masih dapat mencukupi kebutuhan masyarakat yang memerlukannya. Paling banyak ilmu tadi dapat dinyatakan kembali dalam kata-kata dari bentuk pikiran masyarakat yang berubah. Dari abad ketiga belas hingga abad kesembilan belas tidak ada aliran-aliran baru memasuki masyarakat Islam untuk memberikan semangat baru pada kecerdasan pikiran. Sebagian disebabkan karena Islam telah mencapai suatu keseimbangan, dan sebagian lain karena Islam telah diisolir dari pengaruh Renaissance Barat. Tidak sebagaimana kadang-kadang diduga, bahwa abad-abad tadi merupakan terhentinya kecerdasan yang komplit, sebab didalam masyarakat terus berkobar perselisihan antara monisme Sufi (atau panteisme) dan paham para alim ulama ortodoks. Dalam bab berikut akan dibentangkan kekuatan tantangan paham Sufi. Tantangan itulah yang menentukan syarat-syarat kegiatan para ulama. Sedang agama populer menaburkan biji-bijinya dalam bentuk tasawuf; tugasnya adalah memberikan jangkar utama yang dapat mengikat erat masyarakat kepada pokok-pokok iman dan menyelamatkan kesatuannya. Tindakannya patut dibandingkan dengan sikap yang telah diambil oleh Gereja Kristen dalam abad-abad gelap, dan pantas diberikan penghargaan yang sama.
Catatan kaki:
1 Essai sur les Origines du Lexique technique de la Mystique musulmane.
2 Diterjemahkan oleh R.A. Nicholson, Literary History of the Arabs, hlm. 234.
3 D.B. MacDonald. Encyclopaedia of Islam. (di bawah Kissa).
4 Al-Hujwir. Kasyf al Mahjub. Terjemahan R.A. Nicholson, hlm. 363.
5 Ibid, hlm. 210.
6 D.B. McDonald. Development of Muslim Theology. Hlm. 238 - 239.
No comments:
Post a Comment