Oleh Yenny Zannuba Wahid*
Puasa Ramadan 1427 H ini kita laksanakan di tengah kehidupan bangsa yang masih dalam suasana keprihatinan. Disebut demikian karena proses pelembagaan politik yang mulai stabil serta proses demokratisasi ternyata tidak berjalan seiring dengan perbaikan taraf hidup masyarakat, bahkan banyak yang menganggap sebaliknya.
Berbagai bencana seolah menambah penderitaan masyarakat. Akibat tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Jogjakarta, ratusan ribu orang meninggal, luka-luka, kehilangan tempat tinggal maupun pekerjaan. Bencana lumpur panas di Sidoarjo membuat persoalan bukan hanya bagi warga korban yang terpaksa mengungsi, tetapi juga bagi beberapa industri. Tidak beroperasinya pabrik-pabrik membuat pekerjanya menganggur untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Dalam kondisi demikian, puasa tahun ini menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk melakukan introspeksi dan evaluasi menyeluruh, baik secara personal maupun secara sosial dalam membangun solidaritas dan rasa kebersamaan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Kalau proses ini bisa diupayakan, dimensi hablum min annas dari puasa bisa langsung dirasakan manfaatnya dalam kehidupan bersama. Tanpa itu, ibadah puasa mempunyai potensi tidak berdampak apa pun kecuali hanya lapar dan dahaga. Padahal, Nabi Muhammad SAW sudah mengingatkan "betapa banyak orang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga".
Sayangnya, kalau kita cermati, banyak acara keagamaan di bulan suci ini, khususnya di beberapa televisi, cenderung lebih terfokus pada aspek kesalehan individual serta penekanan pada pelaksanaan ibadah formal. Anjuran untuk meningkatkan amal saleh lebih tertuju pada konsep aktsarul ’amal (amal yang terbanyak) dan bukan pada ahsanul ’amal (amal terbaik). Bahkan, ada pula kecenderungan atas apa yang disebut komersialisasi agama. Agama dan ritualnya telah dijadikan komoditas yang bersifat suplementer untuk menjual produk-produk industri gaya hidup tertentu agar laku keras.
Dalam kecenderungan demikian, tidak heran jika meningkatnya kesalehan personal umat beragama justru tidak dibarengi kepedulian sosial yang seharusnya menjadi sikap utama umat beragama. Orang cenderung berlebihan dalam berbuka puasa misalnya. Kita mengamati sebuah paradoks di mana selama Ramadan secara statistik, pengeluaran belanja keluarga cenderung meningkat walaupun waktu makan dipersingkat hanya menjadi dua kali sehari. Padahal, firman Allah SWT secara tegas mengatakan, "Dan, makan dan minumlah serta janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (QS Al-A’raf: 31).
Hilangnya kepekaan sosial menyebabkan banyak orang lebih sibuk menyiapkan parsel yang diperuntukkan kalangan yang sebenarnya tidak membutuhkan. Tradisi berbaju baru pada Lebaran seolah menenggelamkan esensi puasa dan Idul Fitri yang seharusnya menekankan pada proses penciptaan batin yang baru dalam upaya mendapatkan maghfirrah.
Melihat fenomena seperti itu, kita pantas bertanya: gejala apa yang sedang terjadi dengan proses keberagamaan masyarakat kita? Tentu tidak mudah menjawabnya karena ada banyak perspektif yang bisa digunakan. Namun, salah satu yang bisa menjadi jawabannya adalah bahwa salah satu dampak dari gagalnya sintesis modernisasi kehidupan dan proses keberagamaan, adalah terjadinya pendangkalan pemahaman terhadap agama dan hilangnya watak kritis ajaran agama itu sendiri. Maraknya tayangan dakwah dan hiburan bernuansa agama di televisi yang didorong proses komersialisasi agama, pada gilirannya menjadikan agama tinggal sebagai ritual dan gaya hidup semata. Agama menjadi alat mobilisasi dan legitimasi yang paling efektif bagi berkembangnya industri gaya hidup masyarakat. Secara perlahan, agama pun menjadi kehilangan rohnya.
Islam yang ketika diturunkan menjadi alat dahsyat dalam melakukan perubahan konstruki sosial masyarakat jahiliyah sekarang menjadi tumpul dalam menjembatani perbedaan antara si kaya dan si miskin. Padahal, Nabi Muhammad SAW sudah menegaskan bahwa "tidak sempurna iman seseorang apabila dia tidur nyenyak sementara tetangganya sedang dalam kelaparan". Artinya, keimanan dan keberagamaan akan menjadi sebuah retorika kosong jika tidak melahirkan dan menyatu dengan kepedulian sosial.
Dalam hal ini, kita mungkin perlu melihat bagaimana para ulama terdahulu dan para wali kekasih Allah memahami agama. Dalam tradisi ulama, hakikat keberagamaan terletak pada apa yang dalam kajian hukum Islam disebut hakikat dan moral di balik syariat (hikmah at-tasyri’). Tujuan puasa misalnya adalah agar manusia menjadi bertakwa. Tujuan salat adalah menjauhkan manusia dari perbuatan keji dan munkar. Selalu ada dimensi pembebasan dari setiap ajaran syariat.
Dengan memahami hakikat dan moral di balik syariat, umat Islam bisa menjadi inspirator penting bagi perubahan masyarakat secara menyeluruh. Pada saat yang sama, keberagamaan yang hanya berorientasi pada ritual syariat semata bisa dikurangi, karena hal demikian dalam banyak hal justru menghasilkan sikap dan perilaku yang berbeda dengan hakikat dan tujuan agama itu sendiri. Wallahua alam bi ash ash-shawab.
*Penulis adalah direktur The Wahid Institute
No comments:
Post a Comment