“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
UUD 1945 Pasal 28I, ayat 1
AGAKNYA usulan teman saya patut dipertimbangkan: marilah kita berterima kasih pada MUI (Majelis Ulama Indonesia), karena fatwa MUI yang mengharamkan “pluralisme”— betapa pun istilah ini salah dipahami MUI—justru membuka celah sehingga persoalan pluralisme dapat diperbincangkan secara serius. Tanpa tudingan MUI itu, saya yakin, nasib pluralisme hanya akan mirip dengan kata-kata besar lainnya: sekadar diulang-ulang, tanpa ada upaya untuk mendedahnya secara kritis dan sungguh-sungguh—sesuatu yang justru sangat dibutuhkan sekarang, di tengah meruyaknya praktik-praktik intoleran yang sering berbuah kekerasan.
Esai ini merupakan upaya awal untuk membuka ruang bagi diskursus semacam itu, dengan mengambil titik tolak buku Mohamed Fathi Osman yang belum lama ini diterbitkan dalam rangka milad ke-20 Paramadina .1) Saya tidak akan meringkaskan isi buku saku itu, yang sudah diberi kata pengantar panjang lebar oleh Budhy Munawar-Rachman, atau memasuki labirin debat teologis dalam tradisi Islam yang sangat kaya— sesuatu yang berada di luar kemampuan saya. Apa yang mau saya lakukan jauh lebih sederhana: mengambil titik berangkat dari buku itu dan mengelaborasinya, sembari melihat beberapa problem yang menurut saya krusial jika pluralisme mau dirawat dan dikembangkan.
Fathi Osman menyediakan titik berangkat yang memadai ketika ia mengingatkan bahwa pluralisme, yang dalam rumusan alm. Cak Nur disebut sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”, a genuine engagement of diversities within the bounds of civility, seperti dirujuk Budhy dalam kata pengantarnya , memiliki berbagai matra berbeda, sekalipun saling terkait. Setidaknya ada tiga matra yang disinggung Osman dan seyogianya diperlakukan dengan hati-hati. Pada satu sisi, pluralisme mensyaratkan institusi dan jaminan legal untuk melindungi dan mensyahkan kesetaraan setiap orang; pada sisi lain, pluralisme menuntut suatu penghampiran yang jujur dan terbuka untuk “memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun untuk kebaikan semua”. Akhirnya, kedua matra tersebut diilandaskan di atas latar keyakinan filosofis (juga agama, saya kira) bahwa tidak ada “pemahaman tunggal mengenai kebenaran”. (h. 2-4).
Seluruh buku Fathi Osman merupakan pembelaan mengenai ketiga matra mendasar tersebut. Dan Osman berhasil membabarkan bahwa ketiganya merupakan konsekuensi dakhil ajaran Islam yang fundamental: bahwa seluruh umat manusia merupakan “anak cucu Adam”, dan karenanya setara di hadapan Tuhan, Sang Khalik; bahwa umat manusia diciptakan berbeda-beda agar “saling memahami” serta berlombalomba menuju kebaikan; dan bahwa hanya Tuhan yang memiliki hak untuk menilai seluruh upaya manusia pada hari pengadilan akhir. Itu berarti, tulis Osman, “andaikata pun kebenaran itu satu dalam esensi dan realitasnya, maka kebenaran sebagaimana adanya itu dapat diketahui hanya oleh Tuhan; sementara kebenaran itu dapat bervariasi dalam penglihatan luar manusia.” (h. 29).
Gagasan dasar ini punya implikasi-implikasi yang sangat jauh yang layak dipertimbangkan secara serius jika kita mau merawat pluralisme. Saya akan berangkat dari matra terakhir: tidak ada “pemahaman tunggal mengenai kebenaran”. Pluralisme berangkat dari pengakuan sederhana ini, bahwa sebagai makhluk yang terbatas ruangwaktu, manusia tidak mampu menggapai Kebenaran (dengan “K”) akhir yang, pada dirinya sendiri, melangkaui batasan ruang-waktu. Jelas pengakuan sederhana ini bertentangan secara frontal dengan pendakuan absolut (absolute claim) yang selama ini menjadi bahasa dominan agama. Sering kali, benturan berbagai pendakuan absolut dalam agama-agama itulah yang dituding banyak kalangan sebagai persoalan dasar relasi antaragama yang, dilihat secara historis, memang punya beban muatan traumatis yang kemudian mewarnai perumusan teologi suatu tradisi keagamaan. Apalagi jika beban itu diletakkan dalam konteks relasi kekuasaan yang tidak seimbang dan proyek penaklukkan ala kolonialisme di masa lampau.
Dalam soal ini, studi pendek tapi cemerlang yang dibabarkan oleh David Lochhead 2) dapat membantu untuk melihat betapa dalamnya akar-akar kecurigaan yang diwarisi dari muatan traumatis itu tertanam dan mewarnai seluruh perumusan teologis mengenai kehadiran sang liyan. Lochhead mengingatkan, di dalam setiap tradisi keagamaan selalu terkandung benih-benih ideologi dan/atau teologi yang bersifat isolasionis (masing-masing agama hidup dan berkembang dalam ghettonya sendirisendiri), konfrontasionis (yang lain dan yang berbeda adalah pesaing yang perlu dicurigai), dan bahkan kebencian (yang lain dan yang berbeda adalah musuh yang harus ditaklukkan). Batas-batas ketiganya sangatlah tipis dan kabur, apalagi ketika dikaitkan dengan logika-dakhil kekuasaan yang ada dalam setiap institusi keagamaan.
Karena itu, sekalipun semua agama mendaku-diri bahwa risalahnya ditujukan bagi seluruh umat manusia, namun dibutuhkan waktu panjang dan perjuangan yang bersimbah darah agar tradisi-tradisi keagamaan dapat menerima paham “kemanusiaan universal” yang mampu mengatasi paham “orang kita versus orang asing”. 3) Kesadaran bahwa setiap orang, apapun latar belakang warna kulit, jenis kelamin, maupun keyakinan yang dipeluknya memiliki keluhuran martabat yang harus dilindungi, dibela, dan diperjuangkan hanya lamat-lamat memasuki kesadaran keagamaan—bahkan, dalam banyak hal, masih diperdebatkan sampai sekarang. Sebab jelas sekali, paham kemanusiaan universal ini akan sangat mengganggu ke(ny)amanan para birokrat agama. Tanpa adanya landasan pendakuan absolut yang serba-benar, praktik-praktik pemisahan di mana sang liyan ditempatkan sebagai pesaing (atau bahkan musuh!) tidak lagi mungkin dilakukan, dan dengan itu pula kekuasaan (ingat adagium lama: divide et impera) sulit dijaga dan ditegakkan.
Tetapi akan keliru, jika persoalan benturan pendakuan absolut dianggap sebagai persoalan utama, atau “akar ketidakrukunan,” seperti yang pernah dipikirkan oleh Depag ketika menyusun RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) beberapa tahun lalu, yang dapat memicu konflik antar-agama. 4) Diagnose yang serba gebyah uyah semacam itu hanya akan menjebak diskursus pluralisme ke dalam labirin debat bahasa keagamaan yang sama sekali tidak perlu dan menguras energi saja, tetapi celakanya, menurut saya, masih merupakan satu-satunya bahasa yang dimiliki untuk membicarakan pluralisme. Artinya, di situ pluralisme dibaca melulu dalam kosakata dan gramatika bahasa keagamaan, dan membawa serta momok “relativisme aqidah” (atau sisi lain dari mata uang yang sama: “pencampuradukkan aqidah”) dan membuat berang MUI maupun pihak pihak lain. 5) Padahal, seperti ditegaskan Fathi Osman, kebenaran pendakuan teologis (maupun eskatologis) mengenai mana aqidah yang paling benar, atau apakah semua orang akan masuk surga sehingga menjadikan “neraka kosong”, adalah privilese Tuhan semata. “Manusia,” tulis Osman, “harus menangani perbedaan-perbedaan mereka dalam dunia ini dengan cara terbaik semampu mereka, sembari menyerahkan penilaian akhir mengenai apa yang secara mutlak benar atau salah kepada Tuhan, karena tidak ada satu pun cara mencapai kesepakatan atas kebenaran yang mutlak, sebagaimana telah ditekankan berulang-ulang dalam al-Qur’an”. (h. 27). Ini jika masih diyakini bahwa agama(-agama) hanyalah jalan(-jalan) keselamatan belaka, bukan Keselamatan dan Kebenaran (dengan “K”) itu sendiri—apalagi mau menjadi Tuhan!
Dalam esai yang sama, saya pernah mengusulkan agar pluralisme sebaiknya dibaca dengan bahasa baru, yakni bahasa moral pasca-agama yang melampaui partikularitas kosakata dan gramatika agama, sekalipun pada saat bersamaan saya sangat menyadari kerumitan dan kesulitannya. Dan persis pada titik inilah kedua matra lain yang disinggung Fathi Osman akan sangat membantu untuk mencari bahasa moral pascaagama tersebut: jaminan dan mekanisme legal untuk mensyahkan kesetaraan, pada satu sisi, dan dialog untuk saling-memahami pada sisi lain. Saya menyebutnya bahasa pascaagama, oleh karena keduanya, sekalipun lahir dari kandungan bahasa agama, tetapi mampu melangkaui partikularitas kosakata agama, dan bahkan menjadi salah satu kosakata nilai universal.
Dibicarakan dalam bahasa seperti itu, maka perjuangan pluralisme bukanlah untuk merelativisasikan—atau mencampuradukkan—aqidah seperti dituduhkan MUI, atau kesibukan mencari-cari “kesatuan transendental agama-agama” yang kerap diserukan mereka yang memeluk perenialisme atau spiritualitas new age. Keduanya, seperti sudah saya tandaskan di muka, lebih merupakan pendakuan eskatologis yang menjadi privilese Tuhan semata. Bahkan, menurut saya, perjuangan pluralisme bukanlah pencarian tak kunjung selesai perihal landasan serba-kokoh dan menjadi “titik temu” (kalîmat-un sawâ) agama-agama—sebuah upaya yang menyibukkan alm Cak Nur sepanjang hayat beliau. Ikhtiar yang dilakukan alm Cak Nur memang penting, khususnya di dalam membangun jembatan-jembatan dialog yang mau saling-memahami dan saling-memperkaya. Akan tetapi upaya ini semata tidaklah memadai di dalam proses transisi demokra(tisa)si dan arus perubahan global yang membawa serta pergulatan pengakuan (recognition) hak-hak setiap individu dan kelompok dalam tatanan hidup bersama yang beradab.
Di situ, perjuangan pluralisme ke depan, menurut saya, seyogianya dilihat dalam dua aras yang berbeda tetapi saling mendukung. Pertama, politik pluralisme ke depan lebih baik diarahkan untuk mencari kesepakatan-kesepakatan kecil yang landasannya serba-goyah (shaky foundations), yang lahir dari perjumpaan konkret sehari-hari di dalam merumuskan dan mengelola persoalan-persoalan kehidupan bersama. Praktik kehidupan sehari-hari yang melintasi batas-batas suku, tradisi, adat, maupun kepercayaan menyediakan ranah yang sangat luas bagi “eksperimen baru” pluralisme ini. Dan pengalaman ini, pada gilirannya, membentuk habitus baru untuk berkembangnya kecambah pluralisme. Jelas, di sini jalan dialog masih merupakan pilihan terbaik satusatunya sebagai cara untuk saling-memahami, menghargai, dan mengelola perbedaan, baik dalam lingkup intra-agama maupun antar-agama.
Akan tetapi pengalaman intoleransi akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa upayaupaya dialogis belaka tidak lagi memadai. Karena itu, pada aras kedua, politik pluralisme ke depan seyogianya merupakan perjuangan untuk membangun mekanisme dan jaminan legal yang mensyahkan kesetaraan. Di situ, lalu, perjuangan demi pluralisme menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan demokra(tisa)si 6) yang lebih bersifat substansial (ketimbang sekadar prosedural), yakni demokrasi yang berbasiskan penghormatan atas HAM. Menurut saya, aras kedua inilah yang sering terlupakan dalam diskursus pluralisme yang ada sekarang, termasuk dalam buku Fathi Osman.
Bagian akhir esai ini mau memberi sketsa ke depan sebagai kerangka awal yang dagingnya masih perlu diisi bersama. Untuk itu, prinsip kesetaraan yang lahir dari keyakinan bahwa umat manusia adalah “anak cucu Adam” dapat menjadi titik tolak perbincangan. Saya tidak akan memasuki lika-likunya secara rinci di sini, tetapi hanya menarik beberapa aspek krusial jika prinsip kesetaraan tersebut mau dipertimbangkan dengan serius. Salah satu aspek terpentingnya, menurut saya, adalah otonomi individu sebagai pelaku moral, karena tanpa otonomi suatu tuntutan pertanggungan jawab moral dari individu sama sekali tidak punya makna apa-apa.
Pluralisme mensyaratkan otonomi tersebut. Karenanya, menurut saya, upaya untuk merawat pluralisme tidak akan berhasil tanpa suatu penghormatan dan jaminan perlindungan yang efektif atas hak-hak individu untuk secara bebas memilih rencana hidup dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan keyakinannya sendiri. Sudah tentu, termasuk di dalam prasyarat ini adalah kebebasan individu untuk mempertanyakan kepercayaan yang diwarisinya, atau memberi tafsir yang berbeda terhadap kepercayaan tersebut, atau bahkan meninggalkannya jika dirasa tidak lagi memadai. 7) Dan ini, pada gilirannya, mensyaratkan bahwa individu memiliki sumber daya, kebebasan, serta kesadaran-diri yang diperlukan untuk menjalani hidup sesuai pilihannya tanpa takut akan diskriminasi atau hukuman dari pihak lain.
Di sinilah perjuangan demokra(tisa)si yang lebih substansial, yakni demokrasi yang berbasiskan HAM, menjadi bagian tak terelakkan dari perjuangan pluralisme. Seperti ditegaskan David Beetham, 8) akhir-akhir ini orang semakin menyadari bahwa perjuangan demokra(tisa)si punya kaitan yang sangat dalam dengan perjuangan HAM. Karena itu, demokrasi dan HAM adalah dua sisi dari mata uang yang sama yang tidak dapat dipisahkan. Dan ini sangat penting bagi pluralisme, sebab tanpa adanya penghormatan atas HAM, demokrasi yang sekadar prosedural dengan sangat mudah terjebak menjadi tirani mayoritas, di mana pemilik suara terbanyak mengambil seluruhnya (the winner-take-all device, memakai istilah Beetham) dan menafikan hak-hak minoritas. Minoritas di sini bukan dalam arti yang lazim, yakni di dalam relasi antar-kelompok, tetapi juga minoritas di dalam satu kelompok mayoritas, atau bahkan minoritas di dalam kelompok minoritas yang memberi potret dinamika berbeda. 9)
Pengalaman akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa persis pada ranah pertarungan itulah nasib pluralisme di tanah air sedang dipertaruhkan. Di situ juga menjadi jelas, bahwa sekadar “toleransi” dan “dialog” saja tidaklah memadai untuk merawat kecambah pluralisme. Apalagi bila diperhitungkan betapa rapuhnya mekanisme dan jaminan legal yang ada sekarang. Tilikan sekilas memperlihatkan betapa jaminan atas hak-hak asasi individu dalam berkeyakinan—yakni hak-hak asasi yang paling dasar, yang tidak dapat dinafikan sama sekali di dalam pengaturan negara modern—hanya ada secara normatifpreskriptif di dalam konstitusi (UUD’45 psl 28I ay 1 di atas), tetapi sama sekali tidak dapat menjadi legally binding products yang dapat diterapkan secara konkret.
Menurut saya, kekosongan legal itu merupakan lobang berbahaya bagi transisi demokra(tisa)si dewasa ini. Politik pluralisme ke depan seharusnya merupakan upaya untuk menutup lobang itu. Dan ini adalah tantangan bersama agama-agama. Tetapi ini, pada gilirannya, menghendaki pergeseran fokus keprihatinan agama-agama yang tidak lagi sekadar meributkan jumlah umat (dan amplop yang menyertainya!), atau mati-matian menjaga ortodoksi (ajaran yang benar) tetapi alpa pada ortopraksis (tindakan yang benar). Kecambah pluralisme menyediakan ranah sangat kaya bagi proses transformasi tersebut.
Tentu, jika Anda mau.
Catatan :
- Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2006.
- David Lochhead, The Dialogical Imperative: A Christian Reflection on Interfaith Encounter, SCM Press Ltd, 1988
- Lebih jauh mengenai hal ini, lihat Franz Magnis-Suseno, S.J., “Martabat Universal Manusia”, dalam Berfilsafat Dari Konteks, Jakarta: Gramedia, 1991, h. 81 – 113.
- Untuk tinjauan ringkas dan kritis mengenai hal ini, lihat St. Sunardi, “Rekayasa Kerukunan Umat Beragama”, BASIS, No. 01 – 02, Januari – Februari 2004.
- Tentang ini, lihat elaborasi saya dalam “Membaca (Kembali) Politik Pluralisme: Catatan untuk Martin Lukito Sinaga”, BENTARA, Kompas, 1 April 2006. Bdk. keberangan senada yang disuarakan Franz Magnis-Suseno, S.J., “Membongkar Kedok Pluralisme, Merayakan Inklusivisme”, dalam A. Sudiardja, S.J. dan A. Bagus Laksana, S.J., Berenang Di Arus Zaman: Tantangan Hidup Religius di Indonesia Kini, Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Rohani, 2003, h. 96 – 106.
- Dengan sengaja saya menulis “demokra(tisa)si” untuk mempertegas, bahwa saya lebih melihat demokrasi sebagai proses yang terus terbuka, bukan sebagai tatanan yang sekali jadi. Dengan kata lain, demokrasi selalu harus dibaca sebagai proses demokratisasi, yakni proses penguatan, pendalaman, dan perluasan (strengthening, deepening, dan broadening) demokrasi. Lihat Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, edisi Indonesia, Yogyakarta: IRE Press, 2003.
- Lihat diskusi mengenai hal ini dalam Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2003, khususnya Bab 5 dan 8. Diletakkan dalam konteks agama, seperti dituturkan Kymlicka, maka prinsip ini membuka ruang agar proselitisasi (mengajak orang pindah agama), heresi (memberi tafsir berbeda terhadap pandangan agama dominan), maupun apostasi (pindah agama atau sama sekali tidak beragama) diperbolehkan, dan bahkan merupakan hak-hak individu yang seharusnya dilindungi. Implikasi inilah yang menjadikan persoalan “kebebasan beragama” yang dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) kontroversial bagi banyak negara Muslim.
- David Beetham, Democracy and Human Rights, Cambridge: Polity Press, 1999. Beetham membabarkan bahwa pengertian demokrasi selalu mengandung dua nilai pokok: kontrol warga atas kebijakan kolektif, dan kesetaraan antar-warga. Sisi yang pertama menghendaki pengaturan lembaga-lembaga demokratis (representasi, akuntabilitas, transparansi, dstnya), sedang sisi kedua bersumber dari dua premis: kesetaraan martabat manusia (equal human dignity) dan otonomi yang merupakan nilai-nilai dasar HAM, khususnya hak-hak sipil dan politik. Rekaman paling bagus mengenai perjuangan demokrasi substansial di Indonesia dan persoalan-persoalan dasar yang dihadapi dapat ditemukan dalam laporan Tim Penyusun DEMOS, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia, Jakarta: DEMOS, 2005.
- Untuk studi kontemporer mengenai persoalan minoritas di dalam minoritas, lihat Avigail Eisenberg dan Jeff Spinner-Halev (eds.), Minorities within Minorities: Equality, Rights and Diversities, Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
*Bahan Workshop Paramadina-LSAF, Januari 2007
** Penulis adalah koordinator program Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), Jakarta
No comments:
Post a Comment