Monday, May 21, 2007

Mengapresiasi Jati Diri dengan Idul Fitri

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar walillahilhamdu. Gemuruh dan spirit takbir dan tahmid kembali berkumandang, menyertai semangat umat untuk memaknai dan menemui kembali satu dari dua hari besar umat Islam, yaitu Idul Fitri.

Setelah satu bulan Ramadhan lamanya umat menempa dan mengasah jati diri dan fitrahnya dengan beragam kegiatan ibadah mahdhah seperti puasa, shalat tarawih, shalat berjamaah, tadarus Alquran, iktikaf, juga dengan ibadah ijtima'iah (sosial) seperti zakat mal, zakat fitrah, infak dan sedekah, silaturahim dalam forum buka puasa maupun sahur baik dengan sesama kolega maupun dengan para yatim dan dhuafa lainnya, bahkan dengan semangat untuk mudik pulang kampung, atau juga dengan ibadah ilmiah seperti dengan mendengarkan ceramah kajian agama yang begitu penuh sepanjang waktu dengan ragam ustadz dan beragam materi, layaklah bila satu bulan Ramadhan ini diharap mampu mengasah kepekaan umat untuk kembali pada jati dirinya nan fitri itu. Apalagi dengan datangnya bulan Ramadhan umat telah secara sukarela, penuh ketaatan dan kekuatan, berani melaksanakan perintah merealisasi syariah berpuasa satu bulan Ramadhan lamanya. Sekalipun untuk melakukan itu harus mengubah jadwal kegiatan harian termasuk aktivitas makan minum dan hubungan suami istri.

Modal besar
Upaya keras yang telah dilakukan umat selama satu bulan lamanya itu, diharapkan mampu memberikan dorongan yang lebih kuat untuk menjadikannya modal besar bagi pengisian dan pemaknaan aktivitas kehidupan sesudah Ramadhan hingga datang kembali Ramadhan di tahun depan. Apresiasi ini dirasa penting dan mendesak untuk diketengahkan. Sebab, berbilang kali Ramadhan telah dilalui, tetapi kehidupan umat pasca-Ramadhan selalu seolah hanya pengulangan rutin.

Seolah-olah mereka belum lulus di dalam merealisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam aktivitas beragam ibadah di bulan Ramadhan. Kekerasan di dalam rumah tangga, tawuran antarkampus dan antarkampung terus terjadi. Begitu juga perusakan lingkungan seperti illegal logging, pembakaran hutan, lumpur panas Lapindo Brantas, perusakan kemanusiaan dengan woman trafficking, narkoba, flu burung, pelanggaran hukum seperti KKN, terorisme, mafia peradilan, berkelanjutannya pemiskinan, meningkatnya jumlah pengangguran, bahkan juga meningkatnya jumlah anak-anak korban gizi buruk.

Di tengah meningkatnya jumlah jamaah umrah dan haji, dua bentuk ibadah yang lazim mengiringi ibadah puasa, tragedi-tragedi kemanusiaan seperti di atas menjadi ironi. Karena itu, layak untuk bermuhasabah dikaitkan dengan susah payah menahan nafsu lapar dan dahaga selama satu bulan Ramadhan lamanya.

Mengapresiasi capaian umat untuk kembali ke jati dirinya nan fitri karenanya menjadi sesuatu yang semakin mendesak untuk diketengahkan. Tujuannya, agar umat menyadari tentang keunggulan potensi diri, juga bekalan yang dimiliki agar rasa percaya diri umat semakin lebih tinggi untuk setapak demi setapak dapat mengatasi beragam peristiwa dan tantangan yang menghadang di sepanjang perjalanannya. Dengan demikian, bisa memaknai kehidupan setelah bulan Ramadhan hingga ke Ramadhan mendatang berbingkaikan kesadaran akan sukses kembali kepada jati diri nan fitri itu.

Jati diri nan fitri
Tetapi apakah sesungguhnya jati diri yang dipentingkan di sini? Jawabannya adalah apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW: ''Setiap anak Adam dilahirkan dalam kondisi jati diri nan fitri. Kedua orang tuanyalah (lingkungannya) yang potensial dapat mengubah jati diri itu kepada yang lainnya.'' (HR Bukhari Muslim). Dari titik ini kita memahami bahwa Idul Fitri, yaitu hari raya yang telah Allah hadirkan untuk umat agar dapat kembali kepada jati dirinya nan fitri dalam segala dimensinya.

Fitri dalam dimensi akidah bila diwujudkan akan memunculkan pribadi beriman benar dan kuat. Ini akan mendorongnya untuk terus beramal saleh sehingga menghadirkan sikap hidup yang aman dan amanah.

Fitri dalam dimensi sejarah yang akan mendorong umat untuk menjadi bagian dari pelaku sejarah yang positif dan konstruktif, seperti yang ditegaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Dengan demikian, ia tidak akan mengulangi faktor-faktor kegagalan yang pernah muncul dalam sejarah umat. Sebaliknya ia akan terdorong untuk mengulangi faktor sukses dan kemudian menjadikannya sebagai modal untuk peran serta membangun peradaban berbasiskan kepada kefitrahan nan hanif itu.

Fitri dalam dimensi sosial memungkinkan umat menjadikan capaian selama Ramadhan itu untuk menyemangati modal sosial yang akan menjadi pintu besar dalam mengokohkan soliditas dan solidaritas umat. Dua hal itu sangat penting bagi umat di tengah kekhawatiran akan semakin mengeringnya modal sosial yang menyebabkan mereka mudah terbakar provokasi atau stigmatisasi. Jadi, kuatnya modal sosial akan menjadi modal bagi kuatnya kesatuan nasional.

Begitu juga fitri dalam bidang ekonomi. Kembali memaknai capaian-capaian penting Idul Fitri akan memberi semangat akan adanya kesadaran yang selalu membaharu. Yakni, bahwa umat adalah pasar yang sangat besar, transaksi-transaksi untuk kemaslahatan umat yang sesuai dengan kaidah-kaidah syariah ternyata bisa dilakukan dan juga sangat menguntungkan.

Dengan demikian, maka ke depan umat tidak hanya dijadikan sebagai pasar untuk dieksploitasi tapi justru untuk diapresiasi. Juga dalam bidang politik. Memaknai hadirnya jati diri dengan Idul Fitri diharapkan akan menguatkan terus-menerus komitmen dari berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan berpolitik, seperti kalangan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, juga kalangan partai politik dan pemilik kedaulatan tertinggi yaitu rakyat.

Bermakna dan berdaya guna
Kesadaran akan capaian mereka kembali kepada jati diri nan fitri itu diharapkan akan menjadi semacam pengawasan yang melekat dan bahkan spirit dari dalam diri yang kuat untuk menjaganya dan menjauhkannya dari hal yang mengotori dan bisa membatalkannya. Ada semangat untuk terus-menerus berupaya lebih baik merealisasikan janji maupun amanah yang telah diberi.

Ada kesadaran dan semangat menghadirkan komitmen mewujudkan sebelas bulan puasa Ramadhan lebih baik dari sebelas bulan Ramadhan yang lalu. Baik dalam produktivitas dan kualitas menghadirkan pelayanan dalam semangat good and clean government, melanjutkan agenda reformasi termasuk reformasi birokrasi, menegakkan hukum dan memberantas KKN, mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian di tengah publik. Melaksanakan hak asasi manusia (HAM) juga kewajiban asasi manusia (KAM) untuk mewujudkan demokratisasi. Ini pada ujungnya semakin membuktikan bahwa Islam dan demokrasi bukanlah dua hal yang perlu dipertentangkan. Sebab, umat Islam di Indonesia --yang merupakan komunitas Islam terbesar di dunia dalam satu negara-- telah mampu untuk yang kesekian kalinya melakukan demokratisasi dengan secara berkualitas.

Mengapresiasi jati diri umat Muslim --dengan aktivitas beridul fitri yang begitu heboh tapi tetap syahdu, biasanya diekspresikan dengan ungkapan ''Minal Aidzin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin'', bahkan dengan proses pulang kampung-- diharapkan akan mampu menghadirkan kesadaran baru betapa mereka hanyalah anak manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Mereka masih rindu bertemu dengan ayah ibu, handai tolan, sanak famili di kampung halaman. Pertemuan-pertemuan itu adalah sarana untuk menguatkan capaian-capaian kembali kepada jati diri nan fitri. Bukan wahana pamer kesuksesan diri --yang bisa jadi merusak suasana kembali kepada fitri-- karena ia akan potensial mewujudkan sikap iri dan dengki.

Karenanya, pulang kampung dengan silaturahim hendaklah menghadirkan realisasi akan kesadaran telah pulangnya kita kepada jati diri nan fitri. Karena, akan menebar kasih sayang serta kesiapan diri untuk kembali kepada jati diri, bertemu dengan asal-usul, termasuk dengan akar budayanya.

Dengan demikian, kembali kepada jati diri nan fitri berarti juga mengapresiasi kearifan-kearifan lokal di kampung halaman seperti masih kentalnya sikap saling menghormati, gotong royong, keramahan yang tulus, ketabahan menjalani kehidupan, kerja keras mengisi kehidupan, dan tetap rajin menjalankan ibadah. Bila kearifan semacam ini dapat diserap, maka ia akan menjadi oleh-oleh yang lebih berharga untuk dibawa kembali ke kota. Oleh-oleh yang dapat mencerahkan kehidupan di kota agar terurai dari segala kesemrawutannya, sesuatu yang sesungguhnya tak sesuai dengan capaian kembali kepada jati diri nan fitri itu.

Dengan semangat inilah, sebagaimana yang diajarkan dalam kandungan surat An-Nashr, seluruh kegiatan halal bihalal --yang biasanya mengiringi kegiatan sesudah beridul fitri-- akan semakin bermakna dan berdaya guna untuk umat di desa maupun di kota, di negara tercinta Indonesia bahkan di dunia. Sebab, ia sesungguhnya bukanlah dihidupkan untuk seremonial belaka. Selamat beridul fitri, selamat mengapresiasi hadirnya kembali jati diri, mohon maaf lahir dan bathin. Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar walillahilhamdu.

(Hidayat Nur Wahid )

No comments: