Monday, May 21, 2007

Klangenan Baru



Dulu orang mengejek Islam KTP. Islam sekadar jadi atribut Kartu Tanda Penduduk. Sekadar simbol luar. Jadi sebuah predikat. Sebatas kata benda. Sekadar klangenan, kata Orang Jawa. Jadi gincu yang warnanya menyala-nyala tapi tak berasa. Lalu, Islam atributif itu menjadi alat untuk kategorisasi. Clifford Geertz membaginya secara kontras: santri dan abangan. Kini, apa yang mau dikata? Ketika makin banyak orang Islam marak berdzikir. Kian banyak kaum Muslim naik haji dan umrah, bahkan berkali-kali. Semakin bergelora kegiatan-kegiatan ritual keislaman, mujahadahan, hingga ke gelar tabligh akbar dan berbagai aktivitas keagamaan penuh pesona. Para da'i pun kian marak di ruang publik, lebih-lebih tokoh umat. Partai politik pun banyak yang bersimbol Islam. Pendek kata, kian semaraklah kegiatan keislaman, makin banyak pula Muslim secara individu maupun kolektif yang merasa paling Islami dan menganggap yang lain tidak Islami.

Namun, apa yang dapat diperbuat kaum Muslimin? Ternyata masih jauh dari harapan. Jauh panggang dari api. Di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini, banyak hal masih berwajah buruk. Masih compang-camping. Korupsi paling unggul di dunia. Rakyat kian sarat beban dan kesulitan hidup, kendati para wakilnya di parlemen sudah naik gaji berkali-kali. Bangsa ini bahkan sering jadi bulan-bulanan kepentingan asing, meskipun para pemimpin negerinya selalu beretorika sebagai pembela utama kepentingan bangsa. Lebih parah lagi, bangsa ini compang-camping mentalitas dan karakter dirinya, seolah jadi bangsa kuli dan kehilangan martabat.

Lalu kita jadi bangsa tertinggal dan kalahan. Sekarang bandingannya bukan lagi Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bahkan dengan Vietnam dan Kamboja pun mulai keteteran. Bangsa Muslim terbesar di dunia ini seolah tak memiliki vitalitas hidup sebagai bangsa berperadaban tinggi. Kemayoritasan Islam menjadi tak membuahkan sinergi dengan martabat dan kemajuan bangsa.

Di mana kaum Muslimin berada? Rasanya masih sulit untuk memetakan posisi dan peran fungsional umat Islam sebagai mayoritas, kecuali sebatas hitungan demografis. Sekadar Islam KTP tadi, tapi dengan sederet simbol dan atribut yang berbeda dengan atribut kaum abangan seperti dulu dilekatkan secara stigmatik. Jangan-jangan malah yang dulu abangan, kini banyak yang jadi saleh kehidupan sosial dan keagamaanya, tanpa melewati jalur menjadi santri. Sebab, apalah artinya menjadi santri dan merasa santri, manakala Islam tidak sungguh-sungguh jadi pembawa rahmat bagi kehidupan. Kehidupan diri sendiri, keluarga, masyarakat, hingga ke ranah bangsa, negara, dan pelataran global. Kesantrian jangan-jangan malah jadi klangenan baru. Sebagaimana layaknya sebuah benda klangenan, seperti keris yang dikeramatkan. Atau layaknya burung perkutut yang dipajang di ruang tamu, dan bersuara merdu. Pendek kata jadi atribut spiritual yang penuh pesona. Simbol luarnya bisa sorban, kain sarung dan peci, hinga ke kefasihan alfabeta ayat-ayat Alquran dan Hadis Nabi dengan seluruh mozaik keilmuannya di aras kulit luar. Tapi, sederet atribut dan ilmu-ilhu dhahir itu tak menjadi energi dahsyat untuk memajukan dan mencerahkan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Dalam bahasa Alquran (Al-Anbiya/21: 107), tidak menjadi rahmatan lil-'alamin.

Di setiap sudut memang kini banyak aroma keagamaan baru. Kesemarakan beragama yang luar biasa menyala-nyala. Perasaan berislam, menjadi lebih Islam, bahkan paling Islami. Tapi seperti berada di titik genangan danau. Meluap dan pemandangannya indah untuk dinikmati, namun airnya tak mengalir jadi pembangkit perubahan. Penyiram serba kebaikan. Penghilang ketimpangan, ketidak-adilan, dan keterbelakangan. Lebih-lebih jadi energi pembangkit kemajuan. Air danau yang membahana itu tetap diam dan menggenang. Sekadar jadi tempat wisata.

Ketika Islam sekadar jadi atribut dan kebanggaan diri, lalu yang muncul sikap sektaria baru terhadap sesama, hatta untuk sesama Muslim sendiri. Diri kitalah yang Islami, orang lain tidak Islami. Tidak jadi soal, apakah Islam yang dibanggakan itu menjadi agama rahmat bagi kehidupan. Menjadi pembawa obor serba kebajikan, Menjadi penerang, bukan bikin gelap. Jadi petunjuk, bukan tukang vonis. Jadi pencerah, bukan membuat orang Islam merasa kecil hati sebagai Muslim. Islam yang menjadi agama perdamaian yang seluas-luasnya di muka bumi ini.

Wa ma arsalnaka ill rahmatan lil'alamin (QS. Al-Anbiyƒ/21: 107). ''Dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam'', begitu Firman Allah tentang fungsi utama kerisalahan setiap Muslim di muka bumi ini. Bahwa agama yang fungsional bagi kehidupan, bukanlah yang serba atributif, tetapi yang menebar benih dan buah serba kebaikan bagi semesta kehidupan di alam raya ini.

Dalam menjelaskan ayat Alquran yang sangat populer itu, Ibn Katsir memberikan ulasan mengenai ayat tersebut sebagai berikut, bahwa "Allah telah menjadikan Muhammad SAW sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam, mengutusnya untuk seluruh umat manusia, barang siapa yang menerima rahmat yang dibawanya dan mensyukuri nikmat tersebut maka kebahagiaanlah bagi mereka di dunia dan akhirat, sebaliknya barang siapa menolak dan mengingkarinya maka merugilah mereka di dunia dan akhirat" (Ibn Katsir, Tafsir al-Qurƒn al-'Adhim, Jilid III, hal. 201). Ibn Katsir juga mengaitkan ayat ini dengan Hadist Nabi, "aku (Muhammad) tidak diutus untuk suatu kemudharatan, tetapi aku diutus untuk menjadi rahmat" (HR Muslim dari Abi Hurairah). Sedangkan Rasulullah sendiri adalah sosok pembawa rahmat yang seluas-luasnya. Muhammad Al-Huffy, dalam Min al-Akhlaq al-Nabiy, menunjuk bukti dari kerahmatan Nabi akhir zaman. Bahwa sifat kebaikan dan kasih sayang Nabi, sebagai pantulan dari pembawa risalah rahmat, bermacam ragam dan mencakup kasih sayang yang ditebarkannya kepada kaum Muslimin maupun non-Muslim, kawan maupun lawan, orang merdeka atau hamba sahaya, kaum tua dan muda, kaum elite atau rakyat jelata, pendek kata untuk seluruh umat manusia dan lingkungan kehidupannya.

Dalam Alquran sifat-sifat rahmat adalah salah satu sifat Allah (ar-Rahman dan ar-Rahim). Rahmat merupakan segala hal yang mengandung serba kebaikan (ihsan), perdamaian (shulh), pemaaf (afw), keberuntungan (barakat), kelembutan (layin), keutamaan (afdhal), dan segala sesuatu yang membawa kemanfaatan serta kemaslahatan bagi kehidupan seluruh umat manusia. Sehingga, Islam sebagai agama rahmat, berarti Islam dan pemeluknya senantiasa menabur benih-benih dan buah-buah yang serba positif bagi kehidupan di muka bumi ini. Itulah risalah agama yang otentik sekaligus transformatif bagi kehidupan. Bukan agama dogmatis, apalagi sekadar jadi atribut klangenan.

Kini dunia kehidupan yang sarat penyakit, kekerasan, dan perebutan sungguh memerlukan aktualisasi Islam sebagai agama rahmat bagi kehidupan. Para tokoh Islam, juru dakwah, ulama, cendekiawan, dan siapa pun yang merasa menjadi pilar pembawa risalah sungguh dituntut konsistensinya dalam mewujudkan Islam sebagai agama rahmat. Islam sebagai pemberi solusi bagi kehidupan, bukan sebagai beban dan menambah persoalan. Islam bukanlah benda keramat, tapi harus menjadi obor bagi kehidupan. Islam sebagai pembawa risalah kemajuan. Risalah manusia kembali ke jalan Tuhan yang benar dan otentik melalui bertauhid dan beribadah. Islam yang melahirkan mozaik akhlak dan mu'amalah dunyawiyah yang unggul dan sebaik-baiknya.

Ketika Islam jadi agama rahmat, jangan giring dia menjadi agama yang menakutkan. Jadikan sebagai agama dakwah, yang mengajak pada yang ma'ruf dengan cara yang ma'ruf, mencegah kemunkaran dengan cara yang dibenarkan Tuhan dan dicontohkan Nabi, dan membawa umat pada kebaikan hidup untuk dunia dan akhirat. Bukan Islam yang sarat kepentingan politik dan pribadi dengan bungkus dakwah, lalu membonsai menjadi harakah yang serba memvonis dan tertutup kritik. Islam yang sebagian pemeluknya menjadi gampang marah dan menebar kekerasan. Jika ada masalah bukannya menyelesaikan dengan cara ihsan dan ishlah sebagaimana layaknya pemeluk agama rahmat, malah membesar-besarkannya menjadi sesuatu yang semakin rumit dan gaduh. Wa Allah a'lam bi al-Shawwab.

(Haedar Nashir )

No comments: