Oleh: Abd Moqsith Ghazali*
Sesungguhnya pluralisme telah menjadi kesadaran agama-agama sejak mula. Agama umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan membentuk eksistensi diri dalam menanggapi pluralisme itu. Bahkan, dikatakan bahwa setiap agama justru lahir dari proses perjumpaan dengan kenyataan pluralitas. Dus, pluralisme adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu, agaknya setiap umat beragama tidaklah monolitik. Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan.
Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok eksklusivis. Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini sering kali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Secara teologis, misalnya, mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan, sementara agama yang lain tak lebih dari sebuah konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan paripurna. Mereka mendasarkan pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam Alquran. Misalnya, [1] QS Ali Imran (3): 85, [2] QS Ali Imran (3): 19 [3] QS Al-Maidah (5): 3. [4] QS An-Nisa (4): 144.
Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik-titik persamaan sebagai benang merah yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis-operasinal bukan yang substansial-esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit di kalangan kelompok kedua ini. Misalnya, [1] QS Al-Kafirun (109):6 [2] QS Al-Baqarah (2): 256. [3] QS Al-Maidah (5): 69, [4] QS Al-An'am (6): 108.
Melihat hal di atas, maka muncul tarik tambang antara satu ayat dengan ayat yang lain. Betapa, dalam satu spektrum, pluralisme Quranik diungkapkan melalui janji penyelamatan terhadap orang-orang yang beragama selain agama Islam (QS Al-Baqarah (2):62). Sementara pada spektrum yang lain, absolutisme Islam juga terpampang dengan tegas dalam Alquran. Kontradiksi nyata antara beberapa ayat Alquran yang mengakui sumber-sumber penyelamatan otentik lainnya di satu sisi dan ayat-ayat lain yang menyatakan Islam sebagai satu-satunya sumber penyelamatan di sisi yang lain harus diatasi untuk memungkinkan tegaknya sebuah tata kehidupan berdampingan secara damai dengan umat agama lain.
Dalam kenyataannya sayang sekali tidak banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki perhatian utama untuk coba menyelesaikan ayat-ayat kontradiktif tersebut, baik dengan cara memperbarui penafsiran maupun dengan menyusun sebuah metodologi tafsir yang baru. Hingga sekarang, sekelompok pemikir Islam yang concern pada gagasan pluralisme agama biasanya hanya mengutip satu-dua ayat yang mendukung pluralisme agama dan sering kali melakukan pengabaian bahkan terkesan “lari” dari ayat-ayat yang menghambat jalan pendaratan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya. Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama, para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang secara literal jelas-jelas mendukung pluralisme agama.
Penyelesaian metodologis
Terhadap sejumlah kontradiksi antara satu ayat yang mendukung pluralisme agama si satu pihak dan ayat yang menolaknya di pihak yang lain tentu saja harus ada penanganan dan penyelesaian metodologis. Sebab, sebagai teks yang memiliki otoritas mutlak yang tak terbantahkan, Alquran adalah kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Islam. Pembacaan terhadap kitab Alquran sendiri secara cermat menyangkut tema pluralisme agama bukan saja sangat berguna, melainkan terasa sangat mendesak di tengah semarak kekerasan di Indonesia yang sering kali berbasiskan sejumlah teks agama, termasuk Alquran.
Untuk kepentingan itu, pada hemat saya, Alquran kiranya perlu dipecah ke dalam dua macam kategori.
Pertama, adalah ayat-ayat yang bersifat universal, ushul, ghayat (tujuan) dan lintas-batas yang meliputi batas historis, ideologi, etnis, suku, bahkan agama. Ayat-ayat seperti ini biasanya lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar ajaran dalam Islam, seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan (termasuk kesetaraan gender), pluralisme (termasuk pluralisme agama), dan penegakan hak asasi manusia (iqamah huquq al-insan). Dalam lansekap ini, maka ayat-ayat yang mendukung pluralisme adalah ayat-ayat ushul yang derajat relevansinya tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Kedua, adalah ayat-ayat Alquran yang tergolong sebagai ayat partikular, juz`iy, fushul, dan wasilah. Yaitu, ayat-ayat yang biasanya berbicara tentang hal-hal yang teknis-operasional dengan demikian ia terikat oleh konteks spasial. Masuk dalam kategori model ayat kedua ini, di antaranya, adalah ayat-ayat yang terkait dengan waris, ketidakadilan gender, perintah memerangi orang kafir-musyrik, diskriminasi terhadap perempuan dan nonmuslim, dan lain-lain. Dengan mengacu pada ayat yang demikian, maka dapat dimaklumi sekiranya para ulama fikih klasik mempunyai pendirian teologis yang eksklusif. Mayoritas pemikir fikih Islam klasik, misalnya, berpandangan bahwa (1) tidak diperkenankan bagi orang kafir dzimmi untuk tampil lebih unggul dari orang Islam; (2) nonmuslim tidak boleh menjadi kepala negara bagi umat Islam; (3) nonmuslim adalah warga negara kelas dua, dan sebagainya.
Menghadapi ayat-ayat partikular yang cenderung eksklusif bahkan diskriminatif itu, maka pada hemat saya tidak bisa lain kecuali harus segera ditundukkan ke dalam pengertian ayat dalam kategori pertama. Ayat partikular mesti ditaklukkan ke dalam sinaran ayat-ayat universal. Ayat yang fushul dapat direvisi oleh ayat-ayat yang ushul. Dengan demikian, ayat yang mendukung pluralisme agama dapat menganulir ayat yang tidak mendukungnya. Inilah yang dimaksud oleh kaidah ushul fikih sebagai naskh al-ayat bi al-ayat. Satu ayat dapat dianulir oleh ayat yang lain. Menurut Ibnu al-Muqaffa, sayangnya umat Islam telah lama terlena oleh ayat-ayat yang fushul (partikular) dengan pengabaian yang nyaris sempurna terhadap ayat-ayat yang ushul (universal). Ia menyatakan, I'rif al-ushul wa al-fushul; fa inna katsiran min al-nas yathlubuna al-fushul ma'a idha'at al-ushul. Ketahuilah olehmu yang terperinci dan yang prinsip. Karena sebagian besar dari manusia, mencari yang ayat-ayat terperinci, sambil menggabaikan ayat-ayat yang prinsip.
Padahal, dalam konteks masyarakat yang semakin mengarah pada kehidupan demokratis dan pluralistik, maka mengacu pada model ayat kedua tadi kiranya tidak cukup menolong. Sebaliknya, dengan berpegangan pada prinsip dasar ajaran seperti yang tertuang di dalam model ayat pertama, diharapkan dapat membantu terciptanya masyarakat yang rukun-damai. Terlebih dalam kasus Indonesia. Bahwa Indonesia bukanlah negara yang hanya didirikan oleh komunitas muslim saja, melainkan oleh seluruh warga negara, baik yang beragama Hindu, Buddha, Kristen, maupun Islam. Indonesia berdiri di atas seluruh jerih payah seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, memperlakukan umat nonmuslim persis seperti yang ada di dalam ayat-ayat partikular yang kemudian ditegaskan di dalam fikih Islam, bukan hanya tidak bijak bestari melainkan juga bertentangan dengan logika ayat-ayat universal yang mendukung pluralisme agama.
*Penulis adalah Mahasiswa Program S3 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
(Media Indonesia, 6 Agustus 2004)
No comments:
Post a Comment