Oleh Nurul Huda Maarif
Diceritakan, pada masa Nabi Muhammad Saw, seorang perempuan dari keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah yang bernama Fatimah al-Makhzumiyah ketahuan mencuri bokor emas. Pencurian ini sontak membuat jajaran Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi, jerat hukum saat itu mustahil dihindarkan, karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang menjadi hakimnya.
Bayang-bayang Fatimah al-Makhzumiyah akan menerima hukum potong tangan terus menghantui mereka. Dan, jika hukum potong tangan ini benar-benar diterapkan, mereka akan menanggung aib maha dahsyat, karena dalam pandangan mereka seorang keluarga bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik apapun. Upaya lobi-lobi politis pun digalakkan dengan tujuan supaya hukum potong tangan itu bisa diringankan atau bahkan diloloskan sama sekali dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang berdinar-dinar emas pun ‘dihamburkan’ untuk upaya itu.
Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu angkat Nabi Muhammad Saw dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas dinobatkan sebagai ‘pelobi’ oleh Suku al-Makzumiyah. Kenapa Usamah bin Zaid? Karena Usamah adalah cucu yang sangat disayangi Nabi Muhammad Saw. Melalui orang kesayangan Nabi Muhammad Saw ini, diharapkan lobi itu akan menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga upaya meloloskan Fatimah al-Makhzumiyah dari jerat hukun bisa tercapai.
Namun apa yang terjadi? Upaya lobi Usamah bin Zaid, itu justru mendulang ‘dampratan’ keras dari Nabi Muhammad Saw, bukannya simpati atau belas kasihan. Ketegasan Nabi Muhammad Saw dalam menetapkan hukuman tak dapat ditawar sedikitpun, hatta oleh orang terdekat dan kesayangannya. Untuk itu, Nabi Muhammad Saw lantas berkata lantang: “Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Itulah cermin ketegasan Nabi Muhammad Saw dalam menegakkan hukum, hatta pada orang yang paling disayanginya sekalipun. Hukum adalah hukum, yang harus ditegakkan pada siapapun atas dasar keadilan, tanpa pandang kedekatan maupun kehormatan. Namun seiring berjalannya waktu, semangat dan ketegasan penegakan hukum a la Nabi Muhammad Saw itu kian hari kian memudar bahkan hilang dari kehidupan kita.
Para penegak hukum sebaliknya lebih gemar menjalankan praktik kroniisme. Penjahat yang dekat dengan kekuasaan atau hakim misalnya, akan diloloskan dari jerat hukum dengan cara apapun, kendati kejahatannya nyata-nyata merugikan jutaan jiwa orang. Tapi pencuri sandal jepit yang tidak dekat dengan kekuasaan atau hakim, tak bisa berkelit sedikitpun dan niscaya akan merasakan ‘nikmat’nya jeratan hukum, padahal kejahatannya hanya merugikan satu orang. Penjahat yang bisa menyuap dalam jumlah besar juga akan diloloskan, sedang penjahat kere akan dihukum seberat-beratnya. Itulah ironisme penegakan hukum di negeri ini, karena ketidakadilan hukum kadung menjadi “tradisi” sekaligus “momok” mengerikan di negeri ini.
Ironisnya lagi, realitas ini terus kita saksikan tiada henti, hatta di bumi Serambi Makkah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang masyarakatnya sedang giat-giatnya menegakkan Syariah Islam, hukum yang konon dirujukkan secara benar pada tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Ironi ini tentu saja akan mencoreng wajah “mulia” Syariah Islam itu sendiri.
Seperti diberitakan, Kamis, 19 April 2007, seorang polisi Syariah Nanggroe Aceh Darussalam, RL (33), tertangkap basah tengah ber-khalwat dengan gadis tetangganya LN (17) di MCK umum. Namun bukannya dicambuk, keduanya, yang warga Desa Iee Masen Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, itu malah akan segera dinikahkan. Komandan Polisi Syariah Kota Banda Aceh, Bahagia, menyatakan, ini sesuai permintaan masyarakat desa dan hukum adat. Padahal, dalam qanun (peraturan daerah) Syariat Islam, pelaku khalwat harus dikenai sanksi cambuk. Tapi, mana cambuk – yang konon hukum Islam itu – untuk sang polisi Syariah (Wilayatul Hisbah)?
Kenyataan ini berbeda 180 derajat dengan yang dialami sepasang mahasiswa yang tertangkap warga saat ber-khalwat di Lorong Flamboyan Desa Tungkop, 6 Februari 2007 lalu. Jumat, 20 April 2007 silam, keduanya – mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah asal Kota Lhokseumawe dan pasangan wanitanya mahasiswi Fakultas Pertanian Unsyiah asal Bireuen – menjalani hukuman cambuk di halaman masjid Tungkop, sesuai surat putusan Mahkamah Syariah Aceh Besar No. 02/Put.JN/04-2007/MSY JTH, tentang pelaksanaan vonis hukuman cambuk masing-masing empat kali bagi kedua pelaku yang terbukti melanggar Qanun No. 14 Tahun 2003.
Pertanyaannya kemudian; kenapa kedua pihak ini diperlakukan tidak sama padahal melanggar qanun yang sama? Sang polisi Syariah dan pasangannya disuruh nikah dengan alasan hukum adat, sementara sang mahasiswa dan pasangannya dicambuk masing-masing empat kali? Mungkinkah kedekatan sang polisi Syariah dengan kekuasaan menjadi alasannya?
Jika ini yang terjadi, maka hati-hatilah dengan kebenaran sabda Nabi Muhammad Saw; “Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman.”
Akhirnya, siapa memainkan Syariah Islam, dia akan kena getahnya! Dan, ternyata, kendati berlabel Syariah Islam, mencari keadilan hukum di sana tetap saja laksana mencari jarum dalam tumpukan jerami. Wa Allah a’lam.[]
*Penulis adalah editor the WAHID Institute
No comments:
Post a Comment