Thursday, May 31, 2007


Obama tentang Agama dan Keluarga

Oleh : Syafii Maarif

Resonansi ini tidak akan banyak membicarakan reputasi Barack Obama (46 tahun) yang namanya melonjak sontak di dunia internasional karena senator Illinois dan dosen Universitas Chicago ini tampil sebagai penantang utama Hillary Clinton dalam konvensi Partai Demokrat tahun depan, dan jika menang, akan diperlagakan kemudian dengan calon presiden dari Partai Republik dalam Pemilu 2008.

Ada sisi lain yang patut disimak dari tokoh yang berasal dari darah campuran seorang ibu kulit putih dari Kansas dan ayah dari Kenya berkulit hitam. Orang tuanya berpisah saat Obama berusia dua tahun, kemudian kawin lagi dengan Lolo Soetoro dari Indonesia ketika Obama berumur enam tahun, selanjutnya pasangan ini juga berpisah. Obama sempat tinggal di Jakarta selama empat tahun.

Semua info di atas dapat disimak dalam otobiografi Obama, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming The American Dream (Keberanian Harapan: Pemikiran untuk Meraih Kembali Impian Amerika), terbit tahun 2006. Yang saya baca adalah terjemahannya oleh Ruslani dan Lulu Rahman dengan judul Menerjang Harapan: Dari Jakarta Menuju Gedung Putih, terbitan Ufuk Press, 2007.

Sesuai dengan fokus tulisan ini, mari kita lihat bagaimana Obama memandang agama dan keluarganya (hlm 155-163), diceritakan dengan lugas, datar, tanpa beban, sebuah sikap yang biasa terlihat pada manusia yang percaya diri. Tetapi, di bagian akhir saya akan kembali menyinggung selintas tentang Obama sebagai politikus untuk melihat serbakemungkinan bagi Amerika dan dunia, sekiranya ia terpilih jadi presiden Amerika.

Sekalipun nenek moyangnya dari garis ibu tampak seperti orang taat ke gereja ... ''keyakinan agama tidak pernah benar-benar berakar dalam hati mereka. Nenek saya selalu terlalu rasional dan terlalu keras untuk menerima apa pun yang tidak dapat dilihat, dirasakan, disentuh, atau dihitungnya.'' (Hlm 156). Ayah kakeknya dari pihak ibu menghilang tidak tentu rimbanya, lalu disusul oleh tragedi bunuh diri sang istri (hlm 155).

Ini direkamkan Obama tanpa emosi karena itu sudah merupakan fakta telanjang yang tak perlu disembunyikan. Barangkali karena kelugasan inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa The Audacity telah dinobatkan sebagai karya terlaris oleh New York Times belum terlalu lama berselang. Berita semacam ini tentu telah disimak kubu Hillary dengan penuh kewaspadaan, sebab dalam konvensi politik sebuah partai, calon tidak boleh menganut filosofi bus kota, ''sesama bus kota tidak boleh saling mendahului''.

Obama sangat hormat kepada ibunya yang seorang antropolog, namun kerinduan kepada ayah yang telah meninggalkannya dalam usia yang sangat dini juga tidak pernah pupus. Sekalipun ibunya menghormati semua kitab suci agama: Bibel, Alquran, dan Bhagawat Gita yang dijejerkan di atas rak, kritiknya terhadap agama formal cukup menyengat. Bagi ibunya, Ann Dunham, ''... agama formal terlalu sering menutupi ketertutupan pemikiran dengan jubah kesalehan, menutupi kekejaman dan penindasan dalam jubah kebenaran.'' (hlm 157). Ini adalah bahasa Obama tentang sikap ibunya yang sekaligus tentu telah turut membentuk watak sang anak.

Bagaimana dengan ayahnya, Barack Hussein Obama Sr? Walaupun ayahnya terlahir dan dibesarkan sebagai seorang Muslim, Obama tidak ragu menulis kalimat ini: ''... pada saat beliau bertemu dengan ibu saya beliau sudah menjadi seorang ateis yang kuat, yang menganggap agama sebagai terlalu banyak mengandung takhyul, seperti mumbo-jumbo [omong kosong] para cenayang [pawang/dukun] yang sering kali beliau saksikan di kampung-kampung Kenya pada masa mudanya.'' (hlm 158). Obama sendiri adalah penganut Kristen, sekalipun belum dibaptis.

Pertanyaan sentral yang tidak boleh dilewatkan selanjutnya adalah: Bagaimana jika Obama benar-benar terpilih jadi presiden Amerika menggantikan Bush bulan November tahun depan? Ada beberapa kemungkinan jawaban: Pertama, dunia akan kembali mempercayai demokrasi Amerika yang berani memilih seorang kulit hitam sebagai presiden. Apalagi jika Obama melakukan banting stir dalam politik luar negeri Amerika yang imperialistik di bawah Bush.

Kedua, Partai Demokrat akan semakin harum namanya pada tataran global karena apa yang beraroma rasialis telah dikuburnya. Ketiga, Amerika di bawah Obama akan dimaafkan dunia atas segala petualangan biadab yang dilakukan pendahulunya, jika Obama setelah terpilih juga minta maaf kepada umat manusia yang teraniaya akibat praktik terorisme negara yang dikomandani negara adikuasa ini selama sekian dasawarsa.

Akhirnya, terbetik juga kekhawatiran saya bahwa kekuasaan Obama, jika benar-benar terpilih, tidak akan bertahan lama karena akan berlaku pembunuhan politik atas dirinya, dilakukan oleh petualang rasialis yang masih gentayangan di muka bumi, tidak terkecuali di Amerika Serikat. Semoga tragedi semacam tidak akan terjadi dan Obama akan membuktikan impiannya untuk menampilkan Amerika sebagai bangsa yang punya hati nurani. Obama adalah penentang keras terhadap invasi atas Irak yang disebutnya sebagai ''... sebuah perang yang tolol, perang yang gegabah ...'' (hlm 65). Mari sama kita nantikan apa yang akan berlaku tahun depan di Amerika Serikat.

No comments: