Oleh: M. Najibur Rohman *)
Beberapa waktu lalu (23/5/2006), kita sempat dikejutkan dengan keributan yang terjadi pada saat forum Dialog Lintas Etnis dan Agama di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) yang datang sebagai keynote speaker dalam diskusi itu dipaksa keluar forum oleh sekelompok massa gabungan dari FPI (Forum Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Forum Umat Islam dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).
Kejadian ini tentunya menjadi preseden buruk bagi pluralitas bangsa Indonesia. Iklim demokrasi seolah dikebiri dengan tindakan-tindakan main hakim sendiri, tidak menghargai pendapat dan sikap memaksakan kehendak. Karenanya, pasca kejadian di Purwakarta tersebut, gap antara massa ––katakanlah–– kelompok Islam radikal dengan pendukung Gus Dur ditambah kelompok Islam moderat lain sempat mewarnai pemberitaan di berbagai media massa.
Melihat ini semua, memang rasanya aneh untuk tidak mengatakan adanya gejala-gejala neo-Wahabisme yang semakin menukik tajam. Goncangan klaim kebenaran (truth claim), anarkisme atas nama agama, jihad (bi ma'na qital), terorisme dan sebagainya selalu menghiasi sikap keberagamaan umat Islam di Indonesia. Maka tak salah jika kemudian Muqsith Ghazali menyebutnya dengan Wahabisasi Islam Indonesia (Islamlib.com, 06/02/2006).
Menurut Muqsith, minimal ada empat ciri dalam gerakan-gerakan neo-Wahabi di Indonesia. Pertama, mereka selalu mempersoalkan Pancasila dan UUD 1945 karena dianggap bukan sebagai ijtihad Tuhan, melainkan ijtihad manusia. Kedua, adanya ciri penolakan terhadap sistem demokrasi yang dianggap sekuler. Ketiga, perjuangan legalisasi syari'at Islam yang lebih bersifat partikular. Dan keempat, penyangkalan terhadap tradisi atau adat.
Kalau kita cermati, gerakan-gerakan neo-Wahabi ini sangat cepat masuk dalam akar-akar kehidupan masyarakat. Barangkali itu disebabkan tawaran mereka yang riil, yakni "kembali kepada Allah". Karenanya, yang menjadi sasaran mereka adalah masyarakat awam agama yang cenderung berpandangan "oposisi biner" dalam melihat globalisasi, kemajuan IPTEK yang dianggap semakin mengikis moralitas masyarakat dan "westernisasi" yang liberal dan sekuler. Ini dalam ranah kultural.
Dalam konteks "struktural", doktrin-doktrin neo-Wahabi juga telah banyak disuntikkan melalui sistem aturan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dukungan terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) salah satunya. Selain itu, di beberapa daerah di Indonesia juga telah banyak diterbitkan peraturan daerah yang berbasis syari'at Islam seperti di Tangerang, Cianjur, Pamekasan, Maros, Tasikmalaya dan sebagainya. Menyikapi gejala ini, kita sebagai umat muslim memang mesti tersadar dan tanggap. Bahwa neo-Wahabisme mesti digugat karena telah menciderai jiwa Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.
Di sisi lain, sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa paham Wahabi menorehkan "noda hitam". Karena, seperti yang diungkap oleh William Montgomery Watt yang mengutip Henry Laoust, paham Wahabi yang dirintis oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1703-1783) ––yang saat itu "kongkalikong" dengan pemerintah Saudi Arabia di bawah Ibn Saud–– merupakan paham yang eksklusif. Watt menulis: Wahabi sebagai "a fresh edition of Hanbalite doctrines and of the prudent agnosticism of the traditional faith".
Wahabi, seperti halnya beberapa pemikir yang seringkali dijadikan rujukan: Imam Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah ingin menegakkan kembali Islam atas dasar "nash" yang dipahami secara tekstual dan melepaskan umat dari pemujaan terhadap pengetahuan. Namun, untuk mencapai itu, Wahabi seringkali memakai cara-cara kasar dan kekerasan. Karenanya, ketika tiga tokoh utama Wahabi Indonesia, yakni Haji Miskin dari Luhak Agam, Haji Piobang dari Luhak Lima Puluh Kota dan Haji Sumanik dari Luhak Tanah Datar, menyebarkan doktrin Wahabi di tempat kelahiran mereka, Minangkabau, akhirnya justru meletupkan perang Paderi karena mendapatkan perlawanan dari kaum Adat memegang teguh tradisi mereka.
Tentunya, kita bisa membayangkan, bagaimana jadinya ketika masyarakat Indonesia mengambil posisi keberagamaan dengan corak (neo) Wahabi? Saya berani menjamin, disintegrasi bangsa akan menjadi ancaman serius bagi kita. Ini dikarenakan tidak adanya pengakuan terhadap keberbedaan seperti halnya dalam ideologi Pancasila. Apalagi, jika perbedaan tersebut dikaitkan dengan interpretasi terhadap teks-teks (yang dianggap) suci. Mungkin, negara kita ini akan menjadi sangat "tertutup" dan bermetamorfosis sebagai "The New Taliban".
Karena itu, harus ada langkah tegas, baik dari kelompok agamis, para pakar, pemerintah, aparat keamanan dan elemen-elemen lain dalam upaya mencegah terjadinya gelombang neo Wahabisme yang semakin besar. Pertama, meneguhkan kembali Pancasila. Di dalam sila-silanya, Pancasila telah mencerminkan diri sebagai nilai universal yang lintas simbol, agama, suku, etnis, golongan dan sebagainya. Keberbedaan sangat diakui dan dihargai di dalam dasar negara kita. Karena itu, kekuatan Pancasila ––meskipun cenderung tidak disukai di masa orba karena digunakan sebagai alat hegemoni–– mestilah diteguhkan kembali sebagai dasar negara yang abadi dan kokoh yang menyatukan seluruh masyarakat Indonesia dalam satu wadah bersama: INDONESIA.
Kedua, dalam konteks agama, harus dipisahkan antara ruang akidah dan muamalah. Ini penting untuk dilakukan karena seringkali kedua ruang tersebut dicampuradukkan sehingga menjadikan umat Islam terjebak pada penilaian hitam-putih atau salah-benar terhadap apa yang diyakininya. Untuk menancapkan penalaran semacam ini maka diperlukan faktor-faktor pendukung seperti aspek pendidikan, pelatihan-pelatihan dan advokasi kepada masyarakat.
Ketiga, menciptakan piranti hukum yang jelas terhadap berbagai tindak anarkis yang seringkali dipakai kelompok-kelompok neo Wahabi. Jika selama ini aparat keamanan seringkali enggan menindak ketika melihat berbagai aksi neo Wahabi yang penuh "darah", maka sekarang harus diubah. Karena, secara hukum kita tidak diperbolehkan main hakim sendiri untuk menutup paksa gereja, bertindak kasar terhadap aliran minoritas (semisal Ahmadiyah dan Lia Eden), penutupan tempat-tempat yang dianggap berbau maksiat dan sebagainya. Tidakkah semua itu menjadi tugas aparat negara?
Keempat, ada ruang dialog yang dialogis. Kasus pengusiran Gus Dur di Purwakarta membuktikan belum adanya ruang dialog yang dialogis tersebut. Dengan dialog tersebut, maka akan ada akomodasi pendapat dari berbagai kalangan agar dapat "sharing idea" di dalam sebuah forum atau arena tertentu agar saling memahami problem yang dibahas dengan komprehensif dan tidak asal tuding.
Kelima, memperkuat basis kultural masyarakat dengan model keagamaan yang arif dan bijak, bukan model ekstrim dan radikal. Selama ini, aspek ini seringkali dilupakan. Karena, ide-ide progresif lebih berorientasi akademik dari pada orientasi praksis di lapangan. Sehingga, ide-ide yang dicetuskan dalam rangka membentuk Islam yang humanis justru tidak mampu ditangkap oleh masyarakat karena kesulitan "menerjemahkan" gagasan yang "melangit" ke dalam gagasan yang "membumi". Bahkan, belum-belum masyarakat sudah banyak yang apatis karena adanya kesulitan tersebut.
Wal akhir, seperti "pesan" Allah swt, kita mesti berlomba-lomba menjadi umat yang terbaik (khairu ummat) yang mampu memaknai Islam dengan humanis, toleran dan tentunya penuh kekritisan. Bukan berislam dengan corak neo-Wahabi yang keras, sempit dan intoleran. Wallahu a'lam.
*) M. Najibur Rohman, pemimpin redaksi majalah Justisia Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang. Alumnus PP at-Taslim Lasem, Jawa Tengah.
No comments:
Post a Comment