Sunday, May 27, 2007


Realitas Buatan

Oleh : Haedar Nashir

Anda ingin tiba-tiba terkenal lalu kemudian jatuh terhuyung-huyung? Hadirlah di media, terutama layar kaca. Di media yang satu ini, orang atau peristiwa datang silih berganti dengan cepatnya. Kemarin naik ke puncak, esok dan lusa tiba-tiba jatuh tak berdaya. Kendati begitu, dunia yang satu ini tetap memikat dan penuh pesona. Selalu menjadi lahan perburuan siapa pun yang mendambakan diri menjadi bintang. Menjadi idola banyak orang. Menjadi sebuah perstiwa yang diperbincangkan sekaligus diguncingkan publik.

Namun di pangkuan media pula kejatuhan orang tak terampunkan. Dari artis hingga pendakwah tiba-tiba melorot pamornya, semuanya tampil dengan transparan dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Seketika muncul sebagai idola, tapi tiba-tiba namanya redup bagaikan lilin yang kehilangan api. Sosok hingar-bingar tiba-tiba hilang dari pasaran. Wa ma baqiyat illa ismuha. Tak ada yang tersisa kecuali namanya. Sosoknya pergi terbawa angin. Menjadi sosok yang gampang dibuang (disposable), ujar Toffler.

Media layar kaca (televisi) telah menjadi penentu nasib seseorang atau putih-hitamnya sebuah peristiwa. Ketika goyang "ngebor" dikritik publik dengan keras, artis pelakunya malah jadi terkenal dan ditampilkan atau di-blow-up besar-besaran sedemikian rupa. Bahkan dimunculkan goyang-goyang sejenis yang tak kalah erotisnya. Tantanglah media, Anda akan memperoleh jualan yang lebih menggeramkan. Si penentang bahkan bisa mengalami nasib tragis, jadi olok-olokan publik, karena media berhasil membongkar jejak kehidupannya yang kurapan.

Dalam publisitas media seolah tak ada nalar-rasional, kecuali nalar-simbolik, bahkan nalar-maya. Tiba-tiba publik di Tanah Air terjangkiti idiom populer: "kembali ke laptop", tanpa harus punya kesempatan mencerna kenapa harus terkena virus "laptop" itu. Bahkan anggota DPR malah ikut-ikutan dibelikan laptop sungguhan, seolah tak mampu beli laptop sendiri.

Mendingan kalai laptop itu digunakan untuk mencatat daftar seberapa banyak para wakil rakyat itu menunaikan amanat rakyat dan berapa banyak pula melalaikannya. Maklum ingatan manusia itu merupakan memori yang paling buruk ketimbang catatan tertulis. Tapi manakala laptop sebagai sebuah kekenasan, lebih-lebih karena latah acara di televisi, maka betapa pilunya dunia politik dan publik di negeri tercinta ini.

Layar kaca begitu mendewakan sekaligus memproduksi pesona yang mangharu-biru. Pesona luar. yang menghibur dan menghipnotis publik. Pesona itu bahkan diproduksi ala pabrik. Sesuatu yang semula wajar dan biasa, tiba-tiba jadi luar biasa. Menjadi idola atau buruan publik. Guru besar, pendidik, dan para pekerja yang gigih berkhidmat untuk bangsa dan negara, akan dengan mudah dikalahkan oleh pelawak, artis, dan penghibur yang bermodalkan gerak tubuh. Persis seperti produksi kepopuleran tokoh "Twiggy" dari London atau boneka "Barbie" yang melejit menjadi idola baru di seluruh dunia, sebagai simbol pesona keunikan, keanehan, sekaligus kelatahan. Model rambut, pakaian, gerak tubuh, dan berbagai idiom mengikuti dua figur fiktif yang seolah menjadi sosok nyata.

Manusia digiring secara canggih ke dalam pesona yang diciptakan media. Pesona buatan. Alvin Toffler menyebut realitas yang diciptakan media yang penuh pesona fantastik itu sebagai citra kinetik (the kinetic image). Citra buatan yang serba instan alias seketika. Media berhasil menjadikan Anda sebagai pendidik seketika. Da'i seketika, seperti pildacil dan para da'i selebritis. Menjadi presenter seketika. Jadi tokoh seketika. Semuanya serbacepat dan menjadi magnet massa.

Tidak lama kemudian, jika media menghendaki, realitas sebaliknya bisa diciptakan seketika pula. Tiba-tiba Anda jadi pecundang seketika. Media seolah jadi malaikat baru, menentukan jadwal kapan Anda boleh "hidup" dan juga "mati". Media telah menjadi dewa baru yang perkasa, sekaligus perpaduan trinitas yang serba memperdaya.

Dalam dunia yang sarat dengan realitas buatan, yang maya mendominasi bahkan memanipulasi yang hakiki. Kesalahan dan kebatilan dikonstruksi menjadi tampak serba benar. Hal munkar pun ditampilkan seolah baik seperti logika obral kepornoan sebagai keindahan dan keindahan adalah kecintaan Tuhan. Media mampu dengan canggihnya membolak-balikkan logika dan nalar hingga moral. Tak ada kebenaran yang pasti, yang adalah ada relativitas. Realitas buatan semacam itu bahkan mempesona dan diproduksi untuk tetap awet sebagai pesona publik. Kendati, sekadar pesona polesan, bukan yang asli.

Dalam realitas buatan, manusia tidak lagi manusiawi. Dalam dunia yang maya itu realitas sebagaimana apa adanya, seperti dikumandangkan para filosof eksistensialis, tak lagi menarik. Sesuatu yang serba hakiki dan substantif tak memikat hati publik yang telanjur dikonstruksi realitas buatan media, bahkan tampak kuno dan tak layak. Persis seperti teriakan kaum neo-ekologis, alam tak lagi alamiah karena diperkosa oleh para pemilik modal dan mereka yang rakus. Akibatnya alam kehilangan energi fitrahnya, lalu beroposisi terhadap manusia sendiri melalui berbagai bencana. Kita tak tak tahu persis, apa yang terjadi dengan masa depan kehidupan di muka bumi ini manakala manusia dan alam telah kehilangan energi autensitasnya, hilang keasliannya. Lebih-lebih jika sarat dengan komodifikasi dan manipulasi.

Tapi tunggu dulu. Semakin keras kritik terhadap kemayaan realitas yang diciptakan media layar kaca, kian perkasa pula media yang satu ini. Realitas buatan terus diproduksi. Media yang memproduksinya tak ubah laksana Firaun di era modern. Menjadi kekuatan imperium baru yang tak tertandingi. Media tumbuh jadi dewa sekaligus monster yang mengerikan. Para artis selain diproduksi jadi sosok-sosok populer dan idola publik, juga jadi objek bulan-bulanan acara-acara infotaimnent, tak peduli dengan fatwa Nahdlatul Ulama tentang ghibah. Aib pribadi jadi tontonan menarik dan terus diproduksi ke wilayah publik. Manusia modern seolah tak risih dengan publikasi aib semacam itu. Potensi muru'ah atau rasa malunya menjadi hilang, yang mekar malah nalar instrumentalnya yang haus aktualisasi diri.

Media layar kaca bukan hanya perkasa, tetapi juga sarat antagonistik. Di bulan Ramadlan dan hari-hari raya keagamaan, mereka tiba-tiba jadi beriman, jadi serbasaleh. Tapi selepas itu kembali ke asal, menampilkan sajian-sajian serbaboleh. Hingga di sini media memang menjadi etalase kehidupan manusia. Baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas, beriringan bagaikan diaspora. Manusia tinggal memilih, mau yang mana. Sampai di sini pula media menawarkan netralitas nilai, tak berpihak pada nilai moral tertentu. Acara-acara keagamaan dengan simbol-simbolnya yang menyala-nyala diakomodasi sejauh dapat diproduksi sebagai lahan komodifikasi, ajang komersialisasi.

Tak mengherankan manakala para da'i ceria pun rela hati bertingkah penuh aksi yang kadang tak elok dipandang, manakala dan jika memang dikhidmatkan untuk memenuhi selera konsumen. Namun ada satu nilai yang tak pernah luput dari denyut nadi media, lebih-lebih layar kaca. Yakni nilai uang atau kapital. Hingga di sini tak ada netralitas nilai, tapi pemihakan nilai, yakni nilai uang. Kaum posmodernisme menyebutnya komodifikasi atau kapitalisasi. Berbagai acara, sosok, peristiwa, dan apa pun yang ditampilkan media layar kaca dengan penuh warna dan pesona itu, semuanya membawa pesan nilai uang, bahkan dikendalikan dan diproduksi oleh kepentingan uang dan pemilik modal.

Dari sinilah hukum komodifikasi berlaku, semakin canggih realitas buatan yang diciptakan, maka semakin tinggi pula keuntungan yang diperoleh para pemilik modal yang berada di balik media. Uang dalam sistem kapital, kata sosiolog Georg Simmel, menjelma menjadi nilai dari segala sesuatu. Dia tak membutuhkan nilai lain, apalagi agama atau moral. Secara sataris, sosiolog Jerman itu bahkan menyatakan, ketika uang telah menjadi nilai utama, maka dia telah menjadi tuhan yang mendevaluasi tuhan-tuhan lainnya.

Tapi percayalah. Dunia yang penuh permaianan atau realitas buatan, kendati digandrungi sesungguhnya tak melahirkan pesona yang otentik. Sekadar pesona buatan alias maya. Realitas buatan selalu melahirkan banyak hal yang tak hakiki, sesuatu yang palsu. Laksana jabad atau buih, begitulah sindirian Tuhan. Dunia buatan semacam itu tak pernah awet dan harum alami, sekadar olesan parfum. Weber bahkan menyebutnya sebagai disenchanment of the world. Fenomena hilangnya pesona dunia. Dunia yang menjadi kering dan kerdil. Alquran menyebutnya sebagai mata' al-ghurur, kehidupan dunia yang penuh permainan. Itulah dunia yang penuh gemerlap, tetapi tanpa sukma.

No comments: