Islam dan Kekuasaan (I)
Sudah ada beberapa karya Muslim dan non-Muslim yang berbicara tentang masalah Islam dan kekuasaan atau biasa juga diberi judul Islam dan politik. Sebagai wacana teoretik-intelektual, karya-karya itu patut diapresiasi, karena selama berabad-abad kerja di ranah ini boleh dikatakan macet total dalam arti tidak munculnya pemikiran-pemikiran baru yang lebih segar sejalan dengan semangat zaman.
Ini adalah sebuah kecelakaan intelektual yang memalukan, tetapi itulah yang berlaku di dunia Muslim. Mengapa? Jawabannya tidak terlalu rumit. Pada abad-abad pasca-al-khulafa al-rasyidun (632-661), dengan diangkatnya Yazid bin Mu'awiyah sebagai pengganti, maka bermulalah sistem politik dinasti yang bertahan selama berabad-abad, bahkan sisanya masih kita jumpai sampai hari ini di berbagai belahan bumi.
Untuk Asia Tenggara, yang paling kental terlihat di Brunei Darussalam, di mana sultannya punya kekuasaan mutlak atas nama Islam. Prinsip syura-egalitarian amat asing di sini, rakyat adalah abdi yang wajib taat kepada penguasa. Di Malaysia sistemnya sedikit longgar karena sudah bercampur dengan sistem Inggris.
Sebuah catatan tentang Malaysia adalah di sebuah negara kecil dengan penduduk sekitar 22 juta, negeri ini punya sembilan raja, dan sekali lima tahun dipilih (setengah digilirkan) di antara mereka seorang Yang Dipertuan Agung dengan fungsi lebih seremonial. Kekuasaan riil pemerintahan terpegang di tangan perdana menteri berdasarkan hasil pilihan raya. Sejak kemerdekaan tahun 1957, perdana menteri selalu berasal dari UMNO (United Malays National Organization), sebuah partai politik orang Melayu sebagai saingan terberat PAS (Partai Islam Malaysia) yang dominan di pantai timur, khususnya Kelantan. UMNO selalu berkoalisi dengan partai-partai lain dari etnis Cina dan India dalam format Barisan Nasional.
Teori-teori politik Islam pada era klasik, tengah, dan baru, pada umumnya berangkat dari budaya imperial Islam, yaitu Islam dalam sistem kerajaan. Sekalipun Ibn Taimiyah (1263-1328) telah menggugat budaya itu, dan sampai batas-batas tertentu ada hasilnya, wajah perpolitikan Islam masih saja berada di bawah bayang-bayang yang serba dinastik itu atau bahkan otoritarian. Maka, tidaklah heran mengapa sebuah negeri Muslim di masa modern menemui kesulitan yang tidak kecil untuk menegakkan sistem politiknya di atas fondasi syura-egalitarian, seperti yang berlaku pada era tiga dasawarsa awal pasca-Nabi. Dunia Islam yang kemudian menjadi korban penajajahan Barat dalam tempo yang bervariasi lama telah semakin membunuh pemikiran-pemikiran kreatif di kawasan teori politik ini.
Mengapa periode awal bercorak egalitarian? Karena, para penerus Nabi dalam makna kepemimpinan politik memahami ajaran Alquran tentang syura, di mana manusia setara di depan Tuhan dan di depan sejarah. Pertanyaan selanjutnya: apakah Alquran itu memerlukan kekuasaan untuk membumikan perintah-perintah moralnya? Jika jawabannya afirmatif, lalu bagaimana struktur kekuasaan itu ditegakkan, baik dari sisi pandang normatif maupun berdasarkan empirisme-historis? Apakah Nabi Muhammad dalam kariernya lebih menampakkan wajah seorang politikus atau kekuasaan politik hanyalah sekadar alat untuk meraih tujuan-tujuan moral berdasarkan wahyu? Mari kita telusuri selanjutnya.
''Alquran,'' tulis Rahman, ''adalah sebuah dokumen yang secara langsung dialamatkan kepada manusia; memang ia menyebut dirinya sebagai 'petunjuk bagi manusia'' (Lih. F. Rahman, Major Themes of the Qur'an. Minneapolis-Chicago: Bibliotheca, 1980, hlm 1). Sebagai petunjuk, Alquran menjelaskan secara tajam garis demarkasi antara yang benar dan yang salah. Kemudian, diserahkan kepada manusia dengan kemauan bebasnya untuk memilih yang benar atau yang salah. Di sini otonomi manusia diberi tempat yang layak dengan ujung perjalanannya masing-masing, tidak terkecuali dalam kaitannya dengan moral dan kekuasaan.
Karier Muhammad pada periode Makkah di mata Alquran adalah sebuah karier yang sarat dengan ketegangan-ketegangan sosial, ekonomi, dan politik. Ayat-ayat Makkiyah dengan gamblang menggambarkan berbagai ketegangan ini. Doktrin tauhid tidak semata-mata bersifat antisyirik, lebih lebih dari itu. Muhammad ingin menghapus semua kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik sebagai bagian dari kesyirikan itu.
Dengan kata lain, doktrin tauhid mengharuskan tegaknya keadilan bagi masyarakat luas. Perintah semacam inilah yang sangat ditakuti elite Quraisy. Oleh sebab itu, mereka berjuang habis-habisan untuk membendung pengaruh Muhammad dan pengikutnya yang sangat minoritas pada periode Makkah. Karena terdesak oleh kepungan musuh, Muhammad diperintahkan untuk hijrah ke Madinah. Maka, bermulalah babak baru dalam karier Nabi.
No comments:
Post a Comment