Thursday, May 24, 2007

Khilafah versus Demokratisasi Cetak E-mail

Oleh: Dr KH A Hasyim Muzadi

Mengapa NU menjadi mayoritas di Indonesia? Jawabannya adalah karena pendekatan yang dipakai NU adalah lewat akulturasi, tidak lewat perebutan kekuasaan dan tidak melalui konflik.

Karena kalau lewat perebutan kekuasaan, nilai-nilai Islam akan sulit untuk membudaya di Indonesia. Sedang kalau lewat konflik, hal itu akan membuat konflik yang baru lagi. Penyikapan terhadap budaya inilah yang menjadikan NU terus meluas di Indonesia. NU menyikapi budaya dalam negeri menjadi tiga kelompok: Pertama, budaya yang memang menurut Islam sudah benar, jadi tinggal memasukkan ke dalam frame Islam dan bahkan bisa menjadi alat dakwah. Contoh yang bisa dikemukakan adalah budaya gotong royong, toleransi, paguyuban, dan etika sosial lainnya yang sudah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia.

Yang sudah masuk kategori ini tinggal ditauhidkan saja. Kedua, budaya yang menurut Islam keliru, tetapi masih bisa diperbaiki, contohnya adalah budaya orang menghormati roh leluhur seperti ritual selamatan kalau ada orang mati. Maka NU memproses budaya ini menjadi Islam,yaitu selamatannya diganti Lailaha Illallah, makanannya atau sesuguhannnya diniati bersedekah dan tauhidnya ditegakkan, lalu jadilah tradisi Tahlilan seperti dilakukan warga NU sekarang ini. Ketiga, budaya yang menurut Islam tidak bisa ditoleran lagi karena memang masuk kategori perbuatan munkar, menghadapi kasus semacam ini, kita harus memotong.

Contohnya adalah khurofat dan sebagainya. Sebelum Islam masuk Indonesia perbuatan khurofat dan munkar ini banyak sekali, hingga masih banyak yang belum diberesi sehingga masih ada yang tersisa. Sebenarnya, ini bukan tanggung jawab NU sebagai ajaran, namun ini merupakan tugas dari dakwah NU yang tersisa. Pemahaman ini penting karena banyak saudara kita sesama muslim di Timur Tengah yang salah paham terhadap NU, yang beranggapan bahwa NU melestarikan khurofat itu sendiri.

Khilafah dan Bentuk Negara

Hal penting lainnya dalam konteks akulturasi Islam di Indonesia yang dilakukan oleh ulama NU dalam proses demokrasi di Indonesia adalah menghindari bentuk negara. Karena bentuk negara merupakan problematika tersendiri. NU mengambil sikap, lebih baik langsung mengislamkan orang, sedang mengenai bentuk negara diputuskan berdasarkan kesepakatan yang sudah diambil bersama oleh seluruh komponen bangsa. NU hidup dalam masyarakat plural di Indonesia yang sedikitnya memiliki enam agama, terdiri atas bermacam suku bangsa, ratusan adat istidat, dan bahasa.

Dalam konteks hubungan dalam masyarakat plural seperti ini, NU harus bisa menjaga keharmonisan sosial. Menghadapi masyarakat yang majemuk seperti ini, NU memilah-milah implementasi pendekatan dakwahnya, yaitu dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) fiqhul ahkam, dalam rangka menentukan hukum fikih dan ini berlaku untuk umat yang telah siap melakukan hukum positif Islam (umat ijabah). (2) Fiqhu dakwah dalam rangka mengembangkan agama di kalangan masyarakat luas yang beraneka ragam sehingga pendekatannya tidak menggunakan pendekatan fiqih yang legal formal, namun melalui pembinaan (guidance and counseling).(3) Fiqhu siyasah, bagaimana membawakan hubungan agama dengan politik, dan kekuasaan negara.

Karena itulah, dalam melakukan dakwahnya, NU tidak gampang mengharamkan tindakan orang. Alih-alih mengharamkan, NU malah mengajak orang yang sudah melakukan tindakan haram kembali ke jalan halal. Menghadapi masyarakat yang seperti ini, NU mengedepankan fiqhu dakwahnya, tetapi tidak berarti NU tidak mengembangkan fiqhul ahkam. Fiqhul ahkam tetap dijadikan bidang garap, namun dikaji dan didalami lewat forum Bahtsul Masail di dalam perangkat NU. Penekanan ini penting karena ada pihak yang salah paham: mereka menyangka NU tidak berbasis syariah dalam melakukan dakwahnya. Fiqhus siyasah, masalah ini menjelaskan hubungan NU dengan negara, politik kekuasaan, dan dunia diplomasi.

Pendekatan ini dipilah menjadi dua dalam implementasinya,yaitu untuk civil society (masyarakat madani) dan untuk nation state. Kaitannya dengan civil society, NU mengedepankan tawassuth wal i’tidal, yaitu menegakkan toleransi beragama. Kita berbuat baik dan menjaga komunikasi yang baik dengan nonmuslim seperti dengan orang Kristen, tetapi jangan merugikan Islam itu sendiri. Tasamuh (toleran) di dalam NU diberi ruang, namun diberi batasan pula. Tasamuh saja tanpa akidah, maka akan melahirkan liberalisasi pemahaman keagamaan.

Namun, akidah saja tapan tasamuh, akan melahirkan eksklusivitas dan mengakibatkan kita tidak bisa memimpin nonmuslim. Dengan pendekatan yang diambilnya selama ini, NU dapat memelihara irama harmonisasi di tengah masyarakat yang plural: NU baik dengan sesama umat Islam yang beda aliran atau madhzab-nya. De facto, umat Islam di seluruh dunia sekitar 80 persen adalah bermadhzab, meski secara de jure mereka ada yang bilang berijtihad tanpa madhzab.

Pihak yang mengaku tidak bermadhzab belum bisa membuktikan karena faktanya mereka tetap memakai rujukan kitab-kitab madhzab. Mayoritas umat Islam di dunia tidak menganut aliran satu madhzab. NU sendiri, meski mayoritas umat penganut Syafi’i, namun juga mengakui madhzab muktabar yang empat itu. Karena mengakui empat madhab, sehingga toleransi NU menjadi luas. Di samping itu, dalam konteks khilafah, NU tak pernah memasukkan masalah khilafah ini dalam lingkup akidah. NU beranggapan bahwa khilafah masuk ke wilayah ijtihadiyah, maka yang berlaku bukan nash syari’ah (nushus syari’ah), namun berlaku lana a’maluna walakum a’malukum dan masuk antum a’lamu biumuridun yaakum.

Kaitannya dengan nation state, fiqhus siyasah yang dipakai NU adalah lebih cenderung untuk memakai pendekatan Islam secara maknawi bukan Islam dalam pengertian lafdli. Karena sesungguhnya Islam secara strike tidak menentukan bentuk bernegara, namun lebih pada esensi Islam dalam bernegara. Di Timur Tengah pada umumnya, bentuk negara ini bermacam-macam ada yang republik, kerajaan, emirat, diktatoriat dan lain-lain. Akan tetapi, semua menampilkan diri sebagai negara Islam. Dengan kata lain, di sini dapat dikatakan bahwa Islam sebagai agama, bukan Islam sebagai bentuk negara, karena faktanya bentuknya bermacam-macam namun mengaku sama-sama Islam.

Lebih lanjut, dapat diajukan sejumlah pertanyaan: apa betul Islam itu Mamlakah seperti di Saudi Arabia? Apa betul Islam itu Demokratiyah seperti di Mesir? Atau apa Islam Diktatoriyah seperti di Libya? Atau sistem Presidensial seperti Suriah tetapi di dalamnya tidak boleh berserikat? Jadi kalau bicara masalah bentuk negara, maka masih banyak deretan pertanyaan yang bisa diajukan. Dalam konteks bentuk negara inilah NU beranggapan bentuk negara ini bukan masuk wilayah akidah, namun masuk kategori antum a’lamu bi umuriddun yakum sehingga bentuk negara ini diproses berdasar budaya Indonesia. Wallahu’alam Bish Shawab. (*)

Dr KH A Hasyim Muzadi
Ketua Umum PBNU Jakarta Anggota Eminent Person OKI
Disarikan dari makalah dalam Forum Pemerintah Aljazair, 21 Mei 2007

No comments: