Sunday, May 27, 2007

Bangsa yang Belum Selesai di Mata Yudi Latif

Ilham Khoiri & Maria Hartiningsih

Indonesia adalah bangsa besar, kaya sumber daya alam dan budaya. Tetapi negara ini tak kunjung berhasil mewujudkan cita-cita kesejahteraan rakyat. Di tengah rasa kecewa dan ancaman disintegrasi, proses menjadi Indonesia pun terancam mampat.

Dr Yudi Latif (43) termasuk intelektual yang gelisah dengan proses keindonesiaan. Bersama kaum muda yang tergabung dalam Reform Institute, dia menggodok gagasan untuk menyegarkan cita-cita moral bernegara dan berbangsa.

Salah satu bentuk sumbangan pemikiran itu adalah jurnal Reform Review, yang akan diluncurkan pada 22 Mei 2007 malam.

Tak hanya berpijak pada pemikiran politik modern, gagasannya juga menukil khazanah Islam, karya sastra, budaya kontemporer, dan berbagai literatur pemikiran dunia. Pemikiran Yudi bersifat terbuka, pluralis, dan mengedepankan nilai kemanusiaan universal. Dengan artikulasi yang jernih, dia fasih merangkum semua bacaan itu karena punya bekal pendidikan serta pengalaman yang cukup lengkap.

Khazanah Islam klasik diperolehnya saat mondok di Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pemikiran modern diserap di Australia. Di Bandung, dia turut dalam gerakan mahasiswa dan rajin membaca literatur sastra.

Yudi menyebut dirinya "bersemangat amaterisme" karena menerobos batas-batas keilmuan, tanpa bisa kukuh dalam satu disiplin ilmu. Ditemui di kantornya, Reform Institute, di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (15/5), dia mengajak menelusuri problem keindonesiaan saat ini.

Pembentukan Indonesia

Menurut Yudi, Indonesia bukanlah nation-state, tetapi state- nation. Artinya, state (negara) dulu yang ada, baru nation (bangsa)- nya terbentuk. Nation-state mengandaikan adanya kesatuan- kesatuan awal yang ditransformasikan dalam negara. Tetapi dalam state-nation, tak ada entitas tunggal yang bisa mempertautkan keindonesiaan, baik atas dasar agama maupun etnis.

Persatuan muncul berdasarkan perlawanan terhadap colonial state. Inilah yang membentuk cikal bakal rasa kesatuan riwayat dan kehendak untuk bersatu. Soekarno dan Hatta kemudian mempersatukan lapis-lapis perjuangan kemerdekaan dengan membuat adonan konsep dari berbagai ideologi sebelumnya.

Apa dasar pembentukan Indonesia?

Para pemimpin saat itu membentuk kontrak sosial dengan membangun satu nation baru, tidak atas dasar agama, etnis, atau persamaan kelas, tetapi didasarkan pada civic nationalism. Dasar nasionalisme kita adalah karena adanya kontrak sosial, yakni membentuk kesamaan warga di depan hukum (civic nation). Itu termasuk demokrasi konstitusional yang sepenuhnya berdasar atas hukum.

State ada karena ada kehendak bersama untuk mempersatukan cita-cita kesederajatan seperti diwujudkan dalam revolusi Perancis. Jadi, Indonesia lahir dari kepemimpinan ide.

Apakah kepemimpinan ide itu bertahan?

Setelah kepentingan bersama menghadapi kolonial berlalu, kita kehilangan kepentingan moral baru yang mempersatukan masyarakat. Kita tidak menemukan kesamaan tematik, agenda, atau blok historis bersama. Kepemimpinan moral dan intelektual sekarang ini hancur.

Para politisi kemudian kembali bermain di level rendah, yaitu politik atau ekonomi. Orang saling rebut ekses atau saling menyudutkan antargolongan atau agama.

Itu terjadi akibat tidak ada lagi intelektual organik yang bisa mengartikulasikan kesadaran kolektif. Partai politik (parpol) tidak memunculkan kepemimpinan yang bisa menyuarakan sesuatu yang lebih besar dari kepentingan dirinya sendiri. Para politisi gagal merumuskan cita-cita bersama, mengatasi persoalan kemiskinan, ketertinggalan, korupsi, dan kesenjangan.

Bagaimana dengan pemimpin sekarang?

Kekuatan ideasional para pemimpin merosot. Mestinya demokrasi berjalan dengan merit atau prestasi individu. Di sini, demokrasi justru diikuti oleh peluluhan standar-standar. Panggung politik dihuni orang-orang yang menurun standar pendidikan dan proses rekrutmennya.

Politisi kita tak paham apa yang dikerjakan sehingga kebijakan dan pertimbangan politiknya cenderung parsial, ad hoc, dan dangkal. Itu terlihat dari amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang tambal-sulam dan pendekatannya jangka pendek.

Negara gagal

Menurut Yudi, kelangsungan Indonesia dipertaruhkan pada kemampuan negara menjalankan kontrak sosial, terutama dalam penegakan rule of the law.

Jika negara hukum tidak bekerja, elemen kebangsaan bakal kembali ke tribus-tribus awal, dan individu kembali dalam kepompong budaya masing-masing (tribal group). Bentuk tribus juga menggejala dalam radikalisme dan eksklusivisme agama.

Ketidakpercayaan terhadap negara tumbuh seiring dengan godaan untuk memisahkan diri. Pada tingkat lebih sublim, muncul anarkisme, seolah-olah masyarakat bisa hidup tanpa negara. Negara gagal jadi pusat teladan. Orang tidak percaya pada negara dan melawan seluruh hukum negara.

Situasi itu dapat memicu chaos karena tidak ada lagi jangkar keyakinan dan kepastian. Terjadilah disorganisasi sosial. Orang menjadi sinis dan tidak percaya lagi pada siapa pun. Pada tingkat etis, semua nilai hancur. Di sisi lain, muncul obsesi untuk memunculkan nilai tandingan, seperti fundamentalisme.

Bagi Yudi, masalah dalam negeri ini bukan kegagalan bangsa, tetapi kegagalan negara. Kekisruhan yang terjadi mencerminkan kegagalan negara menegakkan hukum dan ketertiban.

"Jika bangunan nilai ambruk, terjadilah failed state (negara gagal), bahkan Indonesia masuk dalam kutukan sumber daya. Kekayaan akan jadi kutukan, seperti dalam film Blood Diamond," katanya.

Kepemimpinan

Untuk mengantisipasi kegagalan negara, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang berkomitmen pada cita-cita moral untuk menyejahterakan rakyat.

Pemimpin tak bisa ditunggu, harus dikader. Kaderisasi dilakukan dengan mengarahkan pendidikan untuk memperkuat otonomi individu, yaitu pendidikan yang membuat individu berani berpikir dan bertanggung jawab.

Sistem pembelajaran berbasis kelas yang meratakan seluruh individu harus dikoreksi dengan sistem individual center learning. Pendekatan multiple intelligency yang berpihak pada penguatan individu penting untuk penguatan karakter diri.

Investasi perubahan melalui pendidikan butuh waktu lama, sedikitnya satu generasi. Tetapi itu harus dilakukan demi perubahan dalam jangka panjang.

Jangka pendek dan menengahnya bagaimana?

Perlu konsensus nasional untuk memungkinkan munculnya pemimpin alternatif di luar parpol. Amandemen konstitusi dikembangkan untuk memberi kemungkinan calon independen dari kekuatan civil society bisa dipilih dalam pemilu. Dalam demokrasi harus ada katup pengaman. Ketika rakyat sudah tak percaya pada parpol, harus dimungkinkan pengorganisasian oleh kelompok lain, yaitu melalui civil society.

Kelompok civil society mana yang bisa diharapkan?

Dalam sejarah Indonesia, civil society yang bisa mandiri itu kelompok-kelompok keagamaan. Sayangnya, kelompok ini sekarang mengalami politisasi. Pemimpin keagamaan semestinya sadar bagaimana berperan dalam politik tanpa harus mereduksi agama sebagai komoditi politik.

Di samping itu, orang-orang di perguruan tinggi bisa diharapkan, tetapi kampus harus menegakkan kembali wibawa pengetahuan. Pers harus mempertahankan khitah sebagai elemen pencerah masyarakat.

Peran agama

Yudi menilai, Pancasila merupakan titik kompromi bagi semua arus pemikiran. Doktrin sila Ketuhanan Yang Maha Esa menghendaki, nilai moralitas agama tetap mewarnai pilihan politik dan kebijakan publik, tetapi bukan negara agama.

Nilai profetik dan universal dari agama bisa diterjemahkan dalam isu publik dan politik, seperti kemerdekaan, kedamaian, antikorupsi, kebersihan, kesehatan, keadilan, atau toleransi.

Yudi mengakui adanya kalangan Islam yang bercita-cita mengubah negara jadi negara agama. Itu muncul akibat kedangkalan bangunan pengetahuan. Elite kelompok itu ingin mengambil jalan pintas, seolah-olah persoalan ekonomi, politik, dan kesejahteraan bisa diatasi dengan bendera agama atau peraturan daerah (perda) syariah.

Mereka malas menerjemahkan atau mengobyektivikasi teks-teks Al Quran dalam sejarah dengan kerangka pengetahuan. Mereka enggan menghadapi kenyataan masyarakat yang heterogen. Sebagian golongan hanya memegang elemen agama yang formalistik dan simbolik seraya menafikan semangat pluralisme.

Unsur-unsur dalam teks yang menghargai perbedaan dan pluralisme masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang sekular dari Barat. Padahal, konsep umat saat itu sudah mencapai kemajuan luar biasa. Itulah Pluralisme Islam Modern.

Kenapa semangat Islam sekarang kadang jadi benih disintegrasi?

Pengamat dari Universitas Cornell, Amerika, Ruth MacVey, bilang, jika tidak ada yang bisa menyatukan Indonesia seperti Islam, maka tidak ada juga yang bisa memecah belah Indonesia selain Islam.

Tentu, Islam sebagai fakta budaya dan mayoritas di Indonesia punya peran penting dalam membangun solidaritas nasional. Tapi kalau gagal mengaktualisasikan dirinya dalam proses keindonesiaan, Islam bisa jadi elemen destruktif.

Bagaimana agar Islam jadi elemen pemersatu?

Islam sebagai tradisi budaya yang hidup harus menjadi rumah budaya, yang menerima tetangganya secara baik, santun, dan melibatkan pengayaan dirinya dengan elemen lain. Rumah itu terbuka dengan itikad saling memberi dan menerima dengan orang lain.

Kalau Islam jadi rumah budaya, maka harus menyertakan kelompok lain untuk berpesta. Seperti karnaval, setiap warna bisa mengekspresikan dirinya, tetapi harus membentuk harmoni dan toleransi. Islam akan menjadi ancaman jika diterjemahkan sebagai obsesi untuk menunggalkan representasi Islam.

No comments: