Pelangi Tipologi Jilbab
Oleh Mohamad Guntur Romli*
GunturJilbab, secarik kain untuk menutupi kepala dan rambut perempuan, tak lagi menjadi masalah sederhana. Jilbab menyuguhkan kepada kita dua konteks yang berbeda dan saling bertentangan. Suatu waktu, mengenakan jilbab diperlukan usaha keras karena ada yang melarangnya. Namun, di sisi lain, pemakaian jilbab justru dipaksakan. Bila tak mengenakannya akan dijatuhi hukuman: cemeti hingga mati.
Contoh yang pertama, beberapa waktu lalu, beberapa pegawai perempuan di Sogo, Jakarta, mengalami kesulitan dengan pihak manajemen karena mereka memakai jilbab. Demikian juga di beberapa negara di Eropa, khususnya di Prancis, yang saat ini menerapkan pelarangan pemakaian simbol-simbol agama di tempat umum--tak hanya simbol Islam.
Di ranah lain, Menteri Sosial Pakistan Zill-e Huma, 20 Februari lalu, ditembak mati oleh kelompok Islam garis keras di Pakistan gara-gara tak mengenakan jilbab. Demikian juga perempuan-perempuan di Aceh yang tertangkap basah tidak mengenakan jilbab akan dicambuk di muka umum selepas salat Jumat. Di Padang, melalui surat keputusan wali kota, mengenakan jilbab menjadi kewajiban. Beberapa daerah lain di Indonesia juga mempraktekkan hal yang sama: bila ada itikad menerbitkan peraturan tentang moral ataupun syariah, mewajibkan perempuan berjilbab menjadi agenda utama.
Contoh-contoh di atas sengaja saya hadirkan untuk memperlihatkan betapa persoalan jilbab ini sudah dipandang secara hitam-putih. Lebih dari itu, ada semacam ketakutan yang berlebihan dari dua arus tersebut. Apabila hal ini sengaja didiamkan, jilbab akan dimusuhi dan akan terus-menerus dilarang oleh mereka yang membenci. Sebaliknya, mereka yang mendukung jilbab akan terus memperjuangkannya.
Saya kira, di sinilah letak pentingnya mendiskusikan kembali fenomena jilbab. Pihak yang setuju ataupun menolak harus menyadari bahwa jilbab, sebagai fenomena, membawa pesan yang beragam. Menganut satu persepsi saja terhadap fenomena jilbab ini akan menjerumuskan kita pada bentuk penghakiman yang sewenang-wenang. Keputusan apa pun yang diambil, bila berasal dari asumsi yang salah, tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar.
Pada hemat saya, paling tidak ada empat tipologi yang bisa dipakai saat melihat fenomena jilbab. Tipologi ini berhubungan dengan motif, bentuk jilbab, dan gaya hidup yang mengenakannya.
Pertama, jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup rambut dan kepala, tapi juga--menurut sebagian dari mereka--hingga sampai ke dada. Jilbab yang lebar, bila perlu menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang mengenakan jilbab seperti ini juga akan berhati-hati bergaul di ruang publik.
Kedua, alasan psikologis. Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak memandang lagi jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk jilbab yang dikenakan berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya. Demikian juga dengan gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan pergaulan mereka sangat luas, berbeda dengan model pertama.
Ketiga, jilbab modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang jilbab model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acara-acara peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model jilbab dan busana muslimah yang telah melampaui persoalan agama.
Dua bulan lalu, di harian Al-Hayat, saya membaca laporan jurnalistik dari Maroko dan Aljazair bahwa para ulama agama di dua negara itu mengecam munculnya jilbab-jilbab modis. Menurut mereka, bentuk-bentuk jilbab tersebut tidak sesuai dengan standar syariat, demikian pula perilaku yang memakainya. Kata seorang ulama di antara mereka, bagaimana mungkin seorang muslimah bisa mengenakan jilbab yang mini dan transparan, kadang rambut dan lehernya terlihat, dan dipadukan dengan kaus yang ketat dan celana jins?
Fenomena ketiga ini sangat menarik saat ini untuk dikaji lebih lanjut. Arus modernisasi dan fashion tak bisa dibendung oleh apa pun. Ia bisa menciptakan fenomena baru. Dan asumsi-asumsi yang dipakai untuk memandangnya pun tak bisa seperti yang ditunjukkan oleh para ulama itu.
Sedangkan di Indonesia, jilbab modis sangat menjamur, sangat digemari kawula muda dan kalangan selebritas. Salah satu simbol yang bisa saya sebutkan adalah Gita KDI, penyanyi dangdut yang fasih bergoyang, yang mengenakan pakaian ketat namun tetap setia berjilbab. Jilbab dan busana Gita tak bisa lagi dilihat melalui model pertama, teologis, karena dalam aturan syariat yang jumud, perempuan jangankan bergoyang, menyanyi saja akan menyulut masalah.
Keempat, jilbab politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Dalam konteks ini, jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi, namun akan dipaksakan ke ruang publik. Inilah fenomena yang sebenarnya terjadi di Pakistan, di Aceh, dan di beberapa daerah di Indonesia yang berdalih ingin menerapkan syariat Islam.
Saya pribadi bisa menghormati apabila ada muslimah yang ingin mengenakan jilbab sebagai bentuk keyakinan pribadi, tanpa harus memakai standar pribadi tersebut terhadap orang lain. Misalnya pandangan bahwa yang memakai jilbab lebih soleh dan terhormat dari yang tidak memakai. Di sinilah pihak yang selama ini mencurigai jilbab perlu melihatnya secara cermat. Jilbab sebagai keyakinan pribadi tak perlu dimusuhi. Bila hal ini terjadi, akan menjadi senjata bagi varian keempat untuk mempolitisasi peristiwa tersebut.
Bila benar jilbab berhubungan dengan masalah keyakinan dan kesadaran, ia tak perlu peraturan. Di sini, jilbab akan dipakai dan dipahami secara sehat karena merupakan bentuk ekspresi keyakinan dan kebebasan. Jilbab dipakai sebagai model yang bisa memperkaya khazanah busana. Terserah apakah ia dipandang sebagai pakaian agama atau pakaian adat-istiadat.
Namun, yang pasti dan perlu disadari adalah jilbab tetaplah merupakan pakaian individu, yang tidak bisa dijadikan sebagai pakaian publik. Jilbab sebagai produk budaya akan senantiasa berubah. Apabila jilbab dijadikan pakaian publik atas dasar motif agama, namun orang yang tidak meyakini agama itu tetap saja diwajibkan memakai jilbab, sama saja dengan mewajibkan non-muslim untuk salat. Tidak lucu, bukan?
**Mohamad Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal
Oleh Mohamad Guntur Romli*
GunturJilbab, secarik kain untuk menutupi kepala dan rambut perempuan, tak lagi menjadi masalah sederhana. Jilbab menyuguhkan kepada kita dua konteks yang berbeda dan saling bertentangan. Suatu waktu, mengenakan jilbab diperlukan usaha keras karena ada yang melarangnya. Namun, di sisi lain, pemakaian jilbab justru dipaksakan. Bila tak mengenakannya akan dijatuhi hukuman: cemeti hingga mati.
Contoh yang pertama, beberapa waktu lalu, beberapa pegawai perempuan di Sogo, Jakarta, mengalami kesulitan dengan pihak manajemen karena mereka memakai jilbab. Demikian juga di beberapa negara di Eropa, khususnya di Prancis, yang saat ini menerapkan pelarangan pemakaian simbol-simbol agama di tempat umum--tak hanya simbol Islam.
Di ranah lain, Menteri Sosial Pakistan Zill-e Huma, 20 Februari lalu, ditembak mati oleh kelompok Islam garis keras di Pakistan gara-gara tak mengenakan jilbab. Demikian juga perempuan-perempuan di Aceh yang tertangkap basah tidak mengenakan jilbab akan dicambuk di muka umum selepas salat Jumat. Di Padang, melalui surat keputusan wali kota, mengenakan jilbab menjadi kewajiban. Beberapa daerah lain di Indonesia juga mempraktekkan hal yang sama: bila ada itikad menerbitkan peraturan tentang moral ataupun syariah, mewajibkan perempuan berjilbab menjadi agenda utama.
Contoh-contoh di atas sengaja saya hadirkan untuk memperlihatkan betapa persoalan jilbab ini sudah dipandang secara hitam-putih. Lebih dari itu, ada semacam ketakutan yang berlebihan dari dua arus tersebut. Apabila hal ini sengaja didiamkan, jilbab akan dimusuhi dan akan terus-menerus dilarang oleh mereka yang membenci. Sebaliknya, mereka yang mendukung jilbab akan terus memperjuangkannya.
Saya kira, di sinilah letak pentingnya mendiskusikan kembali fenomena jilbab. Pihak yang setuju ataupun menolak harus menyadari bahwa jilbab, sebagai fenomena, membawa pesan yang beragam. Menganut satu persepsi saja terhadap fenomena jilbab ini akan menjerumuskan kita pada bentuk penghakiman yang sewenang-wenang. Keputusan apa pun yang diambil, bila berasal dari asumsi yang salah, tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar.
Pada hemat saya, paling tidak ada empat tipologi yang bisa dipakai saat melihat fenomena jilbab. Tipologi ini berhubungan dengan motif, bentuk jilbab, dan gaya hidup yang mengenakannya.
Pertama, jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup rambut dan kepala, tapi juga--menurut sebagian dari mereka--hingga sampai ke dada. Jilbab yang lebar, bila perlu menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang mengenakan jilbab seperti ini juga akan berhati-hati bergaul di ruang publik.
Kedua, alasan psikologis. Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak memandang lagi jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk jilbab yang dikenakan berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya. Demikian juga dengan gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan pergaulan mereka sangat luas, berbeda dengan model pertama.
Ketiga, jilbab modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang jilbab model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acara-acara peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model jilbab dan busana muslimah yang telah melampaui persoalan agama.
Dua bulan lalu, di harian Al-Hayat, saya membaca laporan jurnalistik dari Maroko dan Aljazair bahwa para ulama agama di dua negara itu mengecam munculnya jilbab-jilbab modis. Menurut mereka, bentuk-bentuk jilbab tersebut tidak sesuai dengan standar syariat, demikian pula perilaku yang memakainya. Kata seorang ulama di antara mereka, bagaimana mungkin seorang muslimah bisa mengenakan jilbab yang mini dan transparan, kadang rambut dan lehernya terlihat, dan dipadukan dengan kaus yang ketat dan celana jins?
Fenomena ketiga ini sangat menarik saat ini untuk dikaji lebih lanjut. Arus modernisasi dan fashion tak bisa dibendung oleh apa pun. Ia bisa menciptakan fenomena baru. Dan asumsi-asumsi yang dipakai untuk memandangnya pun tak bisa seperti yang ditunjukkan oleh para ulama itu.
Sedangkan di Indonesia, jilbab modis sangat menjamur, sangat digemari kawula muda dan kalangan selebritas. Salah satu simbol yang bisa saya sebutkan adalah Gita KDI, penyanyi dangdut yang fasih bergoyang, yang mengenakan pakaian ketat namun tetap setia berjilbab. Jilbab dan busana Gita tak bisa lagi dilihat melalui model pertama, teologis, karena dalam aturan syariat yang jumud, perempuan jangankan bergoyang, menyanyi saja akan menyulut masalah.
Keempat, jilbab politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Dalam konteks ini, jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi, namun akan dipaksakan ke ruang publik. Inilah fenomena yang sebenarnya terjadi di Pakistan, di Aceh, dan di beberapa daerah di Indonesia yang berdalih ingin menerapkan syariat Islam.
Saya pribadi bisa menghormati apabila ada muslimah yang ingin mengenakan jilbab sebagai bentuk keyakinan pribadi, tanpa harus memakai standar pribadi tersebut terhadap orang lain. Misalnya pandangan bahwa yang memakai jilbab lebih soleh dan terhormat dari yang tidak memakai. Di sinilah pihak yang selama ini mencurigai jilbab perlu melihatnya secara cermat. Jilbab sebagai keyakinan pribadi tak perlu dimusuhi. Bila hal ini terjadi, akan menjadi senjata bagi varian keempat untuk mempolitisasi peristiwa tersebut.
Bila benar jilbab berhubungan dengan masalah keyakinan dan kesadaran, ia tak perlu peraturan. Di sini, jilbab akan dipakai dan dipahami secara sehat karena merupakan bentuk ekspresi keyakinan dan kebebasan. Jilbab dipakai sebagai model yang bisa memperkaya khazanah busana. Terserah apakah ia dipandang sebagai pakaian agama atau pakaian adat-istiadat.
Namun, yang pasti dan perlu disadari adalah jilbab tetaplah merupakan pakaian individu, yang tidak bisa dijadikan sebagai pakaian publik. Jilbab sebagai produk budaya akan senantiasa berubah. Apabila jilbab dijadikan pakaian publik atas dasar motif agama, namun orang yang tidak meyakini agama itu tetap saja diwajibkan memakai jilbab, sama saja dengan mewajibkan non-muslim untuk salat. Tidak lucu, bukan?
**Mohamad Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal
No comments:
Post a Comment