Meneguhkan Pluralisme
untuk Memperkokoh Persaudaraan
WACANA pluralisme hingga kini masih mendapati relevansinya dengan terjadinya berbagai peristiwa yang mengganggu hubungan antarpenganut agama-agama di Indonesia. Namun, pluralisme masih sering dipahami secara salah dengan menganggap menyamakan semua pandangan agama-agama yang berbeda.
“Itu salah besar. Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi
toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan
inheren dengan hak asasi manusia,” ujar Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), M Syafi’i Anwar.
Menurut Syafi’i, konsep pluralisme tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others).
“Islam mendukung pluralisme karena dalam agama Islam disebutkan jangan ada paksaan dalam beragama seperti dalam ayat, 'Bagimu agamamu bagiku
adalah agamaku'. Banyak sekali ayat-ayat tentang itu. Dan jelas sangat mendukung pemahaman terhadap pluralisme,” jelasnya.
Lebih jauh Syafi’i menyatakan, yang harus diresapi adalah bahwa melaksanakan pluralisme itu dengan cara menghargai satu sama lain. “Kita memang menghadapi banyak masalah dalam hal-hal yang sifatnya aqidah, atau iman, atau berhubungan dengan Tuhan. Tapi dalam hubungan dengan
kemajemukan masyarakat kita harus bisa tolong menolong. Kita ini satu bangsa. Tapi kok itu malah makin mundur. Kehidupan bermasyarakat bangsa
Indonesia makin mundur karena tidak menghargai pluralisme,” ingatnya.
Muhadjir Darwin, Dosen Fisipol dan Pengelola Magister Studi Kebijakan UGM, menambahkan, pluralisme adalah cara pandang yang bersifat
horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda identitas harus disikapi.
“Tidak masalah bagi setiap penganut agama untuk
meyakini agamanya sebagai satu-satunya kebenaran di mata Tuhan. Masalah terjadi ketika dengan kepercayaan itu, seseorang atau suatu kelompok
penganut agama tertentu mengganggu, membatasi, mengancam, atau melakukan kekerasan kepada orang lain yang berbeda keyakinan,” ujarnya.
Pluralisme dalam konteks kehidupan beragama, kata Muhadjir, adalah bagaimana para penganut agama atau aliran agama yang berbeda bisa hidup
berdampingan dan saling menghormati. “Jika kita gagal mengelola pluralisme, bukan tidak mungkin kita akan menuju ke titik yang tidak ada jalan
keluarnya (point of no return),” jelasnya.
Oleh karena itu, kata Muhadjir, revitalisasi pluralisme dan sentimen kebangsaan merupakan suatu kebutuhan yang tidak terelakkan. “Upaya ini
hanya akan berhasil jika kesadaran keberagamaan yang tumbuh subur di negeri ini diorientasikan menjadi faktor yang memperkuat, bukan
memperlemah, upaya revitalisasi tersebut,” tegasnya.
Sementara itu, M Hasibullah Satrawi Peneliti di Pusat Pengkajian Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, menyatakan, pluralisme bukanlah paham yang liar seperti yang dikhawatirkan banyak pihak belakangan ini. “Karena pluralisme berada di bawah kendali 'titik temu'. Dari titik temu inilah perbedaan yang ada tak seharusnya dianggap sebagai laknat, melainkan rahmat,” tuturnya..
Titik temu pluralisme kehidupan, kata adalah Sunnah Ilahi. Manusia, hewan, pepohonan, bumi dan makhluk yang lain sama-sama ciptaan Allah.
“Sudah merupakan Sunnah Ilahi menciptakan semua ini dengan segala perbedaan warna, bentuk, karakter, kecenderungan, dan fungsinya,” ingatnya.
Di tataran global, pluralisme berada di bawah naungan titik temu kemanusiaan. Perbedaan negara, bangsa, budaya, bahasa, dan lainnya 'berteduh' di bawah payung kemanusiaan. Maslahat kemanusiaan harus terus diperjuangkan oleh manusia, tak peduli dari negara mana, dari bangsa apa ataupun berbahasa apa.
Sedangkan dalam konteks nasional, maslahat kebangsaan menjadi titik temu bagi semua anak bangsa di ragam agama, budaya, suku, dan warna-warna lainnya. Kemaslahatan bersama sebagai bangsa harus senantiasa dijunjung tinggi oleh semua anak bangsa. Tak peduli beragama apa, dari suku mana ataupun berasal dari ormas apa. Semuanya berteduh di bawah naungan nasionalisme dan harus terus menjaga kemaslahatan bersama.
Senada dengan itu, mantan menteri agama Tarmizi Taher juga menegaskan, pluralisme menjadi modal penting untuk membangun semangat berkebangsaan dan persaudaraan (ukhuwah).
“Syaratnya, persamaan antar pemeluk agama harus menjadi landasan bekerjasama dan saling menghargai. Jangan sebaliknya, perbedaan yang justru ditonjolkan,” ujarnya. AT
“Itu salah besar. Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi
toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan
inheren dengan hak asasi manusia,” ujar Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), M Syafi’i Anwar.
Menurut Syafi’i, konsep pluralisme tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others).
“Islam mendukung pluralisme karena dalam agama Islam disebutkan jangan ada paksaan dalam beragama seperti dalam ayat, 'Bagimu agamamu bagiku
adalah agamaku'. Banyak sekali ayat-ayat tentang itu. Dan jelas sangat mendukung pemahaman terhadap pluralisme,” jelasnya.
Lebih jauh Syafi’i menyatakan, yang harus diresapi adalah bahwa melaksanakan pluralisme itu dengan cara menghargai satu sama lain. “Kita memang menghadapi banyak masalah dalam hal-hal yang sifatnya aqidah, atau iman, atau berhubungan dengan Tuhan. Tapi dalam hubungan dengan
kemajemukan masyarakat kita harus bisa tolong menolong. Kita ini satu bangsa. Tapi kok itu malah makin mundur. Kehidupan bermasyarakat bangsa
Indonesia makin mundur karena tidak menghargai pluralisme,” ingatnya.
Muhadjir Darwin, Dosen Fisipol dan Pengelola Magister Studi Kebijakan UGM, menambahkan, pluralisme adalah cara pandang yang bersifat
horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda identitas harus disikapi.
“Tidak masalah bagi setiap penganut agama untuk
meyakini agamanya sebagai satu-satunya kebenaran di mata Tuhan. Masalah terjadi ketika dengan kepercayaan itu, seseorang atau suatu kelompok
penganut agama tertentu mengganggu, membatasi, mengancam, atau melakukan kekerasan kepada orang lain yang berbeda keyakinan,” ujarnya.
Pluralisme dalam konteks kehidupan beragama, kata Muhadjir, adalah bagaimana para penganut agama atau aliran agama yang berbeda bisa hidup
berdampingan dan saling menghormati. “Jika kita gagal mengelola pluralisme, bukan tidak mungkin kita akan menuju ke titik yang tidak ada jalan
keluarnya (point of no return),” jelasnya.
Oleh karena itu, kata Muhadjir, revitalisasi pluralisme dan sentimen kebangsaan merupakan suatu kebutuhan yang tidak terelakkan. “Upaya ini
hanya akan berhasil jika kesadaran keberagamaan yang tumbuh subur di negeri ini diorientasikan menjadi faktor yang memperkuat, bukan
memperlemah, upaya revitalisasi tersebut,” tegasnya.
Sementara itu, M Hasibullah Satrawi Peneliti di Pusat Pengkajian Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, menyatakan, pluralisme bukanlah paham yang liar seperti yang dikhawatirkan banyak pihak belakangan ini. “Karena pluralisme berada di bawah kendali 'titik temu'. Dari titik temu inilah perbedaan yang ada tak seharusnya dianggap sebagai laknat, melainkan rahmat,” tuturnya..
Titik temu pluralisme kehidupan, kata adalah Sunnah Ilahi. Manusia, hewan, pepohonan, bumi dan makhluk yang lain sama-sama ciptaan Allah.
“Sudah merupakan Sunnah Ilahi menciptakan semua ini dengan segala perbedaan warna, bentuk, karakter, kecenderungan, dan fungsinya,” ingatnya.
Di tataran global, pluralisme berada di bawah naungan titik temu kemanusiaan. Perbedaan negara, bangsa, budaya, bahasa, dan lainnya 'berteduh' di bawah payung kemanusiaan. Maslahat kemanusiaan harus terus diperjuangkan oleh manusia, tak peduli dari negara mana, dari bangsa apa ataupun berbahasa apa.
Sedangkan dalam konteks nasional, maslahat kebangsaan menjadi titik temu bagi semua anak bangsa di ragam agama, budaya, suku, dan warna-warna lainnya. Kemaslahatan bersama sebagai bangsa harus senantiasa dijunjung tinggi oleh semua anak bangsa. Tak peduli beragama apa, dari suku mana ataupun berasal dari ormas apa. Semuanya berteduh di bawah naungan nasionalisme dan harus terus menjaga kemaslahatan bersama.
Senada dengan itu, mantan menteri agama Tarmizi Taher juga menegaskan, pluralisme menjadi modal penting untuk membangun semangat berkebangsaan dan persaudaraan (ukhuwah).
“Syaratnya, persamaan antar pemeluk agama harus menjadi landasan bekerjasama dan saling menghargai. Jangan sebaliknya, perbedaan yang justru ditonjolkan,” ujarnya. AT
No comments:
Post a Comment