Monday, May 21, 2007

Meneguhkan Islam Toleran
Said Aqiel Siradj Ketua PBNU

Islam merupakan kepercayaan yang open-minded, inklusif, bukan ideologi politik yang intoleran, juga bukan agama yang memaksa manusia untuk memeluknya. Dengan jelas, Alquran menyebutkan, "Tidak ada paksaan dalam agama" (Albaqarah:256). Di sisi lain, Islam menampakkan diri sebagai gerakan yang menekankan pentingnya kehidupan sosial, lebih dari pada kehidupan kolektif. Artinya, titik berat pada kehidupan pribadi yang bertanggung jawab dan bukan perorangan yang terikat semata pada primordialitas.

Ajaran tentang nilai-nilai universal dalam Islam tidak akan mengendurkan hubungan yang suci dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, ada dua ketentuan yang memerintahkan supaya umat Islam senantiasa memelihara kolektivitas organik yang menonjol. Orang Islam berkewajiban untuk hidup sebagai umat yang bersatu dan tidak terpecah, berpegang kepada cita-cita luhur di bawah petunjuk Alquran dan Sunnah Nabi. Doktrin tentang kesatuan eksistensial yang timbul dari tauhid menempatkan tiap hal dalam tingkatannya dan perspektif susunan universal yang menyeluruh. Keseluruhan umat manusia merupakan bagian dari keharmonisan global.

Moralitas Islam memperkuat hubungan antaranggota masyarakat, mempersatukan perasaan yang merupakan dasar kebajikan universal dan mempersatukan kaidah-kaidah yang sangat perlu bagi kehidupan kolektif. Sifat universal dari moral Islam menjelaskan sebagian dari fakta bahwa Islam dapat memasuki dan menetap di daerah-daerah geografis dan lingkungan kultural yang sangat berbeda-beda.

Keterbukaan Islam
Islam yang inklusif dan toleran dapat merujuk pada peristiwa fath Al Makkah yang dilakukan umat Islam di bulan Ramadhan. Makkah perlu dibebaskan setelah sekitar 21 tahun dijadikan markas orang-orang musyrik. Saat umat Islam mengalami euforia atas keberhasilannya, ada sekelompok kecil sahabat Nabi yang berpawai dengan memekikkan slogan al yaum yaum al malhamah. Slogan ini dimaksudkan sebagai upaya balas dendam mereka atas kekejaman orang musyrik Makkah kepada umat Islam sebelumnya. Gejala tidak sehat ini dengan cepat diantisipasi oleh Nabi Muhammad dengan melarang beredarnya slogan tersebut dan menggantinya dengan slogan, al yaum yaum al marhamah. Akhirnya, pembebasan Makkah dapat terwujud tanpa insiden berdarah.

Sejarah juga mengungkapkan bagaimana radikalisme agama muncul. Sebenarnya, kenyataan radikalisme agama ini telah di-nujuman-kan oleh Nabi Muhammad. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, dikisahkan ketika Nabi membagi harta rampasan perang (fai') di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul Khuwaishirah (Bani Tamim) melayangkan protes dengan mengatakan, "Bersikaplah adil wahai Muhammad!". Nabi kemudian menjawab, "Celaka kamu, tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang aku lakukan berdasarkan petunjuk Allah". Setelah Dzul Khuwaishirah pergi, Nabi bersabda, "Suatu saat nanti, akan muncul sekelompok kecil umatku yang membaca Alquran, namun tidak mendapatkan makna sejatinya. Mereka ini sejelek-jeleknya makhluk."

Hadis sahih ini kemudian terbukti seperempat abad kemudian. Pada tahun 35 H Khalifah Utsman terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini terulang kembali pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa politis, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan paham Khawarij.

Pasang surut gerakan Islam ini mencerminkan adanya 'kebijakan kurang tepat' dalam mengejawantahkan ajaran Islam. Negeri Arab yang sebenarnya plural dalam pemahaman keagamaan, tetapi diperjuangkan untuk pemanunggalan. Di banyak negara Arab, sosialisme Marxis pernah sangat populer. Paham ini tumbuh subur, kendati kemudian lengser didera tuntutan zaman. Setelah turun pamornya, lahirnya gerakan Islam yang ternyata justru bertindak konfliktual. Yang terjadi kemudian justru polarisasi kekuatan.

Ajaran Islam sesungguhnya memberikan wacana dan teladan yang kosmopolit serta universal bagi kemanusiaan. Nabi Muhammad berkedudukan sebagai pembawa risalah, bukan pemimpin negara atau politik. Kendatipun, kemudian beliau tampil dalam memimpin perang dan mengatur umat, tetapi itu dilakukan dalam konteks sebagai pembawa risalah, disamping kondisi defensif yang mengharuskan untuk itu. Kalau beliau semata didudukkan sebagai pemimpin politik, justru ini akan menurunkan derajad beliau. Kalau begitu, apa bedanya dengan misalnya Hitler, Mussolini atau pemimpin-pemimpin politik lainnya yang otoriter dan despotis.

Kita tak perlu segan untuk menoleh pada pemerintahan di beberapa negeri Barat yang cukup berhasil dalam mewujudkan kesejahteraan dengan menciptakan 'negara kemakmuran' (walfare state). Sementara, negeri-negeri Muslim masih terbelit konflik internal, otoriter dan terpanggang oleh panasnya hawa korupsi atau penyimpangan terhadap keadilan lainnya. Kita perlu menunjukkan sikap keterbukaan, suatu sikap yang mempunyai rujukan jelas.

Pemerintahan Islam
Kita tahu, dewasa ini jumlah orang yang menyerukan sebuah pemerintahan Islam makin meningkat. Mereka meyakini bahwa pemerintahan Islam akan menjadi satu-satunya obat bagi semua penyakit yang diderita bangsa-bangsa Islam. Pemerintahan Islam akan mendorong kemajuan kultural, memberikan keadilan dan mengagungkan firman Allah. Mereka meyakini Islam sebagai solusi.

Masyarakat Islam tak pernah membentuk suatu teokrasi, baik dalam teori maupun praktik yang justru bertentangan dengan pendapat Barat mengenai pemerintahan Islam. Inilah yang dapat memperteguh pada pernyataan tentang eksistensi Islam sebagai umat dan bukannya negara. Istilah 'umat' dalam Islam jelas beda dengan yang didefinisikan oleh Barat. Kata-kata 'umat' merujuk pada pengertian hubungan yang erat antara urusan spiritual dan profan.

Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad SAW mendorong suku-suku di jazirah Arab menyembah kepada Allah yang Esa. Nabi Muhammad berhasil membentuk suatu kesatuan persaudaraan yang kukuh. Inilah esensi dan eksistensi agama yang sesungguhnya merupakan suatu kekuatan yang membentuk masyarakat menuju pada peradaban (tamaddun) yang agung. Masyarakat yang diikat oleh tali kebersamaan, persaudaran dan keadilan.

Walhasil, terasa penting untuk membaca ulang teks dan konteks. Munculnya tudingan terorisme yang sering membabibuta terhadap umat Islam, janganlah dihadapi secara emosional. Kita sadari bahwa dunia memang belum mampu mewujudkan keadilan. Dan justru di situlah, peran eksistensial umat Islam dalam rangka memacu potensinya yang disinari oleh semangat profetis untuk turut mewujudkan keadilan yang lebih baik. Bukan lagi, formalisme, simbolisme dan romatisisme, melainkan lebih menukik pada segi-segi substansial seperti persamaan, keadilan dan kemakmuran bagi umat. Yang terpenting lagi adalah sifat-sifat yang ikhlas, penuh pengabdian, kerja keras, kedisiplinan dan profesionalitas, sudah seharusnya menjadi sikap utama dalam membangun umat.

Ikhtisar

- Umat Islam berkewajiban untuk hidup bersatu dan tidak terpecah.
- Pasang surut gerakan Islam mencerminkan adanya 'kebijakan kurang tepat' dalam mengejawantahkan ajaran Islam.
- Eksistensi Islam adalah sebagai umat dan bukan sebagai negara, karena masyarakat Islam tidak pernah membentuk teokrasi.
- Sifat ikhlas, penuh pengabdian, profesional, dan disiplin, perlu dikembangkan dalam membangun umat.

No comments: