Friday, May 25, 2007

Puasa Menjauhkan Kesenjangan Sosial dan Kekerasan

Oleh: KH. Dr. dr. Tarmizi Taher

Ketua Dewan Direktur Center for Moderate Moslem (CMM), Rektor Universitas Az-Zahra dan mantan Menteri Agama RI.

PUASA bukan sekedar menahan diri dari makan, minum dan hubungan biologis suami-istri. Puasa pada hakikatnya adalah untuk memperoleh takwa, seperti yang diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 183 di atas. Tujuan tersebut hanya bisa tercapai dengan memahami dan menghayati arti puasa itu sendiri.

Menurut M. Quraish Shihab, untuk bisa memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman tentang dua hal pokok menyangkut hakikat manusia dan kewajibannya di bumi. Pertama, kedudukan manusia di bumi ini adalah sebagai hamba dan khalifah (wakil) Allah SWT yang bertugas memakmurkan jagat ini. Kedua, sebelum turun ke bumi, Allah menurunkan Nabi Adam as dan Siti Hawa di surga agar kehidupan gemah ripah loh jinawi di surga dapat di wujudkan di bumi dan agar Nabi Adam as selalu berhati-hati atas tipu daya setan (Membumikan Al-Qur’an, h. 307).

Apakah semua orang layak atau pantas menjadi wakil (khalifah) Allah di muka bumi? Tentu jawabannya tidak. Allah Swt tidak mungkin dan mustahil menganggap orang yang selalu bergelimang dosa sebagai wakil-Nya. Manusia baru bisa menjadi wakil-Nya yang benar bila ia menuruti semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya serta serta memasrahkan diri kepada kehendak Allah (Islâm).

Dalam tradisi sufi, jagat raya dipandang sebagai lokus atau tempat manifestasi bagi seluruh nama dan sifat-sifat-Nya (al-asma al-husna). Setiap benda di dunia ini menggambarkan salah satu dari nama atau sifat-Nya dalam tataran yang berbeda. Misalnya, berbagai tanaman dan tumbuh-tumbuhan merefleksikan sifat-sifat Ilahi berupa pengetahuan, karena mereka “tahu” bagaimana menemuan makanan dan cahaya. Banyak dari mereka memanifestasikan anugerah dan kemurahan Allah lewat hasil buah-buahannya.

Nabi Adam as, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw, diciptakan dalam citra atau bentuk (surâh) “Allah.” Semuanya ini disiratkan dalam kisah penciptaan Nabi Adam dalam Alquran, yang menyatakan bahwa ia diajari “semua nama” (QS. Al-Baqarah: 31). Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia diberi Allah potensi untuk bisa meniru dan meneladani semua nama dan sifat-Nya dan jika berhasil barulah manusia bisa menyandang gelar sebagai wakil Allah di bumi.

Manusia juga merupakan cermin Wajah Abadi (Allah), inilah sebabnya Allah memerintahkan malaikat bersujud di hadapan manusia (QS. Al-Baqarah: 34) (Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan, 63).

Itulah manusia, ia adalah wakil dan cermin wajah Ilahi serta manifestasi dari semua nama dan sifat-Nya jika ia bisa menggunakan secara maksimal semua potensi yang dimilikinya. Jika tidak, maka kedudukannya sama dengan binatang, bahkan lebih rendah lagi (QS. At-Tiin: 5). Tujuan puasa, seperti yang disebutkan di atas, adalah mencapai kedudukan mulia di sisi Allah; orang yang bertakwa dengan cara meneladani dalam sifat-sifat-Nya yang berjumlah sembilan puluh sembilan.

Menepis Kesenjangan Sosial
Awal perubahan cuaca politik di negeri kita, dari era otoritarianisme ke era reformasi yang ditandai dengan kebebasan mengeluarkan pendapat, aspirasi, berkumpul, dan berserikat, diawali dengan tragedi berdarah yang sampai saat ini dalangnya tidak pernah terungkap, apalagi dipenjara. Penjarahan dan pembunuhan adalah peristiwa yang menggiring republik ini ke alam politik yang demokratis.

Ironisnya, kekerasan yang mengawali perubahan politik di negeri ini terus berlanjut sampai detik ini. Muncul konflik etnis di Sampit, konflik agama di Ambon dan Poso, Bom Bali I & II, bom Kuningan, J.W. Marriot, dan masih banyak lagi. Telinga kita tidak habis-habisnya dijejali dengan aneka macam berita kekerasan yang terjadi di negeri ini. Entah sampai kapan, hanya Allah-lah yang tahu.

Kemudian, menghapus kesenjangan ekonomi, jika hanya mengandalkan pemerintah tanpa bantuan dari masyarakat, akan sulit tercapai. Dibutuhkan kepekaan hati dan nurani kaum kaya untuk membantu kaum miskin agar dapat hidup layak dan sejajar dengan mereka. Tentulah ini tidak mudah, dibutuhkan empati, bukan hanya simpati, kepada kaum miskin. Sedangkan empati, Menurut Daniel Goleman hanya bisa tumbuh “dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan serupa dalam diri seseorang.”(Emotional Intelligence [Kecerdasan Emosional], h. 139).

Inilah urgensi dari puasa, ia membuat orang-orang kaya merasakan tidak enaknya kelaparan dan kehausan di tengah terik matahari. Sehingga mereka bisa berempati kepada orang-orang miskin dan mau membantu orang-orang mengatasi penderitaannya. Inilah dimensi sosial dari puasa, ia mengajak manusia peduli kepada sesamanya. AT

No comments: