Sebagai Masalah Pergulatan Tafsir Dalam Islam*
Oleh : Husein Muhammad Semakin hari semakin terbuka bahwa bumi manusia ternyata sarat kekerasan dengan segala kategorinya; fisik, psikis dan seksual. la muncul dengan beragam motiv dan latar belakang; ras, etnis, ideologi, agama gender dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa seperti itu tidak hanya berlangsung hari ini tetapi sudah sejak zaman yang sangat klasik dan di segala tempat. Kekerasan dan bahkan kekejaman adalah kemungkinan universal yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Kekerasan paling fenomenal dan menjadi isu utama dalam relasi kemanusiaan global dewasa ini, muncul dengan motiv yang disebut banyak orang sebagai isu agama. Ini hanya karena kekerasan tersebut digerakkan atau dibalut dengan simbol-simbol agama, terma-terma agama, teriakan-teriakan dengan mengutip teks-teks suci agama dan seterusnya. Untuk kasus Indonesia, gejala munculnya kekerasan dengan nuansa keagamaan telah berlangsung cukup lama dan seakan-akan tidak hendak berhenti. Belakangan fenomena itu diperlihatkan misalnya dalam kasus bom Bali, kerusuhan Ambon dan sejuta kasus yang lain. Konflik yang dilanjutkan dengan kekerasan juga terjadi secara fenomenal terhadap golongan, aliran keyakinan tertentu atau budaya tertentu. Pendeknya kita menyaksikan dengan kasat mata betapa klaim-klaim keagamaan, keyakinan-keyakinan sakral atau yang disakralkan, digunakan untuk menjustifikasi kekerasan antar manusia. Ini semua berlangsung di tengah-tengah bumi manusia yang justru adalah makhluk paling dimuliakan Tuhan dan justru karena dia dibekali akal, bahkan dalam sebuah negara yang penduduknya ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka manusia lalu menjadi makhluk yang sulit dipahami. la sangat misterius dan ambigu. Dengan akalnya manusia memang menjadi makhluk yang berkehendak, dan oleh karena itu dunia menjadi berkembang dan dinamis. Tetapi kehendak tidak selamanya melahirkan hal-hal positif bagi kehidupan. Ini terjadi ketika kehendak harus dipaksakan kepada orang lain. Dalam banyak kasus, kekerasan selalu terkait dengan pemaksaan kehendak. Kehendak untuk memaksakan pikiran, ideologi, agama dan sebagainya yang oleh pelakunya (subyek) dianggap sebagai kebenaran. Pikiran, ideologi, agama, keyakinan, budaya, persepsi, pandangan dan perasaan "yang lain" / "the other" (obyek) tidak masuk dalam kesadaran subyek. Sebaliknya "yang lain" perlu disingkirkan, ditolak," dinegasikan, diacuhkan atau didiamkan dari ruang-ruang eksistensi sosial atau relasi sosial, karena dianggap merugikan atau membahayakan eksistensi subyek. Dengan begitu, maka kekerasan merupakan sejenis pemaksaan sistem. Kata kunci untuk memecahkan persoalan kekerasan kemudian adalah "pluralisme", keragaman realitas. Pluralisme ingin memperkenalkan kepada manusia akan adanya keanekaragaman, kegandaan atau dualitas budaya, pikiran, ideologi, ras, keyakinan, jenis kelamin sosial, geografis dan sebagainya. Pluralisme sesungguhnya adalah fakta dan realitas kehidupan manusia yang tak bisa ditolak. Tuhanlah yang menciptakan keragaman tersebut. (Q.S. al-Rum, 22). Akan tetapi keanekaragaman seharusnya tidak hanya dilihat sebagai fakta atau realitas kultural semata-mata. la juga seharusnya tidak diberi label-label atau klasifikasi-klasifikasi yang dihadap-hadapkan secara dikotomis : kuat-lemah atau atas-bawah, kanan-kiri, positif-negatif, laki-laki-perempuan, dan dilanggengkan. Pluralisme seharusnya diberi makna sebagai proses saling melengkapi untuk menjadi "manunggal". Perebutan Pemaknaan Atas Teks diukur dari teks-teks tersebut. Bahkan fakta-fakta sosial seringkali dipaksakan untuk tunduk pada teks. "Seharusnya realitas mengikuti teks bukan sebaliknya" begitu yang sering kita dengar dari audiens masyarakat beragama ketika bicara soal teks dan realitas. Nasr Hamid Abu Zaid menyebutnya sebagai "peradaban teks" (hadharah al nash). Hal ini memang wajar saja karena teks adalah juga kehendak yang ingin disampaikan, teks adalah pikiran dan pengalaman. Apalagi pada teks-teks keagamaan; al Qur-an maupun al Sunnah, hadits Nabi saw. Keberadaannya justru menjadi sentral, karena ia adalah bagian dari keyakinan agama. Yang menjadi persoalan lalu adalah pada cara pembacaan atau pemaknaan atas teks tersebut. Sejarah panjang kaum muslimin sampai hari ini masih memperlihatkan kepada kita cara pemaknaan yang sangat literal, harfiyah, luar, tubuh dan eksoteris. Ini adalah pembacaan paling dominan di tengah-tengah masyarakat muslim di hampir seluruh belahan dunia. Mayoritas bangunan epistemologi Islam dirumuskan dan didesain menurut pembacaan ini. Pembacaan di luar kerangka itu menghadapi resistensi luar biasa. Sejarah klasik bahkan sampai hari ini mencatat sejumlah pemikir besar muslim yang menjadi korban kekerasan, pemasungan dan pengucilan gara-gara membaca teks di luar kerangka tekstual. AI Ghazali, Ibnu Rusyd, AI Hallaj, Ibnu 'Arabi dan Suhrawardi untuk contoh masa klasik, dan Ali Abd al Raziq, Toha Mahmud, Nasr Hamid Abu Zaid dan lain-lain untuk contoh kontemporer. Mereka membaca teks melalui pemaknaan substantif, dalam, ruh, esoterik, metaforis, humanistik dan kontekstual. Di luar motiv-motiv di belakangnya, kerangka berpikir tekstualistik yang konservatif dalam sejarah Islam tampaknya acapkali menyumbang begitu besar terhadap intoleransi keragaman realitas. Ini karena apa yang tertulis dalam teks adalah kebenaran satu-satunya yang harus dijalankan sepanjang masa dan di semua ruang. Begitu juga terma-terma dan simbol-simbol diberi nama tanpa ruh yang menunjukkan identitas yang berbeda dari "yang lain". Terma "kafir" misalnya adalah nama bagi orang atau kelompok yang tidak beragama Islam, la mungkin Yahudi, Nasrani atau yang lain. Karena itu orang yang dipredikatkan kepadanya sebagai kafir adalah "orang lain" bahkan "musuh". Ia masuk dalam kategori orang yang tidak berharga, rendahan, pantas dikucilkan, dibiarkan mengalami kesulitan, bahkan dianggap sah untuk diserang atau dibunuh. Belakangan cara membaca seperti itu juga dialamatkan kepada JIL (Jaringan Islam Liberal) pimpinan Ulil Abshar Abdalla. JIL oleh banyak orang di negeri ini dimaknai sebagai pengusung gagasan-gagasan Yahudi. Maka JIL identik dengan Yahudi dan semua Yahudi adalah rnusuh, sebuah kejahatan yang mengancam Islam dan kaum muslimin. JIL bagi mereka adalah "the other:"/"minhum” bukan "minna". Stigmatisasi terhadapnya melebar sampai kepada orang-orang yang bergabung secara tubuh dengannya. Terma "syari'ah" dalam pembacaan skriptural memiliki makna kesucian sakralitas, karena ia adalah agama dan Tuhan. "Syari'at Islam wajib diterapkan di bumi kaum muslimin, karena ia adalah kehendak Tuhan yang kebenarannya absolut, bukan kehendak manusia yang kebenarannya relatif, begitu kita sering mendengar para khatib di mimbar jum'at, beberapa waktu yang lalu. Pada gilirannya pandangan seperti itu bisa membawa implikasi lain yang seringkali juga membahayakan, menafikan pluralitas. Memandang sesuatu hanya dari identitas lahiriah juga seringkali membahayakan secara banal. Pasca tragedi 11 September 2001 orang-orang yang mengenakan jilbab atau berjenggot seperti Ben Laden di negara Amerika menjadi sasaran stigmatisasi dan dicurigai sebagai teroris dan seterusnya. Negara adikuasa ini dan negara-negara Eropa juga terjebak pada pemaknaan skripturalistik-fenomenologis. Pemaknaan skriptural pada dasarnya tidak memikirkan makna yang terdalam pada suatu teks. Orang akan dilihat dari tubuh dan labelnya bukan dari tindakan dan pikirannya. Kesalahan seharusnya tidak ditujukan pada tubuh yang berlabel, melainkan pada tindakan. Dan ketiadaan memikirkan memungkinkan kebencian dan kekerasan irrasional. Ketika cara pemaknaan teks seperti ini menjadi pengetahuan masyarakat luas, maka kemungkinan mereka untuk bersikap tidak toleran terhadap keanekaragaman realitas, bisa menjadi massif menjadi banal. Dan ini tentu saja menyimpan potensi destruktif yang bisa sangat besar. Maka inti dari semua jenis permusuhan adalah ketiadaan memikirkan di balik yang lahir, ketiadaan memikirkan essensi. Tesis ini tampak menjadi keprihatinan mendalam para tokoh besar dunia. Beberapa di antaranya adalah Nabi Isa (Yesus), Nabi Muhammad dan Al Hallaj. Menjelang kematiannya di tiang salib, di bawah beribu pasang mata yang tertawa puas, Yesus tetap saja berdo'a bagi mereka : "Ilahi, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu" (tidak memikirkan). Ucapan yang sama juga disampaikan Nabi Muhammad, ketika terluka akibat lemparan batu anak-anak muda Taif: "Allahummahdi Qawmy fa innahum la ya'lamun", (Wahai Tuhan, tunjukilah kaumku, karena mereka tidak mengerti" (tidak memikirkan). Al Hallaj, tokoh sufi legendaris dan sangat fenomenal, divonis hukuman mati oleh fatwa Ibnu Abi Daud al Zhahiri. Ini gara-gara ucapan-ucapannya yang "asing". Sebelum pedang algojo memenggal kepalanya, di hadapan ribuan mata penguasa yang menghukumnya, ia berdo'a:
Memadukan Pemaknaaan: Mengapresiasi akal
Takwil tidak sekedar tafsir metaforis tetapi lebih dari itu adalah memahami teks melalui banyak hal, konteks bahasa (al siyaq al lisani/ lughawi), konteks sosial (al siyaq at zharfi al ijtima'i), dan lain-lain. Dalam konteks sekarang barangkali bisa dimaknai sebagai "hermeneutik". Generasi muslim awal, menurut Ibnu Rusyd sepakat bahwa teks-teks agama tidak harus dimaknai menurut lahirnya dan tidak seluruhnya harus ditakwil. Dia kemudian mengutip ucapan Ali bin Abi Thalib : "Hadditsu al naas bima ya’rifun. Aturidun al yukazdzdab Allah wa Rasulah?" (Sampaikan kepada masyarakat melalui cara apa yang mereka pahami. Apakah anda ingin agar Tuhan dan Nabi didustakan?). Ibnu Rusyd tampaknya ingin mencoba memahami keragaman tingkat pengetahuan manusia. Kepada masing-masing harus didekati melalui cara-cara yang proporsional dan masing-masing harus dihargai. la menyebut tiga klasifikasi tingkat pengetahuan atau pemahaman masyarakat: kelompok khitbahiyun, jadaliyun dan burhaniyun. Pendekatan Sufistik Ini Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi (Muhyiddin) mencoba melakukan pendekatan tasawuf falsafi. Rasionalisme semata-mata tidaklah cukup menjadi landasan seseorang untuk bisa bersikap toleran terhadap yang lain. Al Ghazali sebelumnya juga berpendapat seperti ini. Gagasan Ibnu Arabi yang paling utama muncul dalam bentuk apa yang kemudian populer disebut 'wahdah al wujud' (kesatuan wujud). Ahmad Amin dalam "Zhuhr al Islam" menyebutkan sepuluh prinsip tasawuf. Antara lain :
Mengenai ini Ibnu Arabi dalam "Tarjaman al Asywaq”"mengungkapkannya dengan indah:
Dr. Ali Sami Nasyar dalam "Nasy'ah al fikr al falsafi fi al Islam", menambahkan satu bait sebelumnya :
Filsafat cinta Ibnu Arabi di atas tentu tidak hanya diberi makna cinta langit tctapi adalah diimplementasikan dalam sikap-sikap hidup bersama di dunia. Cinta adalah memahami, mengenal dan ‘ma'rifat' orang lain dengan seluruh maknanya dan menjadikan "the other" sebagai dirinya. Kita mungkin dapat mengatakannya sebagai "Aku-Kolektif". Saya kira apa yang diucapkan Yesus, Nabi Muhammad dan Al Hallaj di atas serta sejumlah tokoh sufisme lain menggambarkan betapa "ma’rifah" menjadi inti untuk membangun kebersamaan dalam keberagamaan. Makna ini juga yang tampaknya ditunjukkan dalam ayat al Qur-an pluralitas manusia: "li ta'arafu" agar kamu saling mengenal, memahami dan mencintai. Demikianlah, pluralisme dan multikultulturalisme pada akhirnya harus menemukan titik akhirnya pada cinta suci. Maka keberanekaan realitas kultural harus diperjuangkan secara terus menerus untuk sebuah kebersamaan, kesatujiwaan dalam cinta dan kemesraan. Dan cinta seharusnya dapat menggerakkan orang untuk melakukan perlawanan terhadap siapa saja yang mengganggu. Mengatakan hal ini memang mudah, tetapi tetap saja tidak mudah untuk mewujudkannya. Cirebon, 2 April 2005 *Makalah disampaikan dalam acara "Refleksi Bersama 4: Agama dan Gerakan Sosial, Islam dan Pluralisme di Indonesia", diselenggarakan the Wahid Institute, di PP.Al Urwatul Wustqa, Kelurahan Benteng, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, 3 -6 April 2005. |
|
1 comment:
assallamuallaikumm...
slm ukhuwah islamiah..
Post a Comment