Islam Perdana
Oleh Luthfi Assyaukanie
Kajian al-Qumni tentang perang masa Nabi (Hurub Dawlatir Rasûl) mengungkap dinamika-dinamika insani kehidupan Nabi dan para sahabat. Menurut al-Qumni, perang yang begitu sering tak hanya didorong cita-cita luhur mati syahid, tapi juga impuls duniawi dan material seperti keinginan mendapat harta rampasan (ghanîmah), perempuan, dan perbudakan.
Sejak beberapa tahun terakhir, kajian sejarah pembentukan Islam makin marak dilakukan sarjana Muslim. Ini perkembangan penting dan menarik. Penting, karena studi-studi ini akan mengungkap berbagai misteri seputar sejarah awal Islam. Menarik, karena yang melakukan adalah kaum Muslim yang tumbuh dan dididik dalam lingkungan agama yang taat.
Selama ini, kajian-kajian “Islam perdana” banyak dilakukan orientalis. Sejak awal abad ke-19, para orientalis berusaha menyuguhkan asal-usul Islam dari berbagai aspek, mulai dari sejarah Muhammad (Arthur Jeffrey), sejarah Alquran (Theodor Nöldeke), sejarah Hadith (Nabia Abbott), dan sejarah Fikih (Joseph Schacht). Karya agak komprehensif tentang Islam perdana adalah buku Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought.
Sebelum ini, kaum Muslim bersikap apologetis, bahkan antagonis terhadap temuan-temuan para orientalis tentang sejarah awal Islam. Dengan generalisasi yang keliru, para orientalisme itu dituduh sengaja diciptakan untuk merusak Islam. Memang ada saja orientalis yang tak bersahabat terhadap Islam. Tapi, mereka tak banyak, karena cepat pula ditinggalkan komunitas akademis yang begitu ketat dalam menyeleksi karya ilmiah. Sebagai disiplin ilmu, orientalisme juga tunduk pada metodologi dan kerangka berpikir obyektif. Jika ada yang mengabaikan rumus ini, jangan harap karya mereka dipakai dunia akademis.
Selain itu, banyak kaum Muslim yang tak sadar bahwa sumber-sumber rujukan para orientalis itu adalah buku-buku pemikiran Islam klasik semacam Ibn Ishak, al-Tabari, Ibn Nadiem, Ibn Mujahid, Ibn Athier, Ibn Katsir, dan al-Suyuthi. Sebagai “orang luar” mereka punya jarak untuk mengkaji karya-karya itu secara “lebih obyektif” dan kerap menemukan hal yang tak dibayangkan kaum Muslim yang “berada di dalam.”
Berbeda dari para orientalis, kajian-kajian Islam perdana dari kaum Muslim umumnya apologetis. Jika ada hal yang dikhawatirkan mengganggu ketentraman beragama, kajian dihentikan atau ditafsirkan agar sesuai dengan keyakinan ortodoksi Islam. Dari kacamata ilmiah, pendekatan ini tentu tak ada gunanya.
Untunglah situasi mulai berubah. Sejak beberapa tahun terakhir, muncul sejumlah sarjana Muslim yang punya dedikasi kesarjanaan tinggi dan tumbuh di lingkungan Islam yang kuat. Sarjana Muslim seperti Mahmud al-Qumni, Khalil Abdul Karim, dan Zakaria Ouzon, adalah di antara puluhan nama yang mengkaji dan membaca-ulang Islam perdana.
Kajian al-Qumni tentang perang masa Nabi (Hurub Dawlatir Rasûl) mengungkap dinamika-dinamika insani kehidupan Nabi dan para sahabat. Menurut al-Qumni, perang yang begitu sering tak hanya didorong cita-cita luhur mati syahid, tapi juga impuls duniawi dan material seperti keinginan mendapat harta rampasan (ghanîmah), perempuan, dan perbudakan.
Al-Qumni juga punya kajian-kajian lain yang tak kalah menariknya. Sementara itu, trilogi Ouzon, Jarîmatus Syâfi’i, Jarîmatul Bukhâri, dan Jarîmatus Sibawayh, merupakan studi rintisan tentang tokoh penting era pembentukan Islam lewat pendekatan kritis. Selama ini, tulisan-tulisan tentang al-Syafii atau al-Bukhari dilakukan secara tidak kritis. Buku tentang tokoh-tokoh itu ditulis lebih sebagai karya hagiografi ketimbang biografi.
Selain sebagai karya akademis, kajian Islam perdana juga berfungsi mengungkap kenyataan historis pembentukan Islam. Ini penting untuk memberi bandingan terhadap gerakan Salafi yang belakangan marak. Salafisme (mazhab salafi) adalah gerakan yang ingin kembali ke masa-masa awal Islam. Kaum Wahabi dan sebagian Muslim Indonesia, sangat terobsesi oleh gagasan Salafi.
Para pengikut Salafi percaya bahwa masa Nabi adalah masa ideal dan sempurna yang harus diikuti Muslim masa kini. Tapi, pandangan mereka tentang Islam perdana sangat subyektif karena memilih satu versi Islam dan membuang versi-versi lain. Kaum Salafi cenderung menolak aspek-aspek humanis (termasuk kekeliruan dan kesalahan) sejarah awal Islam. Bagi mereka, seluruh sejarah awal Islam adalah kesempurnaan.
Sikap itu tak banyak membantu. Selain mengelabui orang masa kini, perilaku itu cenderung mengabsolutkan pandangan tertentu sembari menolak pandangan-pandangan lain. Sikap ini pada gilirannya memunculkan perilaku intoleran, karena yang berbeda dianggap “sesat” dan “menyimpang.”
Karena itu, munculnya kajian-kajian Islam perdana dari sarjana Muslim dengan pendekatan ilmiah dan kritis patut disambut. Di tengah kecenderungan sikap tertutup dan merasa benar sendiri, adanya keragaman pandangan itu patut diapresiasi tinggi-tinggi. Tanpa perlu dikatakan, tentu apresiasi itu juga harus diiringi sikap kritis, sesuai kaedah ilmiah yang berlaku.<>
No comments:
Post a Comment