Monday, May 28, 2007

Hijrah dan Kebebasan Beragama

Oleh Abd Rohim Ghazali*
Fazrul Rahman, guru tokoh cendekiawan Muslim Indonesia, yang semasa hidupnya mengabdikan diri sebagai guru besar Pemikiran Islam di Universitas Chicago, AS, menyebut peristiwa hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calendar and the founding of Islamic community (Kelly, 1984:36).

Hijrah menjadi pemancang kokohnya masyarakat Islam. Bahkan sejumlah kalangan menyebut peristiwa hijrah sebagai awal berdirinya “Negara Islam”.

Mengapa hijrah dianggap penting dan monumental sehingga Khalifah Umar ibn al-Khattab menetapkannya sebagai awal perhitungan kalender hijriah (asal kata hijrah)? Sejak hijrahnya Nabi SAW, aksentuasi perjuangan Islam lebih diorientasikan pada penataan masyarakat muslim untuk membangun kekuatan masyarakat di bawah kepemimpinan Nabi SAW.

Sebelumnya, 13 tahun di Mekkah merupakan periode penanaman iman kepada Allah SWT selain penanaman akhlak para sahabat yang sifatnya individual. Sementara penataan masyarakat beriman dengan akhlaknya yang mulia dan agung baru dilakukan setelah hijrah ke Yatsrib. Karena itu, nama kota Yatsrib diganti menjadi Madinah, yang menurut Nurcholish Madjid berarti “ kota” dalam pengertian “tempat peradaban, hidup beradab, berkesopanan, teratur dengan hukum-hukum yang ditaati semua warga masyarakatnya”.

Setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, keadaan Islam mengalami perubahan besar dan kemajuan pesat. Jika saat di Mekkah umat Islam di bawah kungkungan bangsa Quraisy, di Madinah mereka hidup di alam kemerdekaan. Bahkan delapan tahun kemudian mereka mampu menaklukkan Mekkah dengan damai. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai Fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah).

Memang, di kalangan ilmuwan ada kontroversi, yang dibangun Nabi SAW di Madinah, apakah sebuah negara (dalam pengertian modern) atau sekadar komunitas (masyarakat) dengan etika pergaulan berdasar ajaran Islam.

Namun, mayoritas ahli sejarah dan kebudayaan Islam sepakat, setelah hijrah ke Madinah, tatanan kemasyarakatan dengan konstitusi dan batasan-batasan teritorial yang tegas telah diletakkan Nabi SAW.

Membela jiwa, harta, keluarga, dan tetangga dari gangguan orang lain, serta membangun dan membela tanah air dari agresi musuh (negara lain) merupakan kewajiban setiap Muslim. Dengan demikian, hijrah Nabi SAW bisa dijadikan cermin yang merefleksikan cinta: kepada tanah air dan sesama penduduk Madinah.

Kebebasan Beragama
Selain penanaman cinta tanah air, yang dilakukan Nabi SAW setelah hijrah adalah dibuatnya berbagai kesepakatan antara penduduk Muslim dan non-Muslim (Yahudi) Madinah yang ditetapkan sebagai Konstitusi Madinah.

Di antara isi Konstitusi (Piagam) Madinah yang penting adalah (1) menjamin kebebasan beragama, (2) larangan saling mengganggu satu sama lain, (3) harus membantu satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, dan (wajib) membela kota (negara?) Madinah jika ada serangan (agresi) dari bangsa lain.

Menurut Achmad Syafi’i Maa’rif (1986), apa yang dituangkan dalam Piagam Madinah adalah penjabaran prinsip-prinsip kemasyarakatan yang diajarkan al-Quran meski wahyu itu belum lagi rampung diturunkan. Dengan kata lain, Piagam Madinah adalah satu bentuk pembumian ajaran al-Quran dengan tujuan ideal tercapainya tatanan sosial politik yang ditegakkan atas landasan moral iman, tapi dengan menjamin hak kebebasan tiap golongan untuk mengembangkan pola-pola budaya yang mereka pilih sesuai keyakinannya.

Dalam perspektif ini, tatanan masyarakat Islam yang inklusif telah dirumuskan Nabi sejak awal abad ke-7 M. Dan prinsip-prinsip ini dapat dikembangkan bagi kepentingan rekonstruksi sosial sepanjang sejarah kemanusiaan.

Dalam rentangan panjang realitas sejarah Muslim, terutama di Indonesia yang mayoritas dalam angka, pernah ada tampilan oknum (sekelompok) umat yang mencoba mengorganisasikan diri dan berusaha melakukan perlawanan terhadap kelompok lain atau terhadap pemerintah yang dianggapnya tidak Islami. Tetapi tentunya hal ini tidak bisa dijadikan representasi untuk menggeneralisasi, Islam menolak semangat kebersamaan dengan mengklaim hak hidup hanya ada pada dirinya, karena sejatinya Islam mengajarkan kita untuk bisa hidup berdampingan, dengan semua makhluk Tuhan, apalagi sesama orang-orang beriman.

Dari uraian itu, kiranya ada satu benang merah yang tegas menghubungkan antara misi Islam, hijrah, dan pembentukan tatanan Islam yang inklusif, terutama jika dilihat dari isi Piagam Madinah. Ini menunjukkan, secara doktrinal Islam telah meletakkan dasar-dasar etika pergaulan antarumat beragama, bahu-membahu, saling membantu, dan bekerja sama saat menghadapi tantangan bersama. Dengan mencermati hal ini, semangat untuk membela satu keyakinan agama secara eksklusif kiranya bertentangan dengan misi dan semangat (hijrah) Islam.

*Penasihat The Indonesian Institute, Pengawas The Indonesian Research Institute (TIRI)

(Kompas, 19 Januari 2007)

No comments: