Oleh Nur Syam*
Memperbincangkan Gus Dur dan Cak Nur, dua tokoh bangsa ini, hampir tidak menuai kata henti. Sebulan terakhir, ada dua diskusi bedah buku tentang Cak Nur dan Gus Dur. Terakhir, diskusi di Graha Pena yang membahas buku Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita diadakan Komunitas Tabayun.
Pesona dan karisma kedua tokoh asal Jombang itu memang luar biasa. Tidak salah jika keduanya menjadi ikon pemikiran Islam di Indonesia, bahkan dunia internasional. Keduanya sama-sama mengembangkan teologi Islam inklusif. Keduanya juga dikenal sebagai pendekar multikultural-plural dan demokratis.
Gus Dur dan Cak Nur
Sebagai santri, keduanya tidak meragukan komitmen keislamannya. Latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan asalnya adalah kaum santri dalam arti sesungguhnya.
Gus Dur belajar Islam di Pesantren Tebuireng, lalu berkelana di beberapa pesantren di Jawa, terus ke Baghdad dan Mesir. Beliau tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya. Beliau lebih tertarik dengan bioskop, wayang, dan pencak silat serta karya ilmiah dan sastra. Yakni, buku-buku Marx, Lenin, dan sastra.
Cak Nur juga santri yang belajar Islam di pesantren. Beliau pernah nyantri di Rejoso. Dari situlah beliau hafal asmaul husna. Lalu beliau melanjutkan pendidikan pesantrennya di Gontor. Cak Nur termasuk orang yang mampu menyelesaikan pendidikan formalnya dengan sangat baik. Selepas dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, beliau berkesempatan melanjutkan studinya di University of Chicago sampai memperoleh gelar PhD dalam bidang ilmu kalam dan filsafat.
Gus Dur dan Cak Nur memiliki pergumulan keislaman yang berbeda. Namun, mereka memiliki muara pemikiran keislaman yang sama: Islam rahmatan lil alamin yang berbasis pada kesejukan, pluralitas, dan demokrasi.
Populisme dan Elitisme
Gus Dur dan Cak Nur pernah menggegerkan jagat pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur menggagas tentang pentingnya sekularisasi sehingga Muhammad Kamal Hassan pun mentipologikannya sebagai "modernis-sekular". Tidak berhenti di situ, Cak Nur juga menerjemahkan ungkapan syahadat -yang diyakini sebagai rukun Islam pertama- dengan terjemahan "Tiada Tuhan selain Tuhan". Dalam hal ini, kelompok Islam skriptural pun menganggap sebagai "kejahatan" intelektual dan menyelewengkan makna Islam.
Gus Dur juga mengungkapkan bahwa assalamu alaikum bisa saja diganti dengan selamat pagi atau selamat siang. Bahkan, untuk urusan yang satu ini, kiai-kiai NU sepuh harus melakukan tabayun. Tetapi, semuanya berakhir dengan happy ending.
Sebagai konsekuensinya, keduanya sering berhadapan dengan kekuatan Islam skriptural. Gus Dur bahkan pernah diusir dari Forum Kajian Lintas Agama di Pekalongan. Cak Nur juga dianggap membonsai Islam atau mereduksi Islam dengan faham sekular, tidak hanya di dalam pemikiran tetapi juga dalam praktik, misalnya dalam bentuk fikih lintas agama.
Cak Nur sampai akhir hayatnya tetap berada dalam jalur akademik-intelektual. Bahkan, ketika Cak Nur mencoba memasuki dunia politik, seketika itu pula kandas. Cak Nur tidak mampu memasuki dunia politik yang tidak ramah, bahkan cenderung menjadi kawasan preman.
Gus Dur, hingga sekarang, berada di jalur politik, bahkan terkesan sebagai single fighter. PKB ada dan eksis tentunya karena Gus Dur. Secara kelakar ada yang menyatakan, "NU itu Gus Dur dan Gus Dur itu NU, maka sekarang PKB itu Gus Dur dan Gus Dur itu PKB." Mengapa Gus Dur tetap berada di jalur politik PKB karena Gus Dur tahu bahwa kekuatan PKB memang ada di tangannya.
Secara kelakar, seorang kawan anggota DPR juga menyatakan, "PKB itu masih eksis karena Gus Dur." Meminjam bahasa Cak Arif Afandi, Gus Dur itu memiliki tiga kekuatan yang jarang dimiliki orang lain, yaitu power of legitimate yang bersumber dari genealogi (nasab), organisasi (NU), dan intelektualitas.
Kalau seseorang menyimak karya-karya Gus Dur, dia akan segera mengetahui bagaimana gaya bahasa, diksi, dan alur logika Gus Dur yang mudah dicerna, namun tidak kehilangan daya ilmiah-akademisnya. Hal itu tentu diilhami relasi-relasinya yang beragam, mulai orang NU yang ndeso sampai kalangan akademisi dan birokrat. Tidak hanya dari kalangan dalam negeri tetapi juga luar negeri. Jadi, ketika Gus Dur menulis, gaya berpikir Gus Dur tersebut dituangkan dalam coraknya yang populis.
Sebaliknya, Cak Nur mengambil segmen elitis. Sebab, beliau menyadari betul bahwa itulah cara yang harus ditempuhnya. Jika beliau menulis, akan dijumpai sekian banyak referensi untuk menguatkan pendapatnya. Bukannya tidak yakin akan kebenaran pikirannya, namun begitulah cara meyakinkan orang tentang kebenaran yang diusungnya. Ketika beliau berpidato di Taman Ismail Marzuki pada 3 Januari 1970 dengan tema Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, tulisan itu penuh dengan referensi.
Itu yang terus dikembangkannya sampai akhir hayatnya. Karena itu, kecenderungan elitis tampak di dalam karya-karyanya.
Tentu ada logikanya. Jika menggunakan konsep Pierre Bourdieu, pilihan rasional tersebut sudah pada tempatnya. Gus Dur memiliki modal kultural yang berupa genealogi, latar belakang pendidikan, dan lingkungan kultural.
Dari sisi modal sosial, Gus Dur memiliki jaringan institusional beragam. Selain sebagai mantan ketua PB NU, beliau memiliki jaringan yang variatif, mulai kaum intelektual hingga warga NU di pedesaan. Modal politiknya juga fantastis, yaitu sebagai politisi PKB dan pernah menjadi Presiden RI ke-4. Mengenai terpilihnya Gus Dur menjadi presiden, orang dalam negeri negeri saja kaget apalagi orang luar negeri. Tidak mengherankan jika majalah The Economist menulis headline, "Astaga, Gus Dur yang terpilih: Presiden baru Indonesia yang mengejutkan."
Cak Nur sadar bahwa modalitas-modalitas itu tidak semuanya dimiliki. Kalaupun dimiliki, tidak sebesar Gus Dur. Karena itu, beliau lebih memilih jalur elitis dalam transformasi gagasan keislamannya. Dengan rasionalitas bahwa segmen elite harus didekati dengan cara dan metode berbeda. Jadi, tidak salah jika karya Cak Nur bercorak seperti itu.
Wallahu a’lam bi al-shawab
*Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar sosiologi dan PR II IAIN Sunan Ampel
Pesona dan karisma kedua tokoh asal Jombang itu memang luar biasa. Tidak salah jika keduanya menjadi ikon pemikiran Islam di Indonesia, bahkan dunia internasional. Keduanya sama-sama mengembangkan teologi Islam inklusif. Keduanya juga dikenal sebagai pendekar multikultural-plural dan demokratis.
Gus Dur dan Cak Nur
Sebagai santri, keduanya tidak meragukan komitmen keislamannya. Latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan asalnya adalah kaum santri dalam arti sesungguhnya.
Gus Dur belajar Islam di Pesantren Tebuireng, lalu berkelana di beberapa pesantren di Jawa, terus ke Baghdad dan Mesir. Beliau tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya. Beliau lebih tertarik dengan bioskop, wayang, dan pencak silat serta karya ilmiah dan sastra. Yakni, buku-buku Marx, Lenin, dan sastra.
Cak Nur juga santri yang belajar Islam di pesantren. Beliau pernah nyantri di Rejoso. Dari situlah beliau hafal asmaul husna. Lalu beliau melanjutkan pendidikan pesantrennya di Gontor. Cak Nur termasuk orang yang mampu menyelesaikan pendidikan formalnya dengan sangat baik. Selepas dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, beliau berkesempatan melanjutkan studinya di University of Chicago sampai memperoleh gelar PhD dalam bidang ilmu kalam dan filsafat.
Gus Dur dan Cak Nur memiliki pergumulan keislaman yang berbeda. Namun, mereka memiliki muara pemikiran keislaman yang sama: Islam rahmatan lil alamin yang berbasis pada kesejukan, pluralitas, dan demokrasi.
Populisme dan Elitisme
Gus Dur dan Cak Nur pernah menggegerkan jagat pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur menggagas tentang pentingnya sekularisasi sehingga Muhammad Kamal Hassan pun mentipologikannya sebagai "modernis-sekular". Tidak berhenti di situ, Cak Nur juga menerjemahkan ungkapan syahadat -yang diyakini sebagai rukun Islam pertama- dengan terjemahan "Tiada Tuhan selain Tuhan". Dalam hal ini, kelompok Islam skriptural pun menganggap sebagai "kejahatan" intelektual dan menyelewengkan makna Islam.
Gus Dur juga mengungkapkan bahwa assalamu alaikum bisa saja diganti dengan selamat pagi atau selamat siang. Bahkan, untuk urusan yang satu ini, kiai-kiai NU sepuh harus melakukan tabayun. Tetapi, semuanya berakhir dengan happy ending.
Sebagai konsekuensinya, keduanya sering berhadapan dengan kekuatan Islam skriptural. Gus Dur bahkan pernah diusir dari Forum Kajian Lintas Agama di Pekalongan. Cak Nur juga dianggap membonsai Islam atau mereduksi Islam dengan faham sekular, tidak hanya di dalam pemikiran tetapi juga dalam praktik, misalnya dalam bentuk fikih lintas agama.
Cak Nur sampai akhir hayatnya tetap berada dalam jalur akademik-intelektual. Bahkan, ketika Cak Nur mencoba memasuki dunia politik, seketika itu pula kandas. Cak Nur tidak mampu memasuki dunia politik yang tidak ramah, bahkan cenderung menjadi kawasan preman.
Gus Dur, hingga sekarang, berada di jalur politik, bahkan terkesan sebagai single fighter. PKB ada dan eksis tentunya karena Gus Dur. Secara kelakar ada yang menyatakan, "NU itu Gus Dur dan Gus Dur itu NU, maka sekarang PKB itu Gus Dur dan Gus Dur itu PKB." Mengapa Gus Dur tetap berada di jalur politik PKB karena Gus Dur tahu bahwa kekuatan PKB memang ada di tangannya.
Secara kelakar, seorang kawan anggota DPR juga menyatakan, "PKB itu masih eksis karena Gus Dur." Meminjam bahasa Cak Arif Afandi, Gus Dur itu memiliki tiga kekuatan yang jarang dimiliki orang lain, yaitu power of legitimate yang bersumber dari genealogi (nasab), organisasi (NU), dan intelektualitas.
Kalau seseorang menyimak karya-karya Gus Dur, dia akan segera mengetahui bagaimana gaya bahasa, diksi, dan alur logika Gus Dur yang mudah dicerna, namun tidak kehilangan daya ilmiah-akademisnya. Hal itu tentu diilhami relasi-relasinya yang beragam, mulai orang NU yang ndeso sampai kalangan akademisi dan birokrat. Tidak hanya dari kalangan dalam negeri tetapi juga luar negeri. Jadi, ketika Gus Dur menulis, gaya berpikir Gus Dur tersebut dituangkan dalam coraknya yang populis.
Sebaliknya, Cak Nur mengambil segmen elitis. Sebab, beliau menyadari betul bahwa itulah cara yang harus ditempuhnya. Jika beliau menulis, akan dijumpai sekian banyak referensi untuk menguatkan pendapatnya. Bukannya tidak yakin akan kebenaran pikirannya, namun begitulah cara meyakinkan orang tentang kebenaran yang diusungnya. Ketika beliau berpidato di Taman Ismail Marzuki pada 3 Januari 1970 dengan tema Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, tulisan itu penuh dengan referensi.
Itu yang terus dikembangkannya sampai akhir hayatnya. Karena itu, kecenderungan elitis tampak di dalam karya-karyanya.
Tentu ada logikanya. Jika menggunakan konsep Pierre Bourdieu, pilihan rasional tersebut sudah pada tempatnya. Gus Dur memiliki modal kultural yang berupa genealogi, latar belakang pendidikan, dan lingkungan kultural.
Dari sisi modal sosial, Gus Dur memiliki jaringan institusional beragam. Selain sebagai mantan ketua PB NU, beliau memiliki jaringan yang variatif, mulai kaum intelektual hingga warga NU di pedesaan. Modal politiknya juga fantastis, yaitu sebagai politisi PKB dan pernah menjadi Presiden RI ke-4. Mengenai terpilihnya Gus Dur menjadi presiden, orang dalam negeri negeri saja kaget apalagi orang luar negeri. Tidak mengherankan jika majalah The Economist menulis headline, "Astaga, Gus Dur yang terpilih: Presiden baru Indonesia yang mengejutkan."
Cak Nur sadar bahwa modalitas-modalitas itu tidak semuanya dimiliki. Kalaupun dimiliki, tidak sebesar Gus Dur. Karena itu, beliau lebih memilih jalur elitis dalam transformasi gagasan keislamannya. Dengan rasionalitas bahwa segmen elite harus didekati dengan cara dan metode berbeda. Jadi, tidak salah jika karya Cak Nur bercorak seperti itu.
Wallahu a’lam bi al-shawab
*Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar sosiologi dan PR II IAIN Sunan Ampel
No comments:
Post a Comment