Thursday, May 31, 2007

Ekonomi Islam:

Di Luar Spektrum Kapitalisme dan Sosialisme?

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Oleh Ari A. Perdana

Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat.

Dalam sejarah peradaban manusia, ada beberapa bentuk sistem ekonomi yang pernah ditemukan sebagai solusi atas persoalan ekonomi umat manusia. Bentuk paling primitif adalah despotisme, dimana ekonomi diatur oleh sebuah otoritas tunggal, baik seorang atau sekelompok orang yang menjadi pemimpin. Sistem despotik bukannya tidak berhasil. Peradaban-peradaban besar di masa lalu dibangun di atas sistem ini. Problem dengan despostisme adalah ia tidak berkelanjutan. Sistem ini tidak mampu mengatasi problem yang makin kompleks dihadapi umat manusia. Karena itu, sistem ini kemudian punah. Sistem ini setidaknya hanya eksis di tingkat masyarakat yang terbatas.

Ketika bicara soal sistem ekonomi modern, kita biasanya merujuk pada dua sistem besar: kapitalisme pasar dan sosialisme terpimpin. Kapitalisme adalah sistem yang didasarkan atas pertukaran yang sukarela (voluntary exchanges) di dalam pasar yang bebas. Sebaliknya, sosialisme mencoba mengatasi problem produksi, konsumsi dan distribusi melalui perencanaan atau komando. Hal yang perlu digarisbawahi adalah: fakta bahwa ada dua sistem besar dalam ekonomi modern tidak berarti adanya dikotomi atau bipolarisasi.

Dua sistem itu lebih merupakan dua titik ekstrem dalam sebuah spektrum ide. Dalam praktek, sistem ekonomi yang dijalankan oleh negara-negara di dunia saat ini ada di sepanjang spektrum itu. Apa yang disebut ”kapitalisme” dan ”sosialisme”, sesungguhnya punya banyak varian di dalamnya. Selain itu, banyak juga varian dari sistem ekonomi yang tidak didasarkan oleh salah satu atau kedua ide besar itu, misalnya sistem adat di beberapa komunitas.

Bagaimana dengan ”ekonomi Islam”? Diskusi mengenai ekonomi Islam dalam kaitannya dengan sosialisme dan kapitalisme bukanlah soal ”apakah (whether) ekonomi Islam itu sosialisme atau kapitalisme”, tapi lebih kepada ”di mana (where) ia berada dalam spektrum tersebut”. Pertanyaannya: apakah ada perbedaan dari apa yang ditawarkan ekonomi Islam dibandingkan kedua sistem tersebut, serta apakah (bagaimanakah) ekonomi Islam bisa berjalan.

Tinjauan Kritis Terhadap Ekonomi Islam

Deskripsi paling sederhana dari ekonomi Islam adalah ”suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam”, dimana ”keseluruhan nilai tersebut sudah tentu Alquran, Sunnah, ijma dan qiyas” (Nasution dkk, 2006). Secara umum, lahirnya ide tentang sistem ekonomi Islam didasarkan pada pemikiran bahwa sebagai agama yang lengkap dan sempurna, Islam tentulah tak hanya memberi penganutnya aturan-aturan soal ketuhanan dan iman saja, tapi juga jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, termasuk ekonomi.

Ayat Alquran, hadits dan berbagai literatur Islam klasik, memang memuat berbagai pemikiran mengenai filsafat, perilaku dan institusi ekonomi. Namun, ide tentang adanya sebuah disiplin atau sistem ekonomi yang ’islami’ dalam arti spesifik dan unik, sebenarnya adalah fenomena baru, menurut ekonom dari University of Southern California, Timur Kuran (2004). Menurut Kuran juga, ide ini bisa ditelusuri tidak lebih lama dari awal abad ke-20. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran Islam klasik dalam hal ekonomi sebenarnya lebih merupakan ide-ide terpencar, belum merupakan sebuah desain komprehensif mengenai sistem ekonomi yang islami.

Terlepas dari kapan sebenarnya ide sistem ekonomi Islam lahir, pertanyaan lain adalah di mana posisinya relatif terhadap kapitalisme dan sosialisme? Sebenarnya, sistem ekonomi Islam punya sejumlah karakteristik yang sama baik dengan kapitalisme maupun sosialisme. Dibolehkannya hak milik pribadi dan kebebasan untuk melakukan pertukaran merupakan elemen yang penting dalam kapitalisme. Tapi selain itu, para proponen ekonomi Islam juga menekankan pentingnya intervensi negara, terutama dalam hal keadilan distributif, yang juga menjadi semangat utama sosialisme. Artinya, sistem ekonomi Islam sebenarnya masih berada dalam spektrum yang kita bicarakan. Ia bukanlah sebuah sistem yang benar-benar otentik, berbeda atau ada di luar himpunan sistem ekonomi yang dijalankan di dunia.

Meski demikian, para proponen ekonomi Islam umumnya memandang sistem ini tetap memiliki perbedaan dengan kedua sistem besar itu. Perbedaan yang utama dan pertama adalah: secara epistemologis ekonomi Islam dipercaya sebagai bagian integral dari ajaran Islam itu sendiri, sehingga pemikiran ekonomi Islam langsung bersumber dari Tuhan. Kedua, ekonomi Islam dilihat sebagai sistem yang bertujuan bukan hanya mengatur kehidupan manusia di dunia, tapi juga menyeimbangkan kepentingan manusia di dunia dan akhirat.

Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat. Ketiga, sebagai konsekuensi dari landasan normatif itu, sejumlah aspek positif atau teknis dalam ekonomi konvensional tak bisa diaplikasikan karena bertentangan dengan nilai-nilai yang dibenarkan oleh Islam.

Tiga perbedaan ini membuat proponen ekonomi Islam memandang bahwa sistem ini lebih superior dibandingkan sistem-sistem lain. Tentunya pandangan ini menyisakan sebuah pertanyaan penting. Jika benar sistem ekonomi Islam superior, tentunya ia akan lebih mampu mengatasi masalah dan tantangan peradaban manusia modern. Tapi faktanya, saat ini sistem tersebut bukanlah (atau belum?) merupakan sistem ekonomi yang dominan di dunia, bahkan bukan juga di negara-negara meyoritas Muslim. Kalau ia adalah sistem yang sempurna, mengapa tidak ada rujukan sejarah dimana sistem ini bisa dibilang berhasil dan masih tetap relevan di masa sekarang?

Ekonomi Islam vs. Konvensional

Diskusi mengenai apakah itu ekonomi Islam, dan apa bedaannya dengan sistem yang sudah ada (sosialisme atau kapitalisme) bisa menjadi diskusi yang panjang dan rumit. Masalahnya, itu harus dimulai dari pekerjaan awal yang juga tak mudah: mendefinisikan apa itu ekonomi Islam, dan apa itu sosialisme maupun kapitalisme.

Untuk memudahkan urusan, saya tak akan masuk ke tataran definisi dan filosofi masing-masing. Saya akan membahas tataran praktek; bagaimana ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional secara praktek. Sebagai catatan, yang saya maksud sebagai ”ekonomi konvensional” di sini merujuk pada sistem kapitalisme yang secara teori dibangun atas dasar teori ekonomi neoklasik. Ini adalah teori ekonomi yang menjadi acuan standar sebagian besar fakultas ekonomi di seluruh dunia. Saya tak membuat klaim bahwa sistem ini yang terbaik atau sempurna. Tapi kenyataannya adalah: dalam diskursus ekonomi, teori ekonomi neoklasik sudah menjadi arus utama.

Dari berbagai aspek pemikiran mengenai praktek ekonomi Islam, dalam konteks perbandingan dengan ekonomi konvensional, ada tiga hal yang menjadi isu utama. Pertama, praktek transaksi keuangan dan posisi sistem bunga. Kedua, pemikiran tentang keadilan distributif dan implikasi kebijakannya. Ketiga, pemikiran mengenai landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan ekonomi.

Pembahasan lebih detail tentang ketiganya akan saya lakukan dalam tulisan mendatang. Secara spesifik, diskusinya akan saya fokuskan pada kritik yang diajukan proponen ekonomi Islam terhadap teori ekonomi konvensional vis-a-vis kapitalisme, dan kritik balik terhadap ”proposal” yang ditawarkan para proponen ekonomi Islam.

***

Islam Perdana

Oleh Luthfi Assyaukanie

Kajian al-Qumni tentang perang masa Nabi (Hurub Dawlatir Rasûl) mengungkap dinamika-dinamika insani kehidupan Nabi dan para sahabat. Menurut al-Qumni, perang yang begitu sering tak hanya didorong cita-cita luhur mati syahid, tapi juga impuls duniawi dan material seperti keinginan mendapat harta rampasan (ghanîmah), perempuan, dan perbudakan.

Sejak beberapa tahun terakhir, kajian sejarah pembentukan Islam makin marak dilakukan sarjana Muslim. Ini perkembangan penting dan menarik. Penting, karena studi-studi ini akan mengungkap berbagai misteri seputar sejarah awal Islam. Menarik, karena yang melakukan adalah kaum Muslim yang tumbuh dan dididik dalam lingkungan agama yang taat.

Selama ini, kajian-kajian “Islam perdana” banyak dilakukan orientalis. Sejak awal abad ke-19, para orientalis berusaha menyuguhkan asal-usul Islam dari berbagai aspek, mulai dari sejarah Muhammad (Arthur Jeffrey), sejarah Alquran (Theodor Nöldeke), sejarah Hadith (Nabia Abbott), dan sejarah Fikih (Joseph Schacht). Karya agak komprehensif tentang Islam perdana adalah buku Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought.

Sebelum ini, kaum Muslim bersikap apologetis, bahkan antagonis terhadap temuan-temuan para orientalis tentang sejarah awal Islam. Dengan generalisasi yang keliru, para orientalisme itu dituduh sengaja diciptakan untuk merusak Islam. Memang ada saja orientalis yang tak bersahabat terhadap Islam. Tapi, mereka tak banyak, karena cepat pula ditinggalkan komunitas akademis yang begitu ketat dalam menyeleksi karya ilmiah. Sebagai disiplin ilmu, orientalisme juga tunduk pada metodologi dan kerangka berpikir obyektif. Jika ada yang mengabaikan rumus ini, jangan harap karya mereka dipakai dunia akademis.

Selain itu, banyak kaum Muslim yang tak sadar bahwa sumber-sumber rujukan para orientalis itu adalah buku-buku pemikiran Islam klasik semacam Ibn Ishak, al-Tabari, Ibn Nadiem, Ibn Mujahid, Ibn Athier, Ibn Katsir, dan al-Suyuthi. Sebagai “orang luar” mereka punya jarak untuk mengkaji karya-karya itu secara “lebih obyektif” dan kerap menemukan hal yang tak dibayangkan kaum Muslim yang “berada di dalam.”

Berbeda dari para orientalis, kajian-kajian Islam perdana dari kaum Muslim umumnya apologetis. Jika ada hal yang dikhawatirkan mengganggu ketentraman beragama, kajian dihentikan atau ditafsirkan agar sesuai dengan keyakinan ortodoksi Islam. Dari kacamata ilmiah, pendekatan ini tentu tak ada gunanya.

Untunglah situasi mulai berubah. Sejak beberapa tahun terakhir, muncul sejumlah sarjana Muslim yang punya dedikasi kesarjanaan tinggi dan tumbuh di lingkungan Islam yang kuat. Sarjana Muslim seperti Mahmud al-Qumni, Khalil Abdul Karim, dan Zakaria Ouzon, adalah di antara puluhan nama yang mengkaji dan membaca-ulang Islam perdana.

Kajian al-Qumni tentang perang masa Nabi (Hurub Dawlatir Rasûl) mengungkap dinamika-dinamika insani kehidupan Nabi dan para sahabat. Menurut al-Qumni, perang yang begitu sering tak hanya didorong cita-cita luhur mati syahid, tapi juga impuls duniawi dan material seperti keinginan mendapat harta rampasan (ghanîmah), perempuan, dan perbudakan.

Al-Qumni juga punya kajian-kajian lain yang tak kalah menariknya. Sementara itu, trilogi Ouzon, Jarîmatus Syâfi’i, Jarîmatul Bukhâri, dan Jarîmatus Sibawayh, merupakan studi rintisan tentang tokoh penting era pembentukan Islam lewat pendekatan kritis. Selama ini, tulisan-tulisan tentang al-Syafii atau al-Bukhari dilakukan secara tidak kritis. Buku tentang tokoh-tokoh itu ditulis lebih sebagai karya hagiografi ketimbang biografi.

Selain sebagai karya akademis, kajian Islam perdana juga berfungsi mengungkap kenyataan historis pembentukan Islam. Ini penting untuk memberi bandingan terhadap gerakan Salafi yang belakangan marak. Salafisme (mazhab salafi) adalah gerakan yang ingin kembali ke masa-masa awal Islam. Kaum Wahabi dan sebagian Muslim Indonesia, sangat terobsesi oleh gagasan Salafi.

Para pengikut Salafi percaya bahwa masa Nabi adalah masa ideal dan sempurna yang harus diikuti Muslim masa kini. Tapi, pandangan mereka tentang Islam perdana sangat subyektif karena memilih satu versi Islam dan membuang versi-versi lain. Kaum Salafi cenderung menolak aspek-aspek humanis (termasuk kekeliruan dan kesalahan) sejarah awal Islam. Bagi mereka, seluruh sejarah awal Islam adalah kesempurnaan.

Sikap itu tak banyak membantu. Selain mengelabui orang masa kini, perilaku itu cenderung mengabsolutkan pandangan tertentu sembari menolak pandangan-pandangan lain. Sikap ini pada gilirannya memunculkan perilaku intoleran, karena yang berbeda dianggap “sesat” dan “menyimpang.”

Karena itu, munculnya kajian-kajian Islam perdana dari sarjana Muslim dengan pendekatan ilmiah dan kritis patut disambut. Di tengah kecenderungan sikap tertutup dan merasa benar sendiri, adanya keragaman pandangan itu patut diapresiasi tinggi-tinggi. Tanpa perlu dikatakan, tentu apresiasi itu juga harus diiringi sikap kritis, sesuai kaedah ilmiah yang berlaku.<>


Ilmu Yang Bermanfaat

Oleh : Suryaman

Orang yang berilmu disebut alim. Dan orang yang tidak berilmu dikatakan jahil (bodoh). Seorang alim dapat memberikan jalan bagi orang yang berada di dalam kegelapan, sedangkan orang jahil bisa menyesatkan jalan seseorang. Maka, orang alim tentu saja tidak sama dengan orang yang jahil.

IDr Sami Afifi Hijazi dalam bukunya, Madkhal li Dirasah al-Falsafah al-Islamiayah mengatakan salah satu anugerah Allah SWT bagi manusia adalah akal. Artinya, mensyukuri nikmat akal itu dengan cara menggunakannya secara optimal baik membaca teks maupun realitas. Misalnya, mengkaji ilmu pengetahuan, menelaah ilmu agama, memikirkan jagat raya sebagai tanda kekuasaan-Nya, bertafakur (berpikir) dan lain sebagainya.

IAllah Azza Wajalla berfirman, ''Sesunggahnya dalam penciptaan langit dan bumi serta bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.'' (QS Ali-Imran [3]: 190) Berpikir tandanya berilmu, maka mencari ilmu adalah proses seseorang di dalam mengembangkan pikirannya. Orang yang berilmu dapat dikatakan cahaya yang menerangi kegelapan.

IKarenanya, ilmu akan memberikan manfaat jika disertai dengan beberapa varian. Pertama, ilmu dan amal. Antara ilmu dan amal tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana disinyalir oleh Imam Al-Ghazali, ''Seluruh manusia berada di dalam kebinasaan kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu pun akan binasa kecuali yang mengamalkan ilmunya.''

IKedua, ilmu, amal dan ikhlas. Ketiga varian ini mesti selalu bergandengan. Allah Azza Wajalla berfirman, ''Dan tidaklah mereka diperintah oleh Allah melainkan supaya beribadah kepada-Nya dengan ikhlas.'' (QS Albayyinah [88]: 05) Orang yang tidak ikhlas dalam melaksanakan amalannya dikatakan riya'. Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya yang paling aku takuti dari kalian adalah syirik kecil, yaitu riya'.'' (HR Imam Ahmad)

Ilmu seseorang senantiasa memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain, jika disertai amalan dan ikhlas. Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat kepada sesamanya. Apabila salah satu hilang dari seorang alim, ia akan hilang kemanfaatannya. Maka, berpikir, mesti dibarengi dengan amalan yang ikhlas supaya menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu a'lam bish-shawab.


Teladan Sa'ad

Oleh : Asep Sulhadi

Sa'ad bin Mu'adz Al Anshari adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang paling berjasa dalam memperjuangkan dan menyebarkan agama Islam. Dia masuk Islam di Madinah, tepatnya ketika terjadi bai'atul aqabah yang pertama yaitu pada tahun ke-12 setelah Rasulullah SAW diangkat menjadi nabi.

Beragam medan perang diikutinya; perang Badar (2 H), Uhud (3 H), dan Khandak (5 H). Dalam perang terakhir, anak panah Hiban bin Al 'Araqah mengenai tubuhnya, lalu sebulan setelah itu dia meninggal dunia. Ketika meninggal dunia, jenazahnya ikut digotong oleh malaikat (HR At Tirmidzi). Dialah yang menyebabkan singgasana langit ('Arsy) bergetar menyambut kedatangan ruhnya (HR Muslim). Dialah salah satu shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW (HR Muslim).

Menurut Ibnu Syihab Az Zuhri (123 H), ada tiga hal yang menjadikan Sa'ad bin Mu'adz mulia di hadapan para penghuni langit. Pertama, meyakini bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah benar dari Allah SWT, sehingga tidak ada satu pesan pun dari Rasulullah SAW kecuali dia mengikuti dan mengamalkannya.

Kedua, khusyuk ketika mengerjakan shalat. Allah SWT menegaskan bahwa salah satu orang yang beruntung di akhirat adalah orang yang khusyuk dalam shalatnya, ''Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.'' (QS Almu'minun [23] 1-2). Ketiga, tidak memakan makanan kecuali yang halal dan dari usaha yang halal pula.

Suatu ketika, Sa'ad bin Mu'adz memperlihatkan tangannya kepada Rasulullah SAW yang melepuh karena memecah batu sebagai mata pencahariannya. Rasulullah SAW kemudian menangis terharu lalu mencium tangan kasar tersebut dan berkata, ''Inilah tangan yang tidak akan disentuh api neraka.'' Rasulullah SAW juga bersabda, ''Tidak akan bertambah daging (tubuh) yang dihasilkan dari barang haram kecuali baginya neraka lebih utama.'' (HR Ahmad).

Itulah Sa'ad bin Mu'adz dengan segala kemuliannya. Sa'id bin Al Musayyib (94 H) salah seorang tabi'in yang paling alim di Kota Madinah menegaskan bahwa tidak ada orang yang mengamalkan tiga hal di atas kecuali para nabi. Karenanya, alangkah beruntungnya kita kalau bisa mencontoh teladan Sa'ad bin Mu'adz dengan mengamalkan empat hal di atas.

Islam dan Tantangan Modernisasi

Oleh :Susilo Bambang Yudhoyono
(
Presiden Republik Indonesia)

Setiap hari sekarang kita menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan peluang. Dunia ini telah diwarnai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Kekuatan pasar yang kuat telah banyak memainkan peran dalam arena perdagangan dan investasi. Di sisi lain, kita juga mendapati dunia ini banyak menghadapi ancaman kemiskinan dengan segala dampaknya.

Negara-negara berkembang pun harus menghadapi ancaman kegagalan untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Ancaman lain yang juga mematikan adalah dunia ini harus menghadapi bencana alam yang disebabkan oleh pemanasan global. Kita, umat Islam, tidak bisa lari dari dunia yang suram ini. Kita harus menghadapinya. Jika mampu bijaksana dalam menghadapinya, kita bisa membangun peluang untuk membuat dunia ini menjadi lebih baik.

Persoalannya sekarang adalah apa yang bisa kita kerjakan untuk menghadapi tantangan sosioekonomi saat ini. Apa yang bisa dilakukan masing-masing negara untuk menghadapi tantangan berupa ketidakseimbangan ekonomi global, kerawanan arus finansial, kemiskinan, kelangkaan pangan dan energi, serta pemanasan global? Kemudian juga apa yang bisa kita lakukan sebagai umat untuk menghadapi tantangan itu sehingga kita bisa menjadi bagian dari pemecahan masalah, dan bukan menjadi bagian dari masalah?

Kekuatan dunia Islam
Sebagai langkah awal, kita semua harus menyadari bahwa kita tidaklah dalam kondisi tidak punya harapan. Kita tidak lemah. Kita menjadi terlihat lemah karena kita tidak bekerja sama. Kita juga menjadi lemah karena kita telah meyakini bahwa diri kita lemah.

Di tahun 2005, jumlah umat Islam yang berada di negara-negara anggota Islamic Development Bank adalah 2,2 miliar jiwa atau sama dengan 31 persen populasi umat manusia di dunia. Yang lebih penting lagi dunia Islam saat ini menyediakan 70 persen kebutuhan energi dunia dan menyediakan 40 persen bahan mentah untuk ekspor. Kenyataan tersebut merupakan bukti kekuatan kita. Karena itu, kita harus memainkan peran yang setara dengan bangsa-bangsa lain dalam membangun percaturan ekonomi dunia.

Kita bisa dan harus memperoleh keuntungan yang lebih besar dalam menjalin hubungan dengan dunia lain. Ada beberapa hal yang harus kita kerjakan. Kita harus proaktif dan mengetahui apa yang kita inginkan. Kita harus mengetahui apa yang masuk akal untuk kita peroleh dalam menjalin hubungan dengan negara lain dalam kerangka hubungan saling menguntungkan. Kita juga harus bekerja lebih baik dalam menjelaskan dan mengonsolidasikan posisi kita. Selain itu, kita juga harus berani melawan upaya yang memecah belah dan mengalahkan kita.

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu hal penting. Jika negara-negara mapan memerlukan energi dan komoditas kita, negara kita harus mendapatkan keuntungan dari mereka dalam perdagangan yang adil, serta tambahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah, kita membangun hubungan yang inovatif dan saling menguntungkan.

Kita tidak bisa selamanya menjadi penyedia bahan-bahan mentah. Kita juga harus mencari modal untuk mendapatkan nilai tambah dari komoditas kita dan bisa meratakan keuntungan ekonomi dari langkah tersebut untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kita harus membuat langkah penting dalam mengembangkan sumber daya manusia dalam mengembangkan kemitraan dunia perdagangan dan investasi.

Setiap langkah dalam interaksi perekonomian haruslah menghasilkan pertumbuhan pengetahuan, keterampilan, dan orientasi positif di masyarakat. Untuk itu, dunia Islam harus mengubah persepsi kemitraannya. Kita harus mengubah perlakuan negatif mereka terhadap kita, menjadi perlakuan yang positif. Tapi, kita tidak akan bisa mengubah orang lain tanpa mengubah diri kita sendiri. Kita tidak bisa meminta dunia yang mapan untuk menghapus hambatan bea masuk, jika kita sendiri tidak mau melakukannya.

Potensi bisnis
Salah satu bukti penting yang perlu kita miliki adalah kita harus terus mengurangi hambatan dalam perdagangan dan investasi, sehingga bisnis yang lebih besar bisa berputar dalam dunia Islam. Kita memerlukan cara untuk mengembangkan cakupan bank syariah. Perbankan dunia Barat dan lembaga keuangan mereka telah menerapkan sistem tersebut dengan sangat cepat.

Sebagai contoh, Asuransi Allianz telah mengembangkan produk syariah yang sangat laku di Indonesia. Satu lagi transaksi yang sangat besar dengan sistem syariah dilakukan oleh HSBC dengan membuat sindikasi pinjaman senilai 322 juta dolar AS untuk Pertamina dari kelompok besar lembaga finansial di Timur Tengah. Cara serupa juga dilakukan untuk Krakatau Steel dengan nilai 75 juta dolar AS. Langkah-langkah mobilisasi untuk perkembangan dunia keuangan yang diterapkan di berbagai negara Islam, bank syariah mampu menciptakan kesempatan kerja bagi jutaan angkatan kerja kita.

Kita juga akan keliru jika tidak mengambil keuntungan dari produk halal. Dengan jumlah umat Islam yang sangat besar, pasar dari produk halal bisa mencapai 600 miliar dolar AS per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan 20-30 persen. Apalagi, kalangan non-Muslim juga bisa mengonsumsi produk halal. Apa yang perlu kita kerjakan adalah membangun dan menyetujui standar sertifikat halal yang berlaku di seluruh dunia.

Potensi lain yang juga sangat mungkin untuk dikembangkan adalah sektor wisata di dunia Muslim. Sejauh ini, hanya Turki dan Malaysia yang telah menjadi pemenangnya. Kedua negara tersebut menjalankan promosi yang sangat agresif untuk menarik pasar dari kalangan umat Islam. Karena itu, kita harus meluaskan jaringan dan bersama-sama mengembangkan promosi yang agresif dan berkoordinasi secara teknis menyangkut transportasi, keimigrasian, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.

Untuk mengembangkan berbagai kemampuan tersebut, peran madrasah juga harus ditingkatkan. Ini juga berarti perlunya penyempurnaan kurikulum untuk menjadikan mereka sebagai centers of excellence. Kita juga memerlukan kesempatan untuk membuat kontrak, jaringan, dan hubungan yang nyata di antara para pengusaha, penduduk, dan kalangan lain. Ada banyak hal yang bisa dilihat dan dijadikan inspirasi dari kemajuan yang diperoleh penerima penghargaan Nobel, Muhammad Yunus dang Grameen Bank-nya. Kerja besarnya berurusan dengan usaha mikro. Langkah ini mendorong seluruh masyarakat untuk menciptakan peluang bagi generasi mendatang.

Kita di Indonesia juga membangun program kredit mikro sejak tahun 1970-an. Bank Rakyat Indonesia yang berdiri 1895 mengumpulkan dana dari masjid yang telah disalurkan menjadi kredit mikro bagi rakyat kecil. Sebanyak 4.000 kantornya setiap hari melayani lebih dari 30 juta pelanggan yang umumnya petani miskin dan masyarakat di daerah terpencil.

Bersamaan dengan itu, kita juga memerlukan untuk merevitalisasi lembaga ekonomi Islam kita. Terutama, kita harus membuang kemungkinan adanya potensi buruk dari IDB dan lembaga turunannya. Karena itulah, menjadi berita besar ketika Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah menerima Program Kerja 10 Tahun yang memandatkan untuk membentuk badan sponsor untuk mengurangi kemiskinan di bawah IDB.

Sebagai negara, Indonesia harus berperan untuk mengembangkan dunia Islam dengan bekerja sama dengan negara-negara Islam dalam bidang investasi, perdagangan, pengamanan energi, juga pembangunan infrastruktur. Indonesia adalah roda ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi tahun ini diharapkan mencapai 6,3 persen. Pasarnya juga sangat menggiurkan, yakni dengan 220 juta penduduk, sumber daya alam yang melimpah, performa makroekonomi, dan sebagainya. Indonesia bisa menjadi mitra yang prospektif bagi semuanya.

*Disampaikan dalam Pertemuan Ketiga World Islamic Economics Forum di Kuala Lumpur, Malaysia.

Ikhtisar

- Saat ini, dunia Islam menghadapi dunia yang tumbuh dengan pesat.
- Globalisasi ekonomi belum menempatkan dunia Islam berada pada posisi sejajar dengan negara-negara yang perekonomiannya mapan.
- Dunia Islam harus terus mengembangkan kerja sama supaya bisnis di kalangan dunia Islam sendiri terus meningkat.
- Indonesia harus berperan dalam upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Obama tentang Agama dan Keluarga

Oleh : Syafii Maarif

Resonansi ini tidak akan banyak membicarakan reputasi Barack Obama (46 tahun) yang namanya melonjak sontak di dunia internasional karena senator Illinois dan dosen Universitas Chicago ini tampil sebagai penantang utama Hillary Clinton dalam konvensi Partai Demokrat tahun depan, dan jika menang, akan diperlagakan kemudian dengan calon presiden dari Partai Republik dalam Pemilu 2008.

Ada sisi lain yang patut disimak dari tokoh yang berasal dari darah campuran seorang ibu kulit putih dari Kansas dan ayah dari Kenya berkulit hitam. Orang tuanya berpisah saat Obama berusia dua tahun, kemudian kawin lagi dengan Lolo Soetoro dari Indonesia ketika Obama berumur enam tahun, selanjutnya pasangan ini juga berpisah. Obama sempat tinggal di Jakarta selama empat tahun.

Semua info di atas dapat disimak dalam otobiografi Obama, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming The American Dream (Keberanian Harapan: Pemikiran untuk Meraih Kembali Impian Amerika), terbit tahun 2006. Yang saya baca adalah terjemahannya oleh Ruslani dan Lulu Rahman dengan judul Menerjang Harapan: Dari Jakarta Menuju Gedung Putih, terbitan Ufuk Press, 2007.

Sesuai dengan fokus tulisan ini, mari kita lihat bagaimana Obama memandang agama dan keluarganya (hlm 155-163), diceritakan dengan lugas, datar, tanpa beban, sebuah sikap yang biasa terlihat pada manusia yang percaya diri. Tetapi, di bagian akhir saya akan kembali menyinggung selintas tentang Obama sebagai politikus untuk melihat serbakemungkinan bagi Amerika dan dunia, sekiranya ia terpilih jadi presiden Amerika.

Sekalipun nenek moyangnya dari garis ibu tampak seperti orang taat ke gereja ... ''keyakinan agama tidak pernah benar-benar berakar dalam hati mereka. Nenek saya selalu terlalu rasional dan terlalu keras untuk menerima apa pun yang tidak dapat dilihat, dirasakan, disentuh, atau dihitungnya.'' (Hlm 156). Ayah kakeknya dari pihak ibu menghilang tidak tentu rimbanya, lalu disusul oleh tragedi bunuh diri sang istri (hlm 155).

Ini direkamkan Obama tanpa emosi karena itu sudah merupakan fakta telanjang yang tak perlu disembunyikan. Barangkali karena kelugasan inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa The Audacity telah dinobatkan sebagai karya terlaris oleh New York Times belum terlalu lama berselang. Berita semacam ini tentu telah disimak kubu Hillary dengan penuh kewaspadaan, sebab dalam konvensi politik sebuah partai, calon tidak boleh menganut filosofi bus kota, ''sesama bus kota tidak boleh saling mendahului''.

Obama sangat hormat kepada ibunya yang seorang antropolog, namun kerinduan kepada ayah yang telah meninggalkannya dalam usia yang sangat dini juga tidak pernah pupus. Sekalipun ibunya menghormati semua kitab suci agama: Bibel, Alquran, dan Bhagawat Gita yang dijejerkan di atas rak, kritiknya terhadap agama formal cukup menyengat. Bagi ibunya, Ann Dunham, ''... agama formal terlalu sering menutupi ketertutupan pemikiran dengan jubah kesalehan, menutupi kekejaman dan penindasan dalam jubah kebenaran.'' (hlm 157). Ini adalah bahasa Obama tentang sikap ibunya yang sekaligus tentu telah turut membentuk watak sang anak.

Bagaimana dengan ayahnya, Barack Hussein Obama Sr? Walaupun ayahnya terlahir dan dibesarkan sebagai seorang Muslim, Obama tidak ragu menulis kalimat ini: ''... pada saat beliau bertemu dengan ibu saya beliau sudah menjadi seorang ateis yang kuat, yang menganggap agama sebagai terlalu banyak mengandung takhyul, seperti mumbo-jumbo [omong kosong] para cenayang [pawang/dukun] yang sering kali beliau saksikan di kampung-kampung Kenya pada masa mudanya.'' (hlm 158). Obama sendiri adalah penganut Kristen, sekalipun belum dibaptis.

Pertanyaan sentral yang tidak boleh dilewatkan selanjutnya adalah: Bagaimana jika Obama benar-benar terpilih jadi presiden Amerika menggantikan Bush bulan November tahun depan? Ada beberapa kemungkinan jawaban: Pertama, dunia akan kembali mempercayai demokrasi Amerika yang berani memilih seorang kulit hitam sebagai presiden. Apalagi jika Obama melakukan banting stir dalam politik luar negeri Amerika yang imperialistik di bawah Bush.

Kedua, Partai Demokrat akan semakin harum namanya pada tataran global karena apa yang beraroma rasialis telah dikuburnya. Ketiga, Amerika di bawah Obama akan dimaafkan dunia atas segala petualangan biadab yang dilakukan pendahulunya, jika Obama setelah terpilih juga minta maaf kepada umat manusia yang teraniaya akibat praktik terorisme negara yang dikomandani negara adikuasa ini selama sekian dasawarsa.

Akhirnya, terbetik juga kekhawatiran saya bahwa kekuasaan Obama, jika benar-benar terpilih, tidak akan bertahan lama karena akan berlaku pembunuhan politik atas dirinya, dilakukan oleh petualang rasialis yang masih gentayangan di muka bumi, tidak terkecuali di Amerika Serikat. Semoga tragedi semacam tidak akan terjadi dan Obama akan membuktikan impiannya untuk menampilkan Amerika sebagai bangsa yang punya hati nurani. Obama adalah penentang keras terhadap invasi atas Irak yang disebutnya sebagai ''... sebuah perang yang tolol, perang yang gegabah ...'' (hlm 65). Mari sama kita nantikan apa yang akan berlaku tahun depan di Amerika Serikat.

Patani Thailand

Ibrahim Syukri dan Represi yang Abadi

Maruli Tobing

"Kar’ena Patani terpencil dari dunia luar, maka orang-orang Melayu tidak dapat dan tidak berupaya menentang pemerintahan yang kejam dan ganas ini. Teguran-teguran yang sederhana saja dianggap sebagai membahayakan keselamatan negeri. Oleh Kerajaan Siam ditindas dengan hukum bunuh atau disiksa.’’

Ibrahim Syukri dalam bukunya Sejarah Kerajaan Melayu Patani mengutip laporan perjalanan wartawan Inggris, Barbara Wittingham-Jones, yang dimuat di surat kabar Strait Times, Singapura, 1 Desember 1947.

Sejarah Kerajaan Melayu Patani ditulis dalam bahasa Jawi Melayu dan tanpa tahun diterbitkan. Ibrahim Syukri adalah nama samaran. Hingga sekarang tidak ada orang yang tahu apa dan siapa dia.

Kalangan ilmuwan sosial Barat melihat karya Ibrahim Syukri sebagai bentuk penulisan sejarah Patani yang pertama. Center for International Studies, Ohio University (AS) menerjemahkannya dalam bahasa Inggris tahun 1985.

Dalam pengantar dijelaskan, naskah asli buku tersebut diperkirakan diterbitkan tahun 1950-an di Pasir Putih, perbatasan Kelantan-Patani. Beberapa kopinya sempat diselamatkan keluar.

Di Malaysia dan Thailand, setelah sempat lama dilarang diedarkan, buku tersebut akhirnya diterbitkan dalam bahasa setempat.

Maruli Tobing

Sejarah Kerajaan Melayu Patani adalah masa lalu suatu kerajaan Melayu yang pernah berjaya. Tamat selamanya setelah Kerajaan Siam menganeksasi Patani tahun 1902. Inggris mengakui kedaulatan Siam atas Patani tahun 1906. Sebagai imbalannya, Siam menyerahkan Kelantan, Perlis, Kedah, dan Trengganu kepada Inggris.

Kini wilayah Kerajaan Patani berubah menjadi Provinsi Patani, Narathiwat, Yala, dan Songkhla di Thailand Selatan. Tiga provinsi pertama berpenduduk 80 persen Muslim keturunan Melayu.

"Bagi orang-orang Melayu, perubahan dalam sistem pentadbiran ini adalah suatu penjajahan atas negeri dan bangsa mereka,’’ tulis Nik Anuar Nik Mahmud dalam bukunya Sejarah Perjuangan Patani, 1784-1954 (1999).

Maka, sejak saat itu pergolakan menggelinding mirip bola salju. Tiga tahun terakhir merupakan rekor paling berdarah dan bertahan paling lama. Lebih dari 2.100 orang dilaporkan tewas dan ribuan lainnya cedera sejak maraknya aksi kekerasan, Januari 2004. Ratusan gedung sekolah milik pemerintah hangus dibakar.

Akibat gawatnya masalah keamanan, semua sekolah pemerintah (lebih kurang 950 sekolah) di Provinsi Patani, Narathiwat, dan Yala diliburkan pertengahan November lalu hingga batas waktu yang belum ditentukan. Sejauh ini lebih dari 60 guru tewas ditembak. Bahkan, ada yang dieksekusi saat mengajar di depan kelas.

Kini, hampir tidak ada hari yang berlalu tanpa mayat, ledakan bom, dan letusan senjata api di Provinsi Patani, Narathiwat, dan Yala. Militer Thailand menuding kelompok militan dan Jemaah Islamiyah berada di balik aksi kekerasan.

Sebelum digulingkan, PM Thaksin Shinawatra menyebut pelakunya kelompok kriminal dan jaringan narkoba. Belakangan, ia mengatakan, rencana penyerangan dimatangkan di Malaysia. Kelompok militan Islam ini mengikuti pendidikan agama dan militer di Indonesia (The Standard, 20/12/2004).

Baru-baru ini, Juru Bicara AD Thailand Kolonel Acra Tiproch kembali melontarkan tuduhan. Ia mengatakan, berdasarkan pengakuan mereka yang ditangkap, warga Indonesia melatih militan Melayu Patani cara memenggal leher korbannya (bangkokpost.com, 14/5/2007).

Namun, Joseph Chinyong Liow, asisten profesor di Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura, meragukannya. "Faktanya belum seorang pun warga Melayu Muslim yang dihukum karena melakukan kekerasan. Tidak satu pun organisasi militan Islam yang dinyatakan oleh pengadilan sebagai dalang kekerasan.’’ (International Jihad and Muslim Radicalism in Thailand? Asian Policy, July 2006).

Dr Nidhi Aeusrivongse, sejarawan terkemuka Thailand, berpendapat hampir sama. "Jaringan militan internasional hanya ada dalam fantasi pemerintah Thailand,’’ tulisnya (Understanding the Situation in the South as a Millenarian Revolt, Review Essay, Maret 2005).

Tidak banyak berubah

Pemerintah Thailand agaknya sedang mencoba memproduksi isu untuk mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya. Lebih dari setengah abad silam Ibrahim Syukri menulis, untuk menyiamkan rakyat Melayu Patani, penguasa di Bangkok memberlakukan undang-undang (UU) wajib belajar di sekolah pemerintah, tahun 1921.

Masyarakat Melayu Patani menolaknya karena khawatir anak-anak mereka akan dibuddhakan. Lagi pula, selama ini mereka hanya mengenal pondok pesantren sebagai satu- satunya institusi pendidikan. Bentrokan bersenjata pecah tahun 1923.

Rezim militer Thailand memberlakukan UU yang lebih keras tahun 1941, isinya antara lain melarang mengenakan pakaian tradisional di tempat-tempat umum. "Sering kali baju jubah dan serban orang-orang haji diseret oleh polis-polis Siam. Orang-orang perempuan sewaktu berjual beli di pekan-pekan ditendang kerana memakai baju kebaya dan ber-kelubung,’’ tulis Ibrahim Syukri.

Setengah abad kemudian, represi tidak banyak berubah. Laporan Amnesty International (4/1/2006) mengungkapkan, banyak kasus penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan, dan pembunuhan warga desa. Namun, tidak seorang pun pelaku diproses secara hukum.

Menurut Dr Thanet Aphornsuvan, Direktur Southeast Asia Program, Thammasat University, menyusul peristiwa 28 April 2004 yang menewaskan 105 orang, polisi menciduk lebih dari 200 warga desa. Mereka lenyap selamanya (Origins of Malay Muslim "Separatism" in Southern Thailand, 2004).

Hal yang sama terjadi dalam peristiwa Tak Bai yang menewaskan 90 demonstran di tangan militer (25/10/2004). Tidak seorang pun pelaku dihukum.

Lantas, inikah yang disebut sebagai aksi kelompok militan? Jika Pemerintah Thailand menganggapnya demikian, maka siksa dan derita rakyat Melayu Patani akan tetap abadi.

Kota Tua
Dari Jendela Masjid Tanah Pekojan

WINDORO ADI

Senin (21/5) siang itu, dari dua tiang bulat besar beranda lantai dua Langgar Tinggi di Jalan Raya Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, menghadap ke Kali Angke terhampar pemandangan hiruk-pikuk kota lama Jakarta. Deretan rumah-rumah China sebentar-sebentar menghilang oleh badan kendaraan yang bergerak merayap.

Dahulu banyak perahu dan rakit dari Tangerang menyusur Kali Cisadane masuk Kali Angke membawa bahan bangunan, kain, rempah-rempah, duren, nangka, dan kelapa, menuju pusat kota lama.

Sebelum masuk kota, perahu dan rakit-rakit itu biasanya sandar di belakang langgar. "Kali masih bersih dan dalam," kata Mamad (56), penjaga langgar. Tubuhnya hitam tersengat matahari Jakarta. Ia memakai celana pendek, bertelanjang dada.

Langgar yang dibangun tahun 1833 atau 1249 Hijriah ini ada di tepi Kali Angke. Luas lantai dasarnya 8 meter x 24 meter. Lantai atas digunakan sebagai masjid. Sebagian lantai bawah, dulu, digunakan sebagai penginapan para pedagang yang mondar-mandir dengan perahu dan rakit. Sebagian lagi dijadikan tempat tinggal pengurus masjid.

Kini, seluruh lantai bawah digunakan untuk toko perangkat shalat, termasuk tasbih, buku-buku agama, serta minyak wangi khas Timur Tengah dan India. Ada minyak misik, minyak buhur, sampai minyak ular.

Langgar ini memiliki unsur arsitektur Eropa klasik, seperti tampak pada tiang-tiangnya, unsur China pada penyangga balok-balok kayunya, dan Jawa pada denah dasarnya. Menurut Adolf Heuken SJ dalam bukunya, Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 2003), langgar didirikan di salah satu tanah wakaf Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi. Ahmad Assegaff (52) menambahkan, langgar didirikan Abu Bakar, pria asal Yaman. "Saya adalah anak Alwi bin (anaknya) Abdurrahman, bin Segaff, bin Husain, bin Abu Bakar," tuturnya, Senin (21/5) malam.

Dulu, menurut cerita yang diwariskan para pendahulu Assegaff, ada empat pesta tahunan nan semarak di langgar. Pertama pesta khitanan bagi anak yatim piatu. Pesta ini diselenggarakan sehabis Lebaran di bulan Sapar. Berikutnya pesta mauludan, disusul pesta mikrajan, dan pesta khatam Al Quran.

Ketika pesta tiba, warga sekitar—Arab, India, Jawa, Bali, China, Muslim dan nonMuslim— bersama-sama mengumpulkan bantuan untuk membiayai hajatan besar itu. "Anak-anak yang dikhitan rata-rata cuma 20-an, tetapi yang datang ke pesta jauh lebih banyak dan meriah," tutur Assegaff.

Berikutnya pesta mauludan. Inilah pestanya para pria. Tak heran bila pestanya pun sampai tengah malam. Di depan langgar di dirikan panggung yang dihias janur, bunga kertas khas Betawi, dan lampion di sana-sini.

"Minyak lampionnya minyak kelapa bercampur minyak tanah. Kaum lelakinya memakai sarung madraz—sarung kotak-kotak warna coklat cerah—berkopiah, dan baju koko putih. Alas kakinya terompah," tutur Assegaff mengenang.

Pesta berlangsung sehabis magrib. Penganan yang disuguhkan adalah kue pepe, pastel, dan apem. Minumannya teh tawar dan teh manis. Pesta didominasi lantunan kasidah barzanji, mengisahkan riwayat Nabi Muhammad SAW.

Dalam pesta mikrajan, giliran kaum perempuan yang pegang peran. Acara berlangsung pukul 09.00-12.00

"Mereka memakai kebaya encim-encim dan kerudung warna putih dengan bawahan kain batik Betawi," papar Assegaff. Pesta juga didominasi lantunan tadarusan. "Ceritanya tentang perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, lalu ke Betlehem, sebelum naik ke langit ke tujuh," paparnya.

Sajian makan siangnya nasi ulam, tempe goreng, emping, sayur semur dengan ikan bandeng pesmol, bandeng acar kuning.

Terakhir adalah pesta khatam Al Quran anak-anak yang umumnya berlangsung dua jam. Setelah shalat isya, mereka salawatan atau kasidahan, lalu dilanjutkan tarawih. Setiap delapan rakaat, anak-anak berkasidahan. Berdoa untuk kedua orangtua, membaca fusul, lalu ditutup dengan tadarusan.

Hidangannya bubur gandum surba (havermut) bumbu gulai dengan tebaran daging kambing halus yang direbus. Makanan ringannya kurma, rambutan, nangka, duren, dan mangga. "Tergantung musim buahnya, tetapi anak-anak umumnya lebih suka nangka dan duren," ujar Assegaff. Minumannya kopi jahe campur susu.

Mengutip penjelasan para pendahulunya, ia mengatakan, di luar acara ritual, pesta diikuti orang non-Muslim juga. "Nah... nanti giliran pesta Pekcun dan Capgomeh-nya orang China, yang Muslim ganti ikutan pada berebut terima angpau. Pesta biasanya berlangsung di tepi Kali Angke. Yang Muslim biasanya lebih suka nonton dari lantai dua langgar karena bisa tiduran di langgar," tutur Assegaff.

Bersemi

Langgar Tinggi adalah salah satu tempat ibadah umat Islam yang masih tergolong tua di Jakarta. Masjid tertua di Pekojan sekaligus tertua di Jakarta adalah Masjid Al-Anshor (1648) di Jalan Pengukiran II.

Masjid tertua di Jakarta, tulis Heuken, beberapa puluh meter di selatan Hotel Omni Batavia sekarang yang terletak di Jalan Kali Besar Barat dan Jalan Roa Malaka Utara, Jakarta Kota. Masjid kayu bergaya Jawa ini dibakar waktu Gubernur Jenderal JP Coen menghancurkan kota Jayakarta tahun 1619.

Setelah pemusnahan itu, VOC melarang adanya masjid dan kelenteng di dalam kota. Namun, hal itu tidak diindahkan orang Moor, orang Islam asal Hejaz dan Gujarat, India, yang dikenal sebagai orang keling. Sebelum tinggal di Pekojan, mereka tinggal di Banten. Merekalah yang pada tahun 1648 membangun masjid kedua di Jakarta, Masjid Al-Anshor.

Apa yang dilakukan orang Moor membangkitkan keberanian orang Arab, Banten, Makassar, China, dan orang Bali membangun masjid di sekitar Pekojan, lalu meluas ke kawasan Jakarta Barat. Tercatat Masjid Al-Mansur (1717) di Jalan Sawah Lio, Mesjid Luar Batang (1736) yang dibangun Sayid Husein bin Abubakar, Masjid Kampung Baru (1748) di Bandengan Selatan, dan Masjid Annawar (1760) di Jalan Pekojan nomor 71.

Berikutnya, Masjid Angke atau Masjid al-Anwar (1761) yang dibangun seorang kontraktor China untuk orang Muslim Bali, Masjid Tambora (1761), Masjid Krukut (1785), dan Masjid Kebon Jeruk (1786) yang dibangun kaum Muslim Tionghoa.

Di antara masjid tadi, ada dua masjid paling menarik, yaitu Masjid Angke dan Masjid Kebon Jeruk. Selain karena arsitekturnya berunsur Bali, Belanda, Jawa, dan Tionghoa, Masjid Angke bisa menjelaskan, mengapa orang Bali yang identik dengan Hindu menjadi Muslim.

Heuken menulis, orang Belanda menganggap kaum pribumi adalah orang-orang yang tinggal di tanah Jawa. Karena tinggal di tanah Jawa, mereka disebut orang Jawa. Jadi, orang pribumi itu orang Jawa. Orang Jawa itu Islam, artinya, tunduk pada peraturan hukum Islam.

Maka, orang Bali yang beragama Hindu pun harus tunduk pada hukum Islam.

Berbeda dengan orang-orang China yang masuk Islam kala itu. Mereka masuk Islam agar dianggap golongan pribumi. Karena pribumi, mereka bisa bebas dari pajak kucir rambut dan beban pajak lainnya yang hanya ditanggung orang China. Identitas Islam kemudian mereka perkuat dengan membangun masjid, antara lain Masjid Kebon Jeruk.

Dalam proses yang berlangsung secara damai, Islam yang menjadi identitas pengikat antara kaum perantau (China, Arab, dan Moor) dan etnis Nusantara yang ada di Jakarta melahirkan etnis baru, etnis Betawi.

Hingga kini, jejaknya melekat pada arsitektur dan ornamen masjid-masjid tua, pesta pernikahan, bahasa, cara mereka berkesenian, dan pesta pesta seperti yang berlangsung di Langgar Tinggi.

Cermin

Bhikkhu Dhammsubho Mahathera

Menurut ahli sejarah, cermin kepribadian seseorang, baik atau buruk, nanti jika ia sudah mati. Hari kematiannya akan menjadi cermin apakah seseorang dapat dikatakan baik atau tidak sepanjang hidupnya.

Penghormatan yang diberikan keluarga, kerabat, masyarakat, bangsa dan negara terhadap seseorang pada hari kematiannya menjadi ukuran kebaikan yang dilakukan almarhum. Semakin besar kebajikannya, semakin besar perhatian, penghormatan, pengakuan, dan penghargaan ditujukan kepadanya. Sepanjang waktu nasihatnya didengar, petunjuk diikuti, perilaku ditiru, namanya diabadikan untuk tempat penting, wajahnya dipatungkan.

Lalu, bagaimana menilai seseorang itu baik atau buruk saat masih hidup?

Ada tiga hal yang bisa membantu mengukur seseorang baik atau tidak. Pertama, miraga, hal-hal bersifat fisik, jasmaniah, dapat dilihat dengan mata. Kedua, mirama, hal-hal yang mengandung unsur gerak. Gerak tubuh menggambarkan watak kepribadiannya. Ketiga, mirasa, cita rasa jalan pikiran, termasuk cara bicara dan yang dibicarakan.

Pesan ahli kemanusiaan menyimpulkan, baik-buruknya seseorang hendaknya dilihat teliti dari semua sisi. Banyak kebaikan ternyata hanya untuk menutupi kejahatannya. Sebaliknya, dari satu sisi seseorang tampak jelek dan jahat, tetapi dari sisi lain menunjukkan kebaikan.

Pesan Dhamma, lihat segala sesuatu dari sisi berbeda, secara jelas dan apa adanya. Jangan melihat seseorang hanya dari tapaknya. Kata Buddha, segala sesuatu yang dilihat dari semua sisi berbeda akan menghasilkan kesimpulan utuh, tidak sepihak.

Dan, bagi manusia yang beragama, ternyata banyak yang belum paham apa yang dimaksud sebagai pemeluk dan pengikut agama. Pengikut agama adalah mereka yang mengikuti petunjuk, mendengar nasihat, dan meniru perilaku para pendiri agama yang dianutnya. Namun, ada pemeluk agama yang merasa tidak perlu mengikuti petunjuk, mendengar nasihat, meniru perilaku pendiri agamanya. Maka, pemeluk agama belum tentu sebagai pengikut agama yang baik.

Cermin kebajikan dan iman

Selain miraga, mirama, dan mirasa, ada tiga hal lagi yang menjadi tolok ukur tinggi-rendah kadar keimanan seseorang dalam beragama secara individu maupun sosial, yaitu menjadi umat beragama di tempat ibadah, menjadi umat beragama di rumah, dan menjadi umat beragama di masyarakat. Adalah umat beragama paling ideal dan berkualitas tinggi jika bisa menerapkan ketiga cara beragama itu secara simultan dalam hidup sehari-hari. Kenyataannya belum semua umat bisa mewujudkan tiga aspek hidup beragama itu dengan penuh tanggung jawab secara pribadi atau terhadap keluarga.

Tidak sedikit pemuka agama begitu menonjol di masyarakat, tetapi keluarganya tidak terurus dengan baik secara agama. Anak pertama pemabuk, anak kedua penyabung ayam, anak ketiga penjudi, dan lainnya.

Atau ada yang amat tekun beribadah di rumah, tetapi bertahun-tahun tidak saling bicara, tidak saling tegur sapa dengan ayah, ibu, saudara lain, dengan mertua yang memberi istri atau suami, tak pernah akur dengan tetangga. Semua bisa terjadi karena rendahnya kadar keimanan.

Dalam bahasa Dhamma ada empat dasar pendidikan moral yang berpengaruh pada pembentukan watak, jiwa, dan kepribadian seseorang dalam menumbuhkan "kebajikan dan iman".

Pertama, estetika, meliputi aspek-aspek keindahan. Kedua, etika, meliputi budi pekerti, sopan santun, tata krama dalam pergaulan. Ketiga, dogma, yang dimaksud adalah cara menumbuhkan hakikat disiplin keyakinan yang hidup melalui tahu, mengerti, dan mengalami sendiri. Keempat, doktrin, adalah hal-hal yang serba terkait logika.

Empat hal lain

Selain empat hal itu, masih ada empat hal lain secara sosial, yaitu dana, sila, samadhi, dan pannya (kerelaan, moral, pengendalian diri, dan kecerdasan intelek religius). Keempat hal ini merupakan wujud nyata kepedulian sosial terhadap lingkungannya secara seimbang. Jika keempat hal itu dapat ditanamkan kepada anak- anak sejak dini, terhadap semua umat beragama, dan kepada masyarakat luas, dapat diharapkan kelak akan muncul anak-anak yang tahu sopan santun, memiliki budi pekerti, dan memahami tata krama.

Dengan demikian, umat beragama tidak mudah goyah, meyakini agama sendiri tanpa menjelek-jelekkan agama lain. Di masyarakat pun akan tercermin watak kepedulian sosial, serta bisa menjaga kelestarian lingkungannya. Para pejabat tinggi dan tertinggi negara pun akan jauh dari sifat adigang, adigung, adiguna. Kepada mereka pun tidak hanya karena kekuasaan menghamba kepada penguasa, menghina kaum sengsara dan papa nestapa.

Selamat Tri Suci Waisak 2551/2007.

Bhikkhu Dhammsubho Mahathera Ketua Dewan Sangha Theravada

Tuesday, May 29, 2007

ISLAM DALAM DUNIA MODERN

Bagi seorang peninjau, pada akhir abad kedelapan belas merupakan akhir perkembangan sejarah Islam. Berdasarkan ajaran keesaan Tuhan yang sederhana, cermat, dan keras, yang diberikan oleh Muhammad saw. pada masyarakat Arab yang kecil, Islam telah meluas hingga suatu kompleks dari mazhab dan aliran ilmu ketuhanan yang ditaruh atas bermacam-macam himpunan dengan upacaranya sendiri, cita-cita dan ibadat agama yang berbeda-beda. Apabila pendapat si peninjau tadi dicat dengan filsafat Eropa Barat pada waktu itu, boleh juga ia menganggap susunan keseluruhan tadi dijalin dengan takhayul dan ditakdirkan untuk dimusnahkan dalam waktu yang dekat oleh kekuatan, kemajuan, dan penerangan.

Tidak seorang pun peninjau di luar dapat menaksir kekuatan benang-benang yang tidak tampak, yang pada saat tantangan dapat mengumpulkan anggota berjenis-jenis kelompok menjadi satu masyarakat dengan satu tujuan, satu kemauan, ataupun daya hidup suatu cita yang besar --yang ditutupi dengan endapan beberapa abad-- apabila cita-cita tadi dihadapkan kepada tugas baru dan banyak bahaya. Sejarah Islam dan usaha untuk menyesuaikan diri dibawah dua dorongan yaitu tantangan dari dalam dan tekanan bahaya dari luar. Mula-mula secara perlahan-lahan dan tanpa kemunduran, dengan kepesatan yang bertambah, masyarakat Islam berkumpul menjadi satu dan mulai meninjau pertahanannya. Masyarakat Islam bangkit kembali dan waspada mencari rencana untuk bersatu maju ke hari depan masih tidak diketahui dan tidak diramalkan.

Pandangan sebagian besar muslimin dan hampir semua bangsa Barat bahwa tekanan-tekanan luar yang timbul dari perluasan politik dan ekonomi Eropa Barat terlihat sayup-sayup lebih besar daripada tantangan dari dalam. Tetapi yang akhir ini datang dahulu dan berasal dari pusat masyarakat Islam. Akibatnya lebih mendalam daripada akibat yang timbul dari hubungan dengan Barat.

Pangkal mulanya ialah Arabia Tengah. Lebih kurang dalam tahun 1744 seorang bernama Muhammad ibn Abd al-Wahab dengan sokongan keluarga kerajaan Su'ud, Emir setempat dari Dar'ijah mulai suatu pergerakan pembaharuan berdasarkan mazhab Hambali yang sederhana dan pelajaran anti Sufi dari ibn Taimijah dan penganutnya dalam abad keempat belas. Pergerakan Wahabi ini (sebagaimana pergerakan ini seterusnya terkenal) pertama-tama ditujukan menghadapi kemunduran tata sila dan kemerosotan agama dalam pedesaan dan pada suku-suku, mengutuk pemujaan orang suci dan bid'ah-bid'ah lain dari kaum Sufi sebagai penyelewengan dan kekufuran, dan akhirnya juga menyerang mazhab-mazhab lain karena komprominya dengan bid'ah-bid'ah yang dibenci itu. Dalam semangatnya untuk mengembalikan kesucian kesederhanaan iman, pangeran-pangeran Su'udi memerangi tetangganya, dan setelah menundukkan Arabia Tengah dan Arabia Timur, menyerang propinsi-propinsi Dinasti Osman di bagian utara dan syarif-syarif turun temurun dari Mekkah di Hijaz. Karbela di Irak telah dirampas habis-habisan dalam tahun 1082, Mekkah akhirnya ditundukkan, diduduki, dan "dibersihkan" dalam tahun 1806. Dengan kedua tantangan tadi terhadap kekuasaan Dinasti Osman dan terhadap adat istiadat Katholik dalam Islam orang-orang Wahhabi yang hingga kini merupakan aliran yang samar, telah menarik perhatian seluruh dunia Islam. Tantangan tersebut telah diterima atas nama sultan oleh Gubernur Mesir Muhammad Ali; pada tahun 1818 kekuasaan Wahhabi telah dipatahkan. Dar'ijah ditundukkan dan dibumihanguskan dan keluarga Su'udi yang pegang pemerintahan dikirimkan ke Istambul untuk dihukum mati.

Lenyapnya kekuasaan politik Wahabi di Arabia itu tidak berarti berakhirnya pergerakan Wahhabi. Bahkan di bidang politik kesan-kesannya telah berlaku cukup lama hingga tidak mudah dibinasakan. Di Nejd masih ketinggalan pemerintahan seorang Emir Su'udi. Meskipun ia untuk sementara waktu kurang berkuasa daripada keluarga Rasjidi di Hail, yang dulu pernah di bawah pengawasannya, pemerintah Emir Su'udi tersebut dapat membaharui kekuatannya dan menguasai kerajaan Arab dalam abad ini di bawah pimpinan Abd al-Aziz, pembina kerajaan baru Arabia Sa'udiya.

Lebih dalam pengaruhnya sebagai kekuatan agama dalam masyarakat Islam. Sifat tidak luwes dan ekses-ekses penganutnya yang terdahulu di Arabia dan penganutnya di India dan Afrika Barat pada permulaan abad kesembilan belas patut dikutuk oleh seluruh umat Islam. Pecahnya pergerakan Wahhabi hanya merupakan pernyataan yang ekstrim dari kecenderungan yang dapat dijumpai di beberapa bagian dunia Islam dalam abad kedelapan belas. Dengan lampaunya tahapan tidak luwes yang aktif, patokan-patokannya menguatkan pergerakan untuk kembali kepada paham eka Tuhan dari umat Islam yang mula-mula. Pergerakan tadi digabungkan dengan perlawanan terhadap perembesan Sufi bertambah besar dalam abad kesembilan belas, dan telah menyusun dalam bentuk berlainan sebagai salah satu sifat utama Islam modern.

Menarik perhatian ialah pemberontakan dimulai dalam propinsi yang paling asli Arab. Dalam garis besar kekuatan-kekuatan agama yang telah membentuk Sufi setelah al-Ghazali bukanlah orang Arab, melainkan orang Berber, Persia, Turki; walaupun dapat dikatakan tidak masuk akal untuk menghubungkan hal tersebut dengan penaklukan politik tanah-tanah Arab. Pemasukan mereka menyebabkan melemahnya keunggulan "cita-cita Arab" dalam Islam dan pengaruh alim ulama Arab yang dahulu sampai dengan al-Ghazali. Kebanyakan orang Persia dan Turki Mathnawi dari Jalal ad-Din ar-Rumi telah menggantikan Hadis Nabawi sebagai penjelasan dan tafsir ajaran agama dan kesusilaan Quran. Bahkan para alim ulama yang terkemuka dari abad kedelapan belas --sebagaimana telah kita maklumi-- telah menghubungkan warisan ajaran yang lebih tua dengan doktrin kebatinan Sufi yang datang kemudian.

Penghidupan kembali aliran Wahhabi adalah pernyataan baru yang pertama dari cita-cita Arab, dan kemudian disusul oleh pernyataan lain yang bebas asalnya. Pada akhir abad yang sama, seorang sarjana Yaman, Muhammad al-Murtada (m. 1790), telah diterbitkan pengesahan baru yang besar dari al-Ghazali. Percetakan Arab yang mulai dikerjakan di Mesir dalam tahun 1828 menghasilkan perbanyakan dan penyebaran buku-buku pelajaran baku tentang ilmu ketuhanan dari abad pertengahan dan menghidupkan kembali gengsi sarjana-sarjana Mesir dalam ilmu pengetahuan Arab. Sarjana-sarjana Eropa yang membahas ilmu pengetahuan ketimuran yang menerbitkan naskah-naskah tua dengan penyelidikannya membantu langsung dan menimbulkan pertentangan meneropongkan perhatian kepada abad-abad terdahulu. Usaha-usaha itu semuanya digabungkan untuk menekankan perbedaan antara Islam zaman dahulu dan hari kemudian, serta memburukkan kalangan cerdik pandai dan kaum sastrawan keturunan Persia dan Turki. Mereka menyiapkan jalan bagi kembalinya daya karsa dan pengaruh Arab dalam dunia Islam, yang muncul maju dengan pergerakan pembaharuan Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Abduh pada awal abad ini.

Masih jauh jalan yang harus ditempuh sebelum titik ini tercapai. Dorongan Sufi dari abad kedelapan belas belum habis kekuatannya. Khusus di Afrika Barat Laut, Sufi mendapat kejayaan yang segar, waktu seorang murid Berber dari tarekat Khalwatiyah, Ahmad al-Tijani mendirikan tarekat Tijaniyah dalam tahun 1781. Tarekat baru itu dengan pesat meluas ke jurusan Barat dan ke tanah Negro, dimana ia bertalian dengan pergerakan memperoleh penganut dengan cara fanatik dan berdarah, terutama atas kerugian tarekat Qadariyah yang suka damai. Di India, Asia Tengah, dan di kebanyakan negara Islam yang jauh letaknya timbullah penghidupan baru Sufi dalam abad kesembilan belas. Hanya di pusat tanah Arabia dan kota-kota, pergerakan Sufi terus menerus mundur.

Diantara para Sufi kebangkitan baru kaum ortodoks seakan-akan memberikan pengaruh yang bertambah. Kecuali tarekat-tarekat yang lebih ekstrim dan tarekat yang tidak teratur, upacara dan latihan-latihan yang berlebih-lebihan lambat laun ditinggalkan, serta sebagian besar dari ketuhanan kebatinan dan kecenderungan panteis. Alim ulama ortodoks langsung tetap memberikan tekanan dalam jurusan itu. Dengan mengundurkan diri dari hubungannya yang dahulu rapat dengan tarekat-tarekat mereka umumnya mengambil tempat di tengah-tengah: menolak serba asasi kaum Wahhabi dengan alirannya yang bersifat fanatik dan tidak luwes dan menolak tuntutan murid-murid Sufi. Dengan berpegang teguh pada doktrin Katholik tentang ijmak, mereka menyatakan (dan sebagian besar tetap menyatakan) bahwa walaupun pemujaan wali-wali bertentangan dengan Islam, menghormati orang suci dan doa dengan perantaraan mereka diperbolehkan hukum.

Sikap lunak dan sikap konservatif alim ulama tadi bukanlah sesuai dengan perasaan para pejuang pembaharuan; dan dalam tiap-tiap generasi membentuk lembaga-lembaga baru untuk mempropagandakan prinsip-prinsip mereka. Dalam bagian pertama abad kesembilan belas, perkembangan baru yang amat menarik perhatian ialah pembentukan jamaah utusan kaum pembaharuan atas dasar tegas ortodoks, tetapi disusun atas garis-garis tarekat-tarekat. Pergerakan ini diambil oleh keturunan Nabi saw. yaitu seorang Maroko bernama Sjarif Ahmad ibn Idris (m. 1837). Setelah diterima sebagai murid waktu masih muda, dalam salah satu cabang tarekat Syadhiliyah yang telah diperbaharui, Ahmad ibn Idris menetap di Mekkah; bakat kerohaniannya, kecerdasan, dan kepribadiannya yang luar biasa telah menarik kalangan penganut yang taat. Hingga sekarang masih merupakan suatu pertanyaan apakah ia langsung dipengaruhi oleh pemberontakan Wahhabi. Jelaslah ia seorang penganut Hambali yang menolak ijmak, di luar ijmak yang didirikan oleh generasi pertama dari sahabat Nabi saw. dan qiyas atau "kesejalanan" sebagai sumber hukum. Quran dan sunah yang dapat diterima sebagai sumber doktrin dan hukum. Disamping itu, ia mengajarkan sejumlah doa yang sesuai dengan dikir Sufi. Ia menolak doktrin Sufi persatuan dengan Tuhan, yang digantinya sebagai tujuan hidup mistik dengan persatuan "mistik" ialah persatuan dengan roh Nabi saw.

Tarekat Muhammadiyah dengan sekaligus memperoleh sukses yang gemilang. Disamping tarekat asli pembangun (Idrisiyah) di Arabia sendiri (tempat keturunannya memperoleh kuasa politik dalam propinsi Asir) sejumlah muridnya mendirikan himpunan-himpunan lain atas dasar yang sama atau sejenis. Diantaranya yang amat berpengaruh adalah tarekat yang didirikan oleh orang Aljazair Muhammad ibn Ali al-Sanusi (m. 1859) di Sirenaika dan seorang Hijaz bernama Muhammad Uthman al-Amir Ghani (m. 1853) di Afrika Timur.

Nabi yang berlainan dari dua cabang tarekat Muhammadiah memberikan gambaran peranan yang dimainkan oleh keadaan dan kesempatan dalam pembentukan perkembangan tarekat-tarekat tadi. Semua pergerakan pejuang pembaharuan yang sederhana --walaupun suka damai dalam dasarnya-- lazimnya mudah menggunakan jalan kekerasan. Dari permulaan mereka insaf akan perlawanan pembesar agama ortodoks dan tidak mau berkompromi baik dalam usaha pertahanan maupun dalam penyerangannya. Karena kekuatan lengan keduniawian telah dipalingkan kepadanya, maka perlawanannya yang dipaksakan dalam saluran politik bersifat pergerakan pemberontakan dan ditujukan untuk membangun suatu negara ketuhanan baru. Tidak boleh dilupakan bahwa salah satu akibat penitikberatan pada Quran dan sunah dalam keasasan Islam berarti memulihkan kembali pada jihad jalan Allah; banyak dari keulungannya yang menjadi anggapan masyarakat yang primitif, sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 4. Sedangkan dalam masyarakat yang berkembang sepanjang sejarah pengertian jihad lambat laun melemah, dan lama-kelamaan ditafsirkan secara baru dalam istilah kesusilaan Sufi.

Tarekat Amirghaniyah di Nubia dan Sudan yang bertengkar dengan tarekat yang lebih ekstrim revolusioner --yang didirikan oleh al-Mahdi Muhammad Ahmad (m. 1885)-- menjadi pembela dari umat dan penaklukan pada pembesar keduniawian. Pada lain pihak tarekat Sanusiyah dari Sirenaika yang menolak tuntutan Dinasti Osman menjadi pengawas daerah tersebut dan membentuk lembaga yang suka berjuang yang diperlukan bagi tugas mengislamkan dan mengawasi orang nomad di gurun pasir Libiya. Pada tahapan kemudian, waktu mereka menghadapi perluasan kekuasaan Kristen, orang Sunusiyah memainkan peranan sebagai pembela agama, mula-mula terha dap perembesan orang Perancis ke daerah khatulistiwa Afrika, kemudian sebagai sekutu Turki terhadap orang Itali di Libia dan orang Inggris di Mesir. Meskipun telah dibinasakan dalam bidang militer oleh pemerintah militer Fasis, tarekat Sanusiyah telah memperlihatkan daya hidupnya dengan segera munculnya kembali pada waktu orang Itali dienyahkan dari Sirenaika.

Lama sebelum himpunan-himpunan utusan pengislaman dalam gurun pasir yang jauh tadi melawan dengan caranya sendiri perembesan kekuasaan-kekuasaan Barat, bersentuhan politik dan ekonomi Kekristenan Barat telah mulai menimbulkan ketegangan baru diantara penduduk muslimin. Perluasan yang tidak kunjung henti dari kekuatan politik Eropa di daerah Islam pertama menerbitkan perasaan kecemasan kebatinan yang akibatnya dikuatkan masing-masing oleh kekacauan susunan sosial dan ekonomi mereka yang lama dan pemasukan pikiran Barat.

Saluran-saluran yang membawa cita-cita Barat tidak hanya saluran kesusasteraan dan pendidikan, akan tetapi hampir tidak ada batasnya dalam jenis dan seluk beluknya mengenai pemerintahan, politik, susunan militer, hukum dan kehakiman, perhubungan, kesehatan, perniagaan, industri, dan pertanian. Cepat atau lambat, kehidupan hampir semua lapisan penduduk akan merasakan pengaruh salah satu perkembangan tadi hingga batas tertentu. Sekolah-sekolah dan akademi-akademi Barat yang paling langsung membawa hasilnya pada lapisan-lapisan terpelajar, mungkin pengaruh terbesar dibawa oleh harian-harian dan majalah-majalah baru. Mula-mulanya dengan kecil-kecilan di pusat-pusat utama dalam pertengahan abad kesembilan belas, maka sekarang semua bagian dunia Islam memiliki sejumlah harian sendiri, dan persuratkabaran di Mesir khusus bersinar hingga jauh di luar perbatasannya sendiri.

Diharapkan dengan kekuatan pengaruh Barat yang menembus dan yang menyerap para muslimin merasa harus bertindak. Mereka belum siap menjalankan usaha untuk pengertian dan penyesuaian yang dibutuhkan untuk mempertalikan pengaruh Barat tadi pada dasar-dasar kehidupan dan alam pikirannya sendiri. Tanpa usaha tersebut hasilnya akan merupakan pertikaian dan kebingungan, kedua keluar dan kedalam, serta akan bertambah membingungkan lagi karena dalam kekuatan Barat sendiri masih terdapat cita-cita dan tujuan yang berlawanan. Untuk membedakan akibatnya, --yang tambahan dan dangkal dari yang inti, alat dari alasan yang palsu dari yang benar-- semua itu adalah tugas berat. Penasihat-penasihat Barat, apabila bantuannya diminta untuk menyelamatkan tugas tersebut acap kali terbukti kurang mahir dan merupakan penuntun yang tidak boleh dipercaya.

Pada bidang keagamaan ada dua jalan untuk melayani tantangan Barat yang muncul dengan sendirinya. Pertama, mulai dari pokok-pokok dasar Islam dan mengeluarkan pernyataan baru dalam suasana dan keadaan dewasa ini. Kedua, mulai dari suatu filsafat Barat yang terpilih dan mencoba meresapkan doktrin Islam dengan filsafat tadi. Kedua jalan telah ditempuh; dari beberapa tafsiran dan aliran yang saling berlawanan, kami akan membicarakan yang utama saja. Cara pertama janganlah dicampurbaurkan dengan pendirian alim ulama umumnya. Bagi alim ulama belumlah ada persoalan untuk pernyataan baru dalam arti apa pun. Ilmu kalam, syariat, dan amal umat ortodoks berdasarkan Quran dan sunah sebagaimana ditafsirkan oleh sarjana-sarjana abad pertengahan --yang sebagian besar disetujui oleh ijmak-- tetap mengikat dan tidak boleh diubah, meskipun tekanan keadaan yang tidak tertahankan, beberapa konsesi dalam soal amal dapat diberikan untuk sementara. Barang siapa yang ingin menyatakan baru doktrin Islam dapat melakukan demikian karena dua alasan berlainan. Pada pihak pertama, pernyataan baru dapat diberikan dengan tujuan menguatkan dunia Islam terhadap pelanggaran barat, atau pada pihak lain supaya menjadi garis tunggal, tempat setiap usaha penyesuaian dan peleburan harus dimulai. Tekanan pada pihak yang awal harus diberikan pada aspek-aspek lahir dari praktek dan organisasi Islam, pada pihak akhir patokan-patokan dasar pikiran Islam.

Dalam keadaan tersebut, sewajarnya bahwa jalan pertama harus mendahului jalan kedua. Dalam seluruh umat Islam penyerbuan Barat telah menimbulkan reaksi politik, misalnya yang memuncak hingga pemberontakan India dalam tahun 1857. Hal ini di luar tinjauan buku ini, kecuali sampai suatu batas dimana peristiwa menyangkut pendirian dan kedudukan agama yang tertentu. Bagi kalangan beragama; kelemahan dalam bidang politik Islam diterangkan sebagai akibat kehilangan kepercayaan dan kemerosotan ibadat. Oleh karena itu, pergerakan pembaharuan umum yang pertama dalam abad kesembilan belas memiliki dua sifat. Dalam segi agama, pergerakan menuntut pembersihan kepercayaan dari amal keagamaan, kenaikan tingkat kecerdasan, serta perluasan dan modernisasi pendidikan. Dalam segi politik, pergerakan bertujuan menghilangkan pelbagai sebab yang memecahbelah muslimin dan mempersatukan mereka untuk mempertahankan iman. Pemuka pergerakan tersebut ialah orang Afghan, Jamal al-Din (1839-1897), yang perjuangannya tidak kunjung padam telah mengobarkan perasaan Islam di dunia Timur Islam, dan yang telah menolong menimbulkan pemberontakan Arabi di Mesir dan revolusi Persia. Pembangun dan yang mengilhami pergerakan Pan Islam, yang telah berjuang untuk menyatukan semua bangsa muslimin di bawah Khalifah Dinasti Osman. Meskipun ia gagal dalam pergerakan tersebut --tujuannya yang utama-- pengaruhnya masih hidup terus dalam pergerakan-pergerakan populer yang baru-baru ini menggabungkan serba asasi Islam dengan program politik yang praktis dan realistis.

Diantara murid-murid Jamal al-Din terdapat seorang yang memiliki paham memisahkan pembaharuan politik daripada pembaharuan keagamaan dan pernyataan baru doktrin Islam. Orang itu ialah orang Mesir Syekh Muhammad Abduh (1849-1905), yang memiliki cita-cita luas, bebas, dan agung. Sebagai seorang guru muda di al-Azhar beliau telah mencoba memperkenalkan tanggapan pendidikan agama yang lebih luas dan lebih berfilsafat. Dalam pembuangan kemudian, ia bekerja sama dengan Jamal al-Din pada majalah al-Urwa al-Wuthga yang berhaluan setengah keagamaan dan setengah politik. Dalam tahun 1888, beliau kembali ke Mesir, dan di sana --walaupun menemukan perlawanan kuat alim ulama yang konservatif dan lawan-lawan politik-- dengan sifat budi pekertinya dan ajarannya telah mempengaruhi angkatan baru yang merasa dirinya renggang dari formalisme al-Azhar hingga batas tertentu.

Sebagaimana sarjana-sarjana besar dalam abad pertengahan Muhammad Abduh memaparkan pikirannya dalam bentuk tafsir Quran, meskipun beliau hidup tidak lama mengakhiri karyanya. Beliau merupakan tokoh modernis dalam pengertian bahwa beliau menganjurkan menuntut pikiran modern, dan yakin bahwa dalam tahapan akhir pikiran modern ini hanya dapat membenarkan kebenaran agama Islam. Berkenaan dengan susunan kepercayaan ahli sunah waljamaah beliau bukan seorang pembaharu. Beliau bukan sebagai al-Ghazali, seorang yang dapat menarik garis bagi suatu bingkai sintesis yang dapat menyatukan atau menerima sekumpulan cita-cita yang sampai suatu waktu ada di luar kepercayaan ortodoks. Bagi seorang peninjau dari luar kadang-kadang sukar untuk memahami mengapa ajarannya pada satu pihak dapat diterima dengan gembira dan berpengaruh besar, sedang pada pihak lain ajarannya tadi dilawan dengan mati-matian. Keterangannya ialah karena beliau dengan menyatakan hak menggunakan akal budi dalam pikiran agama, beliau telah memulihkan pengelukan sedikit pada suatu sistem yang telah menjadi kaku dan beku, serta memberikan kemungkinan untuk perumusan baru doktrin dalam istilah-istilah modern bagi pengganti istilah-istilah abad pertengahan.

Perumusan baru demikian tidak dapat dicapai dalam satu atau dua generasi. Tidak ada alasan untuk terperanjat bahwa hanya sedikit kemajuan keluar yang dicapai khusus, apabila ketegangan politik menimbulkan dan melangsungkan suatu iklim yang tidak menguntungkan bagi usaha-usaha seorang sarjana dan seorang ahli agama yang membutuhkan ketenangan. Hasil langsung dari usaha Muhammad Abduh mendapat pernyataan dalam dua kecenderungan yang berlainan dan saling berlawanan.

Pada suatu pihak, tumbuh dalam kalangan keduniawian "modernisme" yang tersebar, akan tetapi tidak dirumuskan, yang dengan berpegangan pada doktrin asasi Islam kuat dipengaruhi oleh cita-cita Barat. Dalam bentuknya yang termaju, maka modernisme dibaurkan dengan pergerakan keduniawian yang bertujuan memisahkan Gereja dari negara, dan menggantikan syariat dengan sistem hukum Barat. Penggunaan paling ekstrim dari patokan-patokan keduniawian itu telah dilakukan oleh Republik Turki sejak pembatalan Khilafah Dinasti Osman dalam tahun 1924. Meskipun pergerakan keduniawian tadi mempunyai penyokong di lain negara-negara Islam, jumlah terbanyak kaum modernis menunjukkan pendirian yang lebih lunak terhadap susunan agama dan adat kebiasaannya. Bagaimanapun pandangan mereka tentang hukum dan politik, kedudukan mereka tentang doktrin dapat diikhtisarkan sebagai penolakan umum kekuasaan yang paling utama dari alim ulama abad pertengahan, dan pernyataan yang lebih ragu-ragu tentang hak pertimbangan perseorangan.

Akibat kedua ialah pembentukan suatu partai agama yang dinamakan al-Salafiyah, penegak-penegak sunah yang telah dibuktikan oleh "leluhur yang agung", bapak-bapak umat Islam. Kaum Salafi menyetujui kaum modernis dalam penolakan kuasa mazhab-mazhab abad pertengahan serta menerima Quran dan sunah sebagai satu-satunya sumber kebenaran agama. Dalam hal ini, mereka berlawanan dengan alim ulama umumnya yang merupakan kaum reformis. Tetapi terhadap kaum modernis dengan bersemangat mereka menolak gangguan dari liberalisme dan rasionalisme Barat.

Pemimpin pergerakan Salafiyah itu seorang Siria, murid Muhammad Abduh, bernama Syekh Rasjid Rida (1865-1935), penerbit sebuah tafsir Quran dan majalah haluan reformis al-Manar, yang akhirnya penyebaran luas Maroko hingga pulau Jawa. Dibawah pengaruhnya pergerakan mula-mula menyatakan kembali ke program Pan Islam Jamal al-Din. Waktu pembesar-pembesar Turki meninggalkan sunah Islam, dengan tidak tedeng aling-aling Rasjid Rida mengutuk kebijaksanaan mereka. Sebagaimana juga halnya dengan kaum pembaharu sederhana yang lebih dahulu, ia terus menerus didorong mundur ke serba asasi. Lama kelamaan, ia mengakui dan menumbuhkan hubungan tujuan dan pikiran antara Salafiah dan kaum Wahhabi. Dalam kedudukannya doktrin yang terakhir orang Salafiah dengan menolak hasrat orang Wahhabi yang mengutamakan alirannya sendiri, menyatakan dirinya golongan "Hambali Baru" (Neo-Hambali), kaum konservatif yang menuntut pembukaan kembali "Pintu Ijtihad" (halaman 78) dan hak untuk mentafsirkan baru soal-soal ketuhanan dan hukum.

Mungkin pertalian kuat antara kaum Salafi dan kaum Wahhabi ialah permusuhan mereka terhadap Sufi dalam bentuk apapun juga, terhadap pemujaan wali-wali, bid'ah-bid'ah berdasarkan animisme yang menyeleweng dari paham keesaan Tuhan yang murni dari Quran. Sebagian karena pendirian itulah "modernisme al-Manar" telah menjadi suatu kekuatan seluruh negara Islam, dimana para pembaharu menghadapi perlawanan kepentingan yang telah bercokol dari pemujaan para wali dan tarekat-tarekat. Dengan meninggalkan pendirian di tengah jalan dari alim ulama resmi, modernisme al-Manar dengan melintangi perbatasan bangsa dan negara mendirikan persaudaraan baru golongan-golongan yang bersemangat telah berbulat tekad memerangi kemerosotan kedalam dan pemecahan keluar umat Islam. Meskipun tidak terbatas pada suatu lapisan kebudayaan golongan ekonomi atau sosial, pergerakan tadi hanya menarik sedikit penganut diantara para cerdik pandal, dan sebaliknya mencurigai mereka tentang kelalaian mereka yang tidak patut dalam soal iman dan ibadat.

Sejajar dengan pergerakan Salafiah tadi, atas dasar doktrin yang sedikit kurang nyata, perkembangan umat Islam dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir yang paling menarik perhatian adalah munculnya perhimpunan-perhimpunan agama baru. Perhimpunan-perhimpunan itu seakan-akan merupakan pernyataan baru dari pikiran Islam dan pernyataan baru dari nurani Islam menghadapi gangguan Barat, yang disesuaikan dengan berjenis-jenis lingkungan sosial dan pendidikan. Misalnya, di Mesir dan di negeri-negeri Arab, Persatuan Pemuda Islam melayani jenis golongan yang sama, dan dengan cara-cara sama sebagai Y.M.C.A. (Persatuan Pemuda Pria Kristen), sedang Persaudaraan Muslimin bekerja pada tingkat yang lebih populer. Di Pakistan dan Indonesia, terdapat juga persatuan-persatuan yang sama, tetapi bebas dan merdeka.

Pertama-tama, bertujuan untuk menghidupkan kembali dan memberikan semangat baru pada kepercayaan agama dan ibadat yang mungkin akan tergenang dalam pasang surutnya penghidupan modern, himpunan-himpunan baru tersebut condong memilih, hampir karena keharusan pendirian politik buat mempertahankan warisan Islam. Oleh karena itu, mereka merupakan bagian diantara penduduk kota dari negara-negara yang teratur, penyelarasan abad kedua puluh dari pergerakan-pergerakan abad kesembilan belas diantara suku-suku; pada waktu yang sama menggantikan tarekat Sufi yang lama, dan pengaruhnya dalam kota-kota berkurang dengan pecahnya serikat pertukangan. Dengan memeluk segala tahapan doktrin dari serba azasi hingga keortodoksan liberal, mereka menemukan suatu titik persamaan untuk mengumpulkan tenaga dalam penghormatan terhadap diri Nabi saw., yang boleh dikatakan memberi dorongan gerakan hati dan akhlak dalam Islam modern.

Tipe kedua dari reaksi terhadap pertemuan dengan Barat telah dinyatakan khusus di India. Di belakangnya terletak pengaruh pergerakan pembaharuan ortodoks yang telah memelopori jalan dengan memusnahkan kekuasaan mazhab-mazhab abad pertengahan. Pergerakan itu mulai dalam dasawarsa-dasawarsa yang pertama dari abad kesembilan belas dengan mengajarkan kesederhanaaan ajaran Wahhabi dan pemberontakan menentang pemujaan wali-wali oleh pemimpin-pemimpin sebagai Syariat Allah dan Sayid Ahmad dari Rai Bareli (terbunuh dalam pertempuran melawan orang Sikh tahun 1831), kemudian banyak memperoleh penganut diantara muslimin India. Pelbagai perhimpunan dengan terang-terangan telah memperjuangkan patokan-patokannya, khusus aliran Fara'idi di Bengal yang amat fanatik (yang juga disebut Salafia), dan jamaah-jamaah yang tidak ternilai banyaknya yang menamakan dirinya Ahli-i-Hadith, "Penganut-penganut Sunah Nabi saw" yang memeliharakan mesjid dan madrasahnya sendiri-sendiri. Dalam masyarakat yang lebih besar, perjuangan mereka untuk membersihkan doktrin dan amal telah disambut dengan baik.

Dengan jalan tersebut, maka pintu telah terbuka untuk usaha-usaha perseorangan yang lebih berpribadi untuk merumuskan doktrin Islam dalam istilah yang modern. Usaha pertama telah dilakukan oleh Sir Sayid Ahmad Chan (1818-1898). Seperti Syekh Muhammad Abduh, bahwa Islam dan ilmu pengetahuan tidak mungkin terus menerus saling berlawanan, beliau telah maju lagi selangkah dengan menyatakan bahwa pembenaran yang nyata dari Islam adalah persesuaiannya dengan alam semesta dan hukum-hukum ilmu pengetahuan, dan tidak sesuatu pun melawan dasar ini dapat dipandang Islam asli dan sah. Untuk menggiatkan dan mengembangkan garis pikiran ini, beliau mendirikan sebuah perguruan tinggi di Aligarh tahun 1875, dimana pendidikan agama harus digabungkan dengan pelajaran ilmu hukum modern. Dengan demikian, beliau telah membina organisasi modernis pertama. Perguruan tinggi baru tadi dan pendirinya menjadi sasaran penyerangan hebat, tidak hanya dari pihak alim ulama ortodoks, akan tetapi dari Jamal al-Din al-Afghani yang menyerang dengan sengitnya filsafat necari sebagai materialisme murni dan pengkhianatan terhadap iman. Meskipun demikian, pergerakan Aligarh berkembang; walaupun perguruan tingginya sendiri (dalam tahun 1920 menjadi Universitas Islam Aligarh) lambat laun meninggalkan kedudukan itikadnya yang asli.

Ilmu ketuhanan liberal yang menyusul usaha Sir Sayid Ahmad Chan mendekati Islam dengan jalan rasionalisme, mendatangkan penilaian baru tentang kesusilaan sosial yang telah menjadi adat umat Islam. Kemungkinan yang akhir ini merupakan salah satu daya tarik terbesar bagi golongan cendekiawan yang bertambah besar dengan tegas melihat keburukan sosial, yang terikat dengan keadaan sebagai perhambaan, poligami, dan perceraian yang tidak teratur. Dalam hal itu, pengaruh perguruan tinggi jauh melintasi perbatasan Islam India dengan pernyataannya yang baru tentang amal Islam dan doktrin sosial, sebagian dalam bentuk pembelaan dan sebagian reformis.

Diantara pelbagai penulis India yang mempopulerkan ilmu ketuhanan liberal dan peradaban baru tokoh yang terkemuka adalah Sayid Amir Ali, seorang Syi'ah dan seorang ahli hukum ternama, Bukunya The Spirit of Islam (Roh Islam) untuk pertama kali diterbitkan dalam tahun 1841 telah menyumbangkan kepada kesadaran politik --yang bangkit diantara kaum muslimin -- dasar penghargaan diri yang masuk akal dalam menghadapi dunia Barat. Demikian cepat gagasannya cocok dengan keadaan hati kawan seangkatannya hingga hanya sedikit saja diantara para terpelajar muslimin memperhatikan bahwa Amir Ali telah merumuskan doktrin Islam dalam istilah pikiran Barat, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya oleh kaum nechari. Bukanlah tempatnya di sini untuk menyelidiki kedudukan-kedudukannya secara terperinci, tetapi tiga diantaranya harus dibentangkan karena telah menjadi unsur pokok pikiran Islam yang modern.

Pertama, pemusatan yang telah kita lihat dalam pergerakan-pergerakan modern yang lain atas diri Muhammad saw. judul asli Roh Islam (The Spirit of Islam) adalah "Riwayat hidup dan ajaran Muhammad saw." (The Life and Teachings of Muhammad) cukup untuk menunjukkan tempat pusat gagasan tersebut dalam penjelasannya. Berlawanan dengan doktrin Sufi tentang Muhammad saw. penjelasannya tidak memuat sindiran sedikit pun tentang kekeramatan; Muhammad saw. digambarkan sebagai penjelmaan dan contoh kebajikan manusia dalam penjelmaannya yang paling agung. Amir Ali sendiri membawa liberalismenya hingga titik pandang Quran sebagai karya Muhammad saw. Dalam hal itu, ia tidak diikuti oleh kaum modernis umumnya yang tetap mempertahankan doktrin ortodoks bahwa Quran sekata demi sekata adalah kalam Allah asli.

Kedua, ajaran Muhammad saw. dihidangkan dalam istilah cita-cita sosial zaman sekarang. Empat kewajiban (salat, puasa, zakat, haji) dianjurkan --tidak seakan-akan dibela-- atas dasar yang masuk akal berhubungan dengan faedah sosial dan badaniah. Adanya perhambaan, poligami, talak, dan lain-lain kelemahan moral dan sosial dalam masyarakat Islam diakui, akan tetapi diterangkan sebagai berlawanan dengan ajaran Quran yang benar dan tanggung jawab bagi aturan-aturan tadi diletakkan di pundak ulama-ulama dan ahli fiqih yang kemudian. Perhambaan adalah bertentangan dengan ajaran Quran tentang persamaan segala Bani Adam; poligami terlarang dengan syarat-syaratnya dalam Quran; perceraian harus seluruhnya ditolak dengan semangat ajaran dan contoh Muhammad saw. Dalam tahun-tahun belakangan ini, banyak negara-negara Islam telah mengadakan perundang-undangan sipil untuk menyempitkan hukum perkawinan dan perceraian, sebagaimana juga dalam bidang lain dari syariat yang dijalankan dalam mahkamah Islam, walaupun hanya negara Turki yang menggantikan hukum agama ini dengan perundang-undangan Barat murni. Perhambaan telah dibatalkan dengan undang-undang di seluruh negara Islam kecuali Arabia, dalam pertengahan kedua abad kesembilan belas.

Ketiga, tekanan yang jatuh atas Islam, sebagai kekuatan peradaban yang progressif, kejayaan Baghdad dan Kordoba, keuntungan pelajaran dan ilmu pengetahuan, kelelaan keagamaan dan penerimaan filsafat Yunani, pembinaan rumah sakit-rumah sakit, dan wakaf-wakaf perguruan, semua itu dibandingkan dengan keadaan di Eropa waktu abad pertengahan. Bahkan muslimin terpelajar yakin bahwa kebangkitan baru dalam ilmu pengetahuan dan Renaissance di Eropa telah terjadi berkat dorongan dari kebudayaan Islam, dan karena penggunaan kepandaian kecerdasan dan teknik Islam oleh sarjana dan para tukang Eropa.

Disamping pemakaian guna pembelaan dan perlawanan alasan tadi menyangga pula dua kedudukan modernis. Sudah digunakan oleh Syekh Muhammad Abduh bahwa Islam apabila diterima dan dijalankan dengan benar, menolak tiap-tiap bentuk campuran agama dan mengharuskan penganutnya untuk menuntut segala bidang pelajaran dan ilmu pengetahuan dengan kegiatan sebesar mungkin. Inilah tangkisan terhadap kemunduran pelajaran keduniawian dalam abad pertengahan dan pemusatan pelajaran ilmu ketuhanan dan kesusasteraan di madrasah-madrasah. Pengesahan bagi doktrin tersebut didapati dalam dalil-dalil Quran yang berjumlah besar terutama tujuan dan desakan untuk mempelajari ayat Quran Allah dalam alam semesta dan dalam beberapa ucapan-ucapan terkenal yang berasal dari Nabi Muhammad saw., misalnya; "Carilah pengetahuan bahkan hingga di Tiongkok!" dan "Tinta sarjana adalah lebih suci daripada darah seorang syahid."

Kedudukan lain ialah para muslimin dalam mengambil alih pelajaran dan ilmu pengetahuan Barat modern hanya melanjutkan warisan peradabannya sendiri. Alasan ini paling meyakinkan diajukan oleh Sir Muhammad Iqbal (1876-1938), tokoh perumusan hari modern doktrin Islam. Lain dari kaum modern yang terdahulu, maka dasar-dasar Islam ilmu ketuhanan Iqbal diambil dari filsafat Sufi yang ditafsirkannya dalam istilah-istilah superman Nietzhe dan teori Bergson tentang evolusi kreatif. Filsafat aktivitasnya sendiri yang dinyatakannya dalam serangkaian syair Persia dan Urdu menarik perhatian besar dari angkatan muda muslimin India dan menyumbang timbulnya Pakistan sebagai suatu negara Islam merdeka dalam tahun 1947. Ajarannya diberi bentuk sistem dalam serangkaian kuliah dalam bahasa Inggris dalam tahun 1928 di bawah judul Pengubahan Baru Pikiran Agama dalam Islam (The Reconstruction of Religious Thought in Islam) akan tetapi hingga sekarang masih diragu-ragukan sampai mana ia menemukan penganut di luar Pakistan dan India.

Suatu kemajuan lain dalam masyarakat Islam selama abad kesembilan belas harus dicatat. Kemajuan itu ialah kedatangan kembali aliran kecondongan untuk membentuk aliran-aliran sinkretis baru; dalam abad-abad terdahulu telah menjelma dalam munculnya kaum Nusairi, kaum Druz, Jazadi, sejumlah aliran Syi'ah, dan akhir-akhir ini pergerakan Bektasyi dan Sikh. Oleh karena itu, tidak ada alasan mencari-cari pengaruh Barat guna menerangkan kemunculannya. Aliran baru yang pertama terbit dari ajaran filsafat Syekh dalam Syiah Persia dan dipimpin oleh Sayid Ali Muhammad dari Syiraz. Ia menamakan dirinya dengan lambang tua. Bab pintu gerbang, tempat kebenaran Ilahi telah disiarkan. Ia mengajarkan suatu campuran doktrin agama yang liberal dengan unsur-unsur kebatinan, dan setelah penganut-penganutnya memberontak, dihukum mati dalam tahun 1850.

Aliran Babi pecah menjadi dua setelah ia wafat. Sebagian besar menganut muridnya Baha'ullah (1817-1892), yang mengembangkan doktrin asli menjadi suatu agama universal perdamaian dan kemanusiaan yang dinamakan aliran Baha. Agama baru tadi yang sekarang di luar batas Islam telah mendapat dukungan di Persia dan Amerika Serikat; markas besarnya ialah di Haifah, Palestina.

Pergerakan sinkretis lain yang penting terbit di India sebagai reaksi terhadap pergerakan Aligarh. Pemimpinnya Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian (m. 1908), menuntut menjadi pembawa wahyu untuk mentafsirkan Islam bagi keperluan zaman baru. Selain itu ajarannya tentang perdamaian, itikadnya hanya berbeda sedikit dari doktrin pembaharu ortodoks yang lunak, yang menolak pemujaan wali-wali. Mirza Ghulam Ahmad beserta organisasinya menjadi kuat dengan pesat diserang oleh kaum ortodoks, terutama karena tuduhan mementingkan diri sendiri dan dicap sebagai penyeleweng.

Setelah meninggalnya Khalifah atau penggantinya yang pertama dalam tahun 1914 Ahmadijah terpecah menjadi dua. Cabang asli atau cabang Qadiani tetap mempertahankan tuntutan pendirinya ialah seorang nabi dan tetap mengakui seorang khalifah; yang memisahkan diri atau partai Lahore menolak kedua tuntutan itu dan membentuk suatu lembaga untuk mempropagandakan Islam di bawah seorang kepala baru. Cabang Lahore akhirnya berusaha untuk didamaikan lagi dengan ahli sunah waljamaah, meskipun para alim ulama masih memandangnya dengan kecurigaan.

Kedua cabang menarik perhatian dengan kegiatannya dalam penyiaran Islam, tidak hanya di India, akan tetapi juga di Inggris dan Amerika. Khusus partai Qadiani ialah lawan yang giat bagi penyiaran agama Kristen di Indonesia, Afrika Selatan, Timur, dan Barat. Jumlah penganutnya tidak dapat ditaksir dengan kepastian, akan tetapi di India sendiri jumlahnya sedikit tidak berarti apabila dibandingkan dengan banyaknya umat Islam di sana.

Pembahasan tentang perkembangan Islam --meskipun pendek-- di hari belakangan ini telah dapat menunjukkan kekuatan-kekuatan yang telah memberikan bentuk pada pendirian agama para muslimin dalam waktu lampau tidak kehilangan tenaga sedikit pun. Sebagaimana juga dalam masyarakat keagamaan bersejarah yang lain-lain dua kecondongan yang saling berlawanan, akan tetapi saling melengkapi, senantiasa bekerja. Reaksi para kesederhanaan merupakan usaha untuk mempertahankan warisan dan sunah jamaah serta masyarakat Madinah, begitu pula perjuangan yang tidak ada hentinya terhadap "bid'ah-bid'ah" yang membahayakan kemurnian doktrin dan amal primitif. Kecenderungan cara Katholik menerima berjenis-jenis pendapat dan adat kebiasaan dalam soal yang kurang penting dan terang-terangan menerima keharusan tafsiran baru untuk menghadapi kebutuhan baru dan yang dirasakan perlu.

Beberapa kali pemimpin agama Islam, waktu dihadapkan dengan tuntutan mendesak akan cara-cara berfikir baru, telah berusaha memberikan keterangan baru dalam istilahnya patokan-patokan abadi dari tafsiran Quran tentang alam semesta. Dengan tidak dilebih-lebihkan kami boleh menyebutkan paham Stoa Islam, paham Aristoteles Islam, Panteisme Islam semuanya didalam empat penjuru masyarakat ortodoks. Reaksi paham kesederhanaan dan kemurnian tidak pernah dapat membalikkan kecenderungan ini dan memulihkan perumusan dan penyerapan primitif. Reaksi tersebut mungkin dan dapat merusakkan kompromi semangat Katholik, apabila kompromi tadi dirasakan jauh hingga tidak sesuai dengan pengalaman agama Islam yang asasi. Dari sejarahnya yang lama dalam Islam sendiri, Islam telah memperoleh baik kemampuan menyesuaikan diri maupun keuletan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan pikiran filsafat modern, walaupun kata-kata jawabannya masih harus dirumuskan.

Bahaya yang mengelilingi Islam sebagai agama sekarang barangkali lebih besar daripada bahaya yang dihadapi di masa lampau. Paling nyata ialah bahaya yang datang dari kekuatan-kekuatan yang telah meruntuhkan dan mengancam untuk meruntuhkan semua agama ketuhanan. Dorongan dari luar, dari keduniawian, dalam bentuk pembujukan nasionalisme maupun dalam doktrin materialisme ilmiah dan tafsiran ekonomi sejarah telah meninggalkan bekas-bekas pada beberapa bagian masyarakat Islam. Betapa pun pengaruhnya berakal busuk, mungkin lama kelamaan kurang berbahaya daripada berkurangnya kewaspadaan suara hati keagamaan dan kelemahan sunah Katholik Islam.

Kedua-duanya condong dipercepat oleh pemecahan gabungan antara tarekat-tarekat agama, lapisan pertengahan, dan lapisan atas masyarakat Islam. Tempat mereka tidak dapat diisi oleh para alim ulama dan susunan resmi karena alim ulama tidak pernah berusaha atau menunaikan pimpinan dan bimbingan kerohanian para mukminin perseorangan yang menjadi sebagian tugas kependetaan Kristen. Setelah suatu sela yang agak lama, lembaga-lembaga baru telah mulai melengkapi kebutuhan yang dahulu dicukupi oleh tarekat-tarekat Sufi, akan tetapi dalam bidang terbatas sekali dan dengan perbedaan tekanan. Usaha yang teratur diperlukan untuk menghadapi kedua tantangan dari dunia luar dan kerusakan keduniawian di dalam. Kelemahan golongan-golongan yang teratur ialah kecenderungannya untuk menitikberatkan persatuannya lebih dari keoknuman dan menilai persatuan sosial lebih tinggi daripada kebaktian perseorangan. Dengan mengadakan persatuan lahir mereka mungkin tidak hanya gagal untuk membangkitkan kembali ketegangan kerohanian yang melembek, akan tetapi mungkin menggantikannya dengan persamaan emosi dengan golongan tersebut. Oleh karena itu, lembaga-lembaga baru condong menjadi klik-klik. Sejauh simpati mereka, "modernis" atau barang siapa yang juga memiliki penyerapan mereka terbatas pada "fundamentalis", "aktivis" atau "pasifis" sebagaimana halnya terjadi, mereka makin melemahkan perasaan dan tujuan moral masyarakat dalam dunia Islam umumnya.

Akibat-akibat keadaan tadi mengenai umat sebagai kesatuan para alim ulama diletakkan tanggung jawab istimewa. Tugas bersejarah mereka ialah untuk mengimbangkan antara dua barang ekstrim, untuk mempertahankan keseimbangan dan sifat Katholik "Gereja" Islam, mengatur dan mewakili suara hati agama umat umumnya. Ketidaksabaran golongan yang berlagak pembaharu dengan "obskurantisme" (perbauran) daripada alim ulama mudah dipahami; sunah merupakan beban berat baginya, sebagaimana juga bagi segala pembela yang yakin dari lembaga-lembaga yang akar-akarnya telah mendalam sejak beberapa abad dan bersembunyi di bawah permukaan kehidupan. Sukar untuk mungkir bahwa jumlah terbanyak para alim ulama memiliki kesempitan pandangan, suatu ketidakmampuan bahkan keseganan untuk menginsyafi tuntutan-tuntutan penghidupan baru di sekitar mereka dan menghadapi soal-soal penting yang sedang menentang umat Islam.

Meskipun dengan segala kesalahan yang dituduhkan kepada mereka dengan kurang atau lebih kebenaran, mereka sebagai suatu badan tidak pernah gagal melayani kepentingan agama yang utama dari umat Islam. Dengan ketekunan mereka yang diilhami oleh keyakinan mereka dan dikuatkan oleh perasaan persatuan mereka yang teguh, ketiadaan suatu susunan martabat memberikan cukup gaya pegas untuk mencegah ketekunan tadi berubah menjadi penghalang biasa. Apabila mereka lambat mengikuti cara-cara yang berubah dalam pikiran dan mencari kepentingan langsung dari lapisan-lapisan yang berkuasa karena perjuangannya yang lama terhadap gubernur-gubernur keduniawian dan filsafat keduniawian --mereka telah banyak berusaha bagi pembelaan kebebasan agama dan perseorangan.

Perluasan modern negara telah mengurangi, khusus dalam bidang pendidikan lapangan kegiatan-kegiatan yang dahulu diawasi oleh para alim ulama, hanya di Turkilah pertikaian didorong hingga tahapan yang ekstrim. Dalam suatu hal, alim ulama tidak mau berkompromi. Islam, sebagai suatu jalan hidup tegak atau jatuh dengan kekuasaan syariat. Semua percobaan untuk menurunkan syariat dari takhtanya untuk melemahkan kuasanya, untuk mengundurkan Islam sehingga satu badan kepercayaan swasta, tanpa hasil praktis dalam hubungan sosial, selalu telah menimbulkan dan selalu akan menimbulkan perlawanan terbuka dari pihak mereka.

Disitulah letaknya titik krisis. Bagi kaum pembaharu yang bersemangat, kelambatan proses persesuaian yang diperlukan untuk menyelamatkan persatuan masyarakat tidak dapat dibiarkan begitu saja, dan mereka dengan tidak sabar mengharapkan negara mempercepat proses tersebut. Akibat usaha demikian akan melemparkan para alim ulama sebagai suatu badan kedalam ketiadaan dan "fundamentalisme," dan hasilnya terakhir ialah pemecahan. Kami patut menghormati para pelopor yang telah merintis jalan-jalan baru jauh di depan badan utama; tetapi yang menciptakan dan memelihara peradaban adalah mereka yang kemudian menyusul untuk membangun perdamaian, ketertiban, dan keadilan, serta yang memperkaya semangat manusia dengan mempersatukan kegiatan dan sumber-sumber dunia baru dengan harta yang hidup dari dunia yang lama. Kecuali jika para alim ulama tetap setia pada jabatannya memelihara keseimbangan dan dapat memuaskan hati nurani akhlak kaum muslimin yang paling terpelajar. Pada waktu yang sama --sepanjang semua perubahan-perubahan yang perlu-- dapat menyelamatkan intisari kepercayaan dan kesusilaan Islam, mereka tidak akan dapat menyelamatkan warisan agama Islam daripada unggisan asam-asam yang merusakkan zaman kita.