Monday, May 21, 2007

Arab Saudi dan Islam Moderat

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

30/04/2007

Karena watak Wahhabisme itu, banyak orang skeptis dengan niat pemerintah Arab Saudi mengembangkan Islam moderat (terutama) di Indonesia. Bukankah inti moderasi adalah kesiapan untuk memahami dan menerima yang lain, yang bertentangan dengan semangat utama Wahhabisme?

Niat pemerintah Arab Saudi untuk bekerjasama dengan Indonesia dalam menumbuhkan pemikiran Islam moderat merupakan langkah maju. Niat itu disampaikan salah satu pejabat tingginya beberapa waktu lalu, setelah bertemu Presiden SBY di Jakarta. Dan niat itu kembali ditegaskan kepada Wapres JK ketika berkunjung ke Arab Saudi untuk Konferensi OKI. Sebelumnya, tak pernah terdengar pemerintah Arab Saudi memiliki niat itu. Yang kita tahu, mereka menyebarkan Wahhabisme ke seluruh dunia. Wahhabisme adalah doktrin resmi Kerajaan Arab Saudi. Paham ini dikenal ekstrem dan puritan, menekankan kemurnian “Islam Arab” dan mengecam pencampurannya dengan tradisi lokal. Filsafat dan tasawuf, misalnya, dianggap haram, karena keduanya dipandang barang impor dari Yunani, Persia dan Turki. Para pemimpin Wahhabi juga mengklaim, merekalah penerus generasi awal Nabi Muhammad yang paling otentik, sedang yang lainnya tidak layak dan harus dibungkam, jika perlu dengan kekerasan.

Karena watak Wahhabisme itu, banyak orang skeptis dengan niat pemerintah Arab Saudi mengembangkan Islam moderat (terutama) di Indonesia. Bukankah inti moderasi adalah kesiapan untuk memahami dan menerima yang lain, yang bertentangan dengan semangat utama Wahhabisme? Persoalannya saya kira bukan bisa atau tidak bisa, tapi bagaimana membuatnya bisa, berjalan seefektif dan semaksimal mungkin.

Kucuran Dana, Ekspansi Pengaruh

Sebelum masuk ke langkah-langkah rinci, harus diakui bahwa keinginan di atas tentu terkait dengan dana bantuan luar negeri dan perluasan pengaruh. Ini lumrah dalam semua hubungan antarnegara. No free lunch! Tak ada bantuan gratis.

Secara prinsip, keinginan itu tak boleh dihambat. Sebagaimana kita terima bantuan dari beragam pemerintah Barat, dana bantuan dari Arab Saudi juga harus dibolehkan masuk. Kalau dari AS dan Iran boleh, mengapa dari Saudi tidak?

Selain itu, dana Saudi juga terbukti bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan domestik. Selama ini, banyak lembaga pendidikan dan dakwah di Tanah Air, yang kurang dibantu pemerintahan kita sendiri, mengandalkan dana dari Timur Tengah untuk bertahan hidup. Banyak pula pelajar dan mahasiswa kita yang memperoleh beasiswa dan belajar di negara-negara Timur Tengah.

Soalnya menjadi lain jika dana itu digunakan untuk mengembangkan pemikiran dan aksi-aksi yang pada akhirnya bisa mengancam keamanan dan ketertiban negara. Sejak peristiwa 11 September 2001, Arab Saudi memang gencar dituduh sebagai pihak yang turut mendanai pengembangan pemikiran Islam radikal yang antara lain bisa berujung pada aksi-aksi teroris. Seperti dikemukakan Millard Burr dan Robert Collins dalam Alms for Jihad (2006), tuduhan paling gencar datang dari AS, sekutu terdekat Arab Saudi. Dalam pernyataan persnya (19 Februari 2004), Departemen Keuangan AS mengatakan, beberapa lembaga penyalur dana Saudi “tidak saja telah membantu tersebarnya kematian manusia dan kerusakan, tetapi juga telah mengelabui banyak orang untuk percaya bahwa mereka sedang menyebarkan kebaikan” (dikutip Burr dan Collins, 2006: 204).

Tapi ini masalah kompleks sehingga perlu disikapi secara hati-hati. Pertama, penerima dana Saudi bukan hanya muslim radikal. Muslim radikal pun tak monolitik. Mereka terbagi ke dalam kelompok yang membolehkan aksi kekerasan dan yang tidak. Mereka juga terpecah ke dalam kelompok yang mendukung aksi teroris dan yang mengecamnya. Kedua, menisbatkan aksi-aksi kekerasan di Indonesia hanya kepada faktor-faktor eksternal, seperti dana Saudi, juga tidak adil. Radikalisme Islam memiliki benih dan preseden dalam sejarah kita.

Pendeknya, kritik atas dana Saudi tidak bisa main hantam. Tak boleh ada standar ganda: dana dari negeri asing lain, diperbolehkan; tapi dari negeri-negeri muslim Timur Tengah, dilarang atau dihambat. Bahaya lainnya: tersumbatnya dana Timur Tengah akan mempersulit lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah Islam lokal untuk terus hidup, membuka kemungkinan lebih banyak orang menganggur, dan seterusnya. Ujungnya, ini akan memperkuat teori konspirasi, bahwa kita memang rentan terhadap tekanan “Barat” yang mau menghambat kemajuan Islam. Bukankah ini hanya mempersubur lahan radikalisme Islam?

“Menjinakkan” Wahhabisme

Menarik menyimak bagaimana pemeritah Saudi bereaksi terhadap tuduhan bahwa mereka mendukung Islam radikal, bahkan teroris. Pada 8 November 2002, Pangeran Salman bin Abd al-Aziz, Gubernur Riyadh, berkata: “Ketika seseorang memberi zakat kepada seorang miskin, ia tidak dapat mengajukan syarat-syarat tentang bagaimana si miskin itu akan memanfaatkan dananya. Jika dana itu digunakan untuk melakukan aksi-aksi kejahatan tertentu, maka hal itu bukanlah tanggung jawab si pemberi dana” (dikutip Burr and Collins, 2006: 26).

Ada kesan lepas tangan di sini. Bagaimana jalan tengah bisa dicapai? Yakni agar dana tetap tersalurkan, tetapi bahaya dana itu jatuh ke tangan kelompok yang salah bisa dihindari? Pertama, perlu ditegaskan kepada pemerintah Saudi agar mereka transparan dalam menyalurkan dana. Hal ini juga harus dimintakan kepada lembaga-lembaga donor Saudi yang bukan pemerintah–dan di sini kerjasama dengan pemerintah Saudi mutlak diperlukan. Dengan begitu bisa diketahui kepada siapa dana itu disalurkan dan untuk apa.

Strategi kedua adalah dengan “menjinakkan” ekspansi Wahhabisme. Kita harus mendudukkan perkara ini, karena Wahhabisme bagaimanapun adalah doktrin resmi Kerajaan Arab Saudi, yang pasti akan didesakkan kepada kita. Caranya, antara lain, dengan melibatkan mereka di dalam berbagai kegiatan dialog antariman. Kegiatan ini tak kalah pentingnya dibanding dialog ataragama. Karena, seperti umum diketahui, kekerasan sektarian terjadi bukan hanya di antara pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga di antara pemeluk agama yang sama. Kekerasan Syi`ah melawan Sunni di Irak adalah contoh terakhir yang memilukan.

Percaya Diri

Kunci keberhasilan strategi di atas adalah jika kita punya rasa percaya diri yang cukup dan siap mendesakkan agenda-agenda di atas. Dan kita punya sumberdaya yang cukup untuk itu. Kesempatan pun ada di pihak kita.

Ingat: di mata dunia, setelah peristiwa 11 September 2001, di mana 15 dari 19 teroris yang terlibat adalah warganegara Arab Saudi, kerajaan itu sedang sempoyongan dan sedang memperbaiki citra. Mereka antara lain menutup beberapa lembaga penyalur dana mereka di dunia. Dengan begitu, mereka sebenarnya sudah mengakui, setidaknya sebagian, tuduhan bahwa mereka ikut mengembangkan paham Islam radikal yang menumbuhkan terorisme. Inilah yang memecut mereka untuk memperbaiki citra. Niat kerjasama yang disampaikan pejabat pemerintah Arab saudi di depan SBY dan JK beberapa minggu lalu adalah bagian dari proyek memperbaiki citra ini.

Dibanding Arab Saudi, citra Indonesia jauh lebih baik. Sudah lama kita dikenal sebagai negeri muslim moderat, dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Kita juga negara yang tengah mengonsolidasikan demokrasi, yang keberhasilannya bisa menjadi contoh cocoknya perpaduan demokrasi dan Islam.

Ketika keharuman Islam belakangan ini dirusak segelintir pengikutnya yang memperjuangkan kepentingan mereka dengan aksi-aksi kekerasan, mata dunia tertuju ke kita, untuk mengembalikan keharuman itu. Ini mungkin beban terlalu berat untuk kita pikul, tetapi jelas ia memberi kesempatan dan sumberdaya kepada kita untuk mendesakkan agenda-agenda kita di dunia, termasuk dalam kerjasama kita dengan pemerintah Arab Saudi.

Siapa pun boleh bersikap skeptis terhadap niat pemerintah Saudi mengembangkan Islam moderat. Tetapi skeptisisme saja kurang membantu. Akan lebih produktif jika kita menerapkan beberapa strategi yang bisa mengurangi skeptisme kita, sambil mendesakkan kepentingan dan agenda sendiri.

***

No comments: