Pembaruan Islam dan Mitos Pembaratan
Oleh Pradana Boy ZTF
23/04/2007
Mengikuti teori Ibnu Khaldun, sebuah peradaban pasti akan mengalami masa-masa pertumbuhan, konsolidasi, keemasan, pembusukan dan kemudian keruntuhan. Jika suatu saat Barat tidak lagi menjadi kiblat bagi tradisi akademik universal, dan digantikan oleh peradaban baru, maka Islam semestinya melihat peluang ini.
Gaung pembaruan Islam terdengar cukup lama di Indonesia, tetapi persepsi dan penerimaan masyarakat Islam terhadap gerakan ini masih belum sepenuhnya positif. Salah satu anggapan yang berkembang, baik dalam dunia akademis maupun masyarakat umum adalah pembaruan Islam merupakan upaya untuk membawa nilai-nilai Barat ke dalam Islam atau dengan kata lain memasukkan kerangka berfikir Barat ke dalam struktur pemikiran dan kehidupan kaum Muslimin.
Persepsi semacam ini lahir dari kenyataan bahwa proyek pembaruan Islam di Indonesia umumnya ingin membawa sejumlah agenda yang dianggap bersumber dari Barat. Agenda itu misalnya purifikasi dan rasionalisasi seperti yang dijalankan oleh Kiai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, atau modernisasi dan sekularisasi Islam sebagaimana yang dianjurkan oleh Nurcholish Madjid.
Karena dianggap mengusung agenda Barat, anggapan turunannya adalah pembaruan Islam tidak dibangun di atas konstruksi epistemologi yang Islami, tetapi di atas konstruksi epistemologi Barat. Anggapan semacam ini sebenarnya ahistoris, karena agenda pembaruan Islam itu justru muncul ketika terjadi gejala stagnasi dalam tradisi kesarjanaan muslim yang mengkhawatirkan. Pembaruan itu juga sebagai respons kalangan muslim terhadap penetrasi modernisme Barat yang melaju ke dalam struktur pemikiran maupun masyarakat Islam secara tak terbendung. Di sini lain, pembaruan Islam adalah hasil dari persentuhan dengan Barat.
Tidak sedikit dari kalangan intelektual muslim yang berpendapat persentuhan itu sebagai hal tak terelakkan. Misalnya pendapat ini dianut oleh Mohammed Arkoun. Bagi Arkoun, persinggungan Islam dan Barat dalam konteks tradisi akademis tidak bisa dihindarkan, bahkan jika ingin mengembalikan kejayaan tradisi keilmuan Islam yang dulu pernah dicapainya, persinggungan Islam dengan Barat adalah keniscayaan. Arkoun (2006) pun menghadirkan sejumlah alasan.
Pertama, dalam tradisi akademik modern saat ini penggunaan kosa kata, kerangka pikir, pemahaman dan interpretasi, seni argumentasi dan demonstrasi, juga ruang dan waktu historis pengetahuan yang berhubungan dengan cara berpikir serta konseptualisasi nilai yang bernuansa Amerika-Eropa sentris menjadi tidak terhindarkan. Islam dan kaum Muslimin memang bisa menjadi subjek kajian akademis, tetapi kajian-kajian itu tidak akan pernah dianggap sebagai sumber kajian akademis yang memadai manakala tidak memenuhi persyaratan akademis sebagaimana yang dikembangkan dan dikontrol oleh komunitas intelektual Barat.
Kedua, bahwa sejak abad ke-18 dan 19 tidak ada model kesarjanaan yang mampu menandingi model pemikiran dan pengetahuan Barat. Menurut Arkoun juga, sampai hari ini kita belum melihat adanya kemungkinan model lain yang dirancang untuk secara sukses menandingi apa yang terjadi dalam tradisi akademik Barat.
Ketiga, adalah fakta sejarah bahwa revolusi intelektual yang dicapai di Eropa tidak memiliki padanan di tradisi pemikiran lainnya di belahan bumi ini. Faktanya, tidak ada tandingan dari budaya dan sistem pemikiran lain non Barat yang berhasil meniadakan nilai-nilai operatif dari perubahan epistemologis dan intelektual yang dicapai di Eropa melalui penggantian supremasi nalar agama dan teologis dengan nalar filsafat dan ilmiah.
Ke empat, Islam sebagai tradisi pemikiran sepenuhnya telah diabaikan dan sebagian besar kaum Muslimin masih menolak proses pembangunan tradisi itu dan juga revolusi saintifik dan intelektual yang dibawa oleh modernitas.
Kelima, karena alasan-alasan ini maka kita perlu menempatkan tampilan epistemologi kita agar terjadi sejumlah sintesis Islam. Menampilkan sintesis Islam tanpa melihat hasil-hasil ilmiah yang telah dicapai Barat sama artinya dengan menyenangkan kelompok muslim fundamentalis yang tidak waspada akan perdebatan akademis tentang kriteria kesarjanaan yang sahih dan tidak sahih.
Meskipun dalam hal tertentu pendapat Arkoun ini cenderung melebih-lebihkan tradisi akademis Barat, anjuran Arkoun untuk secara objektif mengakui dan kemudian mengadopsi kaidah dan pencapaian saintifik Barat perlu dipertimbangkan.
Bahwa Barat yang sekarang menjadi acuan, hanyalah faktor kesejarahan saja. Artinya, sebagai entitas peradaban, Barat juga akan mengalami proses-proses seleksi alamiah. Mengikuti teori Ibnu Khaldun, sebuah peradaban pasti akan mengalami masa-masa pertumbuhan, konsolidasi, keemasan, pembusukan dan kemudian keruntuhan. Jika suatu saat Barat tidak lagi menjadi kiblat bagi tradisi akademik universal, dan digantikan oleh peradaban baru, maka Islam semestinya melihat peluang ini.
Fakta sejarah lain sebagai babak persinggungan Islam dan Barat terjadi dalam gelombang Hellenisme sebagaimana yang diungkap oleh Montgomery Watt. Dalam hitungan Watt, Islam mengalami tiga gelombang Hellenisme. Gelombang Hellenisme pertama dan kedua terjadi manakala Islam berinteraksi dengan ide-ide filsafat Yunani. Kedua gelombang ini, kata Watt bisa dikategorikan sebagai gelombang Hellenisme yang murni intelektual. Bedanya, jika pada gelombang Hellenisme pertama masih didominasi dengan pola-pola “impor” pengetahuan dari Yunani ke Islam dalam bentuk penerjemahan, sedangkan gelombang kedua sudah menyaksikan sintesa yang apik antara sistem filsafat Yunani yang ateis dengan filsafat Islam yang monoteis.
Sementara gelombang Hellenisme ketiga tidak lagi interaksi intelektual, tetapi telah merambah ke wilayah-wilayah yang lebih luas, seperti sosial, ekonomi dan politik. Khusus pada konteks politik dan ekonomi, Hellenisme gelombang ketiga ini juga kemudian menghasilkan marginalisasi Islam oleh kekuatan Barat yang berakibat pada ketergantungan Islam yang luar biasa terhadap Barat, baik dalam konteks intelektual, politik maupun ekonomi.
Di tengah situasi seperti itulah, keinginan untuk meraih kemandirian Islam dalam bidang intelektual, sosial, politik, dan ekonomi melahirkan gelombang pembaruan dalam dunia Islam. Tetapi, kemandirian tidak mesti dimaknai sebagai sikap tertutup untuk tidak menerima keunggulan peradaban lain. Di sini, pembaruan Islam adalah hasil interaksi dialektis yang tiada pernah berhenti antara doktrin-doktrin normativitas Islam dengan gejala-gejala kontemporer yang mengelilinginya.
Dengan demikian, pembaruan sendiri bukan berarti satu sikap yang berhenti. Dengan berjalannya waktu dan semakin kompleksnya perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan beserta gejala-gejala yang menyertainya, pembaruan sendiri memang harus terus diperbarui.
No comments:
Post a Comment